Catatan harian yang semakin renta dan tua

Selasa, 31 Januari 2017

,
Judul Buku: Eleanor & Park
Penulis: Rainbow Rowell
Penerbit: PT. Ufuk Publishing House
Tahun Terbit: 2013
Penerjemah: Sofi Damayanti
Editor: Maya Lestari
Design Cover: Expert Toha
Setter Layout: Emil Salim
ISBN: 978-602-7689-49-7
Rating: 4/5


"Aku jatuh cinta seperti ketika jatuh tertidur. Perlahan-lahan lalu teradi begitu saja."

Park pikir hal yang menyenangkan yang bisa dilakukannya di dalam bus sekolah adalah mendengarkan The Smiths lewat headphone-nya atau membaca X-Men. Sampai ketika anak baru itu naik ke bus. Rambut gadis itu gila-gilaan, merah terang dan sangat keriting. Dia berpakaian seolah dia ingin orang-orang melihatnya. Kemeja pria kotak-kotak, dengan setengah lusin kalung aneh di leher, dan syal-syal yang digelangkan di tangan.


Anak Asia aneh. Eleanor cukup yakin anak itu orang Asia. Meskipun begitu, sulit memastikan Asia mana tepatnya. Mata anak itu berwarna hijau. Dan kulitnya bagaikan sinar matahari yang menembus lelehan madu.

****

Hidup Eleanor berantakan. Sejak ibu dan ayahnya bercerai dan ibu membawa Richie si pemabuk brengsek ke dalam kehidupan mereka. Memutuskan untuk kabur ternyata tidak menyelesaikan masalah, Ibunya tak mencarinya dan Richie jadi semakin membencinya. Hingga saat ia kembali, ia yakin Richie ingin membunuhnya. Statusnya sebagai anak baru dengan penampilan aneh dan porsi tubuh kebesaran membuat ia kerap jadi sasaran bully Tina dan komplotannya. Steve yang setengah raksasa bahkan tak menyadari bahwa dirinya lebih besar dari Eleanor. 

Hingga suatu hari, anak Asia itu - Park namanya, menyelamatkannya dari kecanggungan di dalam bus sekolah. Meski dengan umpatan dan memalingkan muka, Park mengizinkannya duduk di kursi di sampingnya dengan membuat jarak enam inchi di antaranya.

Kebiasaan Park membaca komik dan kebosanan yang mendera Eleanor di dalam bus pada akhirnya secara perlahan telah menjadi jembatan penghubung berkembangnya perasaan nyaman dan rasa ingin berbagi dalam diri Park. Dipinjamkan Watchmen, rekaman kaset dengan lagu-lagu yang menjadi favoritnya, hingga telapak tangan yang bersedia mengenggam tangan Eleanor sepanjang perjalanan.

****

Akhirnyaaaa bisa juga baca buku ini. Berbagai macam penghargaan yang disabet ternyata mampu menerbitkan rasa penasaran saya akan kisah dua orang dengan latar belakang budaya dan sejarah keluarga yang teramat berbeda ini. Eleanor dengan bintik-bintik pada wajahnya dan Park dengan kulit Asianya.

Berdasarkan rekomendasi teman-teman saya, buku ini memang worth untuk dibaca. Sepanjang cerita kita akan disuguhkan kisah hidup Eleanor yang sungguh menyayat hati dan memunculkan rasa iba. Menjadi korban broken home dan Ayah tiri yang jahat - yang layak diberi titel tukang pukul, hidup Eleanor seolah selalu jauh dari kata bahagia. Bahkan adik-adiknya pun mengkhianatinya dengan memanggil Richie dengan sebutan Ayah. 

Hidup serba kekurangan, dengan penampilan aneh dan berantakan, kehadiran Park seolah bentuk kasih sayang Tuhan yang masih disediakan bagi orang-orang malang. Tinggal di rumah hangat dan keluarga yang lengkap tak lantas membuat Park meninggalkan Eleanor. Bahkan keanehan gadis besar berambut merah itulah yang membuat Park jatuh hati.

Dengan ketebalan sekitar 400 halaman, kita disuguhkan POV bergantian antara Park dan Eleanor namun menggunakan sudut pandang orang ketiga. Selalu ada timbal balik, semacam perbandingan pergulatan batin antara Park dan Eleanor sehingga kita akan mendapatkan diri paham dengan apa yang keduanya rasakan. Buku ini memang memiliki Eleanor & Park sebagai tokoh utamanya.

Walau hidup dalam  kepahitan, kisah cinta yang ada dalam buku ini terjalin dengan sangat manis. Apalagi pemicu detak jantung mereka yan secara perlahan seirama, buat saya adalah hal yang istimewa. Lewat musik dan buku-buku cerita. Buku ini akan mendapatkan 5 bintang kalau saja terjemahannya bisa sedikit lebih baik. Ada beberapa terjemahan yang menurut saya kurang tepat, atau kurang pas saat dibaca. Mungkin karena saya baca versi ebooknya dan memang ada versi lain (kalau dilihat dari sampul, tidak tahu apa penerbit dan penerjemahnya sama atau tidak).

Juga endingnya buat saya kurang ngena dan terasa dipaksakan. Walau begitu, buku ini saya rekomendasikan untuk dibaca, ia mengajari kita tentang bagaimana mensyukuri hidup karena di luar sana pasti ada yang hidupnya lebih memperihatinkan daripada kita.

Jumat, 20 Januari 2017

,
Judul Buku: Cermin
Penulis: Minona
Penerbit: Penerbit Bhuana Sastra (Imprint dari PT. BIP)
Tahun Terbit: 2015
Penyunting: Novalya Putri
Design Cover dan Tata Letak: Helen Lie
Ilustrasi Cover: Arrahman Rendi
ISBN 10: 602-249-848-1
ISBN 13: 978-602-249-848-3
Rating 4/5 Bintang

"Kamu mau membantuku?"
"Tapi kamu kan hanya bayangan dalam cermin?" Kata Gina pada bayangannya sendiri.
Aku adalah bayangan isimewa. Kita bisa bertukar tempat, dan aku akan membantu merubah hidupmu. Tali ini akan menjadi lorong jembatan antara duniaku dan duniamu." Kata Gi sang bayangan di dalam cermin. 

Gina ingin langsing. Gina ingin dilirik, ingin jadi gadis yang tidak hanya dipandang sebelah mata. Gina ingin berhenti makan cheesecake dan menarik perhatian George, pria paling seksi di kantornya. Di hari terburuknya - saat ia memergoki pacarnya, Jake, tidur dengan wanita lain - ia mendapati bayangannya hidup dan ingin membantu Gina untuk menjadikannya dirinya wanita yang lebih baik. Gina pun mendapat sahabat yang mendorong dan selalu ada untuknya. Bayangannya yang bernama Gi itu merubah penampilannya menjadi super seksi, melakukan presentasi memukau di depan klien, bahkan menggaet pria untuk Gina. Sementara itu, Gina berada di dalam cermin, dunia cermin. Gina lalu mendapatkan semua yang diinginkannya. Ia menjadi dirinya yang baru. Ia juga menemukan cinta baru dengan orang yang tak pernah diduganya selama ini. Namun, saat semua berubah baik, pelan-pelan bayangannya itu ingin merenggut cintanya, posisinya, dan juga hidupnya....

****

Yang Gina tidak tahu, sampai beberapa detik setelah dirinya menghilang dari depan cermin, bayangannya masih berada di sana - hlmn 7

Semua berawal dari bentuk tubuh, kepercayaan diri yang rendah, karir yang kurang cemerlang, cemoohan orang-orang dan pengkhianataj Jake. Sudah sejak lama Gina mengutuk hidupnya yang tidak beruntung, tubuhnya yang tidak selangsing Nancy dan kebodohan yang sering ia lakukan. Setiap hari setelah melakukan 'kesalahan' Gina akan mengutuk dirinya di depan cermin tanpa ia tahu bahwa bayangannya benci dimaki sedemikian rupa oleh karena keteledoran Gina sendiri. 

Suatu hari, lewat cermin di kamarnya, Gi - bayangan Gina muncul dan memberikan secercah harapan akan perubahan hidup. Gina yang nyaris putus asa seolah mendapat angin segar pun setuju dan tanpa berpikir panjang menyetujui usul Gi. 
Mereka jadi sering berukar tempat dan posisi. Gi membereskan hal-hal yang tak mampu dibereskan Gina. Siapa sangka, hidup Gina pun berubah 180 derajat. Ia jadi langsing, tampak cerdas dan memukau banyak orang. Namun masalah datang ketika ia dan bayangannya mulai berselisih paham dan memiliki keinginan yang bertolak belakang. Secara perlahan pula, Gi ingin menguasai hidup Gina dan menukar posisinya sebagai bayangan Gina menjadi manusia seutuhnya.

****

Bacaan ringan yang menyimpan banyak pesan. Alur maju mundurnya sedikit mendatangkan rasa berbeda, namun tidak begitu banyak kejutan yang saya dapatkan saat membaca buku ini. Plotnya tertebak namun tetap seru. Selama membaca buku ini, walau sudah bisa menebak konflik yang akan muncul, endingnya juga, saya tetap menikmati dan penasaran dengan usaha Gina dan Gi dalam menguruskan badan dan mendapatkan cowok idaman. Apalagi saat sosok asli Gi mulai muncul, saya tambah penasaran dengan kekacauan apa yang mungkin mampu dilakukan oleh bayangan. 

Buku ini memberikan pesan yang mendalam tentang arti bersyukur dan mensyukuri hidup, merasa cukup dan hidup apa adanya tanpa berusaha menjadi orang lain, dan tentang bagaimana menghargai apa yang kita miliki - sekalipun itu hal yang mungkin tidak kita suka atau merasa kita kurang percaya diri. 

And when you have both life and love, what more can you ask? - hlmn 200

Selasa, 17 Januari 2017

,
Judul Buku: Madre
Penulis: Dee Lestari
Penerbit: PT. Bentang Pustaka
Penyunting: Sitok Srengenge
Perancang Sampul: Fahmi Ilmansyah
Pemeriksa Aksara: Septi Ws
Penata Aksara: Martin Buczer
Digitalisasi: Rahmat Tsani H
Tahun Terbit: Juni 2015
Tebal Buku: v + 46 hlmn; 20,5 cm
ISBN: 978-602-291-103-6
Rating: 5/5 Bintang

"Apa rasanya jika sejarah kita berubah dalam sehari?

Darah saya mendadak seperempat Tionghoa,

Nenek saya seorang penjual roti, dan dia,

Bersama kakek yang tidak saya kenal,

Mewariskan anggota keluarga baru yang tidak pernah saya tahu: Madre.”

****
Telah kuseberangi pulau, demi seseorang yang tak kukenal, yang mewariskan padaku... adonan? Haru skutarik semua otot humorku agar bisa mengapresiasi kelucuan ini. Dan, rasanya tetap tak lucu

Tansen tidak pernah menyangka bahwa warisan yang diberikan oleh seorang kakek berdarah chinese kepadanya lewat tangan pengacara adalah sebuah adonan. Benar sekali, adonan! Untuk membuat roti! 

Tak hanya itu, lewat binar mata sahabatnya, mereka berharap bahwa Tansen akan busa melanjutkan hidup dan membangun kembali kejayaan Tan de Bakker. Bagaimana bisa, laki-laki berdarah India dan berambut gimbal itu melakukannya? Dalam mimpi terliar pun Tansen tak pernah berharap menjadi pembuat roti.

****

Karya sastra yang sederhana namun sarat makna. Lewat tulisan yang bahkan hampir tak menyentuh anga lima puluh halaman ini Dee Lestari kembali menunjukkan kepada saya betapa ia memang tak salah masuk dalam deretan penulis Indonesia favorit saya.

Konflik yang diangkat dalam buku ini memang sederhana, alurnya juga sudah bisa tertebak hanya saja pesan yang terkandung di dalamnya sangat kuat. Warisan sejarah yang kental dalam tema cerita ini adalah pesan tersurat bahwa kita memang sudah sewajarnya menjaga harta berharga yang sudah diwariskan walau itu hanya berupa adonan roti. Bagi kita mungkin itu sederhana, namun bagi orang lain ada harapan yang tumbuh besar dan hidup bersamanya. 

Minggu, 15 Januari 2017

,
Judul Buku: Salon Tua - Hati-hati dengan Rambutmu...!
Penulis: Christina Juzwar
Penerbit: Penerbit Bentang Belia (PT. Bentang Pustaka)
Tahun Terbit: 2015
Penyunting: Patiwi Utami dan Dila Maretihaqsari
Perancang dan Ilustrasi Sampul: Rony Setiawan
Ilustrasi Isi: tsbb
Digitalisasi: Rahmat Tsani H.
Tebal Buku: iv + 228 hlmn; 20,8 cm
ISBN: 978-602-1383-51-3
Rating: 4/5

****

Meski Mama sudah menyulap rumah tua itu menjadi salon sekaligus hunian yang layak ditinggali, sejak awal Elena menyadari ada yang tidak beres. Rumah itu menyimpan misteri. Elena sering mendengar suara-suara ganjil dari kamar sebelahnya, yang kosong. Bau tak sedap juga menguar dari situ. Dan, betapa kagetnya Elena ketika sosok itu datang menghampirinya. Gadis berambut panjang dengan muka rusak mengerikan.

Apa ini ada hubungannya dengan musibah kebakaran dan pembunuhan yang konon terjadi 20 tahun yang lalu?

Rumah semakin diliputi hawa mencekam sejak Mama memperkerjakan dua karyawan di salonnya. Keganjilan demi keganjilan mengusik Elena sejak itu. Hingga puncaknya, pelanggan-pelanggan salon Mama menghilang, lalu ditemukan beberapa hari kemudian dalam keadaan tewas mengenaskan, dan...

tanpa rambut!

****

Sejak baca seri DARKLIT karya Vinca Callista, saya jadi ingin mencicipi semua serinya. Penasaran, kisah dengan cerita jenis horror yang bagaimana saja yang akan disajikan. Dari buku ini dan Nyawa saya menemukan kesamaan yakni sama-sama bergenre psychothriller. Sama-sama jenis cerita yang dapat membuat merinding dan mual, hanya saja pada buku ini tidak begitu kental terasa. Yang paling mendominasi hanyalah rasa penasaran yah walau diakui kalau baca cerita ini malam-malam saya nggak akan begitu berani juga haha.

Alurnya berjalan dengan ritme yang saya sukai, kehidupan tokohnya berjalan pasti dengan keganjilan dan fenomena aneh yang menghampirinya. Sempat sedikit kecewa karena mengira tidak akan menemukan penjelasan logis akan keberadaan Aldo dan Bintang yang akan sangat tidak cocok jika dikatakan hanya sebagai pelengkap atau tokoh numpang lewat seperti para pelanggan Salon Elena, tapi itu terbayar saat mencapai ending cerita walau yah agak kurang suka degan akhir ceritanya. Terasa agak dipaksakan. Selain itu, perubahan sikap Bintang dan sebab yang diceritakan Aldo saya rasa agak kurang berperan dalam buku ini. Bikin bertanya-tanya akan kebenarannya yang sampai akhir nggak diketahui pastinya.

Namun, bukunya seru, Saya menuntaskannya nggak lebih dari dua hari saking penasarannya. Oh iya bumbu romannya saya suka, walau terasa amat kurang (nasib pencinta roman mau baca horror atau thriller pasti nunggu bagian cinta-cintaannya).

Buat yang suka baca genre psychothriller, buku ini saya rekomendasikan. Konfliknya bermula dari hal yang tak sederhana namun terdapat pesan tersirat yang amat bermakna yang dapat kita tarik atasnya.
,
Judul Buku: Bumi
Penulis: Tere Liye
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama
Desain Sampul: eMTe
Terbit: 2014
Tebal Buku: 440 hlmn, 20 cm
ISBN: 978-602--03-0112-9
Rating: 4/5

Namaku Raib, usiaku 15 tahun, kelas sepuluh. Aku anak perempuan seperti kalian, adik-adik kalian, tetangga kalian. Aku punya dua kucing, namanya si Putih dan si Hitam. Mama dan Papaku menyenangkan. Guru-guru di sekolah seru. Teman-temanku baik dan kompak.

Aku sama seperti remaja kebanyakan, kecuali satu hal. Sesuatu yang kusimpan sendiri sejak kecil. Sesuatu yang menakujubkan.

Namaku, Raib. Dan aku bisa menghilang.

****

Raib sudah baru berusia balita saat menyadari bahwa ia bisa menghilang. Hanya dengan menutup wajah menggunakan telapak tangannya, Mama dan Papanya takkan bisa menemukannya meski ia berdiri di hadapan mereka. Ia memang benar-benar bisa menghilang. Fakta itu sebenarnya tidak menyushaknan, meski Raib harus menutup rapat-rapat hal ini sebagai rahasia terbesar dalam hidupnya. Sialnya, sejak Ali - si biang kerok sekolah menyadari kelebihannya ini dan mulai mencoba mengorek informasi, segalanya menjadi berbeda. Hidup Raib jadi terasa sedikit menyebalkan. Belum masalah di kantor papa, juga kucing hitamnya yang tiba-tiba menghilang tanpa jejak.

Tapi, itu belum seberapa dibanding saat ia menyadari bahwa selama ini orang-orang di sekelilingnya tak bisa melihat si Hitam. Tak pernah bisa, mereka hanya mengenal dan dapat melihat si Putih, kucing Raib yang satunya lagi. Membuat Raib bertanya-tanya, apakah selama ini kucingnya itu benar-benar tidak ada dalam artian sebenarnya? Lalu apa yang sebenarnya menemaninya selama ini?

Keanehan itu berlanjut oleh kemunculan seseorang lewat cermin lemarinya. Menyeramkan namun Raib tidak begitu ketakutan hingga ia berani menghadapinya sendirian. Sosok itu meminta Raib untuk latihan menghilangkan benda-benda sebagaimana ia melihat tubuhnya tak terlihat oleh pandangan mata. Siapa dia? Bagaimana bisa ia tahu rahasia yang tak pernah Raib ceritakan pada siapa pun selama ini?

Belum terjawab pertanyaan Raib, sebuah peristiwa sepulang sekolah yang sangat tak terdua megubah hidupnya secara tiba-tiba. Bersama Seli - sahabatnya serta Ali si cowok menyebalkan, ketiganya terseret ke dunia yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya.

****

Novel fantasi karya Tere Liye. Wow! Penulis satu ini memang serba bisa. Tak terhitung berapa jenis genre yang lahir dari buah pikirannya beserta pesan-pesan tersirat maupun tersurat yang selalu terkandung di dalamnya. Walaupun demikian, membaca novel ini agak sedikit berbeda sensasinya dengan membaca novel roman karyanya. Jujur, pada awal-awal cerita saya merasa sedikit bosan. Alurnya berjalan agak lambat meski menyembuyikan beberapa titik yang akan membuat kita penasaran. Fakta bahwa Raib bisa menghilang dapat dikatakan menjadi misteri paling besar selain kemunculan sang sosok dalam cermin.

Akan tetapi, menjelang pertengahan cerita, saya sudah mulai bisa menikmatinya. Petualangan Raib yang sebenarnya sudah dimulai, walau disini tokoh favorit saya adalah si jenius tukang bolos Ali, bukan Raib yang merupakan tokoh utama. Mungkin itulah kenapa buku ini diberi judul Bumi karena Ali-lah yang paling bisa mempesona. 

Tere Liye sudah tidak diragukan dalam membuat adegan action yang menegangkan, dan dalam buku ini juga terdapat beberapa adegan action. Buat saya terasa kurang banyak, lebih banyak dialog dan penuturan sejarah hidup tokoh utama dan latar belakang utama konflik yang muncul dalam buku ini. Eksekusi ceritaya saya suka, bikin saya penasaran untuk segera membaca seri keduanya yang berjudul Bulan. Berharap banget bukan pengulangan cerita yang sama namun dengan sudut pandang tokoh lainnya.
,
Sumber Gambar
“Sudahkah kau melihat Hilal”

“Siapa sajakah yang sudah melihat Hilal?”

“Sudahkah Hilal terlihat?”

“Tak perlu ribut. Kita tunggu saja pengumuman dari Menteri Agama. Memantau Hilal adalah salah satu tugas mereka selaku perwakilan kita.”

Sedari pagi, sejak semalam, kemarin, bahkan dua minggu yang lalu, orang-orang sudah sibuk berbisik-bisik soal datangnya Hilal. Termasuk kedua orang tua beserta kakak-kakakku. Baik tetangga maupun saudara jauh, pembicaraan itu semakin hari semakin membuat sakit kepalaku. Hanya tembok-tembok yang mengeliingiku yang tahu, betapa tidak percayanya aku pada kebaikan Bulan yang disebut-sebut sebagai Karunia dan Rahmat Tuhan.

Mendapat ampunan atas segala kesalahan hanya dengan beribadah selama satu bulan? Sungguh tidak masuk akal! Tuhan, seperti yang dipercaya banyak orang tentulah Maha Baik. Tapi apa kebaikanNya berlaku pada pendosa macam diriku? Biarkan aku terbahak jika ada yang mengiyakannya. Bahkan orangtuaku pun menyangsikan kebenarannya.

Setelah beberapa lama bercokol di depan televisi, anggota keluargaku bubar.  Pemerintah mengumumkan bahwa besok sudah waktunya berpuasa. Aku yang sedang makan malam, sesekali melirik kesibukan Abah menyemprotkan wewangian pada pakaiannya, kakak perempuanku yang membenahi kerudungnya, dan Abangku yang sedang membujuk putra bandelnya agar mau ikut berangkat ke masjid.

“Kamu ndak siap-siap, Yu?” Ummi bertanya padaku. Hampir saja aku tersedak mendengarnya. Inilah kali pertama sejak aku keluar dari penjara ada yang mengajakku untuk berangkat shalat berjama’ah. Segera kuteguk air di hadapanku. Kutandaskan hingga tiada tetes yang tersisa. Tiba-tiba saja tenggorokanku terasa kering, tidak tahu harus mejawab apa.

“Tidak perlu ajak Wahyu, Abah tidak mau masjid kita yang suci dimasuki anak tidak tahu diuntung dan tidak bisa berterima kasih.”

****

“Mas Wahyu nggak puasa, ya?” Fajar, anak Abangku menatap polos pada Ayam Goreng di ujung bibirku. Meski bertanya demikian, mata bulatnya terfokus pada makanan yang sebentar lagi masuk ke mulutku.

“Kamu mau?” Tawarku.

Secepat kilat bocah itu mengangguk, tapi kemudian ia segera menggeleng. “Kata Ayah, Fajar baru bisa makan kalau sudah adzan maghrib.”

Nggak apa-apa. Emang Fajar bisa menahan lapar seharian?” Lalu Abah muncul. Entah dari mana ia, tapi wajahnya terlihat sangat marah. Bola matanya seakan mau keluar dari tempatnya.“Jangan coba-coba mempegaruhi Fajar, Wahyu! Jika kamu ingin sesat, sesatlah sendirian. Jangan libatkan siapa pun di rumah ini!”

Setelah berkata demikian, ia berlalu. Menyeret Fajar menjauh dariku, seolah aku virus mematikan yang tidak seharusnya didekati. Memang benar demikian. Aku adalah virus yang telah mencoreng nama baik keluarga. Melempar wajah K.H Abdullah – begitu orang-orang menyebutnya, dengan kotoran paling busuk di dunia. Bagaimana bisa anak seorang kiay tercatat sebagai mantan Narapidana? Itu adalah aib yang tak dapat diterima.

            Beberapa menit setelah Abah pergi, ponsel yang tersimpan di dalam kantong celanaku berbunyi. Ada pesan masuk. Dari Radi, teman semasa SMA-ku dan yang paling memahami pergolakan batin yang aku alami. Isinya sebuah ajakan untuk bersenang-senang, melupakan segala masalah dan kekecewaan yang tentu saja langsung aku iyakan.

Aku berangkat ke tempat yang disebutkan Radi. Menggunakan motor ninja pembelian Ummi beberapa tahun lalu, aku tiba di salah satu tempat hiburan di pinggiran Jakarta. Pub ini memang sudah menjadi langganan Radi sejak entah kapan aku tidak tahu, belakangan pun menjadi tempat favoritku untuk menghabiskan waktu. Segalanya aku peroleh disini. Kesenangan dunia bertaburan seolah akhirat tidak menunggu esok hari. Tapi aku tidak peduli. Di luar sana, mereka-mereka yang mengaku paling benar dan dekat dengan Tuhan tak pernah mencoba memahami bagaimana menderitanya aku sejak hal yang diakibatkan oleh kebodohanku itu terjadi. Menyimpan luka dan rasa bersalah sendirian adalah salah satu hal mematikan yang akan membunuh siapa saja pelan-pelan, termasuk aku.

            Dentuman musik yang memekakkan telinga segera menyambutku begitu aku masuk. Asap rokok di mana-mana, orang-orang teler karena alkohol, serta wanita-wanita yang rela merendahkan harga diri demi harapan hidup di hari esok. Beberapa mencoba merayuku tapi tidak satu pun aku gubris. Aku tidak perlu perempuan malam ini., yang aku butuhkan adalah ramuan dahsyat yang dapat membawaku terbang ke langit sesegera mungkin dan melupakan segalanya.

Radi menyambutku dengan sumringah. Di salah satu sudut, ia duduk ditemani beberapa wanita dengan busana yang mengundang, sementara di atas meja, beberapa bungkus mariyuana siap pakai seakan sudah menunggu kedatanganku. Tanpa menunggu komando, segera saja kuraup bagian kecilnya, kupadatkan, lalu kuhirup dalam-dalam. Ini yang aku butuhkan. Saat itu, yang aku pikirkan adalah bahagia bisa didapatkan di mana saja termasuk lewat fantasi yang menggila.

****

Aku terbangun tiba-tiba, setengah sadar menatap sekeliling. Mencoba menyesuaikan pandangan dengan cahaya yang terasa menyakitkan. Dan setelahnya, aku rasanya ingin kabur saja. Tidak seharusnya aku disini. Apa yang aku lakukan disini? Bagaimana bisa? Bukankah tadi aku sedang terbang di atas awan bersama Rossa – aku tidak tahu siapa gadis itu tapi yang jelas aku memanggilnya demikian, menari bahagia dan bersenandung mesra? Siapa yang membawaku kesini? Beberapa orang yang baru saja tiba menatapku dengan pandangan jijik dan ingin muntah, beberapa lainnya mengeluarkan sumpah serapah.

“Pembunuh!”

“Pemerkosa!”

“Manusia Terkutuk.”

“Aib keluarga.” Segala macam bentuk makian keluar dari mulut mereka yang mengaku suci dan terampuni, ditujukan kepadaku. Saat itu, waktu sudah menunjukan pukul empat lebih dua pulu dua menit. Sebentar kemudian, adzan subuh berkumandang. Tanpa berpikir panjang, aku kabur meninggalkan tempat itu – Masjid Darussalam yang sudah sejak lama berdiri di komplek tempat tinggalku.

Aku berjalan tak tentu arah. Jantungku berdetak begitu cepat, seolah ada yang menabuh gendang di dalamnya. Adzan masih berkumandang dengan merdunya sementara telingaku benar-benar sudah sakit mendengarnya. Lalu sosok itu muncul. Pria berwajah seputih cahaya itu tiba-tiba saja sudah berdiri di hadapanku. Tidak seperti orang-orang yang mencaciku, ia justru memberikan senyum yang teramat menyejukkan. Wajahnya yang bersinar itu pun menguarkan wangi yang tak pernah aku baui sebelumnya. Tanpa mengucap kata, ia berjalan melewatiku. Mungkin ia mau ke masjid untuk menunaikan shalat subuh.

Sedetik aku terpana, tapi kemudian realita kembali menguasaiku. Mungkin saja mataku salah, efek ganja mungkin belum hilang sepenuhnya. Akhirnya aku memutuskan untuk tidak memikirkannya meskipun senyum bercahayanya terasa seperti anugerah yang datang tanpa disangka-sangka. Aku pun melanjutkan langkahku. Tapi, kemudian aku terpaku. Wajah itu adalah wajah pria yang beberapa jam lalu menemaniku.

 “Siapa kamu?” Tanyaku dengan susah payah. Keringat mengucur deras membasahi tubuhku. Meski begitu, segala yang mengelilingiku tampak indah dan tentu saja menerimaku, kecuali satu orang entah siapa yang kini duduk di depanku. Wajahnya bersih secerah matahari pagi. Tatapannya meneyejukkan seperti embun dan baunya seharum kesturi.

“Aku merindukanmu.” Jawabnya. Aku terbahak mendengarnya. Aku tidak kenal siapa dia, bertemu saja baru kali ini lalu ia mengatakan bahwa ia merindukanku. Lawakan yang sungguh konyol.

“Aku tidak mengenalmu.” Aku menatap wajahnya yang saat ini tersenyum namun menyiratkan kesedihan yang disimpan dalam dalam.

“Kau kenal aku, Wahyu. Aku adalah salah satu kebaikan yang diturunkan dengan serta membawa namamu.”

Aku mengernyit. Tidak paham dengan apa yang sedang laki-laki penuh cahaya itu bicarakan. Mungkin ia sedang mengigau...

“Aku Ramadhan!”

Aliran darahku serasa berhenti. Ingatan itu menghantam ulu hatiku begitu telak. Tubuhku limbung, secepat kilat mencari pegangan yang sialnya tak kutemukan. Aku terjatuh di tengah jalan. Lututku menghantam aspal dengan bunyi yang menyakitkan, tapi tak sesakit dengan apa yang kini aku rasakan. Beberapa detik kemudian, tawaku membahana. Menyadari sebuah ketololan jika aku percaya pada apa yang baru saja disampaikan ingatan. Bagaimana bisa aku tertohok oleh sesuatu yang diakibatkan oleh padatnya kanabis. Tentu saja itu hanyalah fantasi, tidak kurang apalagi lebih.
Orang-orang yang sudah mulai sibuk dengan aktivitasnya meskipun sedang berpuasa menatapku yang seolah bersimpuh di tanah dengan tatapan heran. Mungkin aku disangka mabuk atau gila karena tertawa sendirian.
****
Ramadhan sepuluh hari lagi berakhir. Orang-orang bukan lagi hanya sibuk dengan puasa tapi beberapa persiapan untuk menyambut Lebaran, Hari Kemenangan. Ummi, meski pun tak ketinggalan. Kue-kue kering dan segala jenis panganan lebaran sudah mulai dipersiapkan. Kerudung terbaru, baju koko mahal dan parfum terkini. Waktu itu aku masih saja seperti biasa, melakukan yang aku suka, makan dan minum seenaknya di depan siapa saja serta menutup pendengaran akan kumandang kedatangan Lailatul Qadar. Peduli setan! Meski aku berkesempatan mendapatkan malam itu, amalanku pasti tidak akan dihitung. Segalanya akan sia-sia dan aku tetap saja menderita hingga nanti aku mati.

Waktu menunjukkan pukul dua siang saat permintaan itu diutarakan. Ummi memintaku mengantakannya ke pasar untuk membeli bahan-bahan makanan, persiapan untuk berbuka.

“Ummi baru sadar kalau bahan makanan kita sudah habis. Wahyu antarkan Ummi, ya? Cuma sebentar, ndak akan lama.”

Sebenarnya aku tidak ingin, tapi inilah kali pertama ada yang meminta sesuatu padaku. Aku merasa dibutuhkan, jadi aku menyetujuinya. Aku mengantarkan Ummi ke pasar menggunakan mobil Abah. Tadinya aku menolak, karena Abah pasti akan murka jika benda kesayangannya digunakan orang lain apalagi diriku. Tapi Ummi meyakinkan bahwa untuk kali ini Abah pasti mengizinkan.

Sesampainya di pasar, aku mengekori ke mana pun Ummi pergi sambil menenteng beberapa belanjaan yang sudah dibayar. Ke penjual sayur hingga ke penjual kurma. Awalnya aku tidak memperhatikan. Tapi entah hapal dengan baunya, aku pun otomatis menatap wajah si penjual yang cahayanya masih secerah saat aku bertemu dengannya malam itu. Ia pun melempar senyum kepadaku.

Setelah membeli beberapa bungkus buah kurma, Ummi dan aku pun hendak beranjak pulang lalu laki-laki itu berkata...

“Aku masih menunggumu, Wahyu.”

Sungguh mengganggu. Teramat mengganggu. Kalimat pendek itu tak bisa lepas dari pikiranku bahkan hingga malam menjelang. Aku tidur bersama tanda tanya, memejamkan mata dengan otak yang berkelana. Apa maksud ini semua? Apa ini yang mereka sebut hidayah? Petunjuk? Tapi... bagaimana bisa? Aku bukan jenis orang yang pantas mendapatkannya. Malam itu, aku tidak bisa tidur sama sekali.

Di sepertiga malam, aku bangkit dari tempat tidur. Kehausan. Tanpa mematikan lampu, aku berjalan menuju dapur.

Tepat setelah kakiku menginjak anak tangga yang terakhir, pemandangan menakutkan itu terjadi. Di depan sana, di dalam ruang keluarga, kulihat Ummi menangis sejadi-jadinya. Membelai kepala anak laki-lakinya dengan penuh sayang dan penyesalan. Beribu kata maaf terucap, namun segalanya sudah terlambat. Waktu telah berhenti untuknya.... untukku....

Tidak! Ini salah. Kesetanan aku berlari, menghampiri Ummi yang masih menangis. Ingin memberitahu bahwa yang terbaring kaku di depan sana bukan aku, yang kini hidungnya ditutupi kapas putih jelas bukan Wahyu, tapi sia-sia. Tanganku seperti berusaha menangkap angin. Suaraku tak keluar, Ummi tak bisa kusentuh. Air mata menganak sungai di pipiku. Aku menangis ketakutan, ini semua tidak mungkin terjadi, lalu saat itu tiba-tiba cahaya lampu dan suara Ummi menghentikan tangis dan sedu sedanku – yang berlutut di depan meja kaca panjang.

“Sedang apa, Wahyu?”

Sedikit kebingungan, aku bangkit dan menjawab “Wahyu mau sahur, Ummi.”

****
“Itulah yang terjadi sebelum kau datang. Apa kau sudah puas?” Wahyu menyelesaikan ceritanya pada Izra yang memandanganya dengan tatapan kagum. Dari jauh sayup-sayup terdengar gema takbir. Hari ini adalah hari Kemenangan umat Islam, Hari Raya Idul Fitri. “Kenapa kau menatapku seperti itu?” Tanya Wahyu.

“Pantas saja tadi aku tidak tega jika melakukannya secara cepat.” Izra menjawab. “Aku tidak menyangka bahwa kau menerima petunjuk itu.”

“Terima kasih tapi yang barusan itu tetap saja terasa sakit. Aku tidak tahu dan juga tidak akan mencari tahu apa alasannya, namun aku bersyukur untuk keputusan yang telah aku ambil malam itu.”
Mendengarnya, Izra tersenyum.

“Sudahlah. Bukankah tadi kau bilang kau akan mengantarkanku untuk bertemu Tuhanku, Izrail?” 

Jumat, 13 Januari 2017

,
Judul Buku: You Had Me At 'Hello'
Penulis: Indah Hanaco
Penerbit: PT. Elexmedia Komputindo
Tahun Terbit: 2015
Editor: Afrianty P. Pardede
ISBN: 978-602-02-7005-0
Rating: 3/5

Inanna mungkin masih terlalu muda untuk membuka pintu yang membawanya pada pernikahan. Namun berbagai kecerobohan membuat gadis itu tak punya pilihan. Inanna memilih menghabiskan sisa hidupnya bersama Alistair.

Cinta berhadir begitu dia menantang mata sewarna biru es itu. Harapan dilambungkan ke langit, suatu saat nanti Inanna bisa memiliki hati si pemilik tatapan menghitung pori-pori itu. Bukankah mereka terikat sumpah di depan Tuhan?

Tapi apa jadinya saat Inanna tahu Alistair cuma menganggapnya wujud kepingan masa lalu? Percayalah, cinta takkan pernah semenyenangkan itu.

****
Kamu... serius mau menikah denganku?

Akibat oleh kebandelan duo kembar Inanna dan Zora, sang Ayah pun menghukum keduanya. Bukan hanya penarikan kartu kredit, namun juga Inanna dan Zora dihadapkan pada masalah yang lebih pelik. Dijodohkan! Demi apa, hukuman macam apa itu? Tak berani membantah, keduanya mengikuti perintah sang Ayah untuk berkenalan dengan calon menantu pilihannya. Sialnya, hanya Zora yang ternyata mendapatkan lelaki pujaan hati lewat tangan sang Ayah, sementara Inanna harus rela berpasangan dengan dokter genit dan lebih sering membuatnya mual.

Belum cukup dengan masalah tersebut, karena kecerobohannya, Inanna juga mendapat masalah baru. Sebuah tabrakan terjadi, dan seseorang menjadi korban. Laki-laki bermata biru bernama Alistair. Mereka memang tidak menuntut Inanna sampai ke pengadilan, hanya saja orangtua Alistair justru melayangkan ide yang teramat 'brilian'. Inanna diminta menikah dengan Alistair!

Melihat hanya itu satu-satunya cara meloloskan diri dari jeratan hukum Ayahnya, Inanna dengan terpaksa menggunakan kesempatan ini. Ia setuju menikah dengan Alistair tampa mengindahkan peringatan dari Vicky - sahabat Alistair sendiri, lalu di hari yang sama setelah pernikahan mereka selesai dilangsungkan, Inanna justru kembali dihadapkan pada fakta menyakitkan.

Pertama-tama, saya tertarik baca buku ini karena judulnya. You had me at Hello, romantis banget kedengarannya. Penasaran sapaan sesederhana hallo jenis apakah yang dapat membuat seseorang terjerat dengan mudahnya.  Saya akui bahwa saya lebih menikmati cerita ini dibanding buku Indah Hanaco yang saya review sebelumnya. Kisah cinta Inanna dan Alistair memang terbilang unik dan tidak biasa. Walau pada akhirnya memang pada sosok Alistair yang melenakan, Inanna akhirnya menemukan bahwa ia ternyata juga bukan lelaki sempurna.

Di balik sosok misterius namun penyayang memang biasanya memang selalu ada latar belakang sih kalau buat saya pribadi. Beberapa kejutan saya dapatkan saat membaca buku ini, di antaranya tentang kisah masa lalu Alistair, namun konfliknya cukup sederhana. Kesalahpahaman dan kurangnya pengkomunikasian. Bisa dibilang tidak ada masalah lain yang cukup berarti dalam rumah tangga setengah terpaksa Alistair-Inanna, tapi kehadiran sosok dari masa lalu dalam kehidupan nyata memang cukup sering menjadi masalah yang mengesalkan.

Dari sisi tokoh, sayang saya tidak punya tokoh favorit. Namun erjalanan kisah cinta Alistair dan Inanna cukup manis untuk dilewatkan. Ada beberapa quote yang saya kutip dari buku ini, di antaranya:

1. Pasangan itu semestinya hadiah yang berasal dari Tuhan, bukan dari manusia lain - hlmn 27
2. Jangan kira kalau semua yang diawali dengan cinta yang bergelora itu akan bahagia selamanya. Cinta juga bisa habis - Alistair, hlmn 122
3. Kamu sudah kehilangan hak untuk memintaku melakukan sesuatu sejak aku tahu kamu membohongiku separah ini - Inanna, hlmn 260
4. Lelaki memang seringkali menjadi manusia idiot, menjadi orang terakhir yang mampu menilai dengan objektif.  - hlmn 265

Kamis, 12 Januari 2017

,
Judul Buku: Stand By Me
Penulis: Indah Hanaco
Penerbit: PT. Elex Media Komputindo
Tahun Terbit: 2014
Editor: Afrianty P. Pardede
ISBN: 978-602-02-4576-8
Rating: 3/5

Anugerah luar biasa bagi Mya, ketika ia mempunyai Abang yang sangat menyayanginya. Tidak hanya itu, Chris, Joe dan Ralph, sahabat-sahabat Abangnya juga memanjakannya layaknya seorang putri. Sayangnya rasa sayang mereka diartikan lebih oleh Mya.

Mya bertekad menunjukkan kalau dirinya bukan lagi anak kecil, dan dia layak dicintai layaknya seorang perempuan dewasa. Sayangnya Chris menyepelekan perasaannya dan malah jadian dengan perempuan lain. Mya patah hati, tapi itu membuatnya bersumpah, suatu saat nanti, dia akan menikah dengan salah satu sahabat abangnya.

****

Kamu nggak jatuh cinta sama aku, Mya! Kamu cuma bingung menagrtikan perasaanmu. Mana mungkin sih kamu bisa kasmaran sama aku? Kita udah kenal bertahun-tahun - Chris, hlmn 45
Di usianya yang menyentuh angka enam belas tahun, Mya ternyata tidak hanya mengalami perubahan dari segi angka umur namun juga perasaannya yang biasa tiba-tiba saja berubah istimewa terhadap Chris, salah satu sahabat Abangnya. Sosok Chris yang perhatian dan teramat menyayanginya, juga kedekatan mereka yang sudah terjalin bertahun-tahun telah menumbuhkan perasaan cinta terhadap Mya. Sayang, perasaan itu tertolak mentah-mentah oleh alasan bahwa Mya masih anak kecil,padahal Mya sudah layak dicintai seperti wanita dewasa. Mya sudah enam belas tahun!

Respon yang diberikan Chris pun sungguh di luar dugaan. Nggak ada yang lebih menyakitkan dalam urusan asmara dibanding perasaanmu yang dirtertawakan dan dianggap lelucon.

Apa aku nggak boleh jatuh cinta sama teman abangku? Apa karena umurku baru enam belas tahun, nggak boleh punya perasaan kayak gitu? Atau karena aku cewek, diharamkan ngomong cinta duluan? - Mya, hlmn 62
Meski begitu, Mya nggak menyerah. Dia bertekad tetap akan memperjuangkan perasaannya terhadap Chris. Hanya saja, siapa yang menduga bahwa setelah pernyataan cintanya yang ditertawakan itu, Chris justru meggandeng cewek yang diekenalkan sebagai pacarnya?

Petaka sekali, namun entah bagaimana caranya, secara tak terduga, patah hati yang dialami Mya justru mencairkan kekakuan hubungannya dengan Ralph, sahabat abangnya yang lain - yang menurut Mya sejak awal sudah menhaga jarak dengannya walaupun nggak pernah luput hadir tiap hari ulang tahunnya.

****

Ini adalah karya Indah Hanaco pertama yang saya baca dan secara mengejutkan tidak terlalu membuat saya 'tenggelam' padahal sudah sejak lama saya penasara ingin membaca karya-karyanya. Sifat Mya yang kekanakan justru membuat saya jengkel, wajar sih masih remaja. Kelabilan dalam dirinya sangat digambarkan dengan baik dalam cerita ini, karakternya yang manja karena memang terbiasa dimanjakan, namun tetap belum cukup membuat saya cukup menikmati. Selain itu, kekakuannya dan Ralph agak terasa kurang kaku sebenarnya.

Selain karakter Mya, karakter pria-pria matang di dalamnya entah bagaimana juga tidak ada yang berhasil membuat saya jatuh cinta. Walau demikian, buku ini memiliki plot yang menarik. Terdiri dari lima bagian cerita - mulai saat Mya masih berusia enam belas dan perkembangan yang terjadi dalam kehidupan romantismenya diulas dengan sangat baik. Buku ini lebih cocok dikatakan sebagai jurnalnya Mya. 

Bagian yang saya sukai dari buku ini adalah POV Ralph yang mungkin memang disediakan secara khusus, cukup untuk menuntaskan rasa penasaran da pertanyaan yang bercokol dalam kepala saya tentang sosoknya. Karena buat saya pribadi, Ralph bukan hanya pendengar namun tokoh utama yang muncul di pertengahan cerita dalam buku ini.

Ralph memiliki andil yang besar dalam setiap perjalanan hidup Mya. Bagian lain yang saya sukai adalah selipan beberapa lagu yang terdapat pada tiap bagian cerita hidup Mya. Lagu-lagunya adalah gambaran tentang kisah gadis manja dan keras kepala itu. Ada beberapa quote yang saya sukai dari buku ini, yakni:

1. Mustahil baik-baik saja mendengar orang yang kamu cintai sudah bertunangan dengan orang lain - Ralph
2, Jangan lagi jatuh cinta sama orang yang ngasih hadiah berupa voucher belanja dan yang tingginya sama kayak kamu. Apalagi yang lebih pendek - Ralph, hlmn 156
3. Orang yang ngasih voucher belanja adalah orang yang nggak peduli. Nggak punya waktu memilihkan hadiah yang kira-kia pantas untukmu. Tapi mereka berlindung dibalik alasan 'ngasih kebebasan untuk memilih sendiri kado yang diinginkan.' - Ralph, hlmn 156
4.  Kalau cinta, harusnya nggak ada kata berpisah. Apalagi gara-gara orang ketiga - Mya, hlmn 202
5. Lelaki macam apa yang mencium perempuan lain sementara menuding istrinya sebagai pihak yang melakukan perselingkuhan? - Mya

Selasa, 10 Januari 2017

,
Judul Buku: Fight For Love!
Penulis: Orizuka
Penerbit: Puspa Swara, Anggota IKAPI
Penyunting: Raka Biru
Perancang Sampul: Iyal
Penata Letak: Aby
Ilustrator: Adi Nugroho
Tahun Terbit: 2007
Tebal Buku: iv + 184 hlmn; 19 cm
ISBN: 978 979 1133 60 9
Rating: 3/4

Pernah membayangkan rumahmu diinvasi dua orang alien? Tidak? Bersyukurlah. Aku pun tidak pernah membayangkannya, tapi entah menapa hal ini terjadi dalam hidupku. Mungkin menurut Tuham. aku belum dapat cukup cobaan.

Maksudku, setelah semua penderitaan yang kuterima, kenapa harus ada dua makhluk di rumahku?? Si kakak adalah cowok sok tahu yang dulu pernah mengataiku bodoh, sedankan si adik adalah orang yang membuat Ibu jadi gila dengan merubah dekorasi kamarku menjadi pink mengerikan!

Dan yang paling menyebalkan dari semua itu adalah, kedua turis ini berasal dari Jepang, negeri yang sama dengan yang mencuri Kak Endah, pelatih tim basket sekolahku, yang menyebabkan tak ada satu orang pun lagi yang mau menyertainya.

Di saat aku mau membentuk tim basket yang lama vakum sepeninggalnya, rumahku kena invasi Jepang. Ayah, Ibu dan Fernan, si Adik paling idiot, menjadi gila Jepang. Berbagi kata-kata asing harus kudengar setiap hari dan tak jarang harus kuucapkan, cara makan kami berubah, dan bahkan makanan pun ikut berubah,

Lalu, bagaimana aku bisa bertahan di rumahku sendiri?

****

Starlet adalah cewek tomboy yang sangat cinta dengan basket. Kecintaannya pada olahraga keren itu membuatnya tak menyerah untuk membangkitkan kembali tim basket putri SMAnya setelah ditinggal Kak Endah, sang pelatih. Sayang, meski sudah berusaha sekuat tenaga, teman-teman setimnya sudah menyerah bermain basket. Walau begitu, Starlet nggak menyerah. Ia tetap berusaha merekrut anggota baru lewat display ekskul basket. Hanya saja, nggak ada yang mau membantunay selain Fariz, anggota basket putra yang nggak mungkin gabung ke tim putri.

Sementara itu. di rumahnya, masalah juga muncul. Dua orang Jepang anak teman Ayah dan Ibu tiba-tiba muncul dan merusak kedamaiannya. Ryuuichi, sang kakak yang dulu pernah mengejeknya saat masih kecil muncul kembali, dan Hikari, sang Adik yang maniak pink membuat Ibu mendekor ulang kamarya menjadi pink! Semua karena Hikari! Semua karena duo Jepang itu. Dan Starlet nggak bisa menahan rasa marahnya lebih lama lagi, terlebih fakta bahwa ia sungguh nggak bisa melupakan rasa sedihnya karena ditinggal Kak Endah ke Jepang ikut suaminya.

****

Dengan bermodalkan baca nama penulisnya yang asli Indonesia, kita bisa langsung tahu bahwa Orizuka adalah nama pena yang mengandung unsur Jepang yang kental. Nama Jepang banget. Langsung ketahuan deh kalau penulisnya suka Jejepangan, kayak yang punya blog hihi. Lewat buku ini, Orizuka menuangkan kecintaannya pada Jepang lewat cerita yang mengandung unsur Jepang. Walau tak terlalu kental, kehadira tokoh Ryuuichi dan Hikari, beberapa selipan bahasa Jepang dan juga budaya Jepang, dorama Jepang yang ditonton keluarga Starlet membuat rasa Jepangnya udah bisa nongol.

Buku ini mengangkat kisah remaja dengan passion hidup yang kuat dan prinsip hidup yang nggak bisa berubah walau dipaksa. Lewat Starlet dan Ryuuichi, kita disuguhkan kisah mempertahakan kecintaan mereka pada basket dengan bersungguh-sungguh. Sayang. tokoh Ryuuichi nggak terlalu banyak diulas disini. Bisa dibilang ia adalah tokoh utama yang hanya merupakan pelengkap untuk membangun cerita bisa lebih menyenangkan.

Tidak memiliki terlalu banyak unsur romansa karena memang bukan itu tujuannya, tapi ada sedikit yang terbangun dengan manis yang kesemuanya dijembatani oleh kesamaan hal yang disukai. Kekurangan buku ini buat saya hanya beberapa typo yang langsung menjelaskan bahwa buku ini sempat diedit menggunakan perintah Ctrl F pada keyboard lalu diedit tanpa dibaca kembali. Kata nggak yang diubah mejadi tidak membuat beberapa kata yang meggunakan kata nggak di dalamnya jadi berantakan. Contoh: menenggak berubah menjadi menetidak.

Pergeseran kata nggak ke tidak ini mungkin diakibatkn oleh dua tokoh yang datang dari Jepang pasti akan berbicara lebih formal dalam Bahasa Indonesia. Namun, hal ini hanya dapet ke tokoh Hikari, sementara Ryuuichi adalah orang Jepang yang sangat fasih dalam berbahasa Indonesia sampai ke gue-elo-nya.

Minggu, 08 Januari 2017

,
Judul Buku: Me & My Prince Charming
Penulis: Orizuka
Penyunting: Ken Kinasih
Perancang Sampul: Zariyal
Penata Letak: Vidia Cahyani
Penerbit: Puspa Swara Anggota IKAPI
Tebal Buku: iv + 188 hlmn.; 19 cm
ISBN: 978-602-216-002-1
Rating: 4/5

Andromeda Arastya adalah cowok yang baru saja dinobatkan sebagai The Most Wanted Male di sekolahku. Selain superimut, dia juga keren, jago main basket, populer; pokoknya segalanya yang membuatnya berhak atas titel itu.

Lalu, suatu hari, keajaiban terjadi. Aku, Cherry Danisha, berhasil pacaran dengannya!

Kupikir aku beruntung, tapi nyatanya, pacarku itu adalah cowok yang sama sekali tidak romantis. Dia tak pernah mau berduaan denganku. Dia bahkan tidak pernah duduk denganku di kantin!

Karenanya, kabar kalau aku pacaran dengannya dianggap akal-akalanku belaka. Tidak ada seorang pun yang percaya kalau kami berpacaran.

Aku pun jadi bingung. Sebenarnya, bagaimana perasaannya terhadapku?

Apa yang harus kulakukan untuk mengetahuinya?

****

Cherry adalah cewek yang menganggap dirinya biasa-biasa saja, bahkan di bawah standar. Oleh sebabnya, bisa pacaran dengan Andros merupakan suatu anugerah terindah dalam hidupnya. Terima kasih kepada Adit, kakaknya yang bersahabat dengan Andros sehingga memudahkan jalannya mendapatkan Andros walau dengan cara yang tak biasa. Namun, beberapa bulan berpacaran, sikap Andros nggak berubah. Ia tetap seperti Andros yang hanya bersahabat dengan Adit, seperti Andros saat sebelum berpacaran dengan Cherry dan kalau apel pun yang didatangi bukan dirinya melainkan Adit. Hal ini membuat Cherry bertanya-tanya, sebegitu jelekkah dirinya hingga untuk kelihatan sebagai pasangannya Andros merasa malu? Jangankan gandengan, duduk makan siang berdua di kantin saja tidak pernah, apalagi nonton film romantis di bioskop?

Hal ini membuat Cherry berpikir bahwa Andros bukan hanya malu, tapi tak peduli dan juga tak suka padanya.

Dia tak pernah merasakan apa pun kalau soal aku - hlmn 2

Dirinya memang tak secantik Alissa dan Maya - sahabatnya, namun ia pintar dan juga punya bakat seni yang luar biasa. Tapi, dimana-mana tetap yang nomor satu di mata cowok pasti selalu cewek cantik, kan?

Tapi cowok keren tidak suka pada cewek pintar. Atau cewek yang tubuhnya belepotan cat minyak - hlmn 26

****

Kembali membaca karya Orizuka, harus diakui bahwa sang penulis memang sudah berbakat sejak awal. Buku ini adalah buku pertama Orizuka yang diterbitkan setelah menang lomba menulis yang diadakan Puspa Swara Group. Kalau buat saya pribadi ditanya, apa yang membuat buku ini menang, mungkin memang karena ceritanya yang sangat bagus. Saya suka kisah roman antara remaja yang diangkat di dalamnya, bukan kisah yang istimewa banget tapi nggak mainstream juga. 

Cowok cool dimana-mana banyak, tapi jarang yang setidakpeka Andros. Walau diakui juga pada awal-awal bab saya sedikit berusaha menikmati ceritanya karena merasa agak sulit masuk ke dalamnya - mungkin karena udah lama nggak baca novel remaja sih, tapi memasuki bab ketiga saya sudah mulai bisa ikut merasakan kegi9iualauan Cherry. Mungkin karena penggunaan sudut pandang orang pertama yang membuat Cherry seolah curhat, seolah saya membaca buku hariannya yang ditulis penuh dengan curahan perasaan yang dalam.

Sedikit banyak saya bisa mengerti, ehm sebenarnya mengerti sekali sih karena pernah merasakan berada di posisi Cherry, dicuekkin habis-habisan tapi masih saja sayang dan mau memaafkan haha. Tapi dari pengalaman hidup saya Cherry saya belajar bahwa overthinking bisa membunuh kita kapan saja termasuk kepercayaan diri. Mengikis kebaikan dan kebagusan yang ada pada diri kita, menggantinya dengan rasa minder yang membuat kita berpikir bahwa kita sangatlah jelek dan tidak pantas dibandingkan dengan siapa pun.

Kalau begini caranya menjadi dewasa, aku selamanya ingin menjadi anak-anak - hlmn 150

Kamis, 05 Januari 2017

,
Sumber Gambar
Tik...tok...tik...tok.....

Jarum jam berdetak perlahan, bunyinya halus namun terasa memekakkan. Gadis itu berbaring di ruang sempit serba putih, sendirian, gelap dan sunyi. Keringat membanjiri tubuhnya, membasahi ujung kepala hingga kakinya, menciptakan lepek pada seluruh bajunya.

Tik...tok...tik...tok......

Jarum jam masih terus berdetak, seirama detak jantung Rima. Kedua tangannya mengepal, buku-buku jarinya memutih. Sekujur badannya nyeri, Kepala, bahu, punggung, lengan hingga mata kaki. Ketakutan merayap dari ubin dingin, merambat dan naik ke kaki ranjang kecilnya yang berderit, menyusupi jemari yang resah, berjalan ke perutnya – menciptakan gelombang mual luar biasa yang sudah akrab dengannya, lalu sampai ke pelupuk mata yang kemudian beriak dan membentuk sungai pada anak pipinya.

Rima takut, teramat takut. Detak detik jarum jam itu seolah sayatan pedang pada setiap sendi-sendinya. Menyakiti Rima hingga ke tulang dan ulu hatinya.

Masih tak terlupa, masih sulit untuk terlupa.

Tik...tok...tik...tok.......

Jarum jam itu semakin berirama, seiring melodi kengerian yang selalu membayangi Rima sejak sepuluh tahun lalu.

Tik...tok...tik...tok.......

Tik...tok...tik...tok.......

Tik...tok...tik...tok.......

Tik...tok...tik...tok.......

Tik...tok...tik...tok.......

Dan ledakan itu terjadi! Rima menjerit sejadi-jadinya. Tangan dan kakinya yang terikat pada kasur Rumah Sakit Jiwa itu meronta, meminta dilepaskan segera. Rima ingin lari. Rima harus lari. Bom itu sudah meledak. Malam pergantian tahun yang menggembirakan itu telah merenggut seluruh anggota keluarganya, teman-temannya bahkan kucing kesayangannya. Hanya Rima yang selamat sendiri entah oleh kekuatan magis apa. Kalau bisa meminta, Rima ingin hancur menjadi abu seperti keluarganya saja, karena sesungguhnya saat ini Rima pun sudah rusak bersama kepingan masa lalunya.