Penulis: Redy Kuswanto
Penerbit: Diva Press (Anggota
IKAPI)
Penyunting: Muhajjah Saratini
Penyelaras Akhir: RaiN
Tata Sampul: Amalina
Tata Isi: Violetta
Pencetak: Antini, Dwi, Wardi
Cetakan Pertama: November 2017
Tebal Buku: 268 hlmn; 14 x 20 cm
ISBN: 978-602-391-467-8
Rating: 😻😻😻
“Pembukaan novel yang membuat
haru ini akan langsung membuat pembaca terikat. Kisah memperjuangkan impian
yang memikat.”
_Eva Sri Rahayu, novelis dan blogger
Mimi Tarmiyah memang sok cantik.
Sejak kecil dia ingin menjadi artis. Alasannya cukup sederhana; ingin terkenal,
memiliki banyak uang, hidup mewah, serta memiliki seabrek fan yang
memuja-mujanya. Kini, usia Mimi sudah mendekati tujuh belas tahun.
Ini waktu yang tepat untuk
mewujudkan mimpi, menjadi artis. Seperti idolanya, Titin Tuminah Hona. Valdo
melihat kesempatan saat melihat ambisi Mimi. Bersama Brian, ia memberi
kesempatan Mimi untuk mengejar impiannya di Jakarta. Mimi bersedia ikut,
mengabaikan nasihat ibunya; Engkos; dan sahabat-sahabatnya. Mimi si gadis desa,
harus mengakui kerasnya perjuangan di ibu kota. Menghadapi kegagalan dua kali,
Mimi jadi ragu. Apakah ia akan melupakan impiannya dan kembali ke desa, atau
tetap bertahan karena impian harus diperjuangkan?
****
“Hidup
ini bukan hanya tentang mendapatkan apa yang kita inginkan, Neng Mimi. Tapi
juga tentang menghargai apa yang kita miliki – Pak Jaka, hlmn 249”
Mimi
Tarmiyah adalah seorang remaja SMA yang tinggal di Baranangsiang. Sejak kecil,
cita-cita Mimi adalah ingin menjadi artis terkenal seperti Titin Tuminah Hona,
idolanya. Impian Mimi seolah menemukan jalannya ketika ia bertemu laki-laki
bernama Brian yang mengaku sebagai agen artis. Brian menawarkan jalan mudah dan
instan untuk menjadi artis kepada Mimi. Mimi senang bukan main, akhirnya ia
bisa menjadi seperti Titin Tuminah Hona. Hanya saja, baik Amah, Engkos
pacarnya, juga sahabat-sahabatnya tidak mendukung keinginan Mimi untuk
berangkat ke Jakarta bersama Brian. Tapi, Mimi tidak peduli. Dengan nekad,
cewek itu kabur ke Jakarta. Bagaimana nasib Mimi selanjutnya?
****
Impian
memang sesuatu yang dimiliki setiap orang. Siapapun pasti memiliki keinginan
yang ingin sekali diwujudkan. Keinginan yang akan membuat seseorang itu merasa
utuh dan lengkap. Merasa cukup dan bahagia. Begitu pula Mimi. Impian gadis desa
ini adalah ingin menjadi artis. Tidak dipungkiri, menjadi artis seolah jalan
termudah untuk mendapatkan segalanya. Uang dan popularitas akan mudah
didapatkan. Dan, dengan dua hal itu, seseorang seolah bisa mendapatkan apa saja
yang ia inginkan. Inilah tema yang diangkat dalam novel ini.
Mirisnya,
untuk mewujudkan mimpi menjadi seorang bintang, beberapa orang just ru memilih
hal instan. Alternatif tercepat untuk mewujudkannya selalu menjadi pilihan
nomor satu, tanpa memperhatikan unsur kemanan dalam pilihan itu. Menurut saya
pribadi, penulis sedang mencoba memperkenalkan atau memaparkan sisi gelap dunia
entertainment di Indonesia. Banyak
sekali artis yang bisa meroket dengan cepat tanpa diketahui prosesnya dengan
pasti. Tak urung, tak sedikit pula yang jatuh menjadi korban penipuan. Untuk
itu, saya sangat mengapresiasi buku ini. Dream If menjadi semacam reminder bagi kita semua bahwa jika
ingin mendapatkan sesuatu kita harus berusaha dulu.
Poin
terbaik dalam buku ini adalah bagi saya penulis tidak kehilangan identitasnya.
Dengan menyelipkan beberapa bahasa Sunda ke dalam buku ini, penulis telah
bersikap mengindonesiakan diri dan menunjukkan betapa ia bangga terlahir
sebagai orang Sunda. Memang, setting juga mempengaruhi hal ini. Tapi, dalam
penentuan setting setiap cerita, buat saya pribadi dapat sedikit menggambarkan
sosok penulisnya seperti apa. Karena sebagian besar tempat yang dikunjungi,
kegiatan sehari-hari, dan plot tulisan juga didasarkan pada mindset dan kebiasaan penulisnya.
Kekurangan
dalam novel ini hanya terletak pada beberapa kalimat yang terasa rancu atau
mungkin tidak lengkap. Untuk EYD sudah bagus. Juga, ending dan anti klimaks plus penyelesaiannya saya kurang sreg.
Entahlah. Memang bagus, dalam buku ini penulis mencoba memperkenalkan dunia
penulisan pada pembacanya hanya saja ketika dikaitkan dengan kasus Mimi saya
jadi kurang suka. Terlalu mainstream.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar