Catatan harian yang semakin renta dan tua

Senin, 28 April 2014

,

Wenda berjalan menyusuri koridor rumah sakit sambil bersenandung. Ia sedang gembira. Mbak Farrah, istri kakaknya – Mas Wahyu baru saja melahirkan putri pertama mereka. Mengingat ia telah punya keponakan ia jadi senang. Bahkan kegalauannya gara-gara putus dari Nugrah pun jadi sedikit terlupakan. Ia memang masih belum bisa melupakan Nugrah. Ia cinta mati sama cowok itu kalau boleh jujur. Walaupun ia tidak menunjukannya pada siapapun termasuk Fahri – sahabat Nugrah yang akhir-akhir ini jadi sering sekali menemani dan menghiburnya. Mungkin kasihan atau merasa tidak enak karena pada dasarnya Fahrilah yang memperkenalkan Nugrah padanya dan membuatnya jatuh cinta. Jadi, tidak heran jika sejak ia dan Nugrah putus, Fahari terkesan jadi sedikit perhatian padanya.
Ketika hendak berbelok ke arah di mana kamar rawat Mas Farrah berada, matanya tak sengaja menangkap sosok wanita paruh baya yang sepertinya sangat ia kenal.
Itu tante Rima – mamanya Nugrah. Ia memang mengenal tante Rima. Ia pernah beberapa kali main ke rumah Nugrah bersama Fahri. Sayangnya Nugrah tidak pernah berinisiatif memperkenalkan dirinya sebagai pacar pada mamanya. Jadi, sampai saat ini mamanya tidak pernah tahu bahwa sebenarnya ia main ke rumah Nugrah itu buat ngapel. Yah walaupun sama Fahri sih datangnya.
Ngapain tante Rima kesini? Apa tante Rima sakit? Tanyanya dalam hati. Samperin ah, putusnya kemudian setelah beberapa detik menimbang-nimbang apakah tidak masalah ia menghampiri tante Rima saat ini. Dan ia pikir tidak. Ia kan hanya ingin bersopan santun.
Dilangkahkannya kakinya  ke arah tante Rima. Ketika sudah berjarak kurang dari dua meter…
“Tan…” Panggilannya terputus karena tante Rima telah terlebih dahulu masuk ke ruangan salah seorang dokter.
Bibirnya langsung manyun. Sebal. “Tante Rima kebangetan deh ah. Masa jarak udah deket begini gue nggak keliahatan. Seenggaknya nengok bentar kek. Atau tante Rime udah lupa sama gue? Masa sih? Tega banget.” Ucapnya pada dirinya sendiri. “Atau gue tunggu aja, ya. Ah tapi nggak kelihatan aneh emang kalo gue sampe nungguin segala. Kesannya kok pengen banget ketemu, gitu. Nggak usah deh.”
Akan tetapi, ketika hendak beranjak dari depan pintu ruangan sang dokter, telinganya tak sengaja menangkap suara berat seseorang dari dalam.
“Ibu…bisa saya bertanya sesuatu?”
Mendengar pertanyaan itu, Wenda yang memang memiliki tingkat kekepoan yang cukup tinggi tidak jadi pergi. Didekatinya pintu ruangan dan mengintip ke dalam. Pintu itu memang tidak tertutup sempurna. Ada celah sedikit yang membuatnya bisa mengintip ke dalam. Terlihat seorang dokter berjas putih dengan wajah tampan serta tante Rima yang membelakanginya.
Sejenak Wenda berpikir sepertinya wajah dokter itu agak familier.

Jumat, 25 April 2014

,
Lagi!
Ia ada lagi.
Ia hadir lagi.
Batas itu terbangun lagi.
Jarak itu tercipta lagi.
Tembok Berlin itu…
Ia kembali berdiri kokoh.
Di depanku,
Di belakangmu.
Aku tahu.
Aku melihatnya.
Dia sedang menyeringai, bangga dengan tubuh menjulangnya.
Dia sedang tertawa mengejek, mengejek ke arahku.
Karena pada akhirnya aku kalah, menyerah terhadap kenyataan.
Kenyataan yang pada dasarnya hanya dilihat dari satu sudut mata, satu sudut pandang.
Sudut pandangku!
Kau tak tahu.
Atau kau tahu?
Aku sendiri juga tidak tahu apa kau tahu atau tidak.
Karena batas itu…
Jarak itu…
Tembok Berlin yang sedang menyeringai dan mengejekku habis-habisan adalah hasil karyaku.
Aku yang membangunnya.
Kembali.
Perwujudan dari rasa tidak percaya diriku.
Refleksi dari apa yang bersarang dalam tempurung kepalaku sejak ku tahu dirimu.
Atau sejak ku tak tahu?
Entahlah.
Aku juga tidak tahu apakah aku tahu atau tidak.
,
Hadir kembali dengan postingan. Bisa dibilang quote, bisa bukan. Yang pasti ini adalah hasil kreativitas orang yang kurang kerjaan. #NunjukCermin
“Ketika aku mencintaimu, kau mencintainya, dia yang kau cintai mencintai orang lain, dan orang lain yang dicintainya ternyata mencintaiku adalah ketika harapan kita tidak akan bisa bertemu. Ini bukan jadi rantai makanan yang saling menguntungkan, melainkan lingkaran setan yang mematikan.” #eaaa
“Ketika “Ketika Cinta Bertasbih” dan Tukang Bubur Naik Haji” sama-sama menampilkan sosok laki-laki idaman: Andi Arsyil Rahman.” J
“Ketika cinta bertepuk sebelah tangan, susu cokelat pun rasa durian (?)”
“Ketika Batman dan Superman saingan, yang lawan Ultraman siapa?” :o
“Ketika ia datang, hanya ada dua pilihan: tinggal atau meninggalkan. Dan ketika engkau didatangi, hanya ada dua pilihan pula: Ditinggalkan atau usir aja sekalian haha.”
“Ketika ingat mantan saat lihat gebetan”. XD
“Ketika jalan terasa tak berujung, langit tak bertepi, dan waktu tak berhenti. Tak disadari, semuanya tetap akan kembali.”
“Ketika mata jadi jendela hati, entah siapa yang mau jadi jendela jiwa. #plakk
“Ketika cinta bersemi kembali adalah ketika mantan balik lagi haha.”
“Ketika Matahari Senja jadi obsesi, Jingga Matahari pun tak dihiraukan lagi. Apalagi Matahari Jingga, Pun Ridho, Oji dan kawan-kawannya.” :D
“Ketika Itachi jadi ANBU, ketika kudeta direncanakan, ketika politik Danzo dilancarkan, Ketika Shisui tewas. Ketika rumor pembunuhan beredar. Ketika pernyataan bunuh diri diumumkan. Ketika Sandaime tidak menyadarinya adalah ketika konflik kekuasaan dan balas dendam dimulai.”
“Ketika cintaku padamu seperti bola salju, setinggi Himalaya, dan seluas isi jagat raya. Cinta bukan di atas kertas dan memiliki getaran yang sama rasanya tak berarti lagi.” :D
“Ketika esok selalu tak pasti adalah ketika ‘rumah’ selalu jadi destinasi traakhir.”
“Ketika cinta tanpa restu orang tua, cinta beda kasta, dan cinta beda agama. Ketiganya sama-sama akan menghasilkan kisah yang rumit.”
“Ketika engkau bertanya dan aku tak ingin menjawab. _Vera_
“Ketika Refrain dan 3600 Detik bahkan sudah difilmkan adalah ketika aku masih bertanya-tanya kapan Jingga untuk Matahari menceritakan kisahnya.” -_-
“Ketika cinta tak memandang harta, agama, restu orang tua, ras, budaya, suku, latar belakang keluarga dan pendidikan, sikap, sifat, dan tingkah laku. Ketika cinta dikata selalu menerima apa adanya. Kata siapa? :o Bahkan masa lalupun sering dipertentangkan.”
Dan masih banyak ketika-ketika lainnya. Gue udah pusing mikir :/
Ada yang mau nambahin nggak?

Minggu, 20 April 2014

,
Shit! Maki Ael sambil membanting majalah digenggamannya ke atas meja kerja di kantornya. Sialan! Sialan! Sialan! Apa maksud reporter bernama Aurora Amora itu coba?
 Gadis Tanpa Nama atau Nindy Paramitha. Siapa sebenarnya Kekasih Fay Bara Putra?
Diraihnya kembali majalah yang baru saja dibantingnya itu. Matanya nanar menatap headline berita tersebut. Di sana, di dalam majalah sialan itu, terdapat sosok Nindy bersama Bara. Terlihat bahwa Bara sedang menunggui Nindy di salon. Demi Tuhan ia sangat ingin meninju seseorang saat ini. Apalagi si Aurora Amora, reporter sialan itu. Dari mana ia mendapat berita ini?
Oh ya tentu saja ini bukan asal berita atau gossip murahan. Ia sangat ingat pakaian yang dikenakan Nindy beberapa hari yang lalu saat ia dan Ivy mengintainya dan Bara. Jadi setelah dari restoran, mereka ke salon. Sebenarnya ia sedikit lega mengingat bahwa apa yang dikhawatirkannya kemarin itu tidak terjadi. Ia bukan menganggap Nindy perempuan murahan sehingga gadis itu mau melakukan hal-hal ‘aneh’ dengan Bara. Tapi mengingat pesona dan kekuasaan Bara, ia tidak bisa memungkiri bahwa laki-laki itu bisa mendapatkan apa saja yang diinginkannya dengan mudah, termasuk harga diri seorang perempuan.
Diremasnya pemukaan majalah tersebut dengan kasar. Ia tahu siapa yang harus disalahkan atas hal ini.
****
“Viv tolong kerjain, ya.” Perintah Indra ramah sambil menyodorkan beberapa dokumen kea rah gadis itu.
Dengan semangat Vivian mengangguk sambil tersenyum. Dahi Indra mengerut mendapati ekspresi Vivian.
“Semangat banget kayaknya.” Komentarnya.

Selasa, 15 April 2014

,


Anya baru saja hendak berangkat sekolah untuk mengajar ketika sebuah jeep berhenti di depannya. Wika. Ngapain tuh cowok pagi-pagi udah kesini? Eh tapi udah biasa sih.
“Masuk!” Perintahnya.
Kening Anya berkerut mendengar peruntah yang sarat akan peringatan itu. Dari nada bicara bahkan ekspresi wajahnya, sangat jelas bahwa ia tidak mau dibantah dan ingin agar perintahnya dituruti. Tapi Anya tidak mau. Enak aja nyuruh-nyuruh. Mentang-mentang lo orang yang gue taksir sampe lo bisa seenaknya, gitu?
“Masuk Anya. Budek, ya?” Ulangnya sekali lagi. Kali ini dengan nada kesal.
“Kenapa gue mesti masuk?” Tanya Anya.
“Elah. Gue mau nganter lo sekolah.” Jawab Wika malas.
“Oh…ngomong kek dari tadi. Sok merintah-merintah.” Komentar Anya sambil bersiap untuk naik ke atas jeep tinggi besar itu. Baru saja ia hendak meraih pintu, sebuah klakson mengagetkannya.
TIN…TIN…
Anya terkesiap. Ia langsung mengenali siapa pemilik motor besar itu walaupun wajahnya terbungkus pelindung kepala full face. Itu Nugrah.
Ngapain dia…. Jangan bilang dia mau jemput gue sekolah juga? Adu mati.
Wika yang tadinya sempat mengecek ponselnya juga jadi ikut melihat ke mana arah pandang Anya. Matanya menyipit menyadari keberadaan seseorang berseragam putih abu-abu di atas motor besar dengan wujud seperti Power Ranger itu. Pake helm.
Siapa?
Dialihkannya pandangannya ke arah Anya yang tiba-tiba saja terlihat gusar.
“Anya… masuk. “ Tegurnya.
Anya menoleh kaget.
“Eh?” Tanyanya linglung.
“Lo nggak jadi masuk? Atau pilih gue gendong?”
TIN…TIN….
Lagi-lagi bunyi klakson. Anya jadi bingung sendiri.
Aduh mati! Kalo gue ikut Wika, ntar Nugie marah. Tapi kalo gue ikut Nugie, nanti Wika tau dong kalo Nugie masih SMA.
Tanpa pikir panjang, Anya langusng ikut Wika. Urusan Nugrah nanti aja deh. Yang penting Wika dulu. Secepat kilat Wika menggas jeepnya dan meninggalkan kediaman keluarga Anya.
Nugrah yang tak menyangka akan ditinggal begitu saja kontan melotot hebat. Apaan? Sial.
****
,


Lagi-lagi postingan. Dan lagi-lagi sebagai bentuk ucapan terima kasih. Di postingan ini gue pengen ngucapin terima kasih sama temen-temen gue yang gue nggak tahu entah setan apa yang merasuki mereka sampe mereka ngasih kado ke gue.

Ceritanya begini….

Selasa, 15 April 2014. Gue bangun dengan pertanyaan apakah kuliah Perencanaan Pajak jadi dilaksanakan atau tidak. Soalnya gue nggak dapet info. Emang udah dikasih tahu sih kalo info bakal masuk Cuma kalo kuliah diundur, dimajuin, ditunda atau batal, yang artinya kalo nggak ada info masuk via SMS, berarti kuliah jadi dilaksanain. Tapi, yang bikin bingung tuh kuliah di hari selasa ini jamnya sering nggak tentu. Kadang info masuk bilang jam 8, kadang jam 9. Nah hari ini gue jadi bertanya-tanya, pastinya kuliah itu jam berapa? 8 atau 9? Atau malahan nggak kuliah sama sekali?

Akhirnya dengan menggunakan daya ingat yang super cetek, gue nginget nginget jadwal Ibu Nila, dosen yang ngajar mata kuliah satu itu. Seinget gue beliau jam 8 itu ada kelas di anak semester bawah. Oke. Jadi, dugaan gue bilang hari ini kuliah jam 9. Karena gue bangunnya jam 7 dan mengingat jam 9 baru kuliah (berdasarkan dugaan gue doang nih ya), sementara waktu yan gue perluin mulai dari siap-siap dan nyampe kampus Cuma satu jam – secara kampus gue deket gitu tinggal nyebrang jalan doang gue udah langsung ketemu fakultas teknik dan dari situ gue Cuma perlu lewatin gedung rektorat, lapangan indoor, lapangan basket plus bulu tangkis, FIS – Ilmu Sosial, dan ketemulah fakultas gue yaitu FEB – Ekonomi dan Bisnis (jauh nggak sih?), jadi gue tidur lagi. Alhasil, gue bangun jam 08.16 dan nyampe kampus telat 5 menit setelah dosen masuk. Miris. Gue salah spekulasi >_<. Untung dosennya nggak galak jadi y ague nggak dapet hukuman semisal nggak boleh ngisi absen atau disuruh keluar sekalian.

Senin, 14 April 2014

,
Ya. Persahabatn gue sama dia pun berkahir tanpa ada penjelasan sama sekali. Tanpa gue tahu salah gue apa dan dimana letaknya, dia tiba-tiba ngejauhin gue, ninggalin gue, nyuekin gue. Nggak kayak biasanya. Gue nggak bakal bilang kapan karena gue nggak mau bikin cerita ini terlalu jelas latarnya. Yang pasti gue masih inget waktunya. Nggak akan gue lupa. Intinya gitu. Gue sama dia tiba-tiba nggak jadi sahabat lagi. Dia tiba-tiba berubah. Jadi orang lain (lagi) dan akhirnya gue juga mikir mungkin lebih baik buat gue untuk juga jadi orang lain buat dia dan nganggep dia orang lain dan asing (lagi). Kayak waktu pertama kali gue liat dia nongol di asrama gue dan dikenalin sebagai murid baru. Jujur sempet nyesek banget waktu itu. Gue nyesek bahkan Cuma buat liat tampangnya. Gue jadi kayak orang patah hati walaupun sebenarnya nggak. Gue Cuma bingung kenapa dia tiba-tiba berubah dan ngejauhin gue, sekaligus bertanya-tanya apa salah gue sama dia. Serius gue nggak nyaman dan nggak akan tenang kalo bikin salah sama orang lain dan gue nggak minta maaf. Intinya gue galau pemirsahhhh….
 
Dan akhirnya sekarang…..gue dapet sahabat baru. Namanya Fidi. Oh nggak. Gue nggak suka manggil dia dengan nama itu. Namanya Dede. Gue kenal dia dengan nama Dede, jadi meskipun sekarang namanya udah berubah jadi Fidi gegara dia sekarang udah tinggal di Jogja dan menurut temen-temen barunya nama Dede itu nggak cocok buat cewek seumuran dia dan akhirnya diganti jadi Fidi, gue tetep lebih seneng manggil dia dengan nama Dede. Mungkin namanya berubah tapi orangnya nggak. Dia masih sama. Tetep Dede yang gue kenal dulu. Gue sahabatan sama dia udah hampir empat tahun tapi gue kenal dia udah hampir enam tahun lamanya. Kita mulai deket sejak gue udah agak lama jauh dari sahabat gue yang lama. Iya. Gue kenal dia juga di sekolah gue, dan dia juga anak Aliyah, dan sekelas sama sahabat gue yang lama.

Tapi gue sahabatan sama dia itu beda. Nggak ada acara tembak-menembaknya. Persahabatan gue sama dia mengalir dengan sendirinya. Mungkin itu yang bikin gue sama dia bisa tetep sahabatan sampe sekarang. Hal yang sangat gue syukuri karena dia nggak lupa sama gue meskipun keadaan gue sama dia lagi LDFR alias Long Distance Friendship Relation *ini istilah gue yang bikin sendiri jadi jangan dicopas karena itu pelanggaran hak cipta dan melanggar ketentuan perundang-undangan*
,
Gue dateng lagi dengan cerita gaje tentang kepingan dari kehidupan gue. Tepatnya masa lalu yang juga masih berlaku di masa sekarang *apa deh*. Jangan salah sangka bahwa cerita ini terinspirasi oleh film jadul alias jaman dulu Joshua Oh Joshua. Nggak sama sekali. Postingan ini nggak menceritakan tentang seorang anak dari milyarder yang hilang gegara diculik orang gila, kemudian ditemuin oleh sepasang suami istri yang hidup serba kekurangan. Ini adalah cerita tentang sahabat gue. Iya! Sahabat gue. Gue rasa ini pertama kalinya gue bikin postingan tentang sahabat gue.
 
Dulu… *berasa udah tua gue bilang nih kata*. Iya pokoknya dulu gue pernah punya sahabat. Gue nggak akan bilang siapa namanya karena persahabatan gue itu cukup ninggalin kenangan pahit. Oke lebay. Intinya ending dari persahabatn gue sama sahabat gue itu nggak enak dan cenderung bikin gue bête dan kesel sendiri kalo inget.

Waktu gue menginjak kelas XII SMK, gue pernah punya sahabat. Dia seangkatan gue juga, tapi murid baru di sekolah gue. Bedanya, dia anak Aliyah dan udah bisa dipastiin nggak sekelas sama gue. Masa anak Aliyah campur sama anak Kejuruan? Nggak mungkin kan gue pelajarin kitab bulughul maram sekaligus sama apa yang jadi jurusan gue. Bisa pecah otak gue seketika. Yah walaupun kita semua diwajibin buat punya kitab itu dan harus ikut kajiannya tiap malem kamis selepas salat maghrib. Gue nggak harus cerita kenapa aturannya kayak gitu. Pokoknya kayak gitu aja.

Gue waktu masih SMK tinggalnya di asarama. Asrama putri tepatnya, dan itu wajib buat gue yang bokap nyokap gue tinggal jauh dari sekolah gue. Gue nggak diijinin ngekost kayak sekarang karena kata nyokap gue tinggal di asaram lebih aman.

Awalnya gue nggak begitu deket dan kenal sama dia. Gue Cuma tau namanya aja. Itupun dari temen gue yang sekelas sama dia. Orangnya juga agak cuek dan nggak caper buat cari perhatian murid-murid lama. Intinya dia cukup enjoy sebagai anak baru yang awalnya temennya masih dikit. Bisa dibilang temen sekamarnya doang. Dia jadi murid baru pas kelas XI, tapi kita deketnya nanti pas kelas XII. Gue nggak tau apa yang bikin gue bisa deket sama dia. Kalo nggak salah gegara ayunan. Iya ayunan. Gue sama temen-temen seasrama gue, karena bosen biasanya pas hari libur nggak ada kegiatan apa-apa selain olahraga atau jalan-jalan ke mall itupun dengan perizinan yang agak ribet biar bisa keluar, nggak harus dijelasin seribet apa karena lo semua pasti bakal langsung geleng ogah dengernya. Jadi, dengan menggunakan otak kreatif yang dangkal ini, gue sama temen-temen gue bikin ayunan. Ayunannya sederhana doang. Cuma dari tali yang kami yakini bisa nahan berat badan kami yang dikaitin di jemuran. Iya. Jemuran pakaian di asrama. Jemuran di asrama gue emang terbuat dari apa ya namanya pokoknya tiangnya itu dari tembok yang dikasih apa ya… pokoknya bisalah buat bikin ayunan sederhana.
,
“Berita yang datang”
_Author_

Bara yang baru saja kembali ke kantor selepas makan siang dikejutkan oleh kehadiran sang mama yang sudah duduk manis di sofa ruangannya.

“Duduk!” Perintahnya ketika Bara baru saja masuk.

Dengan patuh laki-laki itu mengikuti perintah sang mama dan duduk di salah satu sofa di seberang mamanya.

“Apa kabar kamu?” Tanya mamanya.

Bara mengernyit. Maksud mama apa coba nanyain kabar? Kalo udah lama nggak ketemu sih wajar. Tapi ini, ia bahkan tinggal serumah dengan mama.

“Kamu ditanya kok malah diam?” Tanya sang mama lagi.

“Baik. Kabar aku baik. Mama?” Akhirnya diputuskannya untuk menjawab pertanyaan sang mama saja. Kelihatannya mamanya sedang dalam mood yang kurang bagus.

“Pekerjaan kamu bagaimana?” Tanya mama lagi.

“Lancar.” Jawabnya singkat. Sebenanrnya agak-agak aneh dengan pertanyaan mama. Maksudnya apa sih? Tiba-tiba nanyain kabar gue sama kabar kerjaan gue.

“Trus?” Tanya mama lagi.

Bara kembali mengernyitkan keningnya. “Maaf ma tapi maksud mama apa ya? Bara bingung.” Ujar Bara jujur. Daripada salah ngerti. Malu bertanya kan sesat di jalan.

“Yang mana yang kamu pilih?” Tanya mama lagi.

“Pilih apanya?” Bara balik bertanya

“Calon mantu mama.” Jawab sang mama singkat. Jawaban singkat yang mampu memebuat mata Bara melotot. Calon mantu? Calon mantu apa? Siapa?

“Ha?” 

“Kenapa? Kurang jelas ya?”

“Nggak. Bukan itu ma. Tapi maksud mama apa tiba-tiba dateng ke kantor, nanya kabar Bara seolah Bara udah lama nggak ketemu sama mama, nanyain kerjaan Bara, trus tiba-tiba calon mantu?”

“Loh. Kamu nggak mau menjelaskan berita di majalah itu, ya?”