SMA
Negeri 4 Yogyakarta
Ku pindai sekolah yang akan menjadi tempatku bertugas selama tiga bulan ke
depan nantinya. Ku perhatikan setiap sudut yang dapat dijangkau oleh
mata. Sekolah dengan fasilitas yang terus menerus bertambah ini memang
terbilang mewah. Seandainya aku bisa mengulang masa SMAku, aku ingin sekali
mencoba untuk bersekolah di sini.
“Bismillahirrahmanirrahim.” Ku langkahkan kakiku menyusuri sekolah yang
sudah terlihat sepi ini. Ya. Aku memang datang di saat jam pelajaran sudah
dimulai. Aku tidak ingin mengambil resiko dipelototii murid-murid yang melihat
kedatanganku. Walaupun kemungkinan bahwa hal itu akan terjadi sangat tidak
mungkin.
“Baiklah nak Anya. Selamat bergabung dengan sekolah ini. Semoga Anda dapat
melaksanakan tugas Anda dengan baik.” Ucap Bapak Kepala Sekolah sambil menjabat
tanganku.
“Terima kasih, Pak. Saya akan berusaha sebaik mungkin.” Jawabku sambil
tersenyum.
“Sama-sama.” Jawabnya. “Oh iya nak Anya. Sepertinya untuk hari ini Anda
belum bisa mengajar dikarenakan kedatangan Anda yang cukup terlambat, sehingga
pihak sekolah belum menyiapkan jadwal di kelas mana Anda akan mengajar hari
ini. Saya kira Anda bisa memulainya besok. Dan untuk jadwal, Anda dapat
mengambilnya di ruang tata usaha.” Jelasnya panjang lebar.
“Oh saya minta maaf, Pak.” Yah aku sadar. Aku memang datang terlambat. Dan
itu memang disengaja.
“Tidak apa-apa.” Jawabnya sambil tersenyum ramah.
“Kalau begitu saya permisi, Pak.” Pamitku. Aku ingin segera pulang. Aku
harus menyiapkan materi yang akan aku ajarkan nanti.
“Iya silahkan.” Jawabnya sekenanya.
Aku pamit dan berjalan keluar dari Ruang Kepala Sekolah. Baru beberapa
langkah…
TEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEETTTTTTTTTTTT……………..TEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEETTTTTTTTTTTT!!!!!!!!!!!!
O’ow. Ternyata aku datang bukan hanya cukup terlambat, tapi sangat
terlambat. Ini sudah masuk waktu istirahat yang artinya sebentar lagi
murid-murid akan berhamburan keluar dari kelas untuk memenuhii kebutuhannya. Dan
benar saja. Tak berselang beberapa detik, para remaja dengan balutan seragam
putih abu-abu itu keluar dari ruang kelas mereka dengan berbagai macam
ekspresi. Ada yang terlihat sangat kusut, ada yang sambil tertawa, bergosip ria
(aku pastikan ini murid-murid perempuan), dan bahkan sambil berlarian.
Tatapan-tatapan menyelidik aku dapati dari mata-mata mereka yang melihatku.
Seperti tidak pernah lihat manusia lain saja. Batinku. Ku paksakan pandanganku
untuk tidak balik menatap mereka, walaupun aku sedikit penasaran juga dengan
wajah-wajah yang akan ku ajar nanti yang menurut Riska - teman sekelsaku di
kampus - ‘unyu-unyu’. Ku percepat langkahku dengan kepala yang terus menunduk.
Entah mengapa aku sangat gugup saat berhadapan dengan mereka. Padahal di kelas
aku terkenal dengan julukan ‘mahasiswa kritis’. Diskusi-diskusi di setiap mata
kuliah adalah makananku sehari-hari. Jarang sekali ada yang bisa menang saat
berdebat denganku maupun saat saling beradu argument. Tapi hanya untuk
menghadapi murid-murid SMA yang masih terbilang sangat labil ini saja aku
serasa mau digiring ke tempat hukum pancung.
Fiuhhh!!! Sampai juga aku di pintu gerbang. Aku harus cepat keluar.
“Non mau ngapain?” tanya satpam yang saat itu bertugas kepadaku.
“Pulang, Pak.” Jawabku polos sambil menatap satpam tersebut. Dadang. Itulah
nama yang tertera di seragamnya.
“Aduh non. Ini belum waktunya pulang.” Katanya lagi.
Ku kerutkan keningku tak mengerti. “Non murid baru, ya?” tanyanya. Aku
melongo tak percaya. Murid baru?? Ditatapnya aku dari ujung rambut hingga ujung
kaki. Astaga! Aku sama sekali tidak sadar bahwa pakaian yang aku kenakan saat
ini membuatku terliat mirip anak SMA. Rok di bawah lutut berwarna abu-abu yang
dipadukan dengan kemeja lengan pendek berwarna putih. Meskipun sama sekali
tidak menggunakan badge, tapi sekilas aku benar-benar mirip
murid SMA. Pantas saja sedari tadi murid-murid yang aku lewati terus menatapku.
Sepertinya mereka juga berpikiran sama dengan satpam ini.
“Tapi pak…” belum selesai aku bicara
“Udah. Non masuk ke dalam saja. Tadi itu baru bel istirahat. Belum bel
pulang.” Potong satpam tersebut. “Saya mau minum kopi dulu.” Sambungnya sambil
lalu ke post satpam. Yah wajar saja. Dengan tinggiku yang tidak mencapai
rata-rata, tubuh mungil yang membuatku tidak cocok jika dikatakan sebagai
mahasiswa ditambah seragam yang aku kenakan sangat mendukung penglihatan
orang-orang bahwa aku adalah murid SMA. Dosen-dosen di kampusku serta
teman-temanku pun beranggapan bahwa aku masih siswi sekolah menengah. Bahkan
ada yang sering mengejekku sebagai anak SMP. Dengan sangat terpaksa aku
berbalik dan memilih duduk tak jauh dari gerbang berharap bantuan datang.
Akhirnya setelah menunggu kurang lebih setengah jam aku bisa keluar dari
sekolah ini dengan bantuan Pak Robby kepala tata usaha di sana. Sebuah motor
berhenti tak jauh di depanku. Perlahan ku hampiri motor tersebut. Pengendara
yang sudah sangat aku kenal melepas helmnya sambil tersenyum manis padaku.
Senyum yang selalu membuatku ikut tersenyum saat melihatnya.
Chandra Dwi Sena Adipatra. Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas
Gadjah Mada. Saat ini sedang magang di salah satu rumah sakit di
Yogyakarta. Sebenarnya aku tidak minta dijemput karena aku tidak mau mengganggu
pekerjaannya. Tapi dia memaksa untuk menjemputku.
“Gimana? Udah?” tanyanya begitu aku sampai di depannya.
Ku anggukkan kepalaku tanda iya. “Kok mukanya cemberut gitu?” tanyanya lagi.
“Masa gue dikira anak SMA!?” sungutku kesal.
“HAHAHAHAHAHAHAHA…..” seketika tawanya pecah. Bahunya sampai berguncang
keras. “AUU!” jeritnya.
“Kok nyubit?” tanyanya sambil menahan tawanya. Ku kerucutkan bibirku sampai
benar-benar maju.
“Iya deh iya.” Sambil tersenyum dan mengusap puncak kepalaku. “Nggak usah
manyun gitu donk. Liat. Tambah jelek, kan!?” Masih tetap mengejek.
Ku pelototkan mataku sebulat-bulatnya mendengar perkataannya barusan. “Elo
pengen ditonjok??!!” tanyaku sambil tersenyum dan berlagak meniup tangan yang
sudah aku kepalkan di depan wajahku.
“Peace peace peace.” Jawabnya sambil menurunkan tanganku. “Kita
damai, yah.” Sambungnya sambil tersenyum memohon ampun. “Kan nggak lucu banget
belum sampe seminggu gue ngerawat pasien, trus udah gue yang harus dirawat.”
Dia benar-benar senang membuatku kesal.
“Emang nggak lucu.” Sungutku tambah kesal. “Udah lo pulang sendiri aja.”
Ambekku.
“Yah padahal tadinya gue mo ngajakin elo makan es krim. Tapi ya udahlah.”
Ucapnya dengan nada kecewa sambil memasang kembali helmnya. Secepat kilat ku
tahan tangannya yang sudah bersiap untuk menstarter motor besarnya itu.
“Ikut.” Pintaku manja.
“Ya udah naik kalo mau ikut!!” perintahnya sok judes tapi terdengar jelas
sedang menahan tawa agar tidak menghambur keluar.
Chani. Sapaanku padanya. Dia adalah sahabat masa kecilku merangkap kakak
gadunganku. Usia kami memang terpaut empat tahun. Tapi dikarenakan dari SD
sampai SMA aku selalu satu sekolah dan bahkan setu kelas dengannya, aku tidak
mau menyapanya dengan embel-embel kakak. Begitu pula sebaliknya. Dia sendiri
mengaku agak risih dipanggil seperti itu. Tapi itu hanya berlaku untukku. Coba
saja jika ada orang yang lebih mudah darinya yang berani menyerukan namanya
saja, jitakan keras pasti tak segan ia layangkan. Seperti yang sering
dilakukannya terhadap Cipto Wikra Adipatra. Adik laki-lakinya yang akrab disapa
Wika ini kerap kali melakukan protes terhadap kakaknya yang katanya lebih
sayang terhadapku daripada terhadapnya, adik kandung Chani sendiri.
“Elo nggak adil banget sih kak? Gue yang umurnya cuma beda dua tahun dari
lo, elo nggak ijinin manggil nama doang. Nah si ‘Anyaman Bambu’ yang umurnya
bahkan dua tahun lebih mudah dari gue, elonya yang nggak mau dipanggil kakak
sama dia. Begitulah protesnya. Dan yah ‘Anyaman Bambu’ adalah julukan yang
diberikannya padaku entah sejak kapan. Mungkin karena sapaan akrabku Anya
membuatnya bermain dengan imajinasinya seperti membayangkan suatu saat nanti
aku bukan menjadi guru yang dihormati melainkan seseorang yang sangat mahir
dalam hal anyaman bahkan sampai membuka pabrik.
“Udah. Jadi pengusaha yang sukses dulu lo baru boleh manggil nama gue
doang. Kuliah aja ogah-ogahan, mo sok-sokan.” Begitulah jawaban Chani setiap
kali mendengar protes adiknya. Kedengarannya memang aneh. Apa hubungannya cara
untuk memanggilnya dengan kuliah Wika yang memang seperti yang Chani katakan,
ogah-ogahan. Wika memang terbilang sulit diatur. Apalagi dalam hal pendidikan.
Aku rasa pendidikan masuk dalam nomor urut terakhir dalam daftar prioritasnya.
Saat ini ia sedang menempuh pendidikan di universitas yang sama dengan Chani,
Fakultas Ekonomi. Kepergian ayah mereka dua tahun silam membuatnya harus
mengorbankan cita-citanya untuk menempuh pendidikan di bidang musik. Ya.
Menjadi seorang musisi. Itulah impian Wika. Perusahaan yang ditinggalkan
ayahnya membuatnya harus mengorbankan impiannya meskipun almarhum ayanhya tidak
pernah meminta ataupun memaksanya. Pengorbanan yang membuatku salut
terhadapnya. Meskipun pada akhirnya ia kuliah dalam keadaan terpaksa.
Sementara Chani yang sudah terlanjur menempuh pendidikan di bidang
kedokteran tidak mungkin atau lebih tepatnya tidak diizinkan untuk pindah
program studi oleh Wika.
“Gue yakin kakak gue adalah calon dokter yang hebat. Yang bisa mengembalikan
senyum di wajah orang-orang yang sempat kehilangan harapan dan semangat
hidupnya.” Ungkap Wika suatu hari saat kakaknya menceritakan keinginannya
tersebut.
***
Akhirnya sudah hampir seminggu aku mengajar di sekolah ini. Sejauh ini semuanya
berjalan lancar. Tidak ada kesulitan yang berarti. Hari ini adalah jadwal untuk
mengajar di kelas XII IPA-1. Aku benar-benar gugup. Pasalnya aku juga pernah
melewati hari-hari sebagai murid kelas XII. Dan aku sangat tahu pasti bagaimana
pada umumnya tingkah laku para murid dengan kelas hierarki tertinggi di
sekolah. Sok berkuasa dan terkesan angkuh. Apalagi terhadap para guru yang
bukan sepenuhnya guru mereka alias guru magang seperti diriku.
Ku tarik napasku dalam-dalam dan ku hembuskan perlahan. Ku langkahkan kakiku
memasuki kelas yang akan aku ajar. Ruangan yang tadinya riuh oleh berbagai
macam suara itu mendadak hening. Aku berdiri di depan kelas sambil meletakkan
tas dan buku yang ku bawa di atas meja tak jauh dariku.
“Perkenalkan saya guru magang disini. Mulai hari ini sampai tiga bulan ke
depan saya akan mengajar di kelas ini untuk mata pelajaran Bahasa Inggris. Nama
saya Vanya Elsitra Arinda.
***
“Nama saya Vanya Elistra Arinda.” Suara lantang namun terkesan gugup baru saja
sungguh mengganggu tidur nyamanku. Disusul kemudian bisikan-bisikan tak jelas
dari teman-temanku. Ku angkat wajahku dari tempat tidur kesayanganku tepatnya
meja tempat aku menelungkupkan wajahku sejak tadi malas-malasan. Aku yakin
wajahku benar-benar kusam saat ini. Ciri khas wajah orang bangun tidur. Ku
alihkan pandanganku ke samping kanan. Kepada sosok yang tempat duduknya
berjarak dua bangku dariku sambil melemparkan pandangan bertanya yang jika
diterjemahkan ke dalam bahasa lisan artinya siapa. Entah ia mengerti atau
tidak.
Fahri Antara, temanku sejak kelas X yang nama keduanya aku yakin hasil copy
paste dari salah satu aktor Indonesia menjawab tanpa suara ‘guru magang baru’,
katanya. Sekilas ia terlihat seperti seseorang yang sedang mengendus-endus
seuatu.
Ku lebarkan mataku sambil melihat ke depan. Pemandangan disana benar-benar
menakjubkan. Seorang gadis?? Ah tidak! Anak kecil. Ia lebih pantas disebut anak
kecil, bertubuh mungil dan berwajah imut tanpa polesan make up sedikitpun itu
sedang berdiri di depan kelas dengan wajah yang dipaksakan untuk terlihat
berwibawa, dengan rambut kuncir kudanya yang aku yakin akan bergoyang saat ia
berjalan, kemeja putih lengan pendek yang tersetrika rapi dan rok di bawah
lutut berwarna biru dongker, serta sepatu keds Converse berwarna putih dan kaos
kaki berwarna senada dengan roknya yang aku yakin sengaja dipasang di bawah
mata kaki membuatnya terlihat seperti anak SMP yang tersesat saat mencari
alamat sekolahnya untuk pertama kali. Ku perkirakan usianya sekitar empat belas
atau lima belas tahun. Dan tingginya….. yang…….tidak pantas dikatakan tinggi.
Dan apa yang barusan dikatakan Fahri!!?? Anak kecil ini…. Guru magang?!!
GURU MAGANG?!!
To Be Cont.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar