Catatan harian yang semakin renta dan tua

Senin, 23 Desember 2013

Cinta Tak Sempurna #2 #3

Aku ‘ada’ namun akan selalu ‘tiada’. Di matamu.
_Bianca Lewis_

*DUA*
****
“Tangkep.” Tiba-tiba saja Fabian memeluk pinggang Bina dari belakang. Bina yang tidak mengetahui kedatangan Bian, secara otomatis terkejut dengan perlakannya itu. Begitu pula Bianca yang saat itu sedang berjalan menuju kelas bersamanya. Bianca adalah sahabat kental Shabrina sejak SMP. Dari dulu mereka selalu bersama. Tidak pernah terpisah. Selalu sekelas dan menjadi teman sebangku. Bahkan saat kuliahpun mereka menempuh pendidikan di fakultas, jurusan dan program studi yang sama. Hari ini mereka akan mengikuti ujian akhir semester di semester merka yang pertama sebagai mahasiswi.
“Astagfirullahaladzim.” Ucap Bina beristighfar sambil melepaskan pelukan tiba-tiba itu. Pasalnya, Bian adalah orang yang palin ‘dingin’ sedunia. Es Batu Bernyawa. Itulah julukannya. Ia adalah orang dengan sifat romantis yang sangat berbeda.
“Aduh Bian. Bisa nggak sih kamu nggak ngagetin aku? Aku kirain hantu.” Tegur Bina sedikit kesal.
Dengan gemas Bian mengacak poni Bina. “Mana ada hantu siang-siang?”
“Aduh jangan dirusakin rambutnya.”

“Tumben kamu ngurusin rambut? Biasanya mo tampilannya udah kayak rambut singa kamu juga nggak peduli.” Komentar Bian. Aneh sekali mendapati Bina mengurusi hal sepele semacam rambut.
“Ya aku kan cewek. Masa menjaga penampilan dibilang tumben?” Bian mengerutkan kening, bingung dengan jawaban Bina.
“Harusnya aku yang nanya. Kamu kenapa jadi aneh begini? Sejak kapan ‘es batu’ jadi anget?” Tanya Bina sambil meraba kening Bian dengan telapak tangannya. “Kamu nggak salah minum obat, kan?”
“Nggak. Aku salah minum racun!” Jawab Bian bercanda. Kontan tawa Bina meledak mendengar jawaban konyol pacarnya itu. Tanpa sadar mereka jadi melupakan Bianca.
“Udah ah. Malu diliatin Bianca. Sorry ya, Bi.” Ucap Bina sambil memandang ke arah Bianca tapi Bianca sudah tidak ada.
“Lha Bianca-nya kemana, Bi?” Tanyanya pada Bian sambil celingak-celinguk kiri-kanan. Heran Bianca tiba-tiba menghilang tanpa suara.
“Udah pergi tadi.” Jawabnya santai.
“Kok kamu nggak bilang aku?” Tanyanya.
“Emang kamu bodyguard dia sampe dia harus bilang-bilang dulu kalo mau pergi?” Bina tidak menjawab. Ia tahu bahwa Fabian tidak bermaksud buruk. Ia hanya bercanda. Walaupun terkadang candaanya tidak tepat dikatakan sebagai candaan.
 “Oh iya, Na. Hari ini kamu mau jalan-jalan ke mana?” Tanya Fabian mengubah topik pembicaraan sambil berjalan di samping Bina. Sekedar mengantarnya sampai ke kelas. Ia dan Bina memang kuliah di kampus yang sama. Hanya saja mereka berbeda fakultas dan jurusan. Bian menempuh pendidikan di bidang Teknik Arsitek.
“Jalan-jalan?” Tanya Bina heran.
“Iya jalan-jalan. Siapa tahu aja kamu mau ngerayain. Soalnya kemaren kan nggak sempet. Tapi kalo nggak ya malah lebih bagus. Aku jadi bisa tidur seharian pulang dari kampus.” Jawab Bian cuek. Bina tahu maksud Bian. Merayakan anniversary mereka. Kemarin mereka memang tidak sempat merayakannya karena dengan menyebalkannya Bian harus diserang penyakit sakit perut yang membuatnya harus bolak-balik ke kamar mandi. Mencri-mencri.
“Dasar tidur mulu kamu kerjaannya.” Komentar Bina sambil menepuk pelan tangan Bian yang saat ini sedang menggandeng tangannya.
“Ya terus?”
“Kita main di time zone, gimana? Aku udah lama nggak maen. Kangen juga seru-seruan disana.” Jawabnya antusias. Ia sudah membayangkan betapa serunya jika Bian mau menemaninya bermain di time zone.
“Itu aja?”
“Terus abis itu kita makan es krim.”
“Trus ngapain lagi?”
“Kita nonton.”
“Nonton apa?”
“Terserah. Tapi jangan film yang mellow. Entar hari kita yang lagi happy jadi ikutan mellow.
“Masa sih?”
“Iya. Pokoknya aku nggak mau nonton film yang mellow. Kalo perlu kita nonton horror atau thriller sekalian.”
“Lha kita kan mau ngerayain anniversary. Jadi harusnya nonton film yang romantis dong.”
“Yah….” Keluh Bina sambil menatap Bian dengan tampang yang sengaja dibuat memelas.
“Iya…iya pokoknya hari ini aku ikutin semua mau kamu.” Bina tersenyum mendengar jawaban Bian. Bian memang selalu seperti ini. Mengalah padanya namun bukan karena terpaksa. Bianpun begitu. Ia sudah sangat mengenal Bina. Bisa dibilang, tidak ada hal-hal tentang Bina yang tidak diketahuinya kecuali hal-hal yang dilabeli Bina dengan “girl stuff”. Bina bukanlah perempuan seperti perempuan pada umumnya. Ia sedikit ‘berbeda’ dalam beberapa hal. Tapi itulah yang ia suka. Ia apa adanya.
“Tapi aku nambahin satu boleh, kan?” Tanyanya dengan senyum yang menurut Bina terlihat aneh.
“Apa?” Tanyanya gugup dengan alasan yang tidak jelas.
“Sebelum pergi…” Bian sengaja menggantung kalimatnya
“Iya?” Tanya Bina tak sabar.
“Kita…”
“He eh?”
“Makan siang dulu.” Ucapnya sambil menyentil kening Bina yang sudah berkerut layaknya nenek-nenek keriput, kemudian berlalu dengan tawa tanpa suara.
“Biaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaannnnnnnnnnnn……”
****
Bianca menatap pemandangan di depan kelasnya dengan tatapan nanar. Pemandangan itu benar-benar kembali mengiris-ngiris hatinya yang memang sudah tesayat sejak dulu. Membuat hatinya yang baru saja selesai ia kumpulkan serpihannya,  dengan sangat menyedihkan harus kembali berhamburan. Tadi, ia sengaja meninggalkan Fabian dan Shabrina dengan harapan agar perih di hatinya bisa sedikit diminimalisir. Ternyata seperti yang sudah sudah, waktu kembali tak berpihak padanya. Pemandangan Fabian dan Shabrina bercanda layaknya orang-orang pacaran pada umumnya kembali ‘dinikmatinya’ bahkan saat ia sudah berusaha menghindarinya.
Bian tersenyum menatap Bina, Bian yang menggoda Bina, Bian yang menatap Bina dengan penuh sayang, dan perlakuannya yang terkadang terlihat menyebalkan namun sebenarnya manis.
“Eh Bi. Lo tadi kenapa main pergi aja sih?” Tegur Bina yang entah sejak kapan sudah duduk di sampingnya. Ia terlalu fokus pada Bian dan sakit hatinya hingga tidak menyadari bahwa gadis itu sudah masuk ke kelas sejak tadi.
“Eh?” Tanyanya bingung.
“Yah dianya bengong.”
“Nggak kok. Gue nggak bengong.” Elaknya. Gue cuma lagi berusaha menata hati gue lagi. Sambungnya dalam hati.
“Trus gue tanya apa tadi?” tantang Bina.
“Itu….. itu….gue…” Bianca gelagapan.
“Apa coba?”
“Ya masa gue liatin lo berdua pacaran?! Emang gue obat nyamuk?” Tebaknya asal. Semoga aja jawabannya ‘ngena’. Doanya dalam hati.
Bina mengerutkan keningnya bingung. Ia yakin sejak tadi Bianca memang sedang melamun. Tapi kok..??
****
Ditatapnya gadis yang dicintainya itu dengan tatapan hampa. Sampai kapan akan terus begini? Sampai kapan gadis itu akan bertahan dengan perasaannya? Jelas-jelas laki-laki itu tidak memandangnya sama sekali. Jelas-jelas Fabian tidak mengacuhkannya. Jelas-jelas Fabian tidak mencintainya. Jelas-jelas Fabian hanya menatap Shabrina. Dan jelas-jelas bahwa harapan yang ia simpan selama ini tidak memiliki lentera untuk menemukan jalannya. Tapi kenapa?
Hh. Lagi-lagi pertanyaan ini. Kenapa dan mengapa? Dua pertanyaan dengan maksud dan tujuan yang sama. Sebab. Apa sebabnya? Dan dengan jelas ia pun tahu jawabannya. Karena ia bukan siapa-siapa. Karena ia tidak memiliknya. Ia tidak mencintainya. Gadis itu tak mencintainya. Bianca TIDAK mencintainya.
Tapi…apa yang membuat ‘kenapa’-nya Bianca tidak menemukan sebabnya? Apa yang sebenarnya ada di pikiran gadis itu? Mereka sama. Ia dan gadis itu sama. Sebabnya sama. ‘Karena’ untuk ‘mengapa’-nya dan gadis itu sama. Karena Fabian tidak mencintai gadis itu. Karena Fabian TIDAK mencintai Bianca. Sama sekali.
****
Bara melangkah memasuki salah satu mall di bilangan Jakarta dengan wajah riang. Iya. Wajah riang. Bisa dibayangkan bagaimana pemandagan seorang pemuda melangkah memasuki mall dengan wajah…riang. Persis seperti anak kecil yang dijanjikan akan dibelikan mainan baru.
Ia riang bukan tanpa alasan. Ia masih ingat percakapannya dengan seseorang via telepon tadi subuh. Ingat baik-baik. TADI SUBUH. Benar-benar mengganggu.
****
If you could see what I see.
You’re the answer to my prays.
If you could feel the tenderness I feel
You would know it will be clear that angels brought me here.
Suara merdu Guy Sebastian dengan Angels Brought Me Here-nya mengalun lembut di salah satu sudut kamar dengan gaya minimalis itu. Seorang laki-laki, dengan wajah setengah mengantuk dengan sangat terpaksa bangun dari tidurnya dan mengangkat panggilan telepon itu setelah sebelumnya melirik weker di nakas samping tempat tidurnya. Pukul 03.30. Shit! Dari nomor yang tidak dikenal.
“Halo?” Sapanya dengan suara serak sambil menahan kantuk yang masih menyerang.
“What’s up, Brother?” Jawab sebuah suara berat. Seorang laki-laki.
“Siapa?” Bimo. Si orang yang ditelepon bertanya dengan nada dingin.
“Gile. Sejak kapan lo ngomong irit?”
“Ini siapa, ya?”
“Wah…wah… pake bahasa formal lagi. Nyantai aja sama gue, Bro.
“Maaf saya tidak punya waktu untuk main-main dengan Anda.”
“Galak bener.”
“Terima kasih.” Baru saja laki-laki itu akan menutup teleponnya…
“Eh Bim Bim. Bibimbab.” Tahan si penelepon. Berusaha mematahkan keinginan Bimo memutus sambungan telepon.
Ia kenal cara memanggil itu. “Anjrit lo!” makinya sambil menutup telepon. Itu Bara. Si biang onar. Pantas saja kurang ajar. Mengganggu saja.
Drrtt…drrttt…
From: 08575621XXXX
Ambekan banget lo! Kyk cewek.
Eh reunian. Gue nantangin lo!
PS: No gue di-save. Kl gk kena denda 500 koin duit cepe’ versi dulu
Bimo tersenyum membaca pesan itu. Itu pesan dari orang rese yang baru saja mengganggunya. Sahabatnya sejak kecil. Fay Bara Putra. Nama yang terdengar hampir sama dengan salah satu tokoh dalam anime favoritnya – Detective Conan, Haibara.
Ia tahu apa maksud Bara dengan menantangnya. Tanding game di time zone. Benar-benar Om Om dengan masa kecil yang tidak bahagia.

_TIGA_
“Duluan ya, Bi.” Pamit Bina padanya. Siang ini, seperti yang telah direncanakan, mereka – Bian dan Bina akan merayakan anniversary mereka yang keempat yang sempat tertunda. Bianca menyunggingkan senyum tipisnya untuk mengantar mereka. Setelah mereka hilang dari pandangan, ia bergegas pulang ke rumah.
Sesampainya di rumah, pemandangan menyedihkan itu kembali didapatinya. Pemandangan yang sudah sangat biasa namun tetap menyakitkan. Mamanya duduk di ruang keluarga sambil menangis dengan wajah memar dan lebam. Ia yakin itu perbuatan siapa. Pasti Dad pulang tadi dan kembali mengamuk untuk hal yang sama sekali bukan kesalahan mamanya.
“Ma..” Ucapnya sambil mengambil duduk di samping mamanya.
Jihan – mama Bianca yang tidak menyadari kedatangan anak bungsunya itu dengan tergesa menghapus air matanya dan berusaha kembali menetralkan air mukanya.
“Kamu udah pulang, sayang?” Tanyanya sambil menatap putrinya dengan senyum yang Bianca yakin sangat sangat dipaksakan.
“Tadi Dad pulang ya, Ma? Kok mama nggak lansgung nelpon Bianca?” Tanyanya hati-hati.
“Kamu udah makan siang?” Tanya mama lagi. Sama sekali tidak menghiraukan pertanyaan Bianca.
“Ma. Sampai kapan kita mau begini terus? Sampai kapan mama mau diperlakukan begini terus? Bianca udah nggak tahan, Ma.” Jawabnya.
“Mama buatkan makan siang dulu ya, sayang. Kamu pasti lapar.” Ucap mama sambil melangkah ke arah dapur.
“MA!” Teriak Bianca sambil berusaha menahan air matanya yang sudah ingin melesak keluar.
“Maafkan mama.” Ucap mama sambil terus berlalu. Bianca hanya bisa terduduk di sofa. Menyayangkan kebodohan mamanya. Iya. Mama bodoh. Terserah orang mau bilang ia kurang ajar ataupun tidak hormat pada orang tua. Memang kenyataannya seperti itu. Mama bodoh. Saking bodohnya sampai mama rela bertahan hidup dengan laki-laki brengsek seperti ayahnya. Laki-laki yang selalu menyakiti mama baik secara fisik maupun mental. Hampir setiap malam ayahnya bergonta-ganti perempuan dan bahkan tak jarang membawanya ke rumah. Hampir setiap hari mama dipukuli hanya karena hal-hal sepele. Hanya karena menanyakan kenapa Dad baru pulang, hanya karena menanyakan apa Dad sudah makan. Bahkan Kak Ryan saja sampai minggat dari rumah karena tidak tahan dengan perilaku Dad. Entah dimana Kak Ryan berada sekarang. Ia tidak tahu dan juga tidak bisa mencari tahu karena itulah pesan kakaknya sebelum ia meninggalkan rumah.
“Jangan pernah nyari gue. Jangan pernah berusaha nemuin gue. Anggap aja gue udah mati. Anggap aja gue nggak pernah ada sebagai kakak lo. Jaga mama.” Itulah pesan terakhir Kak Ryan. Entah apa maksudnya. Ia juga tidak tahu. Semuanya gelap. Ia sama sekali tidak tahu apa penyebabnya. Ia tidak tahu apa perubahan sikap Dad. Ia tidak tahu kenapa mama masih bertahan dan berusaha mempertahankan pernikahannya yang sama sekali tidak memiliki harapan lagi. Ia tidak tahu kenapa selama delapan tahun ini mama diam saja diperlakukan tidak adil oleh ayahnya.
Ia tidak tahu kenapa Kak Ryan pergi. Ia tidak tahu kenapa Kak Ryan tidak ingin dicari ataupun ditemukan. Ia tidak tahu.
****
Bian dan Bina duduk di salah satu café dengan keringat di wajah masing-masing. Ini sudah jam empat sore. Tidak terasa sudah tiga jam mereka menghabiskan waktu di time zone. Membuat mereka kelelahan dan kembali merasa lapar. Sambil menunggu pesanan mereka detang. Bina terus saja berceloteh tentang lucunya ujian mereka pagi tadi. Ronny, salah satu teman sekelsanya tertangkap basah sedang menyontek. Namun, dengan ceriknya ia mengatakan bahwa itu bukanlah kertas contekan melainkan kertas coretan-coretan yang ia gunakan untuk belajar tadi malam. Bertepatan mereka ujian Matematika Ekonomi jadi dengan hebatnya si  Ronny bisa membodohi sang pengawas. Bian hanya bisa tertawa mendengarnya.
Beberapa meja dari mereka, sedang duduk dua orang laki-laki yang juga sedang menunggu pesanan mereka. Mereka juga baru selesai adu ketangkasan di arena time zone. Siapa lagi kalau bukan Bimo dan Bara. Dua sahabat kental sejak SMA yang baru kembali bertemu setelah empat tahun.
“Gila capek.” Keluh Bara si penantang. Keringatnya bercucuran membasahi kemeja kerjanya. Ia sengaja kabur dari acara pelimpahan wewenang di kantor setelah sebelumnya memberikan sedikit komentar. Jadi kali ini ia telah resmi menyandang jabatan sebagai CEO (Chef Executive Officer) di perusahaan yang selama ini diambil alih oleh pamannya untuk sementara setelah ayahnya meninggal.
Sedangkan Bimo, si orang yang ditantang sama sekali tidak terlihat kelelahan. Ia justru tertawa melihat tingkah sahabatnya itu. Ia masih sama. Hanya saja sekarang sedikit berbeda dari segi penampilan. Tidak lagi urakan seperti dulu.
“Hahahaha… lo nggak akan pernah ngalahin gue dalam urusan beginian.” Ejek Bimo
“Sialan lo! Ngeremehin lagi.” Maki Bara.
“Lha buktinya. Setelah empat tahun elo pergi terus balik lagi, kemampuan lo dalam game tetep aja seupil.”
“Liat aja. Gue bakal ngalahin lo suatu saat nanti. Lo pegang kata-kata gue.”
“Tenang aja. Kalo perlu gue iket tuh kata-kata biar nggak kabur. Hahahaha…” Ejeknya lagi.
 “Elo tuh. Kapan wisudanya? Kapan make toganya? Keburu ubanan lo di kampus. Nyelesein kulaih tuh yang on time. Tepat waktu.” Balasnya mengejek. Bimo adalah teman seangkatannya baik saat SMA maupun saat kuliah. Tapi sampai saat ini, Bimo belum juga diwisuda. Jangankan wisuda, ujian proposal saja belum. Apalagi skripsi?
“Tenang aja. Mungkin gue nggak wisuda tepat waktu. Tapi gue bakal wisuda di waktu yang tepat.”
Bara hanya mendengus mendengar jawaban konyol bin bego sahabatnya itu. Berdebat dengan seorang Bimo memang tidak ada gunanya. Tidak akan menang. Dan ia juga tidak akan mau mengalah. Sama seperti bermain game. Eh?
Diedarkannya pandangan ke seluruh penjuru café. Lama bener sih nih pesenan. Perut gue udah digedor-gedor sama penghuninya. Perhatiannya lalu tertuju pada seorang gadis duduk tak jauh darinya. Gadis itu sedang heboh menceritakan sesuatu yang sepertinya sangat lucu hingga membuat laki-laki yang duduk di depannya tertawa. Sepertinya mereka pacaran. Masih jaman ya pacaran?
Saking fokusnya memperhatikan si gadis, ia baru sadar bahwa laki-laki yang duduk di depan gadis itu, memperhatikannya dengan tatapan mata yang sangat tajam. Seolah mengatakan bahwa “ngapain lo ngeliatin cewek gue?”. Dengan salah tingkah dipalingkannya tatapannya ke arah lain sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Sialan! Kenapa gue jadi salting gini sih diliatin cowok? Tanpa sadar ia bergidik ngeri. Ngeri dengan dirinya sendiri.
“Hii..”
“Kenapa lo? Kesambet?” Tanya Bimo yang merasa aneh dengan tingkahnya.
“Nggak!” Jawabnya ketus.
“Aneh lo!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar