Catatan harian yang semakin renta dan tua

Kamis, 25 September 2014

,

SD Kelas VI
Aku jadi tersenyum sendiri. Kenangan-kenangan itu tergambar dengan jelas di pikiranku. Berputar bagaikan rol film yang diputar di bioskop zaman dulu. Berkelabat bagaikan potongan-potongan gambar kehidupan yang bergerak cepat. Baru ku sadari, bertahun telah berlalu. Banyak yang telah  berubah. Pun kita…

Dedikasi: untuk sahabat-sahabat masa kecilku


Jumat, 19 September 2014

,
Diana meneken-nekan tombol ponselnya dengan cepat. Matanya fokus pada layar putih kosong yang semakin lama semakin terisi dengan berdert-deret huruf hitam tebal yang membentuk kalimat.

‘Kirimkan pin ATM-mu dan berapa jumlah tunai yang harus kutarik.’

Begitulah bunyi kalimat tersebut. Setelahnya, ia menekan tombol kirim, kemudian kembali pada aktivitasnya sebelumnya, menekan-nekan tombol keyboard pada laptopnya. Menulis apa yang bisa ditulisnya, menulis apa yang mampir di otaknya.

            Detik berlalu, menit berjalan, jam pun berganti. Sudah sejak dua jam yang lalu Diana menunggu, tidak ada balasan sama sekali. Menggerutu dalam hati, Diana tetap meneruskan tulisannya hingga selesai. Ingin sekali ia mengomeli orang di seberang yang tak kunjung memberikan balasan atas pesannya, tapi ia terlalu sayang pulsanya yang tinggal sedikit. Sang simcard bahkan sudah meraung minta diisi ulang, tapi ia terlalu sayang uang jajannya yang jumlahnya pun tak seberapa.

Kegiatan menulisnya selesai, dilanjutkan dengan membaca buku berbentuk file pdf yang barusan diunduhnya. Untuk membunuh bosan saat jaringan internet – yang bisa didapatkan secara cuma-cuma di kampus, tiba-tiba saja tewas. Sesekali ia tertawa, membuat Aldo, teman sekelas yang kebetulan duduk di bangku panjang fakultas tak jauh darinya bertanya apa yang sedang ia lakukan. Akan tetapi, bahkan sampai ia menyelesaikan buku kedua dengan jumlah halaman yang mencapai angka lima puluh empat, balasan yang ditunggunya tak kunjung tiba.

            Baru saja ia berniat untuk ke kantin demi mengisi perut yang sudah keroncongan, yang ditunggunya pun datang. Bukan dalam bentuk pesan melainkan dalam wujud manusia. Delta, kakak yang sejak tadi sepertinya mengacuhkan pesannya, mengajaknya ke pasar.

****
“Mau ngapain kita ke pasar?” Diana bertanya sambil berlari-lari kecil mengikuti langkah panjang Delta yang sama sekali tak tergesa.

“Mau cari cermin dan minyak tanah.” Begitu jawaban Delta. Diana ingat, Delta pernah tidak sengaja memecahkan cermin salah seorang temannya yang sering mereka gunakan di kos-kosan tempat mereka tinggal. Seingatnya kemarin mereka berencana membeli pengganti cermin dengan bingkai merah muda itu di salah satu pusat pertokoan tak jauh dari kampus. “Kalau mau cari cermin, kenapa ke pasar? Mau dibeli dimana?”

“Di kios. Dan juga, kita harus membeli minyak tanah.” Delta menjawab. Delta tahu bahwa pertanyaan Diana ini sama sekali bukan karena ia bingung harus mencari cermin di bagian mana pasar, ia hanya tidak mau ke pasar. Bau, katanya. Tapi Delta tidak mau membiasakannya. Sebagai kakak, ia harus mengarahkan Diana agar jangan sampai memuja kehidupan yang serba mewah. Mereka bukan berasal dari keluarga berada. Mereka hanya dua bersaudara dari suami istri yang hidup sederhana.

            Diana hendak protes, tapi tidak sempat. Delta sudah terlanjur memanggil Abang tukang becak yang mangkal tak jauh dari sana dan menyebutkan kemana destinasi perjalanan mereka. ‘Ke pasar, Bang.’

****
Hanya butuh waktu lima belas menit mereka sampai di pasar. Sambil mengucapkan terima kasih, Delta menyerahkan satu lembar uang lima ribu rupiah pada si Abang tukang becak. Ia menerimanya dengan senyum sumringah dan mengucapkan terima kasih kembali.

           Delta mengajak Diana berputar-putar di dalam pasar setelah sebelumnya singgah di tukang sol sepatu di pinggir jalan. Menyerahkan sepatu yang sudah tidak bisa dipakai karena sobek, untuk diperbaiki. Kemudian masuk ke dalam pasar. Melewati kios kios pakaian, sepatu, tas bahkan tukang penjual ikan. Masuk dari lorong yang satu dan keluar di lorong yang lain. Tapi cermin yang dicari tak juga ditemukan.

“Mau cari dimana sih?” Diana mulai sebal. Hidungnya sudah mulai mencium bau tak sedap yang membuatnya mual, yang ternyata berasal dari daging sapi yang digantung di salah satu kios tak jauh dari mereka.

“Ikut saja.” Begitu jawaban Delta. Membuat Diana gemas dibuatnya, tapi tidak serta merta bisa mengomel. Ia dan Delta diperhatikan banyak orang. Penjaga-penjaga kios yang sepertinya sudah gerah melihat mereka hanya lewat dan tidak mau mampir meskipun sudah ditawarkan.

            Entah di lorong ke berapa, mata Diana tak sengaja menangkap cermin berukuran sama seperti milik teman Delta di salah satu kios yang menjual peralatan dapur dan peralatan bersih bersih. Ditunjuknya kios itu dan Delta setuju untuk singgah. Setelah melakukan penawaran sebentar, akhirnya mereka mendapatkan cermin lonjong dengan bingkai hijau cemerlang itu di tangan.

Kembali Delta mengajak Diana berputar-putar. Keluar masuk lorong lagi. Cari minyak tanah. Diana tidak tahu berapa lama ia dan Delta kesana kemari di dalam pasar. Tak terhitung lagi berapa kali mereka menemui jalan buntu. Tapi Delta tidak menyerah pada pencarian minyak tanahnya. Ia dan Diana membutuhkannya untuk memasak. Kompor mereka sudah kering. Sumbu sudah meronta-ronta minta direndam, minta dimandikan.

            Diana hanya bisa setia mengekori Delta. Ia tidak mungkin meninggalkan Delta disini karena ia sendiri sudah bingung harus keluar lewat mana. Matanya hanya menemukan lorong dan lorong. Seperti labirin yang membingungkan, tidak ada jalan keluar.

Betapa bersyukurnya Diana saat Delta menemukan kios yang menjual minyak tanah. Akhirnya sebentar lagi ia akan keluar dari semi-labirin ini. Tanpa menawar, setelah membandingkan harga minyak tanah disini dan yang beberapa hari lalu disebutkan Ayahnya, Delta membayar. Dan Diandra mendapat kehormatan untuk menenteng minyak tanah yang ditampung dalam botol air mineral satu liter itu.

            Tanpa protes, Diana mengiyakan. Yang penting keluar dari sini. Tidak peduli mau dia terlihat aneh atau tidak menenteng botol yang diikat tali plastik seperti ini. Namun, untuk pertama kalinya, satu kios menarik perhatian Diana. Dimintanya Delta untuk mampir sebentar dan melihat-lihat. Kios pernak-pernik khas gadis remaja. Dan Delta sama sekali tidak keberatan. Ditemaninya Diana yang tiba-tiba berubah antusias itu. Sesekali ia menanyakan pendapat Delta yang hanya menjawabnya dengan kata ‘terserah, ambil saja kalau suka dan cepat’. Membuat Diana cemberut sebentar, lalu tersenyum lagi, asyik memilih lagi.

Setelah beberapa lama menunggu, pilihan Diana jatuh pada dua buah ikat rambut dan sepasang jepit rambut. Diana membayar sejumlah yang disebutkan penjaga kios, lalu mengajak Delta keluar dari sana.
Sebelum kembali menggunakan jasa Abang tukang becak, Diana dan Delta kembali menemui tukang sol sepatu.

Sol sepatu Mana Suka. Itulah yang pertama kali ditangkap mata Diana begitu tiba disana. Sepatu Delta sedang dalam proses penjahitan. Ia dan Delta memutuskan untuk menunggu dengan duduk di bangku kayu tua reyot yang memang sudah disediakan untuk para pelanggan.

Mereka duduk sambil menatap hiruk pikik jalan di depan. Orang-orang yang berlalu lalang, Abang tukang becak yang mangkal, kios kecil yang dijaga oleh seorang nenek berambut putih, yang membuat Diana bertanya dalam hati: dimana anak-anaknya berada?

            Sesekali Diana mengamati tukang sol sepatu Mana Suka. Seorang lelaki tua, berrambut tipis, berkumis tipis pula, berkulit hitam dengan tangan yang sudah mengerut, serta tulang yang menyembul dari kulitnya yang renta. Di sampingnya, duduk seorang laki-laki muda dengan rambut yang sedikit diberi warna kuning pada bagian ubun-ubunnya, membuatnya terlihat seperti bulu-bulu ayam. Mungkin ia seumuran dengan Delta. Sepertinya ia anak si lelaki tua ini. Di hadapan keduanya, terdapat sebuah meja yang digunakan untuk menampung berbagai macam benda. Gelas bening berisi kopi tubruk dengan penutup plastik berwarna hijau, benang nilon berbagai warna, kotak makanan berwarna merah muda dibalut kresek berwarna hijau, sepatu sepatu yang ditumpuk, dan lainnya yang Diana sendiri tidak tahu namanya.

Sepatu Delta memang sudah sobek, tapi bahan telapaknya terbuat dari bahan yang cukup keras. Diandra bergidik setiap kali melihat si pak tua menacapkan benda entah apa namanya untuk menjahit sepatu Delta. Tangan itu begitu kurus, begitu keriput, terlihat begitu rapuh, namun masih cukup kuat untuk melaksanakan pekerjaannya. Diana jadi teringat Ayahnya di rumah. Beliau memang masih tergolong muda. Otot tangannya masih kuat. Otot yang sama sekali bukan hasil dari fitness melainkan dari kegigihannya memikul apa yang bisa dipikulnya, otot yang suatu saat nanti akan menemui ambang batasnya, keriput dan renta pula. Ayahnya hanya seorang petani biasa dan ia sadar, pendapatan seorang petani itu tidak seberapa.

Berapa banyak beban yang telah dipikul Ayahku demi menyekolahkanku?

Dialihkannya tatapannya dari si lelaki tua. Tidak mau terlalu lama memperhatikan dan tidak mau nantinya diperhatikan. Tidak mau orang-orang berpikir bahwa ia merasa kasihan karena memang bukan rasa itu yang terbit di hatinya. Ia tidak kasihan, tapi ia merasa sayang. Hatinya terenyuh melihatnya. Sementara Delta, sejak tadi kakak laki-lakinya itu hanya menatap ke depan, ke jalanan, sambil sesekali mengomentari siapa saja yang lewat di depannya. Entah itu para buruh angkut yang sejak tadi berseliweran, bahkan seorang wanita dengan penampilan aneh namun masih dengan make-up rapi ala ibu ibu arisan.

Masih menunggu, seorang ibu turun dari motornya dan menghampiri Sol Sepatu Mana Suka. Ia mengeluarkan sepasang sepatu laki-laki – mungkin sepatu anaknya, menyerahkannya pada si lelaki tua, minta diperbaiki. Sebelum beranjak dari sana, kembali dengan motornya, ia sempat melakukan penawaran, berapa harga yang hendak diminta oleh si tukang sol sepatu untuk penjahitan sepatunya.

            Diana menghela napas mendengarnya. Menawar? Astaga! Masih bisa ibu itu menawar saat ia bisa pulang menggunakan kendaraan beroda dua yang dibantu mesin, sementara kedua lelaki ini mungkin hanya bisa pulang menggunakan sepeda butut yang terparkir di belakang bangku yang kini diduduki Diana dan Delta, atau mungkin berjalan kaki.

Hari semakin sore. Angin semakin kencang bertiup. Debu-debu berterbangan, membuat Diana sesekali menutup matanya demi menghindari kelilipan. Seng tua yang digunakan sebagai peneduh tempat mengais rejeki juga sudah berbunyi tak karuan sejak tadi. Delta bahkan sudah bertanya-tanya apakah seng ini akan jatuh menimpa mereka atau tidak.

Dari menara masjid tak jauh dari mereka sudah mulai terdengar bacaan ayat-ayat suci. Ayat-ayat Tuhan yang sengaja diperuntukkan bagi umatnya. Sebagai petunjuk dan pedoman dalam menjalani kehidupan. Sambil menikmati lantunan ayat suci dan mengikutinya dalam hati, telinga Diandra mendengar suara yang sama dari arah yang berlawanan dari masjid. Suara laki-laki. Diana menoleh. Betapa terkejutnya dia saat mendapati siapa laki-laki yang sedang ikut mengaji itu. Si laki-laki dengan rambut bulu ayamnya.

            Tanpa memperdulikan sekelilingnya, ia mengikuti bacaan ayat Al-Qur’an. Sambil menunduk, menjahit sepatu, ia mengaji. Surat At-Takwir. Dalam hati Diana berseru. Menyeru puja dan puji. Betapa cinta Tuhan begitu besar.

Mungkin laki-laki itu tidak dianugerahi materi yang berlebih, mungkin saja mereka hidup serba bersabar dan serba kekurangan. Tapi Tuhan tidak serta merta membiarkannya. Tuhan anugerahkan padanya bapak ibu bertanggung jawab yang tidak melupakan kewajibannya mengajarkan salah satu ilmu terpenting dalam hidup ini. Mengajarkannya cara membaca kitab, mengajarkannya membaca pedoman hidup.

Adzan berkumandang. Sepatu Delta pun telah selesai diperbaiki, sudah bisa dipakai lagi. Selembar uang dua puluh ribuan Delta serahkan pada si lelaki tua. Abang tukang becak sudah menunggu untuk mengantar mereka pulang, meninggalkan Sol Sepatu Mana Suka.

Rabu, 17 September 2014

,

“Ada apa?” Vienna mejatuhkan dirinya di kursi di depan Ken. Hari ini hari minggu dan Ken mengajaknya untuk bertemu di salah satu kedai kopi tak jauh dari Stasiun Ebisu. Memang, sudah seminggu ini mereka tidak pernah bertatap muka ataupun bertukar kabar via e-mail atau pesan singkat. Kesibukan pekerjaan benar-benar menyita waktu.

Sejak Ken debut sebagai salah satu penyanyi rock di Jepang, intensitas pertemuannya dengan Vienna jadi berkurang. Apalagi saat Vienna sudah bekerja sebagai salah satu dokter di rumah sakit Matsuzawa, rumah sakit yang dikhususkan bagi orang-orang dengan tekanan mental yang terlalu tinggi hingga menyebabkan depresi. Tentu saja pekerjaan sebagai dokter bukanlah pekerjaan yang mudah apalagi pasien yang ditangani adalah pasien yang bisa mengamuk kapan saja.

“Eh?” Ken yang sejak tadi melamun terkejut dengan kehadiran Vienna.

“Kau terlihat sedang memikirkan sesuatu. Ada apa?”  Vienna kembali bertanya.

“Iie.”  Jawab Ken. “Aku hanya sedang mengenang masa lalu.”

“Hontou ni?” Sambut Vienna antusias. Ditatapnya Ken dengan mata berbinar. “Bagian mana yang kau kenang?”

“Aku sedang mengenang saat aku pertama kali bertemu denganmu. Kau tahu, sejak saat itu aku sudah terpesona padamu.” Tutur Ken sambil mengedipkan mata ke arah Vienna. Vienna hanya tertawa melihatnya. “Bagaimana kabarmu?” Tanyanya kemudian.

“Seperti yang kau lihat. Aku masih tetap sama.” Jawab Vienna sambil menyeruput kopinya.

“Tidak merindukanku?” Ken menatap Vienna dengan ekspresi tak percaya.

“Iie. Jika aku merindukanmu, aku bisa mengenang masa lalu.” Jawab Vienna enteng. Ken tersenyum kecil sambil menggelengkan kepala mendengar jawaban Vienna “Bagaimana pekerjaanmu?”

“Aku sedang mempersiapkan single terbaru tahun ini. Doakan saja. Semoga ini bisa menjadi batu lompatan bagiku untuk bisa mengeluarkan album secepatnya.” Jawab Ken.

“Kau tahu, Kenichi…kalimat itu sudah dua kali aku dengar darimu.” Ledek Vienna. Ken adalah seorang penyanyi pendatang baru di industri musik Jepang. Ia sudah memulai debutnya sejak dua tahun yang lalu akan tetapi sampai saat ini ia masih bertahan dengan mengeluarkan single.

“Aku tahu itu adalah kalimat penyemangat darimu.” Ujar Ken sambil tersenyum bangga. Vienna kembali tertawa. Memang benar apa yang Ken katakan. Itu adalah kalimat penyemangat ala Vienna. Ia sudah sangat mengenal gadis itu. Mereka sudah bersahabat sejak masih menempuh pendidikan di bangku kuliah. Vienna yang merupakan mahasiswi penerima program beasiswa di Jepang sangat bersyukur bisa bertemu dengan Ken saat itu. Meskipun tidak kuliah di kampus yang sama, Ken adalah orang yang selalu membantunya bahkan bersedia memperkenalkannya pada setiap sudut kota Tokyo. “Bagaimana denganmu? Masih tetap pada prinsipmu itu?”

Vienna mengangguk. Ia mengerti prinsip yang mana yang Ken maksud.

“Tidakkah ada yang bisa membuatmu mematahkannya?”

“Entahlah. Sepertinya aku memang akan lebih bahagia jika sendiri.”

****
Ken meletakkan gitarnya dengan wajah lelah. Jawaban Vienna atas pertanyaannya beberapa hari yang lalu terus mengusiknya. Ia tidak mengerti apa yang dipikirkan gadis itu. Bertahun-tahun mengenal Vienna, ia sama sekali tidak pernah tahu apa yang membuat gadis itu tidak ingin jatuh cinta.

Dulu, saat pertama kali mendengar pengakuan Vienna tentang hal ini, Ken sama sekali tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang serius. Ia pikir, Vienna hanya baru saja mengalami patah hati yang benar-benar parah sampai berpikir seperti itu. Dan iya yakin, hal itu akan berubah seiring berjalannya waktu. Tapi ternyata ia salah. Sampai sekarang, Vienna tetap teguh pada prinsipnya. Ia tetap tidak ingin jatuh cinta hingga tidak menyadari bahwa secara perlahan namun pasti perasaan Ken padanya telah berubah.

“Ina-chan… aku harus bagaimana?”

****

“Vienna-san!” Langkah Vienna terhenti begitu mendengar namanya dipanggil. Seketika ia menoleh dan didapatinya Aika Hayashi, rekan sesama dokternya sedang berjalan menghampirinya. “Hayashi-san, ada apa?” Tanyanya begitu Aika sampai di depannya.

“Aku dengar kau meminta tugas jaga di kamar Kiyomizu-san lagi hari ini?”

“Iya. Bagaimana kau bisa tahu?”

“Aku dengar dari teman-teman. Mereka sibuk membicarakannya.”

Vienna hanya menggeleng kemudian tertawa kecil mendengar jawaban Aika. “Aku tidak menyangka bahwa di antara dokter rumah sakit jiwa seperti kita masih ada yang suka bergosip.” Komentar Vienna sambil kembali berjalan.

Aika Hayashi ikut tertawa mendengarnya. “Apa kau tidak takut?” Tanyanya kemudian.

“Takut bagaimana? Kau tahu, kan pasien kita disini sama saja.”

“Bukan begitu. Maksudku…kau sudah lupa apa yang pernah ia lakukan padamu?”

Memang, Eri Koyimizu, salah satu pasien yang terdaftar di rumah sakit ini pernah melakukan penyerangan terhadap Vienna. Tapi Vienna sama sekali tidak takut. Lagipula. pemandangan seorang dokter rumah sakit jiwa diserang oleh pasiennya sendiri bukanlah sesuatu yang tabu. Itu bisa saja terjadi dan Vienna memakluminya.

“Aku tidak lupa! Tidak akan pernah lupa.”

****

Sudah hampir seminggu sejak terakhir kali Ken bertemu dengan Vienna tapi seperti sebelum-sebelumnya, jawaban Vienna masih setia menggelayuti pikirannya. Otaknya benar-benar tidak bisa bekerja dengan benar. Entah sudah yang keberapa kalinya ia menanyakan pertanyaan yang sama terhadap Vienna tetapi jawaban gadis itu selalu saja sama. Lebih bahagia jika sendiri. Sampai kapan ia akan terus begitu?

“Masih tidak menemukan cara untuk menaklukkan gadismu?” Kepala Yukino Miyuzaki, personel salah satu band rock yang cukup terkenal di Jepang, yang merupakan salah satu teman seperjuangan Ken, menyembul dari pintu apartemen.

Ken memilih tidak menjawab. Ia sudah bosan dengan pertanyaan ini. Hampir setiap hari Yukino menanyakan hal ini padanya tanpa sama sekali berniat untuk mendengar jawabannya. Memang, Yukino adalah satu-satunya orang yang tahu bagaimana sebenarnya perasaan Ken terhadap Vienna. Ia adalah satu-satunya saksi yang tahu bagaimana proses sahabat jadi cinta yang dialami oleh Ken dan betapa prinsip Vienna benar-benar menghambatnya untuk mewujudkan cintanya itu. Namun, selama ini, tak pernah sekalipun Yukino memberikan saran maupun komentar. Ia hanya selalu mengejek Ken dengan pertanyaan menyebalkannya seperti tadi.

 “Tanyakan saja.” Ujar Yukino yang kini sudah duduk di salah satu sofa tak jauh dari Ken.

“Eh? Nani?”

“Yeah alasan kenapa gadismu itu tak ingin jatuh cinta.” Jawab Yukino sambil mengedikkan bahu. Tidak ingin jatuh cinta. Itulah prinsip Vienna. Ken tahu hal ini begitu pula Yukino. Bahkan bisa dibilang, hampir semua laki-laki yang dulu pernah menyatakan cinta pada Vienna tahu bahwa gadis itu tak ingin jatuh cinta karena memang itulah satu-satunya jawaban yang selalu Vienna lontarkan sejak dulu, saat ada laki-laki yang berniat untuk menitipkan sebagian hatinya untuk Vienna.

“Kenapa kau tiba-tiba menyarankan hal seperti ini?” Tanya Ken heran. “Seingatku, sejak dulu kau tidak pernah peduli.”

“Aku hanya merasa kau harus segera memastikan nasib perasaanmu.”
****

Vienna meringis tertahan saat Aika mengompres lebam di wajahnya. Hari ini, Eri Koyimizu kembali mengamuk. Seperti kerasukan setan, wanita paruh baya itu menyerang Vienna yang saat itu berkunjung ke kamarnya. Dan kali ini, insiden penyerangan itu meninggalkan jejaknya di salah satu pipi Vienna.

“Aku rasa sebaiknya kau jangan berjaga di kamar Koyimizu-san lagi.” Ujar Aika sambil membereskan kotak obat-obatan yang tadi ia gunakan. “Tidak. Aku akan tetap berjaga disana.” Dengan pasti Vienna menolak gagasan itu.

“Vienna-san. Aku tahu sudah sepantasnya kita sebagai dokter tidak memilih siapa pasien yang mau kita tangani dan siapa yang tidak. Tapi dalam kasus ini, hal-hal berbahaya bisa saja terjadi. Kita tidak pernah tahu apa yang dipikirkan oleh wanita itu. Setidaknya, untuk beberapa hari ini kau tidak perlu mengunjunginya dulu. Aku akan menggantikanmu. Aku lihat, sepertinya dia bisa sedikit lebih tenang jika dokter lain yang menanganinya.” Aika menasihati Vienna panjang lebar. Vienna terdiam. “Ah sumimase… aku tidak bermaksud mengatakan bahwa Koyimizu-san tidak menyukaimu. Aku hanya… Vienna-san, maafkan aku. Aku juga tidak mengerti kenapa ia selalu saja tidak menyukai kehadiranmu bahkan sampai memaki-makimu dan menyerangmu seperti ini.” Vienna tersenyum mendengarnya. “Tidak apa-apa Hayashi-san. Aku mengerti maksudmu. Kau tidak perlu meminta maaf seperti itu.” Ujarnya kemudian. “Kau benar. Sepertinya untuk beberapa hari ke depan, aku harus menjaga jarak dulu dengannya.”

****
Vienna sedang dalam perjalanan pulang ke apartemennya yang terletak di Setagaya-ku saat ponselnya berbunyi. Ada panggilan dari…Ken? Kenapa Ken meneleponnya? Bukankah laki-laki itu sedang sibuk dengan persiapan single terbarunya? Dan lagi, ini bukan hari libur. Buru-buru Vienna mengangkat panggilan telepon itu.

“Moshi-moshi”

“Moshi-moshi. Ina-chan, doko ni?

“Eki Chitose-karasuyama.”

“Kau akan pulang? Pekerjaanmu sudah selesai?”

“Hai.”

“Bisakah kita bertemu? Ada hal penting yang ingin aku bicarakan.”
****

“Apa yang terjadi dengan wajahmu?” Tanya Ken khawatir saat mendapati lebam di pipi kiri Vienna.” Mereka memutuskan untuk bertemu di Yebisu Garden Place, salah satu tempat wisata yang terletak di lingkungan Ebisu, Shibuya. “Daijobu. Hanya kecelakaan kecil.” Jawab Vienna.

“Kecelakaan? Bagaimana bisa?”

“Yeah seperti yang kau tahu. Pekerjaanku…”

“Maksudmu kau diserang?” Sela Ken histeris. Matanya sipitnya sampai melotot. Vienna tertawa melihat ekspresi Ken. “Daijobu. Kau tidak perlu histeris seperti itu. Matamu sudah mau lompat dari tempatnya.” Candanya. Ken ikut tertawa mendengarnya. “Lalu, katamu ada yang ingin kau bicarakan. Nani?” Tanya Vienna. “Bukankah kau sibuk mempersiapkan single terbarumu? Harusnya kau mengatakannya di telepon saja.” Ken terdiam mendengar pertanyaan Vienna. Sebenarnya ia bingung bagaimana harus memulainya, tapi seperti yang Yukino katakan, ia harus segera memastikan nasib perasaannya. Maka dari itu, hari ini ia memutuskan untuk mengakui perasaannya pada Vienna. “Ehem…” Ken berdehem sedikit untuk menormalkan suaranya. “Ina-chan, sebenarnya aku bingung harus memulai dari mana tapi…” Ken menarik napasnya dalam-dalam lalu melanjutkan. Ia benar-benar gugup sekarang. “Dulu saat pertama kali kau mengatakan bahwa kau tidak ingin jatuh cinta, aku sama sekali tidak terkejut bahkan menganggap bahwa apa yang kau katakan hanya sebuah bentuk pelampiasan sakit hatimu pada seseorang yang mungkin pernah mengecewakanmu. Aku yakin suatu saat nanti gagasanmu itu akan berubah. Tapi ternyata sampai seminggu yang lalu aku kembali menanyakan tentang prinsipmu itu, kau masih tetap sama. Kau masih tetap tidak ingin jatuh cinta. Aku tidak mengerti dengan apa yang kau pikirkan dan aku juga sama sekali tidak tahu kenapa kau sampai berpikiran seperti itu.”

“Aku tidak akan bertanya apa alasannya tapi jika ada seseorang yang mencoba untuk mematahkan prinsipmu itu, apakah kau akan mengijinkannya? Apakah kau akan memberinya kesempatan?” Tanya Ken sambil menatap Vienna penuh harap. “Maksudmu?”

“Sukidayo.”
****
Ken kembali menatap wajah tersenyum Vienna di layar laptopnya. Hari ini tepat dua tahun setelah pertemuan terakhirnya dengan gadis itu. Ken ingat, sesaat setelah ia mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya pada Vienna, gadis itu langsung pergi meninggalkannya tanpa mengucap sepatah katapun. Seminggu kemudian, ia mencoba menghubungi ponselnya tapi tidak aktif. Ken bahkan sudah mencari gadis itu ke apartemennya tapi sesampainya disana ternyata ia sudah pindah entah kemana. Ia juga sudah berusaha menghubungi rekan kerja Vienna tapi mereka sama sekali tidak tahu dimana keberadaannya. Sampai akhirnya setelah enam bulan dengan pencarian yang melelahkan ia mendapat kabar bahwa Vienna telah kembali ke Indonesia. Ken akhirnya memutuskan untuk menemui Vienna di Jakarta setelah proyek single terbarunya selesai. Akan tetapi, sesampainya di Jakarta, sama sekali bukan wajah Vienna yang menyambutnya melainkan Haris, paman Vienna dari keluarga ayahnya yang hanya menyerahkan sekeping DVD, kenangan terakhir yang Vienna tinggalkan, untuk Ken.

****
Ken berdiri di atas panggung sambil menatap ribuan penonton yang sejak satu jam yang lalu bersorak dan bernyanyi bersamanya di Tokyo Dome. Malam ini, konser tunggal pertama Ken dilaksanakan. Setelah berjuang dengan segenap kemampuan yang dimilikinya, akhirnya ia bisa mengeluarkan album perdana dan menuai kesuskesannya. “Saya sangat berterimakasih kepada kalian semua yang sudah mendukung saya selama ini. Tanpa kalian, saya tidak bisa berdiri di panggung ini.” Ujarnya.

“Saya akan mempersembahkan sebuah lagu untuk seseorang. Seseorang yang telah pergi meninggalkan saya bersama berjuta kenangan tentangnya. Seseorang yang akan selalu menjadi bintang bagi saya dimanapun dia berada. Seseorang yang saya cintai, Vienna.”

You flew away
Before I could say
Taken away before your time
Up into the clouds

Koko kara ja mienai mieru hazu mo nai
Ikutsu no yoru o koete mo mou kimi ni wa aenai

Now you’re gone
You left your song
What can I do with this pain
Don’na uta o kuchizusamu?
I hope you’re smiling down

Now you’re gone
You’re really gone
Ayumubeki michi wa
Mou tagaini chigaukara
Face the truth
I will just Sing for you

Itsu datte sou nan no maebure mo naku
Fui ni bokura kara subete ubatta ato
Kanashimi de namida ga afureru

Time just left you behind
And I don’t know why
How can I accept
Something I don’t understand

Now you’re gone
You left your song
What can I do with this pain
Don’na uta o kuchizusamu?
I hope you’re smiling down

Now you’re gone
You’re really gone
Ayumubeki michi wa
Mou tagaini chigaukara
Face the truth          
I will just Sing for you

Now you’re gone
You left your song
What can I do with this pain
Don’na uta o kuchizusamu?
I hope you’re smiling down

Now you’re gone
You’re really gone
Ayumubeki michi wa
Mou tagaini chigaukara
Face the truth          
I will just Sing for you

(Smiling Down – One Ok Rock)
****
“Nakamura Kenichi…Kenichi Nakamura. Anak pertama dari keluarga Nakamura. Genki? Aku harap kau baik-baik saja. Aku disini juga baik-baik saja. Maaf mengganggu waktumu sebentar. Aku tahu kau pasti sudah sangat sibuk sekarang. Tapi, sesibuk apapun jangan lupa untuk tetap menjaga kesehatanmu, ya.”

“Sejujurnya aku malu melakukan hal seperti ini. Pasti wajahku terlihat sangat aneh di kamera haha.”

“Ken-chan, aku minta maaf atas sikapku padamu tempo hari. Aku terlalu terkejut dengan pengakuanmu. Aku sama sekali tidak menyangka kau akan jatuh cinta padaku. Aku benar-benar minta maaf sudah berbuat sekejam itu.”

“Kau tahu, Ken-chan. Sejak dulu, aku selalu ingin menceritakan hal ini padamu. Tapi aku takut, kau akan menjauhiku setelah mendengarnya. Tapi kali ini aku akan menceritakannya. Ibuku adalah seorang wanita Jepang yang menikah dengan seorang laki-laki dari Indonesia. Mereka dipertemukan saat sama-sama menempuh pendidikan di Universitas Tokyo. Cinta yang tumbuh di hati keduanya membuat mereka memutuskan untuk menikah bahkan saat masih sama-sama berstatus sebagai mahasiswa. Bertahun-tahun mereka menjalani kehidupan di Tokyo dengan penuh kebahagiaan. Hingga akhirnya Ayah memutuskan untuk pulang ke Indonesia dengan membawa serta anak dan istrinya yang memang sudah menjadi seorang yatim piatu. Kehidupan berjalan normal sampai pada suatu ketika Ayah diberhentikan dari tempatnya bekerja di Jakarta. Perusahaan mengalami pailit dan dengan sangat terpaksa harus memutuskan hubungan kerja dengan para karyawannya. Ibuku marah besar. Ia tidak terima Ayah dipecat. Hampir setiap hari pertengkaran terjadi di rumah. Sedangkan aku hanya bisa menangis. Lalu kemudian bencana itu datang. Ibu berselingkuh dengan pria yang tak lain adalah mantan pacarnya semasa SMA. Laki-laki itu datang dan menggoda Ibu dengan sejuta materi yang dimilikinya. Ibu meninggalkanku, meninggalkan Ayah dan kembali ke Jepang bersama laki-laki itu. Sejak saat itu, Ayah  berubah. Ia jadi pemarah dan suka mabuk-mabukan. Pekerjaan baru tak kunjung didapatkan. Hingga suatu hari, Ayah juga meninggalkanku. Ia tertabrak kontainer saat baru saja pulang dari acara mabuk-mabukannya.”

“Kau masih ingat lebam di wajahku saat terakhir kali kita bertemu? Waktu itu aku baru saja diserang oleh seorang pasien. Namanya Eri Koyimizu. Dia adalah ibu kandungku. Kau pasti terkejut mendengar Ibuku adalah salah satu pasien rumah sakit jiwa. Tapi begitulah kenyataannya. Laki-laki yang datang menjemputnya, menggodanya dengan segala yang dimilikinya ternyata hanya memanfaatkannya. Sesampainya di Jepang, ia sama sekali tidak menikahi dan membahagiakan Ibuku seperti yang dijanjikannya. Ibuku dijual pada laki-laki hidung belang hingga akhirnya ia mengalami stres dan berakhir gila.”

“Kau tahu, alasan aku memilih beasiswa ke Jepang adalah harapan bahwa aku bisa bertemu dengan Ibuku. Meskipun ia meninggalkanku, aku sama sekali tak membencinya. Ia adalah satu-satunya yang tersisa dari apa yang aku miliki. Tapi, ketika aku sampai di Tokyo, ternyata ia sudah tidak bisa mengenaliku. Itulah alasan kenapa aku membentengi hatiku selama ini. Aku tidak ingin jatuh cinta karena aku takut berakhir seperti kedua orang tuaku. Dan ternyata sepertinya Tuhan mempermudah jalanku.”

“Satu tahun yang lalu aku divonis mengidap kanker ovarium. Aku minta maaf tidak pernah menceritakannya padamu. Itu kulakukan karena aku tidak ingin membebanimu. Aku tahu seberapa pedulinya kau padaku dan aku tidak mau kau membuang waktumu dengan mengkhawatirkanku. Aku ingin kau tetap meneruskan impianmu untuk menjadi penyanyi terkenal di Jepang.”

“Ken-chan kau adalah laki-laki terbaik yang pernah aku temui. Maafkan aku tidak bisa mencintaimu. Aku yakin suatu saat nanti kau akan menemukan wanita yang benar-benar bisa menyerahkan seluruh hatinya untukmu. Berbahagialah. Anata no yume no tame ni rÄ«chi.”

Kamus:
Iie = Tidak
Doko ni = Dimana
Eki Chitose-karasuyama = Stasiun Chitose-karasuyama
Hai = Iya
Daijobu = Aku baik-baik saja
Bokuwa anata suki da = Aku menyukaimu/Aku suka kamu/Aku cinta kamu
Anata no yume no tame ni richi = Gapailah impianmu
Honto ni = Benarkah?