“Ogah!.
Gue nggak mau dan lo nggak bisa maksa gue!” Tolak Vivian mentah-mentah. Ia
tidak mau. Enak saja main suruh-suruh. Dia saja tidak pernah memaksakan
kehendaknya kepada orang lain, kenapa Rafa bisa memaksakan kehendaknya padanya?
Walau sampai kapanpun ia tidak akan mau memenuhi permintaan konyol Rafa.
“Kenapa?
Lo naskir gue sampe nggak mau? Lo nggak pengen gue balik sama mantan gue supaya
perjodohan ini bisa terus berlanjut?” Tanya Rafa pede sejuta.
“Gue?
Naksir lo? Kayak stock cowok di bumi
udah abis aja.” Bantah Vivian tegas.
“Trus
kenapa nggak mau?” Tanya Rafa.
“Eh
harusnya gue ya yang ngatain lo bego. Pake nanya lagi apa alasannya. Gue nggak
mau beurusan sama lo apalagi sama kehidupan pribadi lo. Mau cewek lo ninggalin
lo kek, mutusin lo, bawa kabur duit lo, gue nggak peduli!” Jawab Vivian
kemudian melangkah pergi meninggalkan Rafa yang tidak menyangka akan mendapat
jawaban seperti itu.
Lo nggak bisa nolak. Lo nggak boleh
nolak. Gue nggak suka denger orang lain bilang nggak sama gue. Liat aja. Lo
bakal tetap lakuin perintah gue, suka atau nggak.
****
Vivian
menghempaskan tubuhnya di tempat tidurnya. Ia capek. Baru saja pulang kerja,
langsung disuguhi dengan berita menyebalkan seperti ini. Belum lagi si Rafael
tukang maksa itu. Bener-bener deh. Dia kira gue pembokatnya apa sampe dia bisa
seenaknya. Nggak bakalan y ague ngikutin keinginan lo.
Sementara itu, di taman belakang rumah Vivian, Rafa
sedang sibuk berbicara di telepon dengan seorang temannya. Daniel. Salah satu
teman sekaligus detektif yang disewa oleh Rafa sendiri sejak mengetahui bahwa
ia dijodohkan dengan seorang gadis yang awalnya tak dikenalinya sebagai teman
masa kecilnya dulu. Dari Daniel lah Rafa mengetahui identitas calon istrinya
dengan sangat detail. Mulai dari
hal-hal umum sampai hal-hal yang mungkin tidak banyak orang tahu. Saat
mengetahui bahwa yang akan dijodohkan dengannya adalah Ivy, gadis yang sering
diusilinya dulu, Rafael begitu senang. Mengingat bahwa gadis itu adalah gadis
yang cukup mudah untuk ditaklukan. Akan tetapi ternyata perkiraannya salah. Ivy
telah berubah dan tidak mudah dipaksa. Maka, jika ceritanya sudah begini, ia
akan menjalankan rencana keduanya yang memang sudah ia susun agar Ivy tidak
bisa menolak ataupun menghindari apa yang nanti akan Rafa perintahkan
terhadapnya.
“Oke. Thank’s Bro. Nanti
gue transfer.” Tutupnya menakhiri pembicaraan. Ia dan Daniel memang berteman,
tapi ia tidak mau merepotkan orang lain tanpa membalsa jasa mereka.
****
Vivian baru saja pulang dari kantor. Hari ini ia sangat
lelah. Pekerjaannya yang biasanya hanya mengatur jadwal Indra – atasan
sekaligus temannya sekaligus menemani Indra meeting
bersama klien hari ini harus ia relakan sedikit bertambah dengan membantu
observasi yang dilakukan oleh salah satu mahasiswi yang datang ke perusahaan.
Kenapa juga observasi tuh mahasiswi harus berkaitan dengan pemasaran? Tapi
sudahlah. Ketika ia hendak membuka pintu apartemennya, tiba-tiba saja ia
dikejutkan oleh sebuah tangan yang merangkul pundaknya.
“Hai sayang.” Sapa suara itu sambil tak lupa mengecup
pipi kanannya.
Vivian kaget setengah mati. Terlebih karena kecupan
tiba-tiba itu. Dengan cepat dilepaskannya tangan yang melingkari pundaknya dan
berbalik. Rafael sialan! Ternyata dia.
BUKK!! Dengan sekali hentakan, tas yang sejak tadi
dijinjingnya telah mendarat mulus di kepala Rafa.
“Aduh!” Rafa meringis sambil mengusap kepalanya yang agak
nyut-nyutan gara-gara digebuk Vivian.
“Kasar banget sih, Yang.” Tegurnya.
“Yang Yang pala po peyang! Siapa suruh tuh tangan sama
tuh bibir kurang ajar! Nggak pernah disekolahin, ya?!” Geram Vivian.
“Emang nggak. Yang pernah aku sekolahin cuma ini doing.”
Jawab Rafa sambil menunjuk kepalanya.
“Sinting!”
“Lho masa orang sekolah dibilang sinting? Kamu ini gimana
sih Yang? Aneh deh. Tapi lucu.”
“Nggak usah sok imut kalo ngomong. Biasa aja.”
Rafa segera merubah ekspresi wajahnya. Disedekapkannya
kedua tangannya. Mulai serius. “Gue mau konfirmasiin jawaban lo tentang
permintaan lo kemaren. Gimana? Lo masih nolak? Nggak dong pasti.” Rafa benar-benar
percaya diri.
“Lo tahu dari man ague tinggal disini?” Tanya Vivian
sengit.
“Jawabannya nggak sinkron sayang sama pertanyaannya. Aku
nggak nanya itu.” Jawab Rafa kalem.
“Aku…aku biasa aja kalo ngomong. Nggak usah sok deket!”
“Emang deket, kan? Kita berdua udah kenal sejak kecil.
Dan sekarang, lo calon istri gue. Jadi itu artinya kita emang deket.”
“Udah ya Ael. Sampai kapanpun jawaban gue nggak bakalan
berubah. Gue nggak mau. Harus berapa kali sih gue bilang sama lo?”
“Lo harus mau!” tandas Rafa. Tatapan matanya menajam.
“Kenapa harus? Lo bukan siapa-siapa gue. Gue nggak harus
dengerin lo.”
“Karena lo nggak punya pilihan lain.”
Vivian memutar bola matanya mendengar jawaban Rafa. Ia
tak habis pikir. Kenapa laki-laki di depannya ini begitu memiliki tingkat
percaya diri yang tinggi? Padahal menurutnya, sama sekali tidak ada yang bisa
dibanggakan dari Rafael. Segala hal yang ada di dirinya selalu negatif di mata
Vivian. Sejak dulu, dan tidak akan pernah berubah.
“You know what… you
are truly person with baseless confidence.” Cela Vivian sambil
tersenyum mengejek.
“Whatever. I don’t
care ‘bout how’s your opinion.” Vivian membalik tubuhnya dan
membuka pintu ketika ia melihat Bimo yang baru saja keluar dari lift bersama seseorang. Bimo – temannya
sejak SMA sekaligus tetangganya di gedung apartemen ini. Dirinya tinggal di
apartemen 1125 sedangkan Bimo di 1124. Tak disadarinya Rafa telah melangkah
lebih dulu dan memasuki aparetemennya.
“Hai Bim.” Sapanya ramah.
“Hai Vi.” Jawab Bimo pun ramah. Tubuh Vian seketika
menegang ketika melihat dengan jelas siapa orang yang datang bersama Bimo.
Bara!
“Bara?” Gumamnya tak percaya yang ternyata didengar oleh
orang itu. Bara berbalik.
“Vian!” Bara terlihat sama terkejutnya.
Lima detik mereka terdiam dan saling menatap satu sama
lain. “Baru pulang kerja ya Vi?” Tanya Bimo, membuyarkan Bara dan Vivian.
“Iya Bim.” Jawabnya sambil berusaha tersenyum. Bara hanya
diam.
“Apa kabar Bar?” Tanya Vivian kepada Bara. Mencoba ramah
pada atasan tertinggi di kantornya. Ia memang bekerja di perusahaan milik
keluarga Bara. Penyerahan wewenang terhadap Bara tempo hari sebenarnya juga
cukup membuatnya terkejut. Tak disangkanya Bara akan kembali ke Indonesia lagi
bahkan menjadi orang yang kini memimpin perusahaan. Namun, mengingat jabatan
Bara yang bukan hanya sebagai orang biasa tidak membuatnya takut terhadap
kemungkinan untuk bertemu laki-laki itu. Tapi ternyata ia salah. Ia masih bisa
bertemu dengan Bara. Di luar kantor.
“Baik.” Jawab Bara singkat.
“Baguslah.” Komentarnya.
“Yang masih ngapain? Lama banget sih.” Tegur sebuah suara
disusul sosok Ael yang menyembul dari arah pintu dengan wajah sok polosnya.
Vivian melirik Rafa sinis. Dasar Kunyuk! Ngapain
juga dia pake acara masuk. Pake manggil-manggil gue Yang segala lagi.
“Eh maaf. Aku nggak tahu. Temen kamu, ya?” Tanyanya lagi
dengan wajah sok polosnya yang tak ketinggalan.
“Pacar Vivian, ya?” Tanya Bimo.
“Bukan. Gue tunangannya.” Jawaban Rafa benar-benar
membuat Vivian menatapnya tak percaya. Dasar gilaaaaaaaaaaaaaa…………
“Nggak…nggak gitu..” Bantah Vivian gelagapan. Rafa
kembali merangkul pundak Vivian. Kali ini dengan lebih mesra.
“Selamat, ya.” Ucap Bara yang sejak tadi hanya diam.
****
Vivian menutup pintu apartemennya dengan kesal. Dicarinya
sosok Rafa yang ternyata sudah melenggang ke arah televisi. Diliriknya dengan
sinis laki-laki yang kini tengah duduk santai itu lalu melangkah masuk ke dalam
kamar untuk membersihkan diri. Rafa hanya menatapnya aneh.
Tiga
puluh menit kemudian, Vivian telah selesai mandi. Dicarinya novel yang kemarin
baru saja dibelinya dan mendudukkan dirinya di atas ranjang, mencoba untuk
mengusir bayangan Bara dari pikirannya dengan membaca. Ketika pikirannya agak
tenang dan ia sudah bisa berkonsentrasi pada cerita, tiba-tiba Rafa melangkah
masuk ke dalam kamar dan membaringkan tubuhnya di kasur.
“Serius amat, Yang?” Tanyanya sambil menatap Vivian yang
sudah terlena dalam dunia fantasy dengan
posisi tubuh menghadap gadis itu. Vivian memang menyukai cerita-cerita berlatar
fantasy. Dan Rafa tahu itu.
BUK!! Kembali Vivian menggetok kepalanya. Kali ini dengan
buku. “Aduh!” Rafa meringis untuk kedua kalinya. “Kamu tuh hobi banget ya nepok
kepala orang!”
“Eh Kodong. Siapa yang ngizinin lo masuk?” Tanya Vivian
sengit.
“Bentar aja. Gue capek Vy. Ngantuk.” Jawabnya sambil
menutup matanya. Beberapa saat kemudian terdengar dengkuran halus dari Rafa.
Vivian menghembuskan napasnya pelan sambil menarik selimut sampai ke bahu Rafa.
Kayaknya beneran capek. Batinnya.
Diletakkannya
novel yang tadi dibacanya di atas nakas samping tempat tidurnya dan berjalan ke
arah dapur untuk menyiapkan makan malam.
****
Rafa
terbangun ketika ia mencium sesuatu yang harum. Bau makanan. Perutnya tiba-tiba
saja keroncongan. Disibaknya selimut yang menutupi tubuhnya dan beranjak dari
tempat tidur sambil menggerak-gerakkan tangan kanannya yang kram karena posisi
tidurnya yang tidak berubah sejak tadi. Rafa memang tergolong orang yang tenang
saat tidur. Posisinya tidak akan berubah dari semula sampai saat ia bangun.
Alhasil, ia harus selalu meregangkan otot-otot tubuhnya yang kram setiap kali
bangun tidur.
Dengan wajah mengantuk ia keluar dari kamar dan berjalan
ke arah dimana kira-kira bau makanan itu berasal. Ternyata Vivian sedang
menyiapkan makan malam di atas meja. Rafa tersenyum. Belum pernah ada perempuan
yang masak untuknya selain Ibu dan pembantu di rumah. Bahkan gadis-gadis yang
pernah dipacarinya pun tidak pernah ada satupun yang bersedia untuk masak
untuknya.
“Masak apa?” Tanyanya ketika ia sampai di meja makan dan
duduk di salah satu kursi.
“Liat aja sendiri.” Jawab Vivian ketus.
Rafa hanya memonyongkan bibirnya sambil menatap makanan
yang tersedia di atas menja. Tumis kangkung dan ayam goreng. Benar-benar
makanan rumahan. Tapi kelihatannya enak. Vivian hanya bisa menahan tawa melihat
ekspresi Rafa. Benar-benar ekspresi anak kecil yang ngambek karena tidak dibelikan mainan.
“Cuci muka dulu sana!” Perintahnya saat melihat Rafa
sudah bersiap untuk menyendokkan nasi ke piringnya. Dengan bersungut-sungut
Rafa mengikuti perintah Vivian. Vivian jadi geli sendiri. Keadaan jadi seperti
terbalik. Rafa jadi seperti mengikuti perintahnya tanpa banyak protes.s
Tidak ada komentar:
Posting Komentar