Sumber Gambar |
Diandra melirik ponselnya malas.
Entah sudah yang ke berapa kalinya benda hitam persegi panjang itu berbunyi.
Sejak kemarin, teman-temannya sekampus sibuk memberondongnya dengan pertanyaan
yang sama. Lokasi KKN-mu dimana? Tidak mengherankan, sebagai mahasiswa tahun
ketiga di kampus, mereka sudah mulai disibukkan dengan KKN, magang dan Tugas
Akhir. Dan di awal-awal semester ini, jadwal mereka adalah KKN alias Kuliah
Kerja Nyata. Bahasa kerennya: Pengabdian pada Masyarakat. Mereka akan dibagi ke
dalam kelompok-kelompok perserta yang akan dikirim ke desa-desa dan mengabdikan
ilmu yang telah mereka pelajari disana. Dan dua hari yang lalu pihak Lembaga
Pengabdian Masyarakat (LPM) kampus telah mengeluarkan pengumuman lokasi KKN
untuk masing-masing mahasiswa yang memprogramkannya. Satu kelompok terdiri atas
tiga puluh orang.
Sudah sejak akhir semester enam
Diandra mendambakan agar KKN segera dilaksanakan. Ada satu harapan yang ia
simpan dalam pelaksanaan KKN ini. Bukan agar ia bisa cepat menyelesaikan segala
tugasnya di kampus dan wisuda, tapi ia sangat berharap bahwa ia dapat bertemu
dengan Dion, si cowok kece bertampang boyband dari Fakultas MIPA yang letaknya
memang bersebelahan dengan fakultasnya, Fakultas Ekonomi. Sudah sejak lama
Diandra menaruh harap dan hatinya pada laki-laki itu yang bahkan bertegur sapa
atau sekedar bertukar senyum dengannya ketika berpapasan di jalanpun tidak.
Sudah sejak lama Diandra hanya bisa memperhatikannya dari jauh. Sudah sejak
lama Diandra memendam perasaannya pada laki-laki itu. Sudah sejak lama Diandra
jatuh cinta diam-diam.
Bagaimana tidak? Dion adalah
sosok laki-laki impian Diandra. Seperti yang sudah diketahui bahkan oleh
seluruh teman-teman seangkatan Diandra di jurusan Akuntansi, Diandra adalah
penggemar K-Pop. Ia sangat mencintai para penyanyi boyband dari Negeri Ginseng itu. Ia sangat
mengidolakan penyanyi yang dulunya beranggotakan tiga belas orang meskipun
sekarang tidak lagi begitu. Ia sangat berharap bisa bertemu dengan laki-laki
dengan wajah tampan oriental seperti mereka dan ternyata Tuhan mengabulkan
harapannya. Dua tahun yang lalu, akhirnya ia menemukan sosok itu. Namanya Dion.
Anak MIPA, jurusan Pendidikan Kimia.
Mengingat mereka yang sama sekali
tidak pernah berkenalan karena Diandra malu untuk memulai duluan dan Dion yang
sepertinya tak pernah menyadari keberadaannya, Diandra hanya bisa
menggantungkan nasib cintanya dengan berharap bahwa ia dan Dion bisa
dipertemukan di lokasi KKN, lokasi yang sudah terkenal sering melahirkan
pasangan baru.
Akan tetapi, ketika waktunya
tiba, Diandra harus menelan rasa kecewa karena ternyata dari dua puluh sembilan
partner KKN-nya, nama Dion tidak ada disana.
****
“Cemberut mulu Di.” Maya, teman sekelas Diandra menegurnya. “Kamu
masih mikirin si Dion itu, ya?” Tanyanya.
Diandra mengangguk lemah.
Sebenarnya Maya tahu gimana caranya agar Diandra dan Dion bisa
bertemu di lokasi KKN yang sama. Akan tetapi, sebagai orang yang peduli pada
Diandra, ia tidak mau nantinya jika Diandra dan Dion benar-benar bertemu dan
berkenalan di lokasi KKN yang sama, Diandra jadi tidak memperhatikan tugasnya,
melainkan sibuk memperhatikan Dion. Tapi melihat Diandra tidak bersemangat
seperti ini ia jadi merasa bersalah. Sebaiknya ia memang memberi tahu Diandra.
“Ehm Di, aku dengar kemarin, bisa loh katanya tukeran lokasi.” Ujarnya.
Diandra yang tadinya murung, jadi bersemangat mendengarnya.
“Beneran?” Tanyanya dengan mata berbinar, seolah baru saja mendengar bahwa ia
mendang undian sabun cuci yang sering diikuti oleh para ibu rumah tangga.
“Iya. Jadi kamu tinggal cari aja orang yang satu lokasi sama Dion
terus tanya dia mau nggak tukeran sama kamu. Kalau dia mau, kalian tinggal
hubungin staff LPM biar diurus.”
“Asyiiik.” Diandra berteriak heboh kesenangan. Ia dan Maya sampai
jadi perhatian penghuni kantin, tapi ia tidak peduli. Yang penting sekarang
adalah dia dan Dion bisa satu lokasi.
****
Diandra berjalan ke kampus dengan
langkah riang dan senyum senang. Ia sedang berbuga-bunga hari ini. Kemarin ia
dan Maya sudah mencari tahu siapa saja orang-orang yang satu lokasi KKN dengan
Dion dan menanyakan kepada mereka apakah ada yang mau bertukar lokasi dengan
Diandra. Dan ternyata, Vira, salah satu anak dari jurusan Sendratasik (Seni,
Drama, Tari, dan Musik) bersedia untuk bertukar dengannya.
Hari ini coaching akan dilaksanakan di gedung
auditorium kampus. Dengan bersemangat Diandra menyapa teman-temannya yang sudah
berada di kampus lebih dulu darinya.
“Haiiiiiiiiiiiiiiiiiii.” Riang ia menyapa dengan senyum lebarnya.
“Ada yang lagi bahagia.” Maya menggodanya sambil mengedipkan
matanya. Ia turut berbahagia untuk Diandra. Setelah beberapa hari disuguhi
pemandangan wajah cemberut kusut, akhirnya hari ini ia bisa melihat senyum
Diandra.
Diandra hanya tersenyum menanggapi.
“Tumben kamu ceria dengan penampilan putih hitam kayak gini?”
Tono, teman Diandra yang lainnya bertanya. “Biasanya kan kamu pasling kesel.
Apalagi kalau sudah disuruh pakai rok panjang.”
Lagi-lagi Diandra hanya tersenyum menanggapi. Diandra memang
sangat tidak suka menggunakan setelan putih hitam seperti ini. Kemeja putih dan
rok hitam panjang. Menurutnya, penampilan seperti ini membuatnya terlihat
seperti perwujudan dari kotoran cicak. Dan untuk coaching hari ini seluruh mahasiswa yang
mengikutinya diwajibkan mengenakan pakaian putih hitam.
Tapi itu tidak penting lagi. Yang
terpenting adalah hari pertemuannya dengan Dion sudah semakin dekat.
****
“Di kamu sudah dimana?”
“Sudah di jalan. Sebentar lagi sampai.”
Klik.
Diandra mematikan sambungan teleponnya.
Hari ini ia dan teman-teman selokasi KKN-nya yang baru janjian untuk bertemu di
kampus. Ide ini datang dari Risa, teman baru Diandra yang barusan menelepon.
Dari dua puluh sembilan orang anggota kelompok KKN-nya yang baru, memang baru
Risa saja yang dikenalnya. Sementara Risa, sudah mengenal semua anggota
kelompoknya. Jadi, Risa mengusulkan bagaimana jika mereka bertemu terlebih
dahulu agar bisa berkenalan secara lebih dekat, mengingat selama dua bulan ke
depan mereka akan bekerja sama dalam satu tim untuk melaksanakan tugas.
Diandra sampai di kampus yang
langsung disambut meriah oleh Risa. Risa memang orang yang heboh dan cerewet,
jadi tak mengherankan jika dalam waktu singkat ia bahkan sudah mengenal seluruh
teman-teman anggota KKN-nya. Tapi sambutan meriah Risa malah membuat Diandra
malu. Pasalnya, saat ini, di sana, di antara dua puluh sembilan orang yang
berkumpul seperti dua tim keseblasan beserta masing-masing pemain cadangannya
itu, ada Dion. Dan laki-laki itu melempar senyum ke arahnya.
****
“Diandra!” Tegur sebuah suara saat Diandra melewati parkiran
kampus. Seketika Diandra menoleh dan langsung terkejut mendapati siapa yang
menegurnya.
“Eh… Dion.”
“Hai.”
“Hai juga.”
“Mau pulang?”
“I-iya.”
“Aku antar?”
Sepanjang perjalanan pulang, jantung Diaandra tak henti-hentinya
dangdutan. Seperti ada yang menabuh gendang di dalamnya.
Dukduk…Dukduk…
Ia, Diandra Arifin, saat ini duduk di boncengan Dion, cowok kece
bertampang boyband yang diidam-idamkannya sejak dulu.
Cowok yang sejak dua tahun yang lalu hanya bisa dikaguminya dari jauh. Ia sama
sekali tidak percaya bahwa hari ini, ia bisa duduk di boncengan motor Dion
untuk diantar pulang.
Beberapa hari yang lalu, saat janjian
ketemuan yang diusulkan Risa, ia dan Dion memang sudah bertemu dan berkenalan.
Tapi saat itu Diandra lebih banyak diam dan tersenyum sesekali. Tidak berani
sok akrab seperti yang Risa lakukan. Berbeda dengan Dion, laki-laki itu
ternyata adalah pribadi yang ramah dan juga humoris. Sama sekali tidak gengsi
tertawa terbahak-bahak karena lelucon yang dibuat oleh teman-temannya, seperti
Adit, cowok Sendratasik nyentrik yang bercita-cita jadi pelawak.
Dan hari ini, ia tidak menyangka
Dion masih mengingatnya bahkan menawarkan untuk mengantarnya pulang.
Benar-benar seperti mimpi yang menjadi kenyataan.
“Makasih, ya.” Ujar Diandra saat turun dari boncengan motor Dion
sembari menyerahkan helm ke cowok itu.
Dion menerimanya dan tersenyum. “Sama-sama.” Jawabnya. “Masuk aja
duluan. Aku lihatin dari sini.” Ujarnya.
“I-iya.” Diandra mengiyakan dan mengangguk kaku. Dengan langkah
berat, diputarnya tubuhnya dan melangkah masuk ke dalam rumah. Benar-benar
khawatir ia akan terlihat jelek dari belakang.
Begitu ia mencapai pintu, diputarnya kembali tubuhnya dan
mendapati Dion masih ada disana, mengawasinya. Dilemparkannya sebentuk senyum
sambil melambaikan tangannya. Dion mmebalasnya dengan senyum kecil, memakai
helm, kemudian melajukan motornya menjauh dari sana.
****
Bus yang mereka tumpangi berhenti di depan balai desa. Hari ini
Diandra dan teman-temannya untuk pertama kali mengunjungi desa yang menjadi
lokasi tempat mereka mengabdikan ilmu. Sampai dua bulan ke depan, mereka akan
tinggal disini bersama-sama, berbaur dengan masyarakat yang ada, dengan
lingkungan yang bahkan belum mereka kenal.
Kata orang-orang, KKN itu gampang
gampang susah. Tapi bagi Diandra, sesusah apapun itu, akan ia lalui. Dion ada
di dekatnya dan sudah bisa dipastikan lelaki itu akan menjadi penyemangatnya.
Mereka disambut dengan tarian. Disuguhkan oleh lima anak kecil
dari desa, yang dikhususkan untuk penyambutan tamu. Diandra senang sekali. Ia
sangat suka melihat orang menari, baik itu tarian modern maupun tarian daerah.
Disambut seperti ini membuat senyumnya merekah sumringah.
Dion yang melihatnya juga ikut tersenyum. Apalagi tingkah riang
Diandra, membuatnya tertawa kecil. Tanpa ragu ia mendaratkan tangan kanannya
dan mengusap kepala Diandra lembut. Sementara Diandra, hanya bisa mematung.
Terkejut. Namun detik selanjutnya, senyumnya merekah, lebih lebar dari
sebelumnya.
****
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Hari ini adalah acara
perpisahan dengan masyarakat desa. Mereka telah melaksanakan tugas selama dua
bulan dengan sangat baik. Semua program yang telah dicanangkan berjalan,
meskipun ada beberapa kendala tapi tetap bisa ditangani. Masyarakat desa selalu
menyambut pelaksanaan program-program tersebut dengan antusias. Mereka juga
senantiasa berpartisipasi di dalamnya. Seluruh peserta KKN yang ada di kelompok
Diandra tersenyum bahagia dan bangga. Akhirnya salah satu tugas mereka di
semester semester terakhir di kampus telah terlaksana.
Akan tetapi, Diandra tak sepenuhnya
bahagia. Meskipun berbangga diri, ia juga bersedih. Hari ini akan menjadi hari
terakhir kebersamaannya dengan Dion. Ia tidak tahu apakah selanjutnya Dion
masih mau berteman dengannya atau tidak, walaupun ia yakin dan percaya Dion
bukanlah sosok yang seperti itu, tidak mau kenal lagi setelah segala urusan
selesai. Tapi tetap saja Diandra khawatir. Dua bulan tinggal di satu daerah
yang sama bahkan bekerja sama untuk kepentingan bersama tidak membuat
hubungannya dan Dion mengalami kemajuan. Jangankan dekat dan berpacaran, PDKT
saja tidak. Bagaimana mau PDKT kalau mereka kesini tujuannya jelas bukan untuk
hal itu?
****
Diandra kembali sibuk. Jadwal
magang sudah di depan mata tapi pikirannya sama sekali tidak bisa fokus disana.
Nama Dion selalu menari di ingatannya, wajah Dion selalu bertamu di mimpinya.
Sudah sejak dua minggu yang lalu
mereka menyelesaikan program KKN dan sejak saat itu pula ia dan Dion belum
pernah bertegur sapa. Bukan tidak mau, tapi Diandra ragu dan juga malu. Sering
ia lewat di depan Fakultas MIPA. Sering juga ia melihat Dion disana, berkumpul
bersama teman-temannya, dan tertawa. Tapi Diandra tidak berani menegurnya,
tidak berani menyapanya. Takut Dion sudah lupa atau pura-pira tidak ingat lagi
padanya.
****
Diandra yang sekarang, masih
Diandra yang dulu. Masih Diandra yang pemalu, masih Diandra yang selalu menatap
Dion dari jauh. Tapi ada yang telah berbeda. Ia bukan lagi mahasiswi yang bisa
santai mondar mandir di kampus tanpa ada beban. Kini Diandra adalah salah satu
karyawan magang di salah satu perusahaan swasta.
Begitu pula Dion, ia masih tetap
Dion yang Diandra kagumi. Ia masih tetap Dion yang Diandra cintai. Tapi ada
yang telah berbeda. Ia bukan lagi mahasiswa yang bisa asyik nongkrong dan
bercanda di taman fakultas. Kini Dion adalah salah satu guru PPL di sekolah
menegah.
****
Bulan Juni datang. Diandra patut
berbangga menyambutnya, begitu pula kedua orang tuanya. Mulai hari ini, Diandra
berganti status. Dari mahasiswa ke pengangguran. Tapi Diandra berjanji, status
baru itu akan berakhir seiring dengan jarum jam menunjuk angka 12.01. Hari ini,
ia wisuda kelulusan!
Dengan ceria Diandra melenggang kesana kemari, berpose sana sini
bersama teman-temannya. Salah satu kebahagiaan terbesar dalam sebuah
persahabatan adalah saat memulai perjuangan bersama dan menyelesaikannya secara
bersama-sama pula. Diandra bahagia sekali. Ia bisa wisuda tepat waktu bersama
teman-teman seperjuangannya. Bersama Maya, Tono, bahkan teman-teman yang
dulunya adalah keluarga dekatnya di lokasi KKN.
Mereka semua tersenyum bahagia, Diandra juga. Meskipun ada satu
harapannya yang tak terkabul: Dion. Perasaannya pada Dion masih tetap sama,
tidak pernah berubah. Komposisinya masih tetap cinta yang dibumbui rasa sayang
dan terpesona. Meskipun kini ia tidak tahu bagaimana nasib laki-laki itu.
Tengah berbangga hati pula atau dengan lapang dada harus menunda kebanggannya
sampai tiga bulan atau bahkan dua belas bulan ke depan.
Diandra tidak tahu dan memilih untuk
tidak memikirkannya dulu. Ia akan menunda sampai esok hari yang entah akan
bertahan sampai kapan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar