Judul Buku: Permainan Maut
Penulis: Lexie Xu
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama
Cover oleh: Regina Feby
Terbit: November 2011
Cetakan Kelima: Februari 2015
Tebal Buku: 280 hlmn., 20 cm
ISBN: 978-602-03-1295-8
Rating: 3/5
Yo, namaku Tony senjakala dan hidupku saat ini bagaikan sederetan mimpi buruk.
Sebuah e-mail dari teman lamaku - tentang kejadian-kejadian misterius di rumahnya - terus mengusik pikiranku. Tetapi, aku berusaha melupakannya karena sudah tidak sabar lagi berlibur dengan Jenny, pacarku yang manis banget.
Tak disangka, tiba-tiba muncullah seseorang yang sangat tidak ingin kujumpai, namun terus saja menghantui kehidupanku. Tidak ingin orang ini membahayakan Jenny, aku terpaksa melupakan liburan impianku, mengadakan kamp latihan judo dadakan, dan menginap di rumah misterius yang konon menimbulkan nasib buruk bagi para penghuninya.
Celakanya, Markus, sobatku, malah menjalin hubungan mesra dan menjijikkan dengan si oknum ini, tidak peduli betapa uring-uringan aku dibuatnya, tidak peduli kami terkurung di penginapan menyeramkan, tidak peduli satu per satu anggota klub judo mulai lenyap.
Bersama pasangan tidak serasi inilah aku harus membongkar semua kejadian aneh ini. Apa sih sebenarnya yang sedang terjadi di penginapan ini? Apakah ada kaitannya dengan hantu legenda si Kakak yang menginginkan teman dan si Adik yang menginginkan pembalasan dendam?
Ataukah ada permainan yang lebih mengerikan daripada yang kami duga?
****
Buku ketiga ini dapat disebut sebagai side story dari buku keduanya yang berjudul Pengurus Mos Harus Mati karena waktu dan kejadiannya bersamaan dengan agenda MOS berdarah SMA Persada Internasional yang melibatkan Hanny. Sama seperti pada buku sebelumnya, buku ini mendatangkan tokoh baru bernama Tory. Dan, selain itu kalau di buku kedua orang-orang yang terlibat adalah pengurus MOS, maka disini adalah anggota klub Judo yang diketuai Tony, Markus, anggota klub lain dan teman semasa SMP Tony.
Menurut saya, buku ini kurang seram. Malah lebih pada drama cinta anak SMA yang terjadi di saat yang kurang tepat. Karena, selain unsur thrillernya yang cukup lama muncul, juga banyaknya adegan cinta yang melibatkan tokoh-tokohnya. Plotnya juga agak mirip dengan buku Obsesi, menggunakan ruangan rahasia sebagai tempat untuk mengolah kejahatan. Sejujurnya, saya kurang menikmati bacanya. Karena pertama, gaya bercerita Tony dan Markus yang sama sehingga kadang suka keliru atau ketuker orang pas baca POV mereka, plus gaya bercerita Tory yang entah kenapa kurang sreg sama selera saya. Saya lebih suka gaya bercerita Hanny. Jujur saja, seri ini agak drama dan terasa lebay.
Tapi, kendala ini mungkin hanya terletak pada selera baca saya yang kurang bisa masuk. Untuk ceritanya, cukup oke. Ide menggunakan kota Pontianaknya bagus, tapi sayang unsur kota itu kurang diulas. Memang sih, tujuan Tony dkk bukan untuk wisata. Tapi, karena penggunaan Pontianak cukup jarang ditemukan dalam novel remaja - kebanyakan selalu pakai setting Jakarta atau Bandung, rasanya nggak pas kalau yang ditekankan tentang Pontianak hanya bahwa kota itu panas banget karena tepat dilewati garis khatulistiwa.
Adegan pembantaiannya lumayan keji, tapi sayang kurang thriller. Gimana, ya? Cuma hilang untuk digunakan dalam persembahan. Rasa-rasanya malah jadi nyerempet kisah takhayul bukan thriller lagi. Dan kejadian-kejadian yang ada terasa monoton, kurang greget. Sempat berekspektasi akan ada hal lebih karena buku keduanya udah seru banget, tapi ternyata nggak terbukti. Tadinya mau kasih bintang 2, tapi karena endingnya lumayan oke dan lagi-lagi menerbitkan rasa ingin untuk terus baca sampai seri terakhir, jadi akhirnya tetap kasih tiga bintang. Terkadang, ending memang selalu menjadi penyelamat yang melegakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar