Diana meneken-nekan tombol ponselnya dengan cepat. Matanya
fokus pada layar putih kosong yang semakin lama semakin terisi dengan
berdert-deret huruf hitam tebal yang membentuk kalimat.
‘Kirimkan pin ATM-mu
dan berapa jumlah tunai yang harus kutarik.’
Begitulah bunyi kalimat tersebut. Setelahnya, ia menekan tombol
kirim, kemudian kembali pada aktivitasnya sebelumnya, menekan-nekan tombol keyboard pada laptopnya. Menulis apa yang
bisa ditulisnya, menulis apa yang mampir di otaknya.
Detik berlalu, menit berjalan, jam pun
berganti. Sudah sejak dua jam yang lalu Diana menunggu, tidak ada balasan sama
sekali. Menggerutu dalam hati, Diana tetap meneruskan tulisannya hingga
selesai. Ingin sekali ia mengomeli orang di seberang yang tak kunjung
memberikan balasan atas pesannya, tapi ia terlalu sayang pulsanya yang tinggal
sedikit. Sang simcard bahkan sudah meraung minta diisi
ulang, tapi ia terlalu sayang uang jajannya yang jumlahnya pun tak seberapa.
Kegiatan menulisnya selesai, dilanjutkan dengan membaca buku
berbentuk file pdf yang barusan diunduhnya. Untuk membunuh bosan saat jaringan
internet – yang bisa didapatkan secara cuma-cuma di kampus, tiba-tiba saja
tewas. Sesekali ia tertawa, membuat Aldo, teman sekelas yang kebetulan duduk di
bangku panjang fakultas tak jauh darinya bertanya apa yang sedang ia lakukan.
Akan tetapi, bahkan sampai ia menyelesaikan buku kedua dengan jumlah halaman
yang mencapai angka lima puluh empat, balasan yang ditunggunya tak kunjung
tiba.
Baru saja ia berniat untuk ke kantin
demi mengisi perut yang sudah keroncongan, yang ditunggunya pun datang. Bukan
dalam bentuk pesan melainkan dalam wujud manusia. Delta, kakak yang sejak tadi
sepertinya mengacuhkan pesannya, mengajaknya ke pasar.
****
“Mau ngapain kita ke pasar?” Diana bertanya sambil berlari-lari
kecil mengikuti langkah panjang Delta yang sama sekali tak tergesa.
“Mau cari cermin dan minyak tanah.” Begitu jawaban Delta. Diana
ingat, Delta pernah tidak sengaja memecahkan cermin salah seorang temannya yang
sering mereka gunakan di kos-kosan tempat mereka tinggal. Seingatnya kemarin
mereka berencana membeli pengganti cermin dengan bingkai merah muda itu di
salah satu pusat pertokoan tak jauh dari kampus. “Kalau mau cari cermin, kenapa
ke pasar? Mau dibeli dimana?”
“Di kios. Dan juga, kita harus membeli minyak tanah.” Delta
menjawab. Delta tahu bahwa pertanyaan Diana ini sama sekali bukan karena ia
bingung harus mencari cermin di bagian mana pasar, ia hanya tidak mau ke pasar.
Bau, katanya. Tapi Delta tidak mau membiasakannya. Sebagai kakak, ia harus
mengarahkan Diana agar jangan sampai memuja kehidupan yang serba mewah. Mereka
bukan berasal dari keluarga berada. Mereka hanya dua bersaudara dari suami
istri yang hidup sederhana.
Diana hendak protes, tapi tidak
sempat. Delta sudah terlanjur memanggil Abang tukang becak yang mangkal tak
jauh dari sana dan menyebutkan kemana destinasi perjalanan mereka. ‘Ke pasar,
Bang.’
****
Hanya butuh waktu lima belas menit mereka sampai di pasar. Sambil
mengucapkan terima kasih, Delta menyerahkan satu lembar uang lima ribu rupiah
pada si Abang tukang becak. Ia menerimanya dengan senyum sumringah dan
mengucapkan terima kasih kembali.
Delta mengajak Diana berputar-putar di
dalam pasar setelah sebelumnya singgah di tukang sol sepatu di pinggir jalan.
Menyerahkan sepatu yang sudah tidak bisa dipakai karena sobek, untuk
diperbaiki. Kemudian masuk ke dalam pasar. Melewati kios kios pakaian, sepatu,
tas bahkan tukang penjual ikan. Masuk dari lorong yang satu dan keluar di
lorong yang lain. Tapi cermin yang dicari tak juga ditemukan.
“Mau cari dimana sih?” Diana mulai sebal. Hidungnya sudah mulai
mencium bau tak sedap yang membuatnya mual, yang ternyata berasal dari daging
sapi yang digantung di salah satu kios tak jauh dari mereka.
“Ikut saja.” Begitu jawaban Delta. Membuat Diana gemas dibuatnya,
tapi tidak serta merta bisa mengomel. Ia dan Delta diperhatikan banyak orang.
Penjaga-penjaga kios yang sepertinya sudah gerah melihat mereka hanya lewat dan
tidak mau mampir meskipun sudah ditawarkan.
Entah di lorong ke berapa, mata Diana
tak sengaja menangkap cermin berukuran sama seperti milik teman Delta di salah
satu kios yang menjual peralatan dapur dan peralatan bersih bersih. Ditunjuknya
kios itu dan Delta setuju untuk singgah. Setelah melakukan penawaran sebentar,
akhirnya mereka mendapatkan cermin lonjong dengan bingkai hijau cemerlang itu
di tangan.
Kembali Delta mengajak Diana berputar-putar. Keluar masuk lorong
lagi. Cari minyak tanah. Diana tidak tahu berapa lama ia dan Delta kesana
kemari di dalam pasar. Tak terhitung lagi berapa kali mereka menemui jalan
buntu. Tapi Delta tidak menyerah pada pencarian minyak tanahnya. Ia dan Diana
membutuhkannya untuk memasak. Kompor mereka sudah kering. Sumbu sudah
meronta-ronta minta direndam, minta dimandikan.
Diana hanya bisa setia mengekori
Delta. Ia tidak mungkin meninggalkan Delta disini karena ia sendiri sudah
bingung harus keluar lewat mana. Matanya hanya menemukan lorong dan lorong.
Seperti labirin yang membingungkan, tidak ada jalan keluar.
Betapa bersyukurnya Diana saat Delta menemukan kios yang menjual
minyak tanah. Akhirnya sebentar lagi ia akan keluar dari semi-labirin ini.
Tanpa menawar, setelah membandingkan harga minyak tanah disini dan yang
beberapa hari lalu disebutkan Ayahnya, Delta membayar. Dan Diandra mendapat
kehormatan untuk menenteng minyak tanah yang ditampung dalam botol air mineral
satu liter itu.
Tanpa protes, Diana mengiyakan. Yang
penting keluar dari sini. Tidak peduli mau dia terlihat aneh atau tidak
menenteng botol yang diikat tali plastik seperti ini. Namun, untuk pertama
kalinya, satu kios menarik perhatian Diana. Dimintanya Delta untuk mampir
sebentar dan melihat-lihat. Kios pernak-pernik khas gadis remaja. Dan Delta
sama sekali tidak keberatan. Ditemaninya Diana yang tiba-tiba berubah antusias
itu. Sesekali ia menanyakan pendapat Delta yang hanya menjawabnya dengan kata
‘terserah, ambil saja kalau suka dan cepat’. Membuat Diana cemberut sebentar,
lalu tersenyum lagi, asyik memilih lagi.
Setelah beberapa lama menunggu, pilihan Diana jatuh pada dua buah
ikat rambut dan sepasang jepit rambut. Diana membayar sejumlah yang disebutkan
penjaga kios, lalu mengajak Delta keluar dari sana.
Sebelum kembali menggunakan jasa Abang tukang becak, Diana dan
Delta kembali menemui tukang sol sepatu.
Sol sepatu Mana Suka. Itulah yang pertama kali ditangkap mata
Diana begitu tiba disana. Sepatu Delta sedang dalam proses penjahitan. Ia dan
Delta memutuskan untuk menunggu dengan duduk di bangku kayu tua reyot yang
memang sudah disediakan untuk para pelanggan.
Mereka duduk sambil menatap hiruk pikik jalan di depan.
Orang-orang yang berlalu lalang, Abang tukang becak yang mangkal, kios kecil
yang dijaga oleh seorang nenek berambut putih, yang membuat Diana bertanya
dalam hati: dimana anak-anaknya berada?
Sesekali Diana mengamati tukang sol
sepatu Mana Suka. Seorang lelaki tua, berrambut tipis, berkumis tipis pula,
berkulit hitam dengan tangan yang sudah mengerut, serta tulang yang menyembul
dari kulitnya yang renta. Di sampingnya, duduk seorang laki-laki muda dengan
rambut yang sedikit diberi warna kuning pada bagian ubun-ubunnya, membuatnya
terlihat seperti bulu-bulu ayam. Mungkin ia seumuran dengan Delta. Sepertinya
ia anak si lelaki tua ini. Di hadapan keduanya, terdapat sebuah meja yang
digunakan untuk menampung berbagai macam benda. Gelas bening berisi kopi tubruk
dengan penutup plastik berwarna hijau, benang nilon berbagai warna, kotak
makanan berwarna merah muda dibalut kresek berwarna hijau, sepatu sepatu yang
ditumpuk, dan lainnya yang Diana sendiri tidak tahu namanya.
Sepatu Delta memang sudah sobek, tapi bahan telapaknya terbuat
dari bahan yang cukup keras. Diandra bergidik setiap kali melihat si pak tua
menacapkan benda entah apa namanya untuk menjahit sepatu Delta. Tangan itu
begitu kurus, begitu keriput, terlihat begitu rapuh, namun masih cukup kuat
untuk melaksanakan pekerjaannya. Diana jadi teringat Ayahnya di rumah. Beliau
memang masih tergolong muda. Otot tangannya masih kuat. Otot yang sama sekali
bukan hasil dari fitness melainkan dari kegigihannya
memikul apa yang bisa dipikulnya, otot yang suatu saat nanti akan menemui
ambang batasnya, keriput dan renta pula. Ayahnya hanya seorang petani biasa dan
ia sadar, pendapatan seorang petani itu tidak seberapa.
Berapa banyak beban yang telah dipikul Ayahku demi
menyekolahkanku?
Dialihkannya tatapannya dari si lelaki tua. Tidak mau terlalu lama
memperhatikan dan tidak mau nantinya diperhatikan. Tidak mau orang-orang
berpikir bahwa ia merasa kasihan karena memang bukan rasa itu yang terbit di
hatinya. Ia tidak kasihan, tapi ia merasa sayang. Hatinya terenyuh melihatnya.
Sementara Delta, sejak tadi kakak laki-lakinya itu hanya menatap ke depan, ke
jalanan, sambil sesekali mengomentari siapa saja yang lewat di depannya. Entah
itu para buruh angkut yang sejak tadi berseliweran, bahkan seorang wanita
dengan penampilan aneh namun masih dengan make-up rapi ala ibu ibu arisan.
Masih menunggu, seorang ibu turun dari motornya dan menghampiri
Sol Sepatu Mana Suka. Ia mengeluarkan sepasang sepatu laki-laki – mungkin
sepatu anaknya, menyerahkannya pada si lelaki tua, minta diperbaiki. Sebelum
beranjak dari sana, kembali dengan motornya, ia sempat melakukan penawaran,
berapa harga yang hendak diminta oleh si tukang sol sepatu untuk penjahitan
sepatunya.
Diana menghela napas mendengarnya.
Menawar? Astaga! Masih bisa ibu itu menawar saat ia bisa pulang menggunakan
kendaraan beroda dua yang dibantu mesin, sementara kedua lelaki ini mungkin
hanya bisa pulang menggunakan sepeda butut yang terparkir di belakang bangku
yang kini diduduki Diana dan Delta, atau mungkin berjalan kaki.
Hari semakin sore. Angin semakin kencang bertiup. Debu-debu
berterbangan, membuat Diana sesekali menutup matanya demi menghindari
kelilipan. Seng tua yang digunakan sebagai peneduh tempat mengais rejeki juga
sudah berbunyi tak karuan sejak tadi. Delta bahkan sudah bertanya-tanya apakah
seng ini akan jatuh menimpa mereka atau tidak.
Dari menara masjid tak jauh dari mereka sudah mulai terdengar
bacaan ayat-ayat suci. Ayat-ayat Tuhan yang sengaja diperuntukkan bagi umatnya.
Sebagai petunjuk dan pedoman dalam menjalani kehidupan. Sambil menikmati
lantunan ayat suci dan mengikutinya dalam hati, telinga Diandra mendengar suara
yang sama dari arah yang berlawanan dari masjid. Suara laki-laki. Diana
menoleh. Betapa terkejutnya dia saat mendapati siapa laki-laki yang sedang ikut
mengaji itu. Si laki-laki dengan rambut bulu ayamnya.
Tanpa memperdulikan sekelilingnya, ia
mengikuti bacaan ayat Al-Qur’an. Sambil menunduk, menjahit sepatu, ia mengaji.
Surat At-Takwir. Dalam hati Diana berseru. Menyeru puja dan puji. Betapa cinta
Tuhan begitu besar.
Mungkin laki-laki itu tidak dianugerahi materi yang berlebih,
mungkin saja mereka hidup serba bersabar dan serba kekurangan. Tapi Tuhan tidak
serta merta membiarkannya. Tuhan anugerahkan padanya bapak ibu bertanggung
jawab yang tidak melupakan kewajibannya mengajarkan salah satu ilmu terpenting
dalam hidup ini. Mengajarkannya cara membaca kitab, mengajarkannya membaca
pedoman hidup.
Adzan berkumandang. Sepatu Delta pun telah selesai diperbaiki,
sudah bisa dipakai lagi. Selembar uang dua puluh ribuan Delta serahkan pada si
lelaki tua. Abang tukang becak sudah menunggu untuk mengantar mereka pulang,
meninggalkan Sol Sepatu Mana Suka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar