,
Sudah hampir seminggu berlalu sejak pertengkaran Vivian
dan Rafael. Vivian sama sekali tidak berniat untuk menghubungi Rafael. Tepatnya
tidak mau. Sedangkan Rafael, ia gengsi. Sama sekali tidak merasa bersalah. Ia hanya
merasa bahwa Vivian-lah yang salah karena mengusirnya secara tidak terhormat
dari apartemen gadis itu, jadi Vivian yang seharusnya meminta maaf, bukan
dirinya. Egois memang.
Hari ini hari minggu. Vivian berniat untuk berbelanja
bulan. Persediaan bahan makanan di dalam kulkasnya sudah menipis. Kebutuhan-kebutuhannya
yang lain juga sudah mulai habis. Ia memutuskan untuk berbelanja di supermarket
dekat apartemennya.
Ketika sedang memilih-milih jeruk, ia dikagetkan oleh
colekan seseorang di bahu kirinya. Serentak ia menoleh.
“Hei.” Sapa si pencolek sambil tersenyum, memamerkan
giginya yang putih dan rapi.
Vivian mengerutkan keningnya. Heran dengan kemunculan
cowok berwajah oriental yang tiba-tiba saja mencoleknya bahkan meyapanya dengan
akrab.
“Masih inget gue?” Tanya cowok itu.
Vivian mencoba mengingat-ingat, tapi ia tidak bisa. Mungkin
ingatannya sudah tertutup gara-gara pertengkarannya dengan Rafael. “Sorry, but do I know you?” Tanyanya. Ia sama
sekali tidak merasa kenal dengan laki-laki di depannya ini.
“I think yes you
do.” Jawab laki-laki itu. “Niel you
know, Daniel.” Ujarnya kemudian.
Seketika wajah Vivian cerah. Ia ingat.
“Ah iya. Daniel temennya Ael kan?” Tanyanya memastikan.
Cowok itu yang ternyata adalah Daniel, teman Rafael yang
pernah bertemu dengannya di restoran waktu itu mengangguk dan tersenyum. “Belanja?”
Tanyanya retoris.