Penulis:
Indah Hanaco
Penerbit:
PT. Elexmedia Komputindo
Terbit:
2015
Editor:
Afrianty P. Pardede
ISBN:
978-602-02-5775-4
Rating:
3/5
Ivana
Zelde bukan sosok sempurna yang diimpikan para gadis. Dia penderita disleksia
hingga sampai pada taraf tidak mampu membaca. Dikhianati kekasih dengan cara
yang sulit dibayangkan memang terjadi di dunia nyata. Karena kekurangannya,
seumur hidup Ivana dihujani perhatian yang justru dianggap menyesakkan.
Hugh
Joaquin Levine pernah berada di puncak dunia. Hingga kecelakaan di Valencia
seakan merenggut udara dan gravitasi dari hidup Hugh. Semua jungkir balik dan
membuat cowok itu berakhir dalam kondisi menyedihkan.
Hugh
pernah sangat ingin mengakhiri hidupnya, hingga bertemu dengan Ivana. Lalu dunia
bergerak cepat di sekitar mereka, termasuk perasaan yang terus bertumbuh tanpa
bisa dihalau. Namun mereka punya terlalu banyak perbedaan sehingga sulit untuk
tetap bersama. Tapi, apakah Hugh kembali menyerah dan melepaskan Ivana dengan
mudah? Karena tanpa Ivana, Hugh takkan bisa bahagia lagi.
****
Ivana
Zelde adalah seorang wanita yang berasal dari keluarga berkecukupan namun tidak
dianugerahi kemampuan membaca dan menulis. Ia penderita disleksia yang sama
sekali buta huruf. Meski demikian, hidupnya cukup bahagia dengan kehadiran
kedua orangtua yang amat menyayanginya, dua kakak laki-laki – Hans dan Irving
selalu sedia menjadi pelindungnya, serta Damon, sang kekasih yang bersedia
menerima dan mencintai apa adanya. Namun, ternyata kebahagiaan itu tidak
berselang lama. Pengkhianatan yang Damon lakukan justru mendatangkan kerugian
untuknya. Sebagai penderita disleksia, Ivana sudah terbiasa mendapat perhatian
super dari orang-orang di sekelilingnya, bahkan perlindungan yang tiada tara.
Dan, kabar putusnya hubungannya dengan Damon membuat keluarganya jadi makin
ekstra memperhatikannya, perhatian yang membuat Ivana justru merasa dikekang,
bukannya disayangi. Oleh karenanya, Ivana memutuskan untuk sejenak menjauh dari
keluarganya. Ia ingin membuktikan bahwa meski menyandang cacat, ia bisa diberi
kepercayaan untuk pergi sendiri. Akhirnya, dengan sedikit paksaan, Ivana
berhasil memperoleh izin sang mama untuk menyusul Irving ke London.
Sementara
itu, Hugh Joaquine Levine, seorang pembalap terkenal harus menelan pil pahit
dan melupakan impiannya karena kecelakaan yang terjadi saat uji coba ajang Formula One di Valencia. Kenyataan bahwa
ia tak bisa menjadi pembalap lagi membuat Hugh hancur. Ditambah sang kekasih –
Claudia, memilih meninggalkannya ketika karir balap Hugh terhenti secara tak
terduga. Hal tersebut membuat Hugh kehilangan semangat hidupnya dan berusaha
untuk mengakhiri segalanya dengan cara bunuh diri.
Ivana
tidak pernah menduga akan berhubungan dengan cowok asing yang tidak dikenalnya,
tapi secara naluriah, Ivana yang saat itu sudah berada di London, dengan
kecepatan yang tak pernah ia bayangkan, serta keberanian yang entah datang dari
mana nekad menyelamatkan sesosok cowok yang sedang melakukan usaha bunuh diri
dengan menabrakkan dirinya ke Double
Dekker.
Aksi
nekad yang Ivana lakukan ternyata justru menjadi jembatan penghubung antara
dirinya dan Hugh. Membuat cowok itu dengan terpaksa menceritakan kisah pahit
hidupnya pada Ivana karena merasa bertanggungjawab untuk sebuah penjelasan dan
alasan kenapa ia lebih memilih mengakhiri hidupnya.
Kebersamaan
yang dibangun oleh sesuatu yang insidentil itupun secara perlahan malah menimbulkan
benih-benih cinta antara mereka dalam waktu kurang dari tiga hari.
****
Konflik
dalam buku ini tergolong ringan, hanya seputar kisah cinta. Walau demikian,
keberadaan Hugh dan profesinya sebagai pembalap menjadi warna tersendiri. Jujur
saja, saya bukan penyuka olahraga ini walau kadang-kadang kalau lagi iseng suka
nonton, tapi kisah Hugh dan perjuangannya dalam berkarir sekaligus mengejar
impiannya cukup mengesankan saya. Sisi menarik lainnya adalah Ivana diceritakan
sebagai wanita yang menderita diskleksia juga menjadi keunikan tersendiri. Walau
disini penyakitnya tersebut tidak begitu nampak karena kisahnya dimulai di
pertengahan hidupnya, bukan saat awal-awal ia dikenali sebagai penderita
disleksia. Sayang, untuk hal ini kurang diulas. Ivana dan Hugh adalah dua orang
dengan kisah hidup pahit yang berbeda, tapi menurut saya yang lebih kelihatan
pahitnya disini justru Hugh. Jadi, bukunya memang berkisah seputar Ivana si
wanita penderita disleksia yang jatuh cinta dalam beberapa hari saja pada
mantan pembalap yang pernah mencoba bunuh diri, tapi sisi sedih justru datang
dari Hugh, bukan Ivana.
Jadi,
dapat dikatakan bahwa permainan emosi dalam buku ini kurang ngena, padahal hidup Ivana dan Hugh
cukup rumit.
Asyiknya,
pertemuan pertama Ivana dan Hugh cukup mengesankan. Saya suka dengan karakter
Ivana disini, tapi setelah ia dan Hugh saling mengakui perasaan masing-masing,
saya justru didera bosan. Entah kenapa, karakter keduanya malah membuat saya
jadi kurang tertarik lagi. Belum kegalauan Ivana yang diakibatkan oleh
permaninan pikirannya sendiri. Yang justru menarik hati saya adalah Irving,
sang kakak yang punya mulut pedas tapi senantiasa bicara dengan logika dan
realita.
Untuk
penyelesaian konfliknya terasa biasa. Memang sih akan jatuh terlalu drama kalau
kisahnya dibuat lebih rumit lagi, tapi ya itu tidak drama tapi tidak greget
juga. Namun, satu hal penting yang dapat kita petik dari kisah Ivana dan Hugh
adalah kekurangan yang dimiliki keduanya justru hal yang membuat mereka
sempurna ketika bertemu. Ivana ‘memberi hidup’ pada Hugh yang sudah kehilangan
semangat untuk bertahan, sebaliknya Hugh memberikan kepercayaan diri pada Ivana
bahwa meski dengan keterbatasan kemampuan yang ia miliki, ia masih dapat
melakukan banyak hal dan mengisi harinya dengan kebahagiaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar