Judul Buku: Bilangan Fu
Penulis: Ayu Utami
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Terbit: 2008
Gambar Sampul dan Isi: Ayu Utami
Tataletak Sampul: Rully Susanto
Tataletak Isi: Wendie Artswenda
Tebal Buku: x + 573 hlmn,; 13,5 x 20 cm
ISBN 13: 978-979-91-0122-8
Rating: 4/5
Yuda, "si iblis", seorang pemanjat tebing dan petaruh yang melecehkan nilai-nilai masyarakat. Parang Jati, "si malaikat", seorang pemuda berjari dua belas yang dibentuk oleh ayah angkatnya untuk menanggung duka dunia. Marja, "si manusia", seorang gadis bertubuh kuda teji berjiwa matahari.
Mereka terlibat dalam cinta segitiga yang lembut, di antara pengalaman-pengalaman keras yang berasal dari sebuah kejadian aneh - orang mati yang bangkit dari kubur - menuju penyelamatan perbukitan gamping di selatan Jawa.
Di antara semua itu, bilangan Fu sayup-sayup menyingkapkan diri.
Pengarang menamai nafas novelnya "spiritualisme kritis". Yaitu, yang mengangkat wacana spiritual - keagamaan, kebatinan, maupun mistik - ke dalam kerangka yang menghormatinya sekaligus bersikap kritis kepadanya; yang mengangkat wacana keberimanan, tanpa terjebak dalam dakwah hitam dan putih.
Novel ini adalah manifesto Ayu Utami tentang sebuah sikap yang perlu diutamakan di zaman ini: sikap religius ataupun spiritual, yang kritis.
****
Buku ini berangkat dari kisah Yuda, seorang pemanjat tebing yang selalu memiliki sikap skeptis namun doyan bertaruh dalam kesahariannya. Pertemuannya secara tak sengaja dengan Parang Jati, mahasiswa geologi saat hendak mengambil peralatan panjat tebing di rumah salah satu temannya di Bandung ternyata menjadi awal mula persahabatan erat yang terjalin antara keduanya, pun sikap saling mengasihi antara mereka berdua dan Marja, kekasih Yuda. Namun, bukan kisah itulah yang hendak diceritakan. Buku ini lebih sebagai bentuk pengabadian Parang Jati, oleh Yuda dan penulisnya sendiri, Ayu Utami terhadap Parang Jati, pria berjari dua belas yang memiliki cara pandang yang sedikit berbeda juga sikap yang dinamainya "laku kritis".
Ada 3 bagian utama atau inti yang coba disampaikan Ayu Utami. Kalau bisa dikatakan, sebagai 3 hal yanh digugat dan dikritik sang penulis. Modernisme, monoteisme dan militerisme.
Pada bagian pertama, Ayu Utami menyampaikan bahwa di zaman sekarang, modernisme sudah terlalu banyak mengambil peran dalam kehidupan sehari-hari. Tak hanya pada penggunaan teknologi, tapi juga pada pola pikir manusianya. Keberadaan modernisme dalam hidup sejak ditawarkannya falsafah modern memang memberikan dampak yang positif namun juga tidak terbebas dari hal negatifnya. Dalam hal ini, sebagai contoh yang digunakan adalah kekerasan pada alam yang diakibatkan oleh sifat dan pola pikir modern orang-orang.
Sebelum datangnya agama dan pola modernisme, alam menjadi sesuatu yang dipuja banyak manusia. Dikeramatkan dan tidak bisa diganggu seenaknya, namun sejak pola modernisme masuk - yang selalu menekankan pada pembuktian dan bertolak belakang hingga mendongengkan takhayul, hal itu memberikan impak yang negatif pada contohnya, pemeliharaan alam. Dalam bagian ini, menurut saya pribadi, apa yang hendak disampaikan sang penulis dan apa yang saya tangkap adalah betapa modernisme menjadk jalan atau jembatan untuk memperkaya kaum kapitalis. Oleh sebab sikap modern, orang-orang tak lagi percaya pada hal-hal gaib atau mistik yang mendampingi alam, sehingga sesukanya melakukan eksploitasi dan penggunaan berlebihan,seperti penambangan daerah yang merupakan ekosistem yang patut dilindungi juga penebangan ilegal terhadap pohon-pohon yang sebenarnya menyimpan sumber-sumber penghidupan bagi seluruh manusia.
Setelah kritik atas modernisme, Ayu Utami melancarkan kembali "serangan" terhadap monoteisme atau kaum-kaum agamis yang memiliki kepercayaan tertentu atau keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Memang, dalam beberapa bagian, saya kurang setuju, karena pemggambaran kaum monoteisme disini seolah menitikberatkan pada kaum Muslim yang melarang pengeramatan atau penyembahan terhadap hal-hal gaib selain Allah karena itu adalah perilalu musyrik atau syirik. Namun, seperti "laku kritis" yang dikedepankan Parang Jati, saya sebagai pembaca mencoba menilai ide Ayu Utami ini secara objektif. Saya menghormati pendapatnya tapi tidak meyakini. Ada perbedaan yang jelas antara dua hal ini, ketika kita menerima pendapat orang lain walau itu bertentangan dengan keyakinan kita, dan ketika kita ikut meyakini juga. Menerima disini bukan dalam artian membenarkan karena pembenaran lebih dekat pada pengertian meyakini. Disini, saya mencoba menarik batas antara ide penulis dan apa yang saya yakini dalam agama saya sehingga saya menghasilkan hal atau opini atau mungkin cara lain. Jika Ayu Utami memilih gagasan tetap melestarikan sajen dan pemujaan terhadap roh roh halus (sekali lagu bukan karena meyakini atau dengan niat mempersekutukan Tuhan), maka saya memilih gagasan lain yakni bahwa memang dalam hidup ini, manusia tidak hidup sendiri. Jin-jin yang berdampingan dengan kita dan mungkin saja tinggal di hutan saya yakini ada, tapi jika ide ini dirasa tidak bisa menjadi plural dengan keyakinan lain, maka saya memilih pada gagasan bahwa hutan-hutan dan mata air yang ada memang patut dijaga karena disana juga hidup hewan-hewan yang membutuhkan rumah dan makanan. Pun kita manusia, butuh air dari sana. Memang akan sulit untuk dipraktekkan sepertinya, tapi itu hanya gagasan pribadi atau sebut saja sebagai apa yang saya petik dari membaca buku ini. Memang, tidak bisa "makan" dengan ide pelestarian sajen dan kebiasaan lainnya yang dianggap sebagai bagian dari budaya dan warisan nenek moyang, namun dalam kasus ini, rasanya hubungan dengan Tuhan dan hubungan dengan sesama manusia yang diajarkan untuk selalu dijaga akan terasa lengkap jika ditambahi dengan hubungan bersama alam sekitar juga ekosistemnya.
Sebenarnya, dalam kasus Parang Jati, Ayu Utami bukan menyalahi paham-paham agama namun lebih pada mengkritik kaum monoteis yang secara sadar atau pun tidak telah disusupi paham modernis yang kemudian diperalat oleh sikap militeris orang-orang kapitalis.
Pada bagian tiga, militerisme, jelas dan nampak sekali bahwa kritik yang disampaikan adalah ditujukan bagi pemerintahan, karena memang dalam bab ini yang lebih banyak mendominasi cerita adalah kejadian-kejadian ganjil yang mengikuti reformasi
Sejak awal-awal lengsernya Mantan Presiden Soeharto hingga pergantian pemimpin negara menjadi bapak Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tak hanya mengkritik sikap manusia terhadap alam, Ayu Utami juga mengangkat isu sosial yang pernah menimpajuga beberapa hal yang sempat meresahkan warga dan masyarakat pads zaman itu, yang menurut penulis diakari oleh sikap militeris dan keinginan untuk berkuasa.
Tempelan kliping beberapa berita harian dari koran juga banyak menghias buku ini, termashk opini Parang Jati yang sempat menimbulkan kekacauan karena perasaan terintimidasi dari para kaum yang ingin mendulang kekuasaan dari banyak peristiwa yang terjadi. Saya nggak bisa mengambil kesimpulan secara penuh, karena di zaman itu saya juga belum paham apa yang sebenarnya terjadi, tapi lewat selipan klipiing berita saya bisa sedikit mengatakan bahwa beberapa bagian dalam buku ini mungkin saja dipetik dari kisah nyata. Apalagi setelah membaca kolom ucapan terima kasih dari sang penulis.
Over all, buku ini keren dan sangat saya rekomendasikan bagi siapa yang suka dengan bacaan yang mencerahkan pikiran. Tapi, mungkin saya perlu mengatakan bahwa "laku kritis" sangat dibutuhkan dalam membaca buku ini serta menarik kesimpulan tentang apa yang hendak disampaikan penulisnya. Karena, pendapat kita bisa saja berbeda, bahkan jauh dari apa yang ditargetkan Ayu Utami sendiri. Tapi bagian paling kerennya adalah buku ini tidak hanya menggugat tiga isme di atas tapi juga dapat memperkaya khazanah ilmu penhetahuan pembacanya tentang sejarah, mitologi Jawa atau yang berkembang di Jawa pada masa itu, juga sedikit dari Sunda. Pun beberapa informasi terkait geologi lainnya.
Penulis: Ayu Utami
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Terbit: 2008
Gambar Sampul dan Isi: Ayu Utami
Tataletak Sampul: Rully Susanto
Tataletak Isi: Wendie Artswenda
Tebal Buku: x + 573 hlmn,; 13,5 x 20 cm
ISBN 13: 978-979-91-0122-8
Rating: 4/5
Yuda, "si iblis", seorang pemanjat tebing dan petaruh yang melecehkan nilai-nilai masyarakat. Parang Jati, "si malaikat", seorang pemuda berjari dua belas yang dibentuk oleh ayah angkatnya untuk menanggung duka dunia. Marja, "si manusia", seorang gadis bertubuh kuda teji berjiwa matahari.
Mereka terlibat dalam cinta segitiga yang lembut, di antara pengalaman-pengalaman keras yang berasal dari sebuah kejadian aneh - orang mati yang bangkit dari kubur - menuju penyelamatan perbukitan gamping di selatan Jawa.
Di antara semua itu, bilangan Fu sayup-sayup menyingkapkan diri.
Pengarang menamai nafas novelnya "spiritualisme kritis". Yaitu, yang mengangkat wacana spiritual - keagamaan, kebatinan, maupun mistik - ke dalam kerangka yang menghormatinya sekaligus bersikap kritis kepadanya; yang mengangkat wacana keberimanan, tanpa terjebak dalam dakwah hitam dan putih.
Novel ini adalah manifesto Ayu Utami tentang sebuah sikap yang perlu diutamakan di zaman ini: sikap religius ataupun spiritual, yang kritis.
****
Buku ini berangkat dari kisah Yuda, seorang pemanjat tebing yang selalu memiliki sikap skeptis namun doyan bertaruh dalam kesahariannya. Pertemuannya secara tak sengaja dengan Parang Jati, mahasiswa geologi saat hendak mengambil peralatan panjat tebing di rumah salah satu temannya di Bandung ternyata menjadi awal mula persahabatan erat yang terjalin antara keduanya, pun sikap saling mengasihi antara mereka berdua dan Marja, kekasih Yuda. Namun, bukan kisah itulah yang hendak diceritakan. Buku ini lebih sebagai bentuk pengabadian Parang Jati, oleh Yuda dan penulisnya sendiri, Ayu Utami terhadap Parang Jati, pria berjari dua belas yang memiliki cara pandang yang sedikit berbeda juga sikap yang dinamainya "laku kritis".
Ada 3 bagian utama atau inti yang coba disampaikan Ayu Utami. Kalau bisa dikatakan, sebagai 3 hal yanh digugat dan dikritik sang penulis. Modernisme, monoteisme dan militerisme.
Pada bagian pertama, Ayu Utami menyampaikan bahwa di zaman sekarang, modernisme sudah terlalu banyak mengambil peran dalam kehidupan sehari-hari. Tak hanya pada penggunaan teknologi, tapi juga pada pola pikir manusianya. Keberadaan modernisme dalam hidup sejak ditawarkannya falsafah modern memang memberikan dampak yang positif namun juga tidak terbebas dari hal negatifnya. Dalam hal ini, sebagai contoh yang digunakan adalah kekerasan pada alam yang diakibatkan oleh sifat dan pola pikir modern orang-orang.
Sebelum datangnya agama dan pola modernisme, alam menjadi sesuatu yang dipuja banyak manusia. Dikeramatkan dan tidak bisa diganggu seenaknya, namun sejak pola modernisme masuk - yang selalu menekankan pada pembuktian dan bertolak belakang hingga mendongengkan takhayul, hal itu memberikan impak yang negatif pada contohnya, pemeliharaan alam. Dalam bagian ini, menurut saya pribadi, apa yang hendak disampaikan sang penulis dan apa yang saya tangkap adalah betapa modernisme menjadk jalan atau jembatan untuk memperkaya kaum kapitalis. Oleh sebab sikap modern, orang-orang tak lagi percaya pada hal-hal gaib atau mistik yang mendampingi alam, sehingga sesukanya melakukan eksploitasi dan penggunaan berlebihan,seperti penambangan daerah yang merupakan ekosistem yang patut dilindungi juga penebangan ilegal terhadap pohon-pohon yang sebenarnya menyimpan sumber-sumber penghidupan bagi seluruh manusia.
Setelah kritik atas modernisme, Ayu Utami melancarkan kembali "serangan" terhadap monoteisme atau kaum-kaum agamis yang memiliki kepercayaan tertentu atau keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Memang, dalam beberapa bagian, saya kurang setuju, karena pemggambaran kaum monoteisme disini seolah menitikberatkan pada kaum Muslim yang melarang pengeramatan atau penyembahan terhadap hal-hal gaib selain Allah karena itu adalah perilalu musyrik atau syirik. Namun, seperti "laku kritis" yang dikedepankan Parang Jati, saya sebagai pembaca mencoba menilai ide Ayu Utami ini secara objektif. Saya menghormati pendapatnya tapi tidak meyakini. Ada perbedaan yang jelas antara dua hal ini, ketika kita menerima pendapat orang lain walau itu bertentangan dengan keyakinan kita, dan ketika kita ikut meyakini juga. Menerima disini bukan dalam artian membenarkan karena pembenaran lebih dekat pada pengertian meyakini. Disini, saya mencoba menarik batas antara ide penulis dan apa yang saya yakini dalam agama saya sehingga saya menghasilkan hal atau opini atau mungkin cara lain. Jika Ayu Utami memilih gagasan tetap melestarikan sajen dan pemujaan terhadap roh roh halus (sekali lagu bukan karena meyakini atau dengan niat mempersekutukan Tuhan), maka saya memilih gagasan lain yakni bahwa memang dalam hidup ini, manusia tidak hidup sendiri. Jin-jin yang berdampingan dengan kita dan mungkin saja tinggal di hutan saya yakini ada, tapi jika ide ini dirasa tidak bisa menjadi plural dengan keyakinan lain, maka saya memilih pada gagasan bahwa hutan-hutan dan mata air yang ada memang patut dijaga karena disana juga hidup hewan-hewan yang membutuhkan rumah dan makanan. Pun kita manusia, butuh air dari sana. Memang akan sulit untuk dipraktekkan sepertinya, tapi itu hanya gagasan pribadi atau sebut saja sebagai apa yang saya petik dari membaca buku ini. Memang, tidak bisa "makan" dengan ide pelestarian sajen dan kebiasaan lainnya yang dianggap sebagai bagian dari budaya dan warisan nenek moyang, namun dalam kasus ini, rasanya hubungan dengan Tuhan dan hubungan dengan sesama manusia yang diajarkan untuk selalu dijaga akan terasa lengkap jika ditambahi dengan hubungan bersama alam sekitar juga ekosistemnya.
Sebenarnya, dalam kasus Parang Jati, Ayu Utami bukan menyalahi paham-paham agama namun lebih pada mengkritik kaum monoteis yang secara sadar atau pun tidak telah disusupi paham modernis yang kemudian diperalat oleh sikap militeris orang-orang kapitalis.
Pada bagian tiga, militerisme, jelas dan nampak sekali bahwa kritik yang disampaikan adalah ditujukan bagi pemerintahan, karena memang dalam bab ini yang lebih banyak mendominasi cerita adalah kejadian-kejadian ganjil yang mengikuti reformasi
Sejak awal-awal lengsernya Mantan Presiden Soeharto hingga pergantian pemimpin negara menjadi bapak Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tak hanya mengkritik sikap manusia terhadap alam, Ayu Utami juga mengangkat isu sosial yang pernah menimpajuga beberapa hal yang sempat meresahkan warga dan masyarakat pads zaman itu, yang menurut penulis diakari oleh sikap militeris dan keinginan untuk berkuasa.
Tempelan kliping beberapa berita harian dari koran juga banyak menghias buku ini, termashk opini Parang Jati yang sempat menimbulkan kekacauan karena perasaan terintimidasi dari para kaum yang ingin mendulang kekuasaan dari banyak peristiwa yang terjadi. Saya nggak bisa mengambil kesimpulan secara penuh, karena di zaman itu saya juga belum paham apa yang sebenarnya terjadi, tapi lewat selipan klipiing berita saya bisa sedikit mengatakan bahwa beberapa bagian dalam buku ini mungkin saja dipetik dari kisah nyata. Apalagi setelah membaca kolom ucapan terima kasih dari sang penulis.
Over all, buku ini keren dan sangat saya rekomendasikan bagi siapa yang suka dengan bacaan yang mencerahkan pikiran. Tapi, mungkin saya perlu mengatakan bahwa "laku kritis" sangat dibutuhkan dalam membaca buku ini serta menarik kesimpulan tentang apa yang hendak disampaikan penulisnya. Karena, pendapat kita bisa saja berbeda, bahkan jauh dari apa yang ditargetkan Ayu Utami sendiri. Tapi bagian paling kerennya adalah buku ini tidak hanya menggugat tiga isme di atas tapi juga dapat memperkaya khazanah ilmu penhetahuan pembacanya tentang sejarah, mitologi Jawa atau yang berkembang di Jawa pada masa itu, juga sedikit dari Sunda. Pun beberapa informasi terkait geologi lainnya.
Butuh menyepi membaca buku-bukunya Ayu Utami, kalau saya sih.. ��
BalasHapusMemang Mbak, kalau nggak fokus ntar nggak mudeng haha
Hapus