Catatan harian yang semakin renta dan tua

Kamis, 20 Maret 2014

,


Dengan perasaan campur aduk, Ael membelokkan mobilnya ke arah salah satu restoran yang tak jauh dari tempat Ivy merelakan hampir seluruh isi perutnya ke dalam got di pinggir jalan. Dilepasnya seatbelt yang menjamin keselamatannya sementara ia dalam perjalanan tadi. Dibukanya pintu kanan dan keluar dari mobil dengan cepat. Tanpa menunggu Ivy, ia terus melangkah sampai di depan pintu utama restoran. Akan tetapi, setelah sepuluh menit berlalu, gadis yang ditunggunya dan yang memaksanya untuk mampir ke sini tak kunjung keluar dari mobil. Dengan cepat dikeluarkannya ponselnya dari dalam saku celana jeans rombengnya dan mengontak Ivy. Tapi sialnya, gadis itu tak mengangkatnya.

Setengah menggeram ia kembali ke arah mobil dan langsung membuka pintu penumpang depan dan berniat untuk mengomel.

“Lo sebenernya…” Kalimatnya yang sebenarnya adalah ‘Lo sebenernya niat makan atau nggak?’ itu terhenti ketika mencapai kata kedua. Ivy tertidur. Sekali lagi.. Ivy tertidur. VIVIAN TERTIDUR!!       

Shit! Great! Setelah tadi gadis membuat acara pengintaiannya terhadap Nindy hari ini gagal dan membuatnya harus menelan kenyataan mati penasaran tentang apa yang akan Nindy lakukan dengan pria bernama Bara itu, setelah gadis itu berlagak merajuk karena Ael tidak mengizinkannya mengisi kembali perutnya karena tidak ingin Ivy muntah lagi, membuat Ael terpaksa mengemudikan mobilnya kea rah restoran ini meskipun ia tidak lapar sama sekali, gadis itu malah seenak jidatnya molor di mobilnya.

Selasa, 18 Maret 2014

,

I’ll take her!!
_Fay Bara Putra_

This is War
_Fabian Alfonso_

Part 12

“Oy Om!” Sapa Bara pada Bimo saat laki-laki itu baru saja menyelesaikan urusannya di akademik, sambil merangkul bahu sahabatnya itu. Bimo yang memang sudah tahu bahwa Bara akan ke kampus tidak terkejut. “Gimana?” Tanyanya santai.

“Apanya?” Tanya Bara sambil mengerutkan keningnya, seolah tak mengerti.

“Belagak pilon lagi.” Cerca Bimo.

Bara hanya tertawa mendengarnya. Ia sama sekali tidak tersinggung karena ia memang pura-pura tak mengerti apa maksud Bimo barusan. “Yah…gitu deh.” Jawabnya tidak jelas sambil melepaskan rangkulan tangannya di bahu Bimo.

“Oh.” Komentar Bimo singkat. Tidak berniat menanggapi dan memberi komentar. Hanya ada satu jawaban yang pasti jika Bara sudah menjawab dengan tiga kata itu, rencana berhasil dengan baik.

“Trus lo gimana? Kapan geraknya?” Tanya Bara kemudian.

Minggu, 02 Maret 2014

,


            Bara sudah memutuskan. Sepertinya kalimat terakhir itu harus ditambahkan. Ya. Tidak salah. Kalimat Bara yang menguak segalanya harus ditambahkan dalam cerita ini. Jika tidak, sampai kapan harus begini? Sampai kapan Bian mau begini? Sampai kapan Bianca mau begini? Sampai kapan Bina diperlakukan seperti ini? Sampai kapan Bimo mau begini? Dan kini… karena Bara sudah tidak lagi menjadi orang yang tidak tahu apa-apa, ia tidak mau kalimat ‘Sampai kapan Bara ikut seperti ini?’ menjadi penutup pertanyaan dalam catatan ini. Ia tidak mau. Ia tidak mau ikut-ikutan menjadi orang yang tersiksa sendirian. Ia tidak mau menjadi orang yang menyiksa. Menyiksa Bina, menyiksa Bian, menyiksa Bimo, dan menyiksa Bianca secara diam-diam. Ia akan mengungkap segalanya terserah bagaimana caranya. Ia tidak peduli.

****
Hari ini Bara tidak ke kantor. Sejak ia memutuskan untuk mengungkap semua kebohongan yang selama ini ditutupi Bian, sebagai langkah awal ia meminta bantuan Bimo untuk mencari tahu jadwal kuliah Bina. Bimo sendiri tidak keberatan. Tidak ada ruginya bagi dirinya. Sekalipun tidak ada untungnya juga da ia yakin mulai saat ini Bara akan sering merepotkannya. Langkahnya kini tertuju kea rah Fakultas Ekonomi. Ia harus bertemu Bina. Bagaimanapun caranya. Dengan santai ia melewati koridor fakultas layaknya ia juga tercatat sebagai mahasiswa di fakultas ini. Beberapa pasang mata mahasiswi menatapnya terpesona yang hanya ia tanggapi dengan wajah cuek dan tidak peduli. Sedangkan tatapan takjub serta iri mahasiswa hanya ia tanggapi dengan wajah angkuhnya. Ia tahu bahwa sebagian besar dari mereka pasti mengenalinya sebagai seorang Fay Bara Putra, CEO muda yang sedang ramai diperbincangkan majalah.

Itu dia! Batinnya ketika menangkap sosok Bina yang baru saja keluar dari kelas. Dihampirinya gadis yang tengah membelakanginya itu yang terlihat sedang berbincang dengan seorang gadis berwajah blasteran. Diketuknya bahu bina tengan telunjuk kanannya. Bina yang sepertinya sedang membicarakan tugas yang terkait dengan Manajemen pun menoleh dan terkejut mendapati Bara sedang berdiri di hadapannya dengan tampilannya yang casual tapi menyenangkan mata.

,


Hari pertama!

Hari pertama misi Vivian-Rafael dilaksanakan. Vivian meringis melihat penampilannya di depan cermin yang ia pegang. Celana jeans, blus lengan panjang yang hampir mencapai lutut, juga selendang yang menutupi kepalanya serta kacamat hitam. Ia benar-benar tampak seperti cewek obsesif yang mengharapkan salju turun di Indonesia. Dengan kesal ia melirik sinis ke arah Rafael yang sedang duduk di sampingnya. Siapa lagi yang akan memaksanya berpenampilan seperti ini kecuali laki-laki arogan di sampingya ini. Penampilan anehnya tidak kalah aneh dengan penampilan Ael.

Ael dengan cuek menatapnya dari balik kacamata hitamnya, kepala dibungkus penutup kepala berwarna hitam yang membuatnya terlihat seperti preman, kaos lengan panjang berwarna merah dengan gambar aneh disana, serta celana panjang yang robek di lututnya.

“Apaan?” Tanya Ael sinis.

Vivian hanya menggeleng sebagai jawabannya. “Ck. Apaan? Ngomong aja.” Ael mengulang pertanyaannya.

Vivian meringis. “Gue boleh pesen minum lagi nggak?” Tanyanya tidak enak.

“Bayar sendiri!” Jawab Ael jutek.