Hari ini
adalah jadwal checkup Ibu Rima lagi. Aku benar-benar merasa senang bisa
bertemu lagi dengan beliau. Aku tidak tahu kenapa. Yang jelas, perasaanku
benar-beenar lega. Entah apa faktor yang menyebabkanku jadi seperti ini.
Mungkin karena ia pasien tetap pertamaku untuk tiga bulan ke depan. Kata Wika
sih aku jatuh cinta pada tante-tante. Tapi aku tidak peduli.
“Selamat siang, Bu.” Sapaku saat Ibu Rima memasuki
ruanganku.
“Selamat siang.” Jawabnya sambil tersenyum. Ah! Senyum
itu lagi. Senyumnya bagaikan malaikat untukku. Senyumannya berbeda. Bahkan jauh
berbeda dari senyuman mama. Senyumannya jauh lebih hangat.
Sudah
dua minggu ini aku menjelma menjadi dokter pribadinya. Yah walaupun hanya
sementara.
“Bagaimana perasaan Ibu hari ini? Apa sudah jauh lebih
baik?” Tanyaku sopan. Minggu lalu beliau memang mengeluh padaku bahwa
akhir-akhir ini beliau sering kecapean.
“Dokter.” Panggilnya namun dengan nada gugup.
“Iya?” Jawabku sedikit heran. Tidak biasanya ia
memanggilku dengan sebutan dokter. Biasanya ia lebih memanggilku dengan sebutan
Nak Chandra.
“Boleh saya bertanya sesuatau?” Tanyanya hati-hati.
“Tentu saja.” Jawabku mantap. Apa sih yang tidak boleh
ditanyakan oleh seorang pasien terhadap seorang dokter. Yah walaupun belum
resmi.
“Anda anak tunggal?” Tanyanya.
Ku kerutkan keningku tanda bingung. Kenapa tiba-tiba
pertanyaan seperti ini? “Saya hanya ingin tahu.” Sambungnya. O’ow… apa ia
berencana untuk menjodohkan aku dengan putrinya? Bukan ide buruk. Lagipula aku
juga belum punya pacar.
“Tidak. Saya anak sulung dari dua bersaudara. Saya punya
seorang adik laki-laki.” Jawabku panjang sambil tersenyum. Terlihat ia sedikit
kecewa dengan jawabanku. Apa salah satu syarat untuk menjadi menantunya adalah
harus seorang putra tunggal? Tidak apa-apa. Aku bisa meminta Wika untuk berpura-pura
menjadi adik tiri atau sepupu jauhku yang diangkat anak oleh kedua orang tuaku.
“Adik kandung?” Tanyanya lagi. Nah…nah…
“Iya.” Jawabku mantap. Bodoh. Seharusnya aku tidak
mengatakannya. Aku yakin kesempatan untuk menjadi menantu kesayangannya
pupuslah sudah.
“Dari Ibu yang sama?” Tanyanya lagi. Aku terdiam. Bingung
juga jika ditanya seperti ini. Tapi hei! Sepertinya masih ada harapan untuk
menjelma menjadi calon menantu Ibu cantik dengan senyum hangat ini. “Maaf jika
saya lancang.” Sambungnya dengan nada menyesal.
“Oh tidak. Sama sekali tidak, Bu.” Aku menjadi tidak enak
sendiri. Gara-gara Wika sih… Lho kok Wika?!
“Lalu?” Tanyanya dengan nada penuh harap.
“Hmmm…iya kami dari Ibu yang sama.” Dasar Chandra goblok.
Kenapa kau harus mengulanginya? Mungkin memang aku tidak berbakat untuk menjadi
seorang pembohong. Dan lagi… Wika. Ya. Wika. Adikku satu-satunya. Aku tidak
tega jika harus mengatakan bahwa ia anak pungut. He he he Sorry bray…
“Kalian tinggal serumah?” Tanyanya lagi. Sepertinya Ibu
Rima memang sedikit penasaran dengan kehidupan pribadiku. Sebaiknya aku
menjawab saja apa pun pertanyaannya tentang keluargaku.
“Iya. Saya, adik saya, dan ibu saya.”
“Ayah Anda?”
“Sudah meninggal…”
****
“Assalamualakum.” Salamku sambil berjalan memasuki rumah
yang saat itu sedang sepi. Papa pasti masih di kantor. Seperti biasa. Mama?
Mungkin checkup. Langkahku yang sudah hampir mencapai tangga terhenti.
Ternyata mama ada di rumah. Hhhh… lagi-lagi pemandangan seperti ini.
Mama…dengan tatapan kosongnya…
Hei! Aku tahu ia tak mencintai Ayahku. Aku sangat sadar
itu. Tapi tidak bisakah ia memikirkan perasaanku dengan berusaha berbahagia
demi aku? Aku ini anaknya. Dan Papa… beliau adalah Ayahku. Bagaimanapun juga,
aku sangat menghormati dan mencintainya. Aku tidak bisa melihat Ayahku
dikhianati oleh wanita yang teramat ia cintai…Ibuku sendiri.
Walaupun
pernikahan keduanya didasarkan pada bisnis keluarga, aku tahu bahwa Ayahku
mencintai Ibuku. Aku sangat mengerti setiap tatapan yang ia berikan terhadap
mama. Tatapan yang dipenuhi cinta, kasih, dan…harapan. Harapan akan terbukanya
pintu hati mama untuknya. Tapi mama? Apa sebenarnya yang kau pikirkan?
“Ma…” Kuhampiri beliau yang saat ini sedang duduk di
kursi ruang keluarga seraya mengecup pipinya. Sekalipun aku akui aku sangat
kecewa padanya, beliau adalah Ibuku. Aku tak bisa mengabaikan dan membencinya.
Sekeras apapun aku mencoba. Aku terlalu mencintainya. Wanita pertama yang ku
kenal, saat pertama kali menampakkan diri di bumi ini. “Eh sayang?” Tampaknya ia kaget melihatku
sudah ada di rumah. “Kok udah pulang?” Tanyanya heran. Ya Tuhan! Sejak kapan
sebenarnya mama melamun seperti ini?
“Mama udah ke Rumah Sakit?” Tanyaku perhatian.
“Udah.” Jawabnya sambil tersenyum. Senyuman paling hangat
yang pernah aku lihat.
“Nugrah udah makan siang?” Tanyanya. Aku mengangguk
pertanda ia. “Tapi mama belum makan. Nugrah mau nggak temenin mama?” Tanyanya
lagi sambil bangkit dari duduknya.
“Ma?” Panggilku sambil mencekal lembut tangan kanannya.
Beliau berbalik dan menatapku sambil tersenyum kembali.
“Kenapa sayang?”
“Mama nggak apa-apa?” Beliau tersenyum sambil memelukku
dan mencium puncak kepalaku. “Hmmm… anak mama…. Perhatian banget. Nggak papa
sayang. Mama cuma lagi mikir aja. Kira-kira anak mama yang ganteng ini ulang
tahunnya mau kado apa?” Aku tersenyum. Mama memang tidak ingin aku tahu.
“Atau kamu aja ngasih kado ke mama? Gimana?” Sambungnya
antusias.
“Kok gitu?” Tanyaku heran. Kan yang ulang tahun Nugrah
bukan mama. Harusnya mama dong yang kasih kado.”
“Ya kita tukeran kado aja.”
“Emang valentine?!”
“Ya kan Nugrah tahu sendiri kita nggak boleh ngerayain valentine.
Jadi karena kita nggak bisa tukeran kado pas valentine, kita tukeran
kado pas ulang tahun Nugrah aja.” Mama aneh. Tapi aku tahu ia sedang menghibur perasaannya
dengan bermain denganku.
“Emang mama mau kado apa?”
“Pacar.” Ku lepaskan pelukannya. “Iya. Kamu kenalin pacar
kamu ke mama.”
WHATTTT???
****
Aku baru
saja pulang dari kampus. Tepatnya pulang dari kencan dengan pacar baruku… ah
entah siapa namanya – sehabis kuliah. Ku lihat motor besar Kak Chan sudah
terparkir dengan nyaman di garasi.
“Assalamualaikum.” Aku mengucapkan salam sebelum masuk
rumah. Aku tidak ingin disuruh keluar lagi dan mengulanginya jika tidak
mengucapkan salam.
“Waalaikumsalam.” Mama yang menjawabnya. “Tumben kamu
salam dulu?” Tanya beliau.
“Emang siapa sih yang bikin peraturan kalo masuk rumah
nggak ngucapin salam bakalan disuruh keluar dan ngulangin lagi?!” Cibirku kea
rah mama.
Hahaha… mama tertawa renyah. Yah mamaku memang berjiwa
muda. Bahkan sangat kompak dengan dua anaknya yang cowok dua-duanya. Dan lagi…
mamalah yang membuat peraturan itu. Dan itu berlaku untuk semua orang termasuk
tamu. Jadi siapapun yang mau bertamu ke rumah gue, gue saranin tulis gede-gede
di kepala lo, JANGAN LUPA ngucapin salam kalo ke rumah Wika, kalo nggak mau
kena usir.
“Kakak udah pulang ma?” Tanyaku. FYI ini juga peraturan
mama. Aku sebagai adik Chandra Dwi Sena Adipatra tidak diperkenankan memanggil
beliau dengan sebutan Kak yang diikuti dengan namanya – Chandra. Aku harus
memanggilnya dengan sebutan Kakak supaya lebih jelas bahwa aku itu adiknya.
Kata mama. Entah teori dari mana. Untunglah mama tidak mengharuskan Kak Chan
dengan hanya bisa memanggilku dengan sebutan adek. Hiyyy… geli banget gue
dipanggil adek sama cowok. Sekalipun itu kakak gue sendiri. Kata mama sih
karena gue cowok, jadi nggak cocok dipanggil adek. Dan aku sangat berterima
kasih untuk itu. Kalau mama sampai meminta Kak Chan memanggilku dengan sebutan
adek aku janji aku akan kabur dari rumah.
“Udah. Tuh lagi main PS sama pacar kamu.” Jawabnya.
“Pacar? Siapa?” Tanyaku heran. Sejak kapan Kakakku yang
mencintai kesetiaan itu akrab dengan pacar-pacarku yang lebih suka disebutnya
sebagai korban itu?!
“Vanya…” Jawab mama.
“Ih kata siapa Anya pacar Wika?! Dia itu calon pacarnya
Kakak, Ma.” Bantahku. Enak saja aku dikira pacaran sama Anya.
“Ya kan masih calon.” Jawab mama enteng.
“Mama jangan aneh-aneh deh. Kakak sama aku itu saudara.
Mama mau kalo sampe terjadi perang saudara kayak Korsel sama Korut yang sampe
sekarang nggak akur-akur?!
“Wah ide bagus tuh. Seru gitu. Keluarga kita bakalan
terkenal. Mama udah bayangin di headline news bakalan tertulis
besar-besar ‘GARA-GARA CINTA, DUO ADIPATRA HARUS BERPISAH’. Hihihi…” Mama
terkikik sendiri. Mungkin gambaran bagaimana kejadiannya nanti sudah terpampang
jelas di matanya.
“Mama mah terlalu imajinatif.” Komentarku. “Udah ah ma.
Wika mau ke Kakak dulu.” Pamitku bergegas menghampiri Kak Chan dan Anya. Aku
harus segera menghentikan pembicaraan gila ini sebelum mama tambah gila.
“Geser…geser…” Perintahku sambil menyeruak di tengah Kak
Chan dan Anya yang saat itu sedang memainkan Bloody Roar. Dasar Anya.
Dari dulu bisanya permainan itu saja. Tidak pernah ada perkembangannya. Angry
Bird saja sampai sekarang tidak lolos-lolos. Aku sih bisa maklum. Permainan
yang membutuhkan konsentrasi tinggi seperti itu tidak akan bisa lolos kalau
sudah diserahkan pada Anya. Kak Chan juga kenapa ia mau sih memainkan game dengan
kapabilitas tinggi merusak joystick ini.
“Ih apa sih Wika?! Ganggu aja.” Rutuk Anya yang saat ini
sudah hampir kalah. “Gantian dong Nya. Winning Eleven…” Pintaku.
“Ogah!” Tolaknya matang-matang tanpa mengalihkan
pandangannya.
“Permainan cemen begini..” Komentarku
“Bodo’!” Rese!
“Nya gue masih marah lho sama elo!” Pancingku.
“Terserah.” Jawabnya. Sial! Anya yang sekarang bukan Anya
yang dulu ternyata. Dia sudah hafal bahwa aku tidak betah marah lama-lama
karena akan mempengaruhi porsi makanku yang tadinya banyak akan menyusut dengan
pasti. Rugi banget gue. Makan dikit doang.
“Eh Kak lo tadi ketemu lagi sama pacar baru lo?” Ku
beralih mengganggu Kak Chan. “Chani punya pacar?” Anya terpancing.
Dihentikannya permainannya sambil menatapku. Ku lihat Buzusima Anya
sudah tepar dihantam Long Kak Chan. “Eh Nya lo udah mati tuh.” Jawabku
tak nyambung.
“Chani punya pacar?” Tanyanya lagi. “Kenalin
doooooooooooonnnnnnnngggggggggggg.” Teriaknya sambil menarik-narik tanganku.
Kak Chan yang punya pacar malah minta dikenalin ke gue. Minta sama orangnya
woooooyyyy….
“Iye punya. Tante-tante lagi.”
“HAH?? Tante-tante.” Tanya Anya tak mengerti. “Chani…lo
pacaran sama tante-tante girang?” Tanyanya kea rah Kak Chan.
HAHAHAHAHAHA….
PLETAKK!! Sebuah tepukan keras melayang di kepalaku. Aku
tahu itu tangan siapa. Pasti Kak Chan. Aku sudah hafal di luar kepala caranya
menepuk kepalaku. Lembuuuuuutttt banget. Saking lembutnya bisa membuat aku
meriang tujuh hari tujuh malam. Hehehe… Nggak, ding. Bercandaaa…
“Sialan lo!” Makinya.
“Ya kan elo yang bilang. Jantung lo berdetak cepat saat
di deket dia. Lo jadi keliyengan. Pusing. Pengen boker. Kalo makan ingat
dia. Kalo tidur ingat dia.”
“Jorok banget sih lo!”
“Eh tapi tuh tante seksi, nggak? Kalo iya, gue setuju deh
lo sama dia. Asalkan pejenya harus satu Ferrari
buat gue, dan satu angkot buat Anya.”
“Enak di lo, rugi di gue dong.” Timpal Anya. “Kalo gue
sih nggak papa dikasih angkot. Yang penting bisa ngasih gue keuntungan. Dengan
menambah status di KTP gue jadi juragan angkot, misalnya.”
“Lo anak Bahasa ato Ekonomi sih. Pemikiran lo kok jadi
sama kayak Wika.” Komentar Kak Chan kesal.
HAHAHAHAHA…
Jadilah
malam itu jadi ajang ledek-ledekkan antara aku, Anya dan Kak Chan sebagai main
character-nya. Aku tidak harus membuatnya jelas. Lebih baik pelan-pelan
saja. Ka Chan…maaf.
****
Aku
pikir dengan bertandang ke kediaman Adipatra, menemui duo manusia labil itu –
Chani dan Wika dapat membuatku tenang dan menghilangkan bayangannya. Tapi
ternyata aku salah. Wajahnya tetap saja muncul. Apalagi saat aku sudah sendiri
di kamar seperti ini. Wajahnya sangat terlihat jelas dan bahkan seolah ada di
setiap sudut kamarku.
Aku masih ingat dengan ajakannya saat di mobil waktu itu.
Belum selesai kegalauanku tentang hal itu, dia harus menambahnya lagi dengan
permintaan aneh bin ajaibnya.
“Bu saya boleh minta tolong nggak?” Tanya Nugrah siang
tadi di sekolah.
“Minta tolong apa?” Tanyaku.
“Saya rasa Ibu sudah lupa dengan ajakan saya tempo hari.
Atau mungkin Ibu tidak ingin mengingatnya. Tapi kali ini saya benar-benar minta
tolong. Saya tidak tahu harus minta tolong sama siapa.”
“Kamu ada masalah?”
“Iya Bu. Mama saya meminta saya untuk memperkenalkan
pacar saya kepada beliau.”
“Lalu?”
“Masalahnya saya tidak punya pacar, Bu.”
“Ya bilang saja tidak punya.”
“Saya sih maunya begitu, Bu. Tapi saya tidak mau
mengecewakan mama saya. Mama saya sering sakit, Bu.”
“Ya cari pacar saja.”
“Tidak segampang itu, Bu.”
“Lalu?”
“Hanya Ibu satu-satunya harapan saya. Ibu jadi pacar
saya, yaaaa???”
“HAHHHH???”
“Cuma sementara….”
Cuma sementara. Itulah yang dikatakan Nugrah. Tapi
sementara itu sampai kapan? Kemudian, aku juga nantinya pasti akan dikenalkan
pada Ibunya jika aku menerimanya. Tidakkah itu akan lebih menyakitkan jika
Ibunya tahu kalau kami cuma pura-pura? Tapi kan aku bisa saja menolaknya. Tapi
dia minta tolong…. Dan lagi.. apa yang harus aku lakukan
Tuhan….??
TBC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar