,
Yeayyy... Alhamdulillah bisa kembali lagi dengan review. Kemarin sempat kebingungan setelah postingan perdana berlabel Book Review, apakah label itu akan bertahan pada angka satu postingan. Ternyata nggak. Bulan Mei tahun ini benar-benar berkah. Saya bisa punya cukup banyak bahan bacaan yang akan membantu saya mengasah review's skill saya yang masih abal-abal ini.
Kali ini saya akan membahas salah satu Novel terbitan Bentang Pustaka yang sangat keren dan juga merupakan jenis novel yang baru pertama kali saya punyai dan baca: Novel Grafis. Jujur, agak ragu buat me-review-nya karena Novel ini masuk kategori tidak biasa dan belum biasa saya baca but I decided to give it a try. Btw, saya dapat novelnya dari ikutan lomba #fanfiksiserattripama dalam bentuk cerita mini dari Bentang Pustaka sendiri. Ceritanya ada disini *malah promosi wkwk
****
Tak Tok Tak Tok
Kereta kuda yang dikusiri Sumantri memboyong Dewi Citrawati, calon permaisuri Bosnya, ke Negeri Maespati. Konon, jalan ke Maespati memang suka tak terduga. Di tengah jalan, Sumantri melihat mawar jatuh. Hatinya kasmaran. Siapa yang peduli mawar itu berwarna hitam atau merah, begitu pula jika putih..., kecuali perasaannya tidak bekerja. Dan seperti umumya orang yang kasmaran, Sumantri buta jalan. Menurut nalurinya, setiap jalan yang impossible, itulah jalan ke pernikahan.
O, Citrawati ketakutan. Kuda-kuda itu belum pernah dilatih melewati jalan yang tak masuk akal!
Tapi, bagi Sumantri, jalan yang tak masuk akal adalah jalan yang indah.
Jalan yang indah adalah jalan menuju pernikahan.
Dan jalan menuju pernikahan itu ...
tidak ada latihannya.
La la la ...
****
Berkisah tentang Sumantri dan Sukasrana dari Dusun Agra Sekar, dua putra Resi Suwandagni dari istrinya yang seorang Bidadari dari Khayangan Maniloka: Dewi Darini. Suatu hari, terdengar suara-suara dari langit. Suara para raksasa! Sumantri ketakutan! Ia pun berlari sambil membawa adiknya Sukasrana - yang selalu tertidur, untuk bersembunyi. Mereka lari jauh sekali, hingga Sumantri kelelahan, mereka pun bersembunyi di hutan. Akan tetapi, meski sudah jauh berlari, suara-suara itu masih tetap bisa mengejar. Para raksasa bermunculan satu persatu. Sumantri, yang begitu mencintai Sukasrana akhirnya memutuskan untuk melawan para raksasa. Dan, alangkah terkejutnya Sumantri bahwa ia bisa mengalahkan para raksasa itu.
Kemenangan itu menghantui pikirannya. Hari berlalu, dan pikiran itu masih tetap menghantuinya. Ia pun menemui Resi Suwandagni. Sang Ayah memerintahnya untuk pergi ke atas langit.
Di atas langit ada Alengka. Sumantri pergi diantar oleh tukang perahu, tapi mereka tidak berhenti disitu. Mereka terus menuju ke atas langit Alengka, ke Maespati yang dipimpin oleh Prabu Arjuna Sasrabahu. Meski, perjalanan ke Maespati selalu tak terduga, Sumantri bisa masuk dengan mulus tanpa hambatan dikarenakan oleh Aji Sepi Angin atau Aji Panglimunan Resi Suwandagni bekerja sangat efektif. Tapi, belum sempat Sumantri melewati pintu terakhir untuk masuk Maespati, sudah ada titah dari Yang Mulia Prabu Arjuna Sasrabahu: Pergi ke Magada dan rebut Dewi Citrawati untuk jadi permaisuri di Maespati.
Sumantri menuruti titah Sang Prabu. Ia berangkat ke Maespati untuk merebut Dewi Citrawati. Tapi ternyata, disana sudah ada banyak penantang yang kesemuanya tidak bisa mengalahkan Prabu Darma Wisesa hingga Gong tanda Sayembara berakhir ditabuh oleh Citranggada, adik Dewi Citrawati. Tetapi kemudian, Sumantri muncul. Menantang Prabu Darma Wisesa yang dituruti dengan terpaksa karena Dewi Citrawati tidak mau menikah dengan Prabu Darma Wisesa jika tantangan Sumantri tidak diterima.
Perang tak terelakkan. Berkali-kali Sumantri kewalahan. Namun akhirnya, ia memenangkan peperangan. Diboyongnya Dewi Citrawati menuju Maespati. Tapi tidak ada yang menduga bahwa perjalanan itu akan memicu peperangan selanjutnya.
****
Menilik dari cover-nya sudah dapat ditebak bahwa Serat Tripama adalah sebuah cerita wayang yang mengandung unsur komedi. Laki-laki dan perempuan yang boncengan di motor bebek diikuti kurcaci di belakangnya, berwajah tokoh wayang namun berpakaian modern seolah mengatakan bahwa ini adalah cerita wayang yang kekinian. Memiliki cita rasa tahun 2016. Suasana malam, awan dan bintang-bintang membuat buku ini sepintas terlihat seperti buku dongeng. Begitu pun untuk sinopsis. Saat membacanya, yang terbayang di pikiran saya adalah seseorang sedang menceritakan suatu dongeng cinta di depan saya dengan ekspresi lucu dan berubah-ubah. Dan dari sini, sudah terasa letak seni bercerita dari novel ini.
Cerita yang diangkat adalah cerita dalam seni perwayangan. Pertunjukan wayang adalah pertunjukan boneka tersohor di Indonesia. Warisan budaya, maha karya dalam seni bertutur dan bercerita terbaik yang pernah ada. Jujur saja, saya belum pernah membaca novel yang seperti ini sebelumnya atau menonton pertunjukan wayang secara langsung baik wayang orang maupun wayang kulit. Tapi, membaca Serat Tripama seolah sudah mewakilkan. Saya sangat menyukai cara penulis menceritakan rentetan kejadian dan cara para tokoh berinteraksi dan berbicara satu sama lain. Serat Tripama telah sukses memunculkan rasa penasaran saya terhadap pertunjukan wayang. Jadi pengen nonton langsuuuunggg
Gaya bertutur yang digunakan juga sangat menyenangkan. Tidak terkesan monoton dan membosankan, apalagi bikin mengantuk. Penggunaan beberapa istilah modern membuat Serat Tripama tidak terasa kaku, cenderung unik dan berbeda Sepanjang membaca tidak henti-hentinya saya tertawa. Namun, meski demikian, dari balik guyonan-guyonan yang ada, selalu ada quote menarik di dalamnya. Buku ini tidak melulu soal komedi. Berikut beberapa kutipan favorit saya:
"Bersama waktu, pingsan ada selesainya. Bersama waktu, capek juga ada selesainya."
"Hidup ini komedi. Semua akan lucu pada akhirnya."
"Apa kita kaum perempuan ini cuma diharuskan suka kepada laki-laki yang juara? Yang darahnya tak perah muncrat. Apa lelaki yang jadi juara selalu baik kepada istirnya? Apa lelaki yang giginya rompal pasti jelek kalau jadi suami?"
"Perikahan itu katanya kebahagiaan. Kebahagiaan pasti dicapai melalui jalan yang tidak masuk akal."
Selanjutnya, karena ini novel grafis atau novel dalam bentuk komik, untuk art-nya saya suka. Meski ada beberapa gambar yang membuat saya harus memicingkan mata begitu membacanya demi mencari arti dan memahami apa yang diceritakan, art dalam novel ini memiliki ciri khas tersendiri. Berbeda jauh dengan art yang terdapat pada manga-manga Jepang. Bagi saya, art pada manga Jepang seolah selalu tampil cantik, imut, indah sedangkan pada Serat Tripama kita tidak menemukan kesan demikian. Yang dibawa oleh novel ini adalah cerita. Gambarnya bercerita meski kadang hanya terlihat berupa sketsa kasar. Eh bukan bermaksud menjelekkan manga Jepang lho, ya. Saya juga salah satu spesies otaku dan penyuka manga apalagi manga shoujou hihi
Poin paling plus dari novel ini adalah soundtracksnya. Lagu-lagu yang ada pada novel ini juga bukan jenis lagu instrumental yang sering kita dengarkan untuk menemani kita membaca. Lagunya berlirik, bernada, bercerita dan diiringi oleh alat musik modern. Setiap lagu juga mewakilkan beberapa peristiwa penting yang merupakan inti dari cerita Serat Tripama.Saya nggak akan menyebutkan soundtracksnya disini. Nanti bisa cari tahu langsung dari novelnya :D
Saat membaca cerita ini, saya benar-benar memfokuskan perhatian saya pada setiap dialog maupun gambar untuk lebih memahami cerita dan saya meneukan ada satu kesalahan penulisan pada halaman 138. Nama Sang Prabu Arjuna Sasrabahu tercetak menjadi Prabu Arjuna Sasrobahu. Selebihnya, saya sangat suka ceritanya. Rating 4/5 :))