Penulis: Tere Liye
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama
Terbit: Januari 2016
Cover: Orkha Creative
Tebal: 320 hlmn; 20 cm
ISBN: 978-602-03-2478-4
Rating: 4/5
Tentang
Persahabatan
Tentang Cinta
Tentang
Melupakan
Tentang
Perpisahan
Tentang Hujan
Pada tahun 2042,
dimana teknologi telah semakin maju, kehidupan serba mudah, banyak negara
tertata indah, dan umat manusia semakin bertumbuh, terjadi sebuah bencana tak
terduga. Bencana yang tak pernah diprediksi sebelumnya itu terjadi tepat di
hari yang sama dengan kelahiran orang ke 10 milyar di bumi. Bagi beberapa
orang, kelahiran tersebut adalah hal yang biasa. Bagi sebagian lainnya, hal itu
perlu dirayakan hingga harus disiarkan di media berita mana saja. Bagi seorang
profesor terkenal, kelahiran tersebut adalah bencana.
Kepadatan
penduduk dan jumlah manusia yang semakin bertambah sejatinya adalah cara yang
manjur untuk memulai kepunahan. Dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk
bumi, secara otomatis, bumi pun harus bekerja ekstra untuk menyediakan sumber
daya bagi manusia-manusia yang ada. Mulai dari tempat tinggal hingga makanan.
Bumi punya kapasitas dan daya tampung yang tidak akan mampu memenuhi kebutuhan
umat manusia yang terus berkembang biak setiap harinya.
“Kamu tahu, empat puluh dua tahun lalu, saat milenium baru, penduduk bumi hanya enam miliar. Sekarang? Tahun 2042? Sepuluh miliar. Kita hanya butuh empat puluh dua tahun saja. Itu gila. Catat dengan baik, dua ratus tahun lalu, bahkan penduduk bumi belum menyentuh dua ratus juta orang. Kita terus berkembang biak – yeah dengan segala respek atas umat manusia, harus diakui kita terlalu cepat berkembang biak, membuat bumi sesak – hlmn 12”
Ini adalah
komentar salah satu profesor yang menjadi narasumber dalam sebuah acara talk show pagi yang membahas tentang
kelahiran bayi kesepuluh. Di pagi yang sama, Lail – seorang gadis berusia tiga
belas tahun sedang dalam perjalanan ke sekolah diantar ibunya. Menggunakan
kereta listrik tercanggih abad itu, Lail berangkat dalam ketergesaan, takut
terlambat.
Di dalam kereta
api, layar-layar yang menampilkan ucapan selamat atas kelahiran manusia ke
sepuluh milyar pun ada. Tak ketinggalan juga talk show pagi yang membahas masalah ini. Lail, yang masih mudah
dan polos, hanya mengikuti acara tersebut tanpa minat, ia lebih khawatir pada
sekolah barunya.
“Umat manusia sejatinya sama seperti virus. Mereka berkembang biak menyedot sumber daya hingga habis, kemudian tidak ada lagi yang tersisa. Mereka rakus sekali. Maka seperti virus, hanya obat paling keras yang bisa menghentikannya – hlmn 16”
Percakapan masih
terus berlanjut, hingga pada pertanyaan tentang bagaimana cara mengatasi, obat
apa yang akan digunakan untuk menekan jumlah manusia yang mewabah seperti
virus. Dan tepat setelah jawaban dilontarkan sang profesor, di saat itu pula
sesuatu yang mengerikan terjadi. Obat yang dimaksud itu datang, seperti doa
yang diijabah Tuhan.
Bencana alam
terjadi! Letusan gunung dengan skala 8 VEI menimpa bumi, memorakmorandakan
segala hal yang dilalui, termasuk kesibukan orang berangkat kerja pagi dan
kekhawatiran Lail akan sekolah barunya.
Gempa dengan
kekuatan yang setara dengan ledakan gunung Krakatau tersebut membuat Lail
kehilangan kedua orangtuanya di hari yang sama. Namun, di hari yang sama itu
pula, ia oleh takdir dipertemukan dengan Esok – anak laki-laki yang selamat
dari bencana gempa, sepertinya dan kelak menjadi orang yang teramat penting
baginya.
****
Membaca novel
ini membuat saya teringat akan karya Dan Brown yang berjudul Inferno. Buku tersebut
juga mengangkat isu kepadatan penduduk dan populasi manusia yang semakin
mewabah seperti virus. Hanya saja, yang menjadi pembeda adalah, obat dalam
novel hujan ini datang lewat bencana alam, sementara dalam karya Dan Brown
lebih pada sesuatu yang diusahakan seorang individu terkenal, akademisi yang
disegani, dengan jalan menebarkan virus untuk menekan pertumbuhan manusia lewat
suatu negara yang dikenal sebagai tempat bertemunya semua orang dari berbagai
belahan dunia.
Perbedaan yang
kedua, jika dalam karya Brown saya merasakan tegang luar biasa, dalam buku ini
saya justru baper luar biasa. Pokoknya, baca novel ini saya entah harus berapa
kali menyurut air mata dan menyedot ingus. Mewek pemirsah :D, dan untuk hal ini
saya sangat mengapresiasi Tere Liye karena sekali lagi telah berhasil membuat
saya jatuh dan ikut merasakan kepedihan yang dialami tokoh-tokoh dalam buku
ini. Terdengar lebay, tapi bagi siapapun yang mempercayai keberadaan Tuhan dan
kemampuannya membolak-balikkan bumi seperti memboolak-balikkan tangan, maka tak
ada kalimat yang tepat untuk mendeskripsikan novel ini selain kita akan diajak untuk membayangkan kiamat,
membayangkan kepunahan.
Sisi emosional
saya sebagai manusia benar-benar tersentuh, apalagi dahsyatnya bencana
benar-benar saya bayangkan bahwa suatu saat yang entah kapan, bumi memang akan
berakhir jika masanya telah tiba. Tapi, buku ini sama sekali bukan buku yang
memprediksikan bentuk dan kedahsyatan hari kiamat. Buku ini adalah bentuk
peringatan atau teguran dari sang penulis terhadap sifat-sifat buruk manusia yang
sudah mengakar dan mendarah daging sejak dulu hingga kini.
Setting
dalam
buku ini menggunakan waktu masa depan, waktu yang tak terprediksikan dengan
kondisi zaman yang sudah semakin canggih, dengan penggunaan teknologi yang
sudah sangat mutakhir. Jam tangan yang tertanam seperti chip di pergelangan, mobil terbang, hingga pesawat raksasa yang
dapat memugkinkan manusia hidup di atas lapisan stratosfer bumi. Seperti
khayalan, tapi bagi saya tidak ada yang bisa memprediksi lajunya perkembangan
IPTEK. Buktinya, sekarang saja jenis ponsel dengan merk yang sama selalu ada update terbaru tiap tahunnya dengan
spesifikasi yang semakin meningkat dan mumpuni. Bukan mustahil bahwa ‘teknologi
yang diciptakan Tere Liye’ ini benar-benar akan hadir beberapa puluh tahun ke
depannya nanti.
Untuk karakter,
tentu saja awalnya saya mengidolakan Esok. Sosok anak muda yang kuat, bijak dan
tidak mudah putus asa. Tapi ketika memasuki pertengahan cerita, saya justru
mengagumi Maryam, sahabat Lail yang selalu ceria dan merekah. Semangat dan
optimisme Maryam patut diacungi jempol, patut diconntoh. Begitu pun dengan
Lail, ia adalah gadis yang tegar dengan segala kesulitan yang telah ia lewati. Walau
dalam urusan cinta, Lail sangatlah awam dan belum profesional. Jujur saja,
sikap Lail yang terlalu pembimbang dan penakut sebagai perempuan di pertengahan
sempat membuat saya bosan. Petualangan Lail dan Maryam sebenarnya amatlah seru
dan menyenangkan, juga menegangkan dan membuat kita termotivasi untuk melakukan
hal yang sama, bahkan sedikit malu karena hingga usia yang sudah mencapai lebih
dari dua puluh tahun seolah belum ada kontribusi nyata dan terlihat yang dapat
kita lakukan untuk negeri, khususnya masyarakat. Tapi sikap Lail itu bikin saya
jengkel. Lail digambarkan sebagai perempuan yang selalu suka menduga dan tidak
mau bertanya untuk mendapatkan kejelasan yang sebenarnya. Itu adalah sifat saya
yang sebenarnya sulit diubah, melihat Lail seolah saya disadarkan secara tak
langsung dengan kalimat sebegini
menyebalkanlah elo dulu :D. Yah walau harus diakui kisah cinta Lail dan
Esok tergolong unik dan sangat manis. Kuitipan-kutipan cinta yang datang dari Maryam juga sangat bikin baper.
Menjelang ending, sekali lagi Tere Liye berhasil
membuat saya penasaran, sekaligus deg-degan dengan apa yang akan terjadi
sebelumnya. Bahkan, saya sempat menunda beberapa jam untuk membaca
lembar-lembar bab terakhir. Bukan apa-apa, takut saja bahwa penutup ceritanya
akan ikutan membuat saya merana seperti tokoh utamanya, tapi ternyata tidak
begitu nendang setelah benar-benar
saya baca. Tapi, senggak nendangnya ending
dalam buku ini, akhir kisahnya masuk akal.
Buku ini sangat
saya rekomendasikan bagi siapa saja sebagai bentuk ‘pengingat dan nasihat’. Dari
sini, kita akan disuguhkan fakta tentang keserakahan manusia yang pada akhirnya
akan membuat kita punah ketika alam sudah berbicara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar