Biru menatap wanita di
depannya tanpa berkedip. Dress ketat
selutut membalut tubuh rampingnya dengan sempurna. Rambutnya tergerai indah,
bibirnya dipoles dengan lipstik semerah darah. Sementara itu, matanya menatap
Biru dengan binar yang membuat pria itu berusaha keras menahan desakan untuk
tidak merengkuhnya ke dalam pelukan dan memagut bibirnya penuh kenikmatan. Matanya
membuat Biru terpikat, serasa mabuk laut dan ingin tenggelam disana selamanya.
Jingga namanya – ia mampir
ke rumah dan memperkenalkan diri sebagai tetangga baru yang tinggal di seberang
rumahnya. Memang, rumah tersebut sudah lama kosong sejak ditinggal pemiliknya
pindah ke Jakarta. Dan kini, Biru merasa bagai mendapat durian runtuh ketika
wanita dengan paras tak biasa ini muncul di depan wajahnya.
Begitu kuat mata Jingga
memikat, malamnya, Biru memberanikan diri untuk mengetuk pintu rumah wanita
itu. Sekitar pukul sebelas malam, secara perlahan ia beranjak dari kasurnya,
meninggalkan Ungu, istrinya yang sudah lelap teridur. Tak ia ketahui, bahwa
kini dari balik tirai kamarnya yang tertutup, sepasang mata tengah menatapnya
dengan penuh kemarahan.
“Ada yang bisa saya
bantu?” Jingga bertaya dengan mata yang makin membuat Biru terpesona.
“Boleh saya masuk?”
Biru bertanya tanpa melepaskan tatapannya dari mata Jingga yang langsung wanita
itu sambut dengan pemahaman.
“Tentu saja.”
****
Kini, hampir setiap
malam Biru selalu menyelinap dari kamarnya. Menemui Jingga dan mata yang selalu
bisa menengelamkannya pada nikmat yang tak terkira. Biru akui, ia menikah
dengan Ungu bukan tanpa cinta. Jelas ia menyayangi istrinya itu, tak pernah
berubah bahkan hingga kini meski Jingga kini berada di antara mereka dengan
cara yang ‘tak kasat mata’. Namun, Ungu tak lagi bisa memberikan apa yang ia
dambakan.
Mata Ungu tak lagi
mampu memikatnya! Bahkan ketika mereka bercinta, Biru selalu menghindar untuk
menatapnya. Sejujurnya, matanya terasa menakutkan, sejak kecelakaan itu
terjadi.
Peristiwa naas itu
tejadi lima tahun silam. Segerombolan perampok yang datang entah dari mana
tiba-tiba menerobos masuk ke dalam rumah mereka. Saat itu, Biru sedang tidak
berada di rumah. Ia harus ke luar kota untuk perjalanan dinas, sementara Ungu
tinggal bersama asisten rumah tangga yang memang hanya bertugas di siang hari.
Para perampok itu tidak
membobol brangkasnya, tidak juga membongkar perhiasan istrinya. Bisa dibilang,
mereka tidak datang untuk barang berharga. Hanya saja, mereka pergi membawa
satu-satunya benda yang amat berharga baginya; mata ungu dicungkil hingga
keluar dari kelopaknya.
Hancur sekali hati Biru
mendapati istrinya tak lagi memiliki mata yang selama ia selalu ia puja, tak
lagi bisa menatapnya dengan binar penuh cinta. Tiga tahun Ungu berjuang dengan
kebutaannya, bersama Biru yang sebenarnya sudah sangat putus asa. Di mana lagi
ia bisa mengobati kerinduan jika tatapan Ungu tak lagi bisa memberinya
kehangatan?
Walau setelahnya Ungu
mendapat donor mata dan berhasil mendapatkan penglihatannya kembali, bagi Biru
hal itu sama sekali bukan hal yang harus ia syukuri. Pancaran cinta yang selalu
Ungu miliki tak lagi bisa ia nikmati.
Oleh sebab itu,
kehadiran Jingga yang sungguh tidak terduga, bersama matanya yang begitu indah
tak pelak membuat Biru berani mematahkan janji suci setia sehidup semati yang
dulu pernah ia ucapkan dengan lantang di depan Ayahnya berikut para saksi.
****
Jingga menatap Biru
yang terlelap di sampingnya. Wajahnya diliputi kedamaian dan sukacita yang
sulit diungkapkan dengan kata-kata. Bila teringat kembali percintaan mereka
barusan, Jingga tak akan ragu megatakan bahwa sudah sejak lama Biru memendam dan
kehausan. Kini, menatap wajah pria tampan itu, kepuasan dan kebanggaan diri
terasa meletup-letup dalam dirinya. Tak pernah Biru ketahui, bahwa sudah sejak
lama ia memendam cinta yang begitu besar pada pria itu. Cinta yang terhalang
karena kehadiran Ungu, wanita kaya raya yang cantik dan dipuja bahkan sejak
mereka masih SMA.
Berbeda dengannya,
lebih dikenal sebagai perempuan jelek dan kurang bergaul, Jingga tak pernah
punya keberanian untuk mengutarakan cintanya pada Biru, kakak kelas yang begitu
dikaguminya. Ketika mengetahui bahwa Biru akhirnya berpacaran dengan Ungu
bahkan berakhir menikahinya, Jingga sangat marah. Ia marah pada dirinya dan
marah pada kenyataan bahwa Jingga lebih cantik darinya. Apalagi saat ia tak
sengaja menguping pembicaraan mereka saat Biru memuji dan memuja mata Ungu yang
memang begitu memikat.
Walau demikian, tak ada
lagi yang perli dikhawatirkan. Jingga puas dengan dirinya sekarang, puas bahwa
Biru telah menjadi miliknya tanpa perlu ia minta. Membuat ia tak menyesal telah
membayar mahal perampok-perampuk itu lima tahun lalu. Perampok yang telah berhasil
membawakan mata Ungu beserta cinta Biru untuknya.
Serem....
BalasHapusHaha iya. Saya aja yang nulis ngerasa ngeri sama adegan nyugkil matanya
Hapus