,
Koleksi Pribadi: Bahomotefe, 16 Juni 2019 |
Setelah libur lebaran selama kurang lebih 2 minggu di kampung halaman, tibalah saatnya u/ kembali di perantauan. Tanggal 16 Juni saya sudah harus tiba di Bahodopi karena sudah harus aktif kembali bekerja keesokan harinya.
Akhirnya, malam tgl 15 Juni menjelang tengah malam saya berangkat dari rumah menuju Bandara Internasional Sam Ratulangi & tiba kurang lebih pukul 4 Pagi. Pesawat yg akan menerbangkan saya menuju Luwuk dijadwalkan berangkat pukul 6.10 Pagi setelah malam sebelumnya diundur menjadi pukul 7.10. Tdk apa-apa, menunggu sebentar sambil meluruskan badan, capek jug naik mobil 4 jam.
Namun, menjelang waktu Boarding dan take off bukan panggilan untuk naik ke pesawat yg saya dengar, melainkan "peswat tujuan Luwuk akan diberangkatkan pukul 10.10 karena kendala operasional". Dalam hati langsung berbisik "cobaan apa lagi ini Tuhan?" Pesawat delay 3 jam! Tapi, meski mengeluh ada sedikit rasa syukur juga. Bukan hanya 1 maskapai yang delay, semua pemberangkatan pukul 7.10 diundur menjadi jam 10 semua. Cuaca buruk. Dari Manado bisa terbang, tapi di kota tujuan tdk bisa landing.
Cuma, masalahnya, status penerbangan saya ke Luwuk bukan tujuan akhir, melainkan stopover 25 Menit lalu akan bergerak kembali menuju Palu u/ transit & kemudian terbang ke Morowali. Apakah ini sudah saatnya saya merasakan transit buru-buru lalu kejar-kejaran dgn pesawat?
Saya tegang! Melapor ke petugas bandara, katanya tidak apa-apa. Yasudahlah, istirahat 3 jam juga tdk apa-apa. Setidaknya walau tdk sesuai harapan, tetap ada kompensasi dari pihak maskapai sbg pertanggungjawaban atas keterlambatan penerbangan. Tapi ya, jengkel juga. Udah macem anak ilang di bandara. Style yg sudah saya usahakan se-fashionable mungkin berubah menjadi tergembel di seantero bandara 😐😑 Jd, sambil berdoa tdk ada delay kedua, Alhamdulillah pukul 10.10 panggilan boarding pun mengudara. Tapi, ada perasaan tdk enak ketika saya naik ke pesawat. Bau bahan bakar pesawat jenis ATR yg saya naiki tercium dgn sangat kuat begitu saya menaiki badan pesawat.
Memasuki badan pesawat, disambut oleh awak kabin yang ramah dan bersahabat; tersenyum, menanyakan boarding pass dan membantu menyimpan bagasi kabin, saya duduk di kursi samping jendela sambil mengipas-ngipas kepanasan. Tak hanya bau bahan bakar, AC dalam pesawat seperti tidak berfungsi. Padahal sudah saya setel ke batas maksimal paling dingin.
Saya tidak terlalu paham istilah-istilah dalam dunia penerbangan, tapi kalau saya curi dengar dari penumpang lain, pesawatnya belum ready tapi demi menghindari penggantian ganti rugi sejumlah uang atas keterlambatan penerbangan, penumpang sudah dinaikkan ke dalam pesawat😕. Tidak tahu itu betul atau tidak, tapi saya parno! Indonesia baru saja terkena musibah pesawat jatuh yang tidak menyisakan satu penumpang pun selamat beberapa bulan lalu. Masa ini pesawat belum ready kami sudah disuruh naik? Kan ngeri kalau ada kesalahan teknis tak terduga😣
Jadi, yang saya lakukan adalah pasrah pada Allah. Mengambil lembaran doa-doa di kantong kursi depan, saya berdoa semoga dilindungi selama perjalanan dan selamat sampai tujuan. "Bismillahi majreha wa mursaha." Akhirnya, pesawat take off, mengudara, dan Alhamdulillah kami sampai di Luwuk dengan selamat dan mendapat pemberitahuan dari awak kabin untuk tetap menunggu di dalam pesawat. Lalu, mesin pesawat kembali dimatikan, personel bandara kembali hilir mudik di lapangan dan sekitar pesawat yang saya tumpangi, baling-baling pesawat kembali berhenti, dan udara di dalam pesawat kembali ke posisi pengap😥. Kebetulan saat itu matahari di Luwuk sedang cerah cerianya, saya sampai berkeringat. Kondisi yang jarang saya temui apabila sedang dalam perjalanan menggunakan pesawat terbang.
Tapi, selang 10 menit setelah pemberitahuan, awak kabin kembali mengumumkan kepada penumpang bahwa kami diminta untuk turun, melapor ke loket transit dan kembali menunggu di ruang tunggu😩
Yang benar saja. Kami akan ke Palu dengan pesawat yang sama, kenapa kami harus turun dan menunggu lagi? Beruntung ada satu ibu-ibu muda yang berani melancarkan protes ke awak kabin. "Penerbangan kami sudah delay lama, kenapa sekarang disuruh menunggu lagi?" Dan Alhamdulillah lagi, kami batal turun dan disuruh menunggu saja di pesawat. Tapi panas😅
Berselang 25 menit kemudian, beberapa penumpang lain ikut naik ke dalam pesawat. Kami pun kembali terbang menuju kota Palu.
Tiba di Palu, penumpang transit diminta untuk melapor ke bagian transit. Jadi, saya turun dari pesawat, tiba di gedung kedatangan domestik, ke pintu keluar, belok kanan menuju pintu keberangkatan, melewati petugas X-ray, melapor ke loket check-in, mendengar konfirmasi petugas dengan petugas bandara di lapangan, mendapat boarding pass baru dan diminta untuk langsung ke ruang tunggu lantai satu dan harus kembali naik ke pesawat sekarang. Ternyata pesawatnya sedang prepare to take-off😐
Akhirnya, saya harus lari-lari di lapangan terbang dipandu petugas bandara untuk mengejar pesawat dan harus mendapati fakta bahwa pesawat yang akan menerbangkan saya menuju Morowali adalah pesawat yang barusan mendarartkan saya di Palu😤
Kalau memang tidak harus ganti pesawat, kenapa tidak sejak awal boarding-pass saya diserahkan lengkap untuk penerbangan Manado-Palu, Palu-Morowali. Kasihan kan sayanya harus turun di bandara demi selembar boarding-pass dan lari-lari kayak orang kesurupan di tengah siraman sinar matahari yang sedang ganas-ganasnya. Tak pelak lagi, sesampainya di badan pesawat saya berkeringat heboh, diserang sakit kepala dan mual hebat. Saya baru ingat. Ini sudah setengah 2 siang dan saya sama sekali belum makan😑
Walau begitu, saya sedikit bersyukur juga transitnya tidak terlalu lama, tidak ada delay lagi, jadi saya bisa tiba di Morowali tidak terlalu sore dan bisa mengejar kapal dari Pelabuhan Bahomotefe ke Dermaga Bahodopi.
Hujan yg mengguyur pulau Sulawesi telah mengundang banjir & menyebabkan Akses darat ke Bahodopi putus diterjang banjir bandang. Jd, mau tidak mau, u/ kesana, harus naik kapal dari Pelabuhan Bungku, atau Pelabuhan Bahomotefe atau naik rakit u/ menyeberang dari desa Siumbatu ke desa Dampala. Dan pilihan pertama saya adlh Pelabuhan Bahomotefe. Naik kapal. Jangan bayangkan kapal besar atau kapal pesiar, melainkan kapal kayu a.k.a Katinting 😬
Perjalanan ini adlh perjalanan yg paling saya nantikan. Sudah lama tidak naik katinting. Terakhir kali mungkin sekitar tahun 2016 saat berwisata ke Pulau Saronde di Gorontalo Utara. Dan, rasanya menyenangkan menyambut waktu maghrib di atas permukaan laut. Matahari terbenam nampak amat megah & gagah, waktu itu. Saya tidk membayangkan bahwa penyeberangan kali ini akan memiliki rasa dan warna yang berbeda. Sepanjang perjalanan, saya dicekam ketakutan yg teramat sangat.
Ombak besar, kami menyeberangi lautan dengan perahu motor. Sepintas terbayang ke-2 orangtua Anna dan Elsa, pemeran utama dlm animasi Frozen yg tenggelam ditelan keganasan lautan. Mana sunsetnya? Mana hangat air laut & matahari yang berpadu jadi satu? Knp perjalanan kali ini ngeri sekali? 😣😩 Sepanjang perjalanan, saya genggam pinggiran perahu kuat -kuat. Jika perahu ini terbalik, maka selesai sudah. Saya tidak bisa berenang. Mungkin saja saya berakhir jadi kenangan. Tak terhitung berapa kali saya beristighfar menyebut nama Tuhan. "Astaghfirullahaldzim, Sesungguhnya tiada daya dan upayaku selain dgn pertolonganMu ya Allah." Begitulah manusia, secara otomatis ingat Tuhan jika sedang sdg kesempitan. Alhamdulillah, saat adzan maghrib berkumandang, saya tiba di Dermaga Bahodopi dgn selamat, disambut penduduk yg entah menunggu keluarga mereka datang atau sekedar menonton siapa yg baru pulang dari kampung halaman.
Tapi, ada satu pelajaran besar yang saya petik dari perjalanan ini. Bahwa dlm keadaan apapun, pertolongan Allah amatlah dekat, sedekat kematian.