Judul: Saman
Penulis: Ayu Utami
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Gambar Sampul: Lukisan kaca oleh Ayu Utami
Tataletak Sampul dan Isi: Wendie Artswenda
Cetakan Ke-1: April 1998
Catakan Ke-31: Mei 2013
Tebal Buku: x + 205; 13,5 cm x 20 cm
ISBN: 978-979-91-0570-7
Rating: 3/5
Empat perempuan bersahabat sejak
kecil. Shakuntala si pemberontak. Cok si binal. Yasmin si “jaim”. Dan Laila, si
lugu yang sedang bimbang untuk menyerahkan keperawanannya pada lelaki beristri.
Tapi diam-diam dua di antara
sahabat itu menyimpan rasa kagum pada seorang pemuda dari masa silam: Saman,
seorang aktivis yang menjadi buron dalam masa rezim militer Orde Baru. Kepada
Yasmin, atau Lailakah, Saman akhirnya jatuh cinta?
Sejak
terbit bersamaan dengan Reformasi, Saman tetap diminati dan telah diterjemahkan
ke delapan bahasa asin. Novel ini mendapat penghargaan dari dalam dan luar
negeri karena mendobrak tabu dan memperluas cakrawala sastra. Karya klasik yang
wajib dibaca.
****
Bercerita tentang Laila yang jatuh
cinta pada salah satu pekerja rig bernama Sihar. Hubungan romansa keduanya
diawali oleh ledakan yang terjadi di lokasi kerja, diakibatkan sesosok pria
bernama Rosano. Ledakan yang menewaskan sahabat sekaligus mitra kerja Sihar itu
membuat Laila yang kala itu hadir sebagai pers mengusahakan bantuan untuk
Sihar. Ketidakadilan dalam penanganan kasus ini membuat mereka akhirnya bekerja
sama (dalam balutan cinta juga), untuk memperjuangkan hak-hak yang mestinya
dipertanggungjawabkan perusahaan dengan adil.
Hal itu kemudian menggiring mereka
pada pertemuan dengan Saman, salah satu laki-laki pujaan hati Laila zaman SMP
yang saat itu benar-benar sudah berubah dari yang terakhir Laila temui. Saman
adalah seorang pastor dengan nama Wisanggeni yang oleh kekejaman rezim
memutuskan menjadi aktivis dan meninggalkan kewajibannya sebagai pastor di
dalam gereja. Masa lalu yang amat berat dan kejam membuat lulusan pertanian
yang memutuskan menjadi pastor tapi lalu membantu para buruh karet itu mengubah
cara pandangnya.
Sebenarnya agak bingung gimana cara
nulis review-nya karena hingga
pertengahan bab, segala hal yang saya dapatkan adalah ketidakmengertian. Saya
selalu bertanya-tanya apa hubungan kisah cinta Laila pada suami orang dengan
hidup salah satu pastor yang telah banyak mengalami hal gaib dalam hidupnya. Untunglah, kemudian saya memperoleh pemahaman
yang pasti tentang kisah seperti apa yang sebenarnya dituturkan.
Sebelum membahas lebih jauh, saya
akan sedikit membahas tentang genre novel ini. Novel yang terbit menjelang
reformasi ini bergenre “sastra wangi”. Jadi, secara bahasa memang menggunakan
kalimat yang vulgar dan berani. Kisah yang didalam juga sedikit banyak membuat
saya paham bahwa buku ini beraliran feminis. Jadi, buku ini memiliki beberapa
adegan dewasa yang dijabarkan dengan bahasa sastra. Kalau yang hanya baca
selewat mungkin akan bertanya-tanya apa maksud kalimatnya. Bahasanya vulgar
tapi diksinya indah. Selain itu, novel dengan genre sastra wangi ini memang
membahas hal yang tabu terkait sexualitas.
Kalau dari sisi kisah dan
pengalaman hidup tokoh-tokohnya, cerita Saman ini inspiratif. Bagaimana kisah
Wisanggeni yang seorang pastor tidak keberatan mengaplikasikan ilmu pertanian
yang ia pelajari di Lubukrantau. Bagaimana sosok ini mampu dan berani melawan
rezim, juga berusaha membangkitkan kembali dusun yang hampir sudah tak punya
nyawa untuk bernapas lagi. Pun kisah Laila yang berjuang keras bersama Sihar
untuk menegakkan keadilan.
Agak kurang sreg dengan ending-nya, serasa tidak ada yang saya
petik selain pengalaman positif dan pemikiran serta beberapa pemahaman
akademisi yang dipaparkan Saman dalam buku hariannya. Walau begitu, ada satu
pelajaran yang bisa saya petik yakni betapa kekejaman dan rezim yang terlalu over power bisa mengubah banyak hal. Tak
hanya tatanan negara serta sistem hukum dan peradilan tapi juga pribadi dan
cara pandang seseorang.
Oh iya ada satu hal yang mengganjal
yakni kisah Ibu Wisanggeni yang anaknya meninggal berutut-turut. Saya jadi
kayak baca novel horror atau hal-hal yang berbau jin. Nggak tahu juga sih apa
memang demikian atau karena isi kepala saya yang kurang bisa memahami apa
maksud yang sebenarnya.
Buku ini adalah buku pertama jadi
saya rasa saya mesti baca Larung juga,
siapa tahu pemahaman saya bisa diperbarui. Seperti menilai sesuatu yang jangan
hanya dari satu sisi saja, karena buku ini masih ada kelanjutannya, jadi akan
lebih bagus kalau memang dibaca dua-duanya. Dan juga, karena ini novel roman,
saya pengin nyari tahu kelanjutan kisah empat sekawan Laila, Yasmin, Shakuntala
dan Cok berikut kisah cintanya. Jujur aja, bagian Tala sedikit banyak mengusik
rasa penasaran saya. Bagian favorit saya dalam buku ini adalah tentang Tala
yang bertentangan dengan Bapaknya. Tapi, kalau memang dalam Larung tidak akan ada mereka lagi (jujur
belum baca sinopsis atau resensinya), yah mungkin saya hanya perlu mengambil
kesimpulan bahwa beberapa kisah cinta memang tidak memiliki ending, sekalipun itu terlarang.
Ada beberapa kutipan menarik yang
saya ambil dari buku ini:
- Manusia berasal
dari kosong dan kembali kepada kosong – hlmn 49
- Dan jin macam
apakah yang kali ini menghuni botol jantungmu? – Shakuntala, hlmn 130
- Tak pernah ada
yang salah dengan cinta. Ia mengisi sesuatu yang tidak kosong – hlmn 131
- Aku tak suka
Sihar. Tapi temanku suka padanya. “Lupakan dia, Laila.” Tapi dia tidak mau
melupakannya. Ya sudah. – Shakuntala, hlmn 136
- It is better to light the candle than just to curse the darkness – hlmn 183
Tidak ada komentar:
Posting Komentar