Judul: Winter In Tokyo
Sutradara: Fajar Bustomi
Produser: Yoen K
Penulis: Ilana Tan
Tanggal Rilis: 11 Agustus 2016
Durasi: 103 Menit
Negara: Indonesia
Bahasa: Indonesia
Morgan Oey sebagai Kitano Akira |
Film
Winter
In Tokyo merupakan film drama romantis Indonesia yang diadaptasi dari
novel berjudul sama karya Ilana Tan
Bercerita
tentang Ishida Keiko (Pamela Bowie) dan Nishimura Kazuto (Dion Wiyoko). Keiko
adalah seorang wanita blasteran Indonesia-Jepang yang tinggal di sebuah apartemen
di pinggiran kota Tokyo. Saat musim dingin tiba, Keiko bertemu dan menjalin
hubungan dengan Kazuto, tetangga baruya yang kembali ke Jepang setelah 10 tahun
tinggal di Amerika.
Karena
terus bersama-sama, benih cinta pun muncul di hati mereka. Tapi, Keiko justru
memilih Kitano Akira (Morgan Oey), cinta pertamanya, ketimbang Kazuto. Sebuah
kejadian menyebabkan Kazuto hilang ingatan, disaat itu Keiko merasakan
kehilangan seseorang yang sangat berarti dan telah menjadi bagian hidupnya.
****
Filmnya
bagus, walau tetap novelnya masih lebih juara. Bukan berniat
membanding-bandingkan karena pada dasarnya film dan buku adalah seni yang
berbeda. Namun, karena filmya diadaptasi dari novel, buat saya pribadi tetap
harus ada hal-hal dari bukunya yang ditekankan dalam filmnya.
Untuk
adegan-adegan di dalamnya, buat saya semuanya bagus. Pengambilan view Jepangnya juga juara banget.
Syutingnya yang dilakukan bear-benar saat musim dingin pun bikin filmya jadi
sangat menyenangkan mata dan nggak melenceng dari bukunya. Namanya juga Winter
ya jadi harus musim dingin.
Namun,
ada beberapa hal yang menurut saya berasa bolong
dan aneh. Misal, adegan saat Kazuto bertemu Shinzo Ojisan saat ia kembali ke Tokyo pertama kali, mereka memang
membicarakan orangtua Kazuto tapi terasa lewat begitu aja. Karena emang durasi
pertemuan tersebut Cuma beberapa menit, bahkan nggak sampai lima menit.
Pertanyaannya, kenapa harus Shinzo Ojisan
yang menghubungi Kazuto, kenapa tidak orangtuanya langsung? Atau mungkin
nggak akan aneh kalau pertemuan tersebut berlangsung setidaknya lebih dari lima
menit, nggak hanya sekedar nanya kabar lalu say
bye.
Selanjutnya,
untuk aksen Jepangnya juga masih kurang pas. Wajar sih bukan orang Jepang asli
yang main, tapi kayaknya akan lebih bagus kalau misal aksen Jepang para
tokoh-tokoh utama bisa lebih kental. Karena saya cukup suka Jejepangan,
penikmat anime dan sedikit drama
Jepang, jadinya berasa kalau saat tokohnya ngomong pake bahasa Jepang tuh kayak
dihapalin gitu. Kaku dan kurang mengalir. Sementara disini kan hanya Keiko
seorang yang berdarah Indonesia, sisanya Jepang semua. Bahasa Jepang yang
dipakai juga banyak yang tidak baku seperti: Oyasumi, Ja, Mata ne, dan lain-lain.
Kemudian,
untuk penyebutan nama tokoh atau dalam hal ini cara mereka menyapa satu sama
lain. Kalau untuk yang lebih tua sih udah pas pake akhiran –san, tapi untuk yang saling berteman dekat seperti Keiko dan
Kazuto, atau dengan Akira juga Yuri, bakal lebih pas lagi kalau digunakan kata
sapaan akrab misal akhiran –chan atau
–kun. Keiko jadi Kei-chan, Kazuto jadi Kazu-kun, Akira tetap Akira tapi ada tambahan
–kun juga. Di akhir-akhir film sih
memang ada, tapi hanya digunakan oleh Akira untuk Keiko. Logat Jepang yang
cukup fasih menurut saya adalah Morgan, Pamela dan Brandon.
Juga,
ada yang jadi pertanyaan saya yakni adegan di rumah sakit. Pengambilan
gambarnya seperti tidak dilakukan di Jepang, tapi di Indonesia. Karena selain
ukuran rumah sakit yang lebih terlihat seperti klinik, jumlah dokter dan
perawat yang terlalu sedikit, juga papan nama Kitano Akira yang berprofesi
sebagai dokter ditulis dalam alphabet dan diawali kata dr. (dokter). Nah kan
kalo di Jepang, orang-orang menyapa dokter dengan sebutan Sensei.
Selain
itu, soundtracksnya saya suka,
suasana Jepangnya favorit banget dan ending-nya
juga manis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar