Judul Buku: Di Tanah Lada
Penulis: Ziggy Zezyazeoviennazabrizkie
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 2015
Editor: Mirna Yulistianti
Copy Editor: Rabiatul Adawiyah
Ilustrasi Sampul dan Isi: Ziggy Zezyazeoviennazabrizkie
Desain Sampul: Suprianto
Setter: Fitri Yuniar
ISBN: 978-602-03-1896-7
Rating: 4/5
Namanya Salva. Panggilannya Ava. Namun papanya memanggil dia Saliva atau ludah karena menganggapnya tidak berguna. Ava sekeluarga pindah ke Rusun Nero setelah Kakek Kia meninggal. Kakek Kia, ayahnya Papa, pernah memberi Ava sebagai kamus hadiah ulang tahun yang ketiga. Sejak itu Ava menjadi anak yang pintar berbahasa Indonesia. Sayangnya, kebanyakan orang dewasa lebih menganggap penting anak yang pintar berbahasa Inggris. Setelah pindah ke Rusun Nero, Ava bertemu dengan anak laki-laki bernama P. Iya, namanya hanya terdiri dari satu huruf P. Dari pertemuan itulah, petualangan Ava dan P bermula hingga sampai pada akhir yang mengejutkan.
****
Satu pertanyaan besar yang diberikan Ziggy lewat buku ini: Bagaimanakah idealnya menjadi orangtua yang baik? Salva adalah seorang anak berusia enam tahun yang sudah tumbuh lebih cerdas dari anak seusianya. Kecerdasan itu datang dari kebiasaannya membaca kamus bahasa Indonesia yang diberikan Kakek Kia padanya. Ketika ada pembicaraan yang ia tangkap dan tidak ia mengerti artinya, maka Ava dengan sendirinya akan mencari arti kata tersebut dalam kamus, lantas menarik kesimpulan dari arti-arti yang ia kumpulkan. Itulah kenapa, ketika dia berbicara, kalimat yang keluar hampir selalu lebih dewasa dari usianya.
Namun, kecerdasan Ava tidak diimbangi dengan masa kecil yang bahagia. Di usianya yang masih kecil, ia sudah terbiasa melihat kemarahan papanya yang ia pahami sebagai bentuk kejahatan. Sebagai refleksi bahwa papanya tidak menyayanginya. Ditambah lagi, pendidikan dan nasihat-nasihat yang diberikan mamanya selalu bertolak belakang dengan tingkah laku papanya. Bagi Ava, papanya jahat, papanya monster, dan papanya setan.
"Kata Mama, kalau melakukan perbuatan tidak baik, itu berarti kita dibujuk setan. Judi adalah perbuatan tidak baik, menurut Mama. Jadi, Papa diajak setan untuk berjudi. Orang-orang yang berjudi semuanya diajak setan. Papa bilang, teman-temannya yang mengajak dia judi. Jadi, teman-temannya Papa itu setan. Dan, kalau Papa mengajak orang lain untuk berjudi, Papa juga setan. Jadi benar kalau aku bilang Papa adalah setan - hlmn 33"
Usia Ava dan pemikirannya yang masih polos, juga hal-hal yang ia alami (dikasari Papa, dimaki Papa, dibentak Papa, dianggap ludah) telah membentuk pribadi gadis kecil yang memprihatinkan.
Ketika Kakek Kia meninggal dan warisannya jatuh ke tangan papa Ava, mereka sekeluarga pindah ke Rusun Nero karena papanya suka tempat itu. Dekat dengan kasino, untuk berjudi. Di rusun ini, Ava bertemu dengan anak laki-laki bernama P. Hidup P juga tidak jauh beda dengan Ava. Ia juga punya papa yang kasar dan selalu memukulnya. Bedanya, kalau Ava masih punya Mama yang sayang padanya, P tidak. Mamanya pergi meninggalkannya. Untungnya, ia masih punya Kak Suri yang mau mengajarinya bahasa Inggris dan Mas Alri yang baik sekali membelikannya gitar.
Ketika seorang anak dengan tekanan mental bertemu dengan anak lainnya yang memiliki masalah psikis, maka yang akan terjadi adalah "perkawinan" pola pikir dan pendapat mereka. Dan pola pikir itu sayangnya terkadang "menyesatkan." Karena mereka hanya mengambil kesimpulan dari apa yang mereka lihat dan alami. Seperti Ava yang bertemu P, keduanya sama-sama memiliki papa yang jahat. Akhirnya mereka pun mengambil kesimpulan bahwa semua papa itu jahat, dan P yang kelak akan jadi papa juga akan jadi papa yang jahat. Ava dan P sama-sama tumbuh menjadi anak yang skeptis terhadap kebahagiaan.
Walau pada beberapa bagian terasa kurang rasional, mengingat pencerita disini adalah Ava tapi sudah terlalu 'dewasa', buku ini menjadi peringatan bagi setiap orangtua bahwa apa yang kita lakukan akan berdampak pada anak-anak. Mulai dari pembentukan pola pikirnya, caranya menilai sesuatu/kejadian, hingga tingkah laku. Pads akhirnya, buku ini tidak memberi jawaban tentang bagaimana seharusnya kita menjadi orangtua atau orangtua yang baik itu seperti apa. Ziggy meminta kita mencari sendiri jawabannya lewat kehidupan kita sehari-hari, dalam interaksi dan cara kita memperlakukan anak-anak.
Buku ini juga memberikan pesan tersiat bahwa, membekali anak-anak kita dengan buku pelajaran guna menambah ilmu pengetahuan adalah hal yang baik, tapi tidak akan berubah jadi baik jika kita tidak mendampingi mereka dalam mempelajari hal-hal itu. Anak-anak butuh orangtuanua untuk meluruskan pemahamannya, butuh didampingi, bukam dibiarkan belajar sendirian. Karena seperti Ava, bisa saja mereka menarik kesimpulan yang keliru atas suatu kejadian/peristiwa atau dari hal-hal yang mereka baca dan pelajari itu. Anak-anak adalah amanah dan menyia-nyiakan mereka tidak akan membuat kita bahagia.
"Ava tahu Mama sayang Ava. Tapi Mama nggak butuh Ava. Mama sering lupa soal Ava, karena Mama nggak butuh Ava - hlmn 148"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar