Sumber Gambar |
Lonceng kecil yang tergantung di pintu café berdenting merdu
ketika sosok gadis itu menyembul di baliknya. Seorang pramusaji menyambutnya
dengan senyum sumringah ala orang Indonesia. Gadis itu membalasnya tak kalah
ramah kemudian mengedarkan pandangannya mencari meja yang kosong. Café ini
memang selalu ramai oleh pengunjung. Apalagi saat hari menjelang sore.
Pilihanya jatuh pada meja kosong di sudut café yang langsung mengarah ke
jendela. Gadis itu berjalan dan langsung menghempaskan tubuhnya dengan gaya dramatis
di salah satu kursi. Seperti hari-hari sebelumnya, café ini akan selalu menjadi
tempat pelariannya saat ia sedang lelah. Entah itu karena pekerjaan atau karena
hal-hal lainnnya.
Gadis itu, Arini, menghembuskan napas lelah. Badannya terasa remuk
semua dan pikirannya terasa buntu. Sejak kemarin ia mencari ide untuk
melanjutkan novelnya, namun tak satupun yang mampir ke otaknya, membuat
editornya, Egy yang super cerewet itu mengomelinya seharian.
Arini adalah seorang penulis novel yang cukup terkenal. Sudah
sejak tiga tahun yang lalu ia menekuni hobi sekaligus pekerjaannya ini. Dan
selama itu pula, ia tidak pernah mengalami kesulitan. Bahkan ada novel
karangannya yang menuai sukses dan menjadi best seller. Akan tetapi, entah kenapa untuk
penulisan novelnya kali ini benar-benar terasa sulit, padahal baru masuk bab
kelima. Bab keempat yang diserahkannya pada Egy kemarinpun banyak mengalami
revisi. Yeah, menulis novel memang bukan hal yang mudah, tapi Arini tidak
pernah tahu bahwa akan sesulit ini.
Sebenarnya ini semua tidak akan terjadi jika saja Egy tidak
menyarankan hal itu. Seperti yang sudah diketahui banyak orang, Arini adalah
penulis novel misteri. Dan tentu saja misteri adalah sesuatu yang berhubungan
dengan teka-teki. Tidak ada masalah dengan hal itu. Tapi beberapa minggu yang
lalu, Egy menyarankan padanya untuk menambahkan bumbu sedikit cerita cinta di
dalamnya. Laki-laki cupu itu menganggap bahwa Arini perlu melakukan improvisasi
dalam gayanya menulis. Bukan karena tulisannya tidak bagus atau tidak menarik,
tapi Egy menganggap bahwa kedatangan para penulis baru yang masih muda dengan
ide-idenya yang masih fresh dan sesuai dengan selera remaja
sekarang bisa saja membahayakan posisi Arini. Selama ini, Arini hanya selalu
mengutamakan rasa ingin tahu pembaca untuk terus membuka lembar demi lembar
novel tulisannya, tanpa pernah sekalipun membawa perasaan mereka untuk
benar-benar masuk ke dalamnya, begitu kata Egy.
Itu bukan masalah. Lagipula gue nggak merasa terancam dengan
kehadiran penulis-penulis muda. Bukannya itu bagus? Berarti semangat para anak
muda untuk membaca meningkat, karena jika mereka suka menulis, sudah pasti
mereka suka membaca. Dan membaca bukan hal yang buruk. Arini pernah membantah
kata-kata Egy dengan kalimat seperti ini, tapi ia justru diceramahi.
Sebenarnya
dalam hati Arini membenarkan kata-kata Egy. Sebagai seseorang yang hanya
menggantungkan hidupnya pada kebaikan hati para pembaca untuk mengeluarkan
beberapa ribuan demi tulisannya, Arini tidak bisa main-main dengan kariernya.
Sebisa mungkin ia harus mempertahankan pembacanya bahkan sampai kapanpun.
Satu-satunya keterampilan yang ia sadari dari dirinya hanya menulis. Dan novel
tentang cinta memang lebih banyak digemari. Tapi masalahnya, bagaimana caranya
Arini memasukkan bumbu manis bernama cinta ke dalam ceritanya jika ia saja
belum pernah jatuh cinta?
Ponsel Arini yang tergeletak di meja berbunyi. Ada panggilan
masuk. Buru-buru diraihnya ponselnya tersebut dan seketika mengutuk dalam hati
ketika diketahuinya siapa yang mengubunginya. Egy.
“Apa?”
Jawab Arini malas.
“Lo
lagi dimana?” Tanya suara berat di seberang.
“Di
cafĂ© deket kantor. Kenapa?”
“Gue
kesitu.” Egy langsung menutup panggilannya tanpa menunggu jawaban Arini.
Beberapa menit kemudian, wajah laki-laki itu telah muncul di depan mata Arini.
“Ngapain
kesini?” Tanya Arini dengan nada sinis. Ia sedang kesal dengan Egy dan tak
ingin melihat wajahnya. Untuk urusan pekerjaan, Egy memang editornya. Tapi di
luar dari itu, Egy adalah sahabatnya.
“Gue
minta maaf tadi udah marah-marahin elo. Lo tahu sendiri, kan gue kayak gitu
karena apa.” Ujar Egy menjawab pertanyaan Arini.
“Hmmm…”
Arini hanya menggumam pelan.
Egy
diam tidak menanggapi. “Gini deh Rin. Gue ada ide biar elo nggak kesulitan
begini buat nyari ide.” Celetuknya tiba-tiba.
Arini
mengangkat salah satu alisnya, bertanya.
“Elo
nggak bisa nulis cerita cinta karena elo belum pernah jatuh cinta bahkan
setelah dua puluh tahun elo berkeliaran di bumi. Jadi solusinya cuma satu: elo
harus jatuh cinta!”
****
Arini harus jatuh cinta, begitu kata
Egy. Awalnya Arini mengira Egy hanya bercanda berkata seperti itu. Tapi
ternyata laki-laki itu serius. Ia benar-benar menyarankan Arini untuk jatuh
cinta. Memberi saran memang gampang, tapi melakukannya itu yang susah. Hampir
saja Arini melempar wajah polos Egy dengan vas bunga saat Egy mengatakan bahwa
jatuh cinta adalah hal yang mudah. Bagaimana caranya?
Arini
jadi teringat jawaban Egy ketika Arini bertanya apa yang membuat Egy
berkesimpulan bahwa jatuh cinta itu mudah.
“Gini
ya Rin. Kenapa menurut gue jatuh cinta itu mudah? Elo cewek. Dan cewek, adalah
makhluk yang mudah jatuh cinta. Cewek adalah spesies yang haus akan namanya perhatian.
Apalagi perhatian berlebih dari seorang cowok. Hal itu bisa membuat mereka
menyimpulkan bahwa cowok itu jatuh cinta sama mereka dan membuat mereka
akhirnya memutuskan untuk ikut jatuh cinta pada cowok itu. Ini fakta, karena
berdasarkan apa yang gue lihat di sosmed, yang paling banyak diserang wabah
para PHP rata-rata kaum cewek.”
“Jadi,
untuk membuat seorang cewek jatuh cinta hanyalah satu. Beri dia perhatian.
Dalam kasus elo, elo cuma perlu cari siapa yang mau kasih perhatian ke elo. Dan
gue bakal bantu buat cari orang itu.”
Egy
sinting. Emang dikira gue apaan sampe harus cari orang yang mau perhatiin gue.
Gue cukup perhatian pada diri gue sendiri jadi gue nggak mungkin haus perhatian
siapapun. Tapi Egy tidak peduli. Ia tetap bersikeras akan menemukan siapapun
laki-laki yang mau memberi Arini perhatian yang bisa membuat gadis itu jatuh
cinta.
****
Arini memejamkan matanya menikmati hembusan angin yang menerpa
wajahnya sore itu. Ia sedang duduk duduk di bangku taman, seperti biasa,
mencari ide. Beginilah yang ia lakukan. Berpindah tempat untuk bersemedi setiap
hari. Ketika hendak meraih tas ransel yang ia letakkan di salah satu sisi
bangku untuk mengeluarkan alat perangnya, sebuah kotak cantik dengan pita merah
tergeletak disana. Diraihnya kotak tersebut yang ternyata berisi cokelat dan
kartu ucapan. Dibukanya kartu ucapan itu dan membaca kalimat dalam bahasa
Perancis yang tertera disana.
Je
t’aime
Arini memang tidak pernah belajar bahasa Perancis, tapi ia
mengerti maksud dari kalimat ini. Ini adalah pernyataan cinta. Aku cinta kamu,
begitulah artinya jika dibahasaindonesiakan. Milik siapa ini? Arini mengedarkan
pandangannya ke kiri dan ke kanan, mencari pemilik kotak tersebut. Kira-kira
sepuluh meter dari tempatnya duduk, matanya menangkap sesosok tubuh jangkung
seorang laki-laki yang sedang berjalan. Cepat-cepat dikejaenya laki-laki itu
sebelum ia semakin menjauh.
“Mas…
Mas…” Panggilnya., tapi laki-laki itu terus saja berjalan. Sama sekali tak
menghiraukan panggilan Arini.
Oke.
Sepertinya ia berpikir bahwa bukan ia yang dipanggil. Tanpa ragu, Arini
mengetukkan satu jarinya di bahu laki-laki itu dan mengulang panggilannya.
Langkah laki-laki itu berhenti dan sontak membalikkan tubuhnya.
Apa yang ditangkap mata Arini
benar-benar membuatnya terperangah. Laki-laki yang kini berdiri di hadapannya
sambil menatapnya dengan wajah kebingungan benar-benar tampan. Pria bule dengan
hidungnya yang begitu mancung serta mata birunya yang begitu jernih. Sesaat ia
tak mampu berkata-kata hingga teguran suara berat milik laki-laki itu
membuatnya tersadar.
“Can I help you?” Tanya pria bule itu sambil
menatap wajah Arini. Yeah, kebiasaan orang barat, selalu menatap wajah lawan
bicaranya saat bicara.
Arini
sedikit tergagap untuk menjawabnya. Tatapan laki-laki itu benar-benar
membuatnya seperti kehilangan semua kosa kata yang tersimpan di kepalanya. “Mmm… is it yours?” Tanyanya sambil menunjukkan kotak
cokelat yang ditemukannya.
“You found it?” Bule itu malah balik bertanya
dengan wajah yang terlihat begitu surprise.
“Yeah, I…”
“What a beautiful
chance.” Belum selesai Arini
bicara, laki-laki itu telah memotongnya. “You know, I just
decided to play around with destiny. I never thought that there would be a
pretty girl who found that chocolate.” Ujarnya
kemudian.
Arini
jadi bingung mendengarnya. Apa maksudnya dengan tidak pernah berpikir bahwa
akan ada seorang gadis cantik yang menemukan cokelat ini? Apa cokelat ini
memang sengaja ditinggalkan?
“I’ve promised that if there was a girl who found that chocolate, then I would propose to her. So, will you marry
me?”
“What the…
****
“Jadi
tuh bule langsung ngelamar elo?” Tanya Egy sambil menahan tawa ketika Arini
selesai menceritakan kejadian konyol yang dialaminya kemarin.
“Yeah, and I don’t
even know his name. It’s crazy!” Gerutu Arini kesal.
Ia benar-benar tidak habis pikir dengan apa yang terjadi pada bule gila itu.
Apa kepalanya baru saja kejedot metro mini?
Egy
malah semakin terbahak. “Trus? Abis denger dia bilang gitu, lo ngapain?”
Tanyanya.
“Ya
gue langsung kaburlah dari situ.” Jawab Arini malas.
“Ya
udahlah nggak usah dipikirin. Tuh bule emang lagi error kali. Lagian lo sama dia nggak
mungkin ketemu lagi. Dunia emang sempit, tapi cukup luas untuk mencegah dua
orang yang nggak saling kenal ketemu secara nggak sengaja sampai dua kali.”
Ujar Egy menenangkan. Arini memang pribadi yang meledak-ledak dan selalu over thinking. Maka tidak heran hal-hal kecil bahkan
konyol seperti ini bisa membuatnya kesal setengah mati.
Mendengar hal itu, Arini mengangguk sambil tersenyum lega. Egy
benar! Tidak mungkin ia bertemu lagi dengan bule itu. Tapi ternyata kali ini
Dewi Fortuna tidak berpihak padanya. Baru berselang lima menit, sebuah suara
yang entah kenapa seperti terdengar familier di telinganya, menegurnya.
“Hey, we meet again.”
Arini
terperangah. Matanya melotot tak percaya. Bule sinting yang kemarin bertemu
dengannya kini muncul di hadapannya. Laki-laki itu tersenyum manis tanpa dosa
ke arahnya. “What are you doing
here?” Tanya Arini masih
dengan tampang terkejutnya.
Bule
itu mengedikkan bahunya. “Gue rasa ini tempat umum, jadi nggak ada salahnya
kalo gue kesini. Dan kebetulan banget gue ketemu elo lagi.” Jawabnya.
“You can speak
Indonesia?” Arini semakin
menganga tak percaya. Pasalnya, ni bule nggak ada tampang Indonesianya sama
sekali. Dan biasanya bule yang model begini, bisa bahasa Indonesia tapi nggak
selancar ini.
“Mulus.”
Jawab bule itu sambil menjatuhkan dirinya di kursi di samping Arini. “Jadi
gimana? Lo mau, kan nikah sama gue?”
****
“Berhenti
ngintilin gue kenapa, sih?!” Bentak Arini sambil menatap
si-bule-gila-entah-siapa-namanya itu. Sejak keluar dari café tadi, laki-laki
ini terus saja menguntitnya. Arini kan mau cari inspirasi. Gimana bisa dapet
inspirasi kalo diekorin terus kemana-mana.
“Gue
cuma mau nemenin calon istri gue. Salah?” Jawab bule itu sambil bertanya dengan
wajah polos.
“Oh my God. I don’t
know who you are! I don’t even know your name. Dan juga, siapa yang bilang gue
mau nikah sama elo?”
“Oke.
Gue ngerti maksud lo. Nama gue David, umur gue 22 tahun dan sekarang gue kerja
di salah satu perusahan swasta di Jakarta. Now, you know who I
am.” Dengan entengnya pria bule yang ternyata bernama David itu
memperkenalkan dirinya pada Arini. Sama sekali tidak memperdulikan wajah Arini
yang kini sudah memerah menahan marah.
“Lo
gila!” Maki Arini kemudian mengambil langkah seribu untuk cepat-cepat beranjak
dari sana, menjauh dari David.
“Iya.
Gue emang udah gila. Gue gila karena jatuh cinta sama elo!
****
Teng
tong.
Ponsel
Arini berbunyi. Arini yang saat itu sedang mengetik naskah novelnya sejenak
mengalihkan perhatiannya dan melihat siapa yang mengirimanya pesan. Dari nomor
tidak dikenal.
Hai
beb. Udah makan?
Kening
Arini berkerut membaca pesan tersebut. Dari siapa? Ah biarkan saja. Mungkin
salah nomor. Diputusaknnya untuk tidak membalas pesan tersebut. Namun, beberapa
menit kemudian ponselnya kembali berbunyi.
Kok
nggak dibales sih, Yang?
Ini
siapa, ya? Akhirnya karena didesak rasa penasaran, Arini memutuskan untuk
menghubungi si pengirim SMS tanpa nama itu. Baru saja dering kedua,
panggilannya sudah diangkat.
“Hai
sayang.” Sapa orang diseberang sana.
Demi
langit dan bumi dan bintang-bintang yang bertaburan, Arini memaki-maki dalam
hati. Ia kenal suara ini. Si bule gila. “Dari mana lo tahu nomor gue?” Tanya
Arini sengit.
“Wah
lo tahu kalo ini gue?” David – si penelepon malah bertanya heboh. “Emang nggak
salah gue dapet calon istri kayak elo. Tanpa perlu bilang, elo langsung tahu
kalo ini gue.” Ujarnya bangga.
“Udah
nggak usah banyak omong. Cukup kasih tahu gue darimana elo dapet nomor gue!”
Tandas Arini.
“Gue
tanya sama temen lo, si Egy.” Jawab David jujur.
Egy
sialan! Tanpa menunggu lama, Arini segera memutus sambungan teleponnya dengan
David dan menghubungi Egy, editor cerewet culun yang ternyata rese itu. Akan
tetapi, yang menjawab panggilannya bukan laki-laki itu melainkan suara
membosankan dari operator. Belum selesai disitu kekesalannya, sebuah pesan baru
masuk ke ponselnya. Dari David – lagi.
Main
tutup aja kamu. Eh tp nggak papa. Nanti aku hubungin lg. Jgn lp makan, yaa :*
Kiamatlah
duniannya.
****
Kata Egy, ia sengaja memberi nomor telepon Arini sama David. Demi
kesuksesan misi membuat Arini jatuh cinta. David dianggap sebagai jembatan yang
bisa mewujudkan itu. Karena menurut analisis Egy, setelah mendengar cerita
Arini tentang David yang menghubunginya via telepon, David adalah tipe cowok
yang gigih dalam memperjuangkan cinta. Dia juga cowok yang perhatian, buktinya
walaupun sudah dicuekin segitunya sama Arini, dia tetap memperhatikan Arini
dengan mengingatkannya untuk makan. Arini sih sudah marah-marah dan bilang
bahwa ia tidak butuh cara seperti itu untuk jatuh cinta tapi Egy cuek saja.
Menyebalkan.
Kini, sudah tiga minggu berjalan dan setiap hari SMS dari David
selalu mampir di ponselnya.
Jangan
lupa makan, yaa :*
Udah
bobo?
Lg
apa?
Gue
kangen
Jalan,
yuk.
Masih
belum dapet ide juga?
Penasaran
deh sama novel lo selanjutnya
Fighting,
beb ;)
Dari
sekian banyak SMS David, satu-satunya hal yang membuat Arini bingung adalah
dari mana David tahu bahwa ia sedang mencari ide untuk novel terbarunya?
****
Arini sudah uring-uringan sejak
tadi pagi. Ia sama sekali tidak tahu apa yang dipikirkannya tapi ia sangat
menanti kabar dari David. Pasalnya, sudah tiga hari ini laki-laki itu tidak
menghubunginya. Baik sekedar mengucapkan selamat pagi ataupun mengingatkannya
untuk makan. Arini tidak tahu David ada dimana dan Arini gengsi untuk
menghubungi laki-laki itu duluan dan bertanya. Tapi bagaimana kalau terjadi
sesuatu yang tak terduga padanya? Kecelakaan? Tertabrak kereta api?
Astaga…pikiran Arini jadi melantur kemana-mana.
“Rin?
Lo kenapa bengong?” Suara Egy membuyarkan lamunan Arini. Saat ini mereka sedang
rapat untuk membahas bab kelima novel terbaru Arini.
“Nggak
papa.” Jawab Arini. Ia memilih tidak menceritakan apa yang sedang ia pikirkan
pada Egy. Ia pasti akan ditertawakan jika sampai Egy tahu ia mulai memikirkan
David.
“Gue
rasa untuk bab lima ini udah oke. Lo bisa lanjut ke bab enam.” Ujar Egy.
Arini
mengangguk mengiyakan.
“Tumben
HP lo nggak bunyi?” Tanya Egy. “Biasanya rame banget.”
Arini
mengedikkan bahunya. “Tahu deh tuh bule kemana. Udah beberapa hari ini dia
nggak pernah hubungin gue.” Jawab Arini sambil tanpa sadar mencebikkan
bibirnya, menunjukkan ekspresi kesal.
“Lo
kenapa manyun, gitu?” Tanya Egy heran.
“Siapa
yang manyun? Nggak kok.” Bantah Arini.
“Tadi
kok gue lihat. Kenapa? Lo kangen, ya?” Goda Egy sambil mengedipkan matanya.
“Apaan
sih?” Digoda seperti itu, Arini jadi tambah kesal.
“Loh
kok malah tambah jelek begitu tampang lo? Jangan bilang lo udah mulai jatuh
cinta sama tuh bule?!”
****
Sudah seminggu lebih dua hari David
tidak menghubungi Arini. Gadis itu jadi semakin uring-uringan. Berbagai
pertanyaan berkelabatan di kepalanya. David dimana? Ia kemana? Apa ia baik-baik
saja? Atau jangan-jangan ia sakit?
Untuk
pertama kalinya Arini memikirkan David sampai seperti ini. Kemarin-kemarin ia
memang juga sedikit terpikirkan akan laki-laki itu tapi tidak sampai separah
ini. Setiap saat ia ingat David. Setiap saat pula ia mengecek ponselnya,
berharap menemukan paling tidak satu pesan atau panggilan tak terjawab dari
laki-laki itu. Tapi hasilnya nihil.
Seperti ada yang hilang, itulah yang Arini rasakan. Ia sudah
terbiasa dengan kehadiran David. Ia sudah terbiasa dengan segala jenis gangguan
dari laki-laki itu. Dan kini, ketika hal itu tidak ada lagi, ketika setiap
gangguan menyebalkan itu menghilang, ia merasakan kekosongan.
Apa
ini yang dinamakan…rindu?
Benarkah?
Tidak
mungkin!
***
“Rin,
lo udah dapet kabar dari David?” Tanya Egy siang itu. Ia dan Arini baru saja
selesai mendiskusikan bagaimana penulisan bab keenam untuk novel Arini.
Arini
menggeleng.
“Dia
nggak ngehubungin lo?” Tanya David dengan ekspresi tak percaya. “Masa sih?
Padahal kemarin gue ketemu dia lho.”
“Beneran?!
Dimana? Lo ketemu dia dimana? Dia baik-baik aja, kan?” Tanya Arini heboh. Tidak
menyadari bahwa reaksinya sudah berlebihan, membuat Egy harus menahan tawanya
kuat-kuat. Sama sekali tidak menyangka bahwa Arini akan bereaksi seperti ini
demi mendengar nama David. Padahal sebelumnya, ia bahkan menganggap David
sebagai gangguan dan bencana dalam hidupnya.
“Iya.”
Jawab Egy santai. “Katanya sih hari ini dia mau ke Perancis.” Sambungnya.
“Perancis?
Maksud lo?”
“Gue
juga nggak tahu. Dia cuma bilang gitu sama gue. Dia nggak pamit sama lo, ya?”
Arini
kembali menggeleng. “Kapan dia berangkatnya?” Tanyanya kemudian.
“Katanya
sih hari ini. Pesawatnya take off jam lima sore.”
Mendengar
jawaban Egy, secepat kilat Arini membereskan barang-barangnya yang berserakan
di meja. Diliriknya jam di pergelangan tangannya. Jam empat kurang. Masih ada
satu jam untuk mengejar. Semoga ia masih sempat. Tanpa pamit terlebih dahulu,
Arini meninggalkan ruangan Egy.
****
Arini berlari kesana kemari di bandara mencari keberadaan David.
Rasa panik menghinggapinya. Waktu sudah menunjukkan pukul empat lebih empat
puluh menit. Sebentar lagi pesawat David akan take off. Ia harus cepat, jika tidak ia tidak
tahu apa ia masih bisa diberi kesempatan untuk bertemu dengan laki-laki itu
lagi. Sama sekali melupakan fakta bahwa ia bisa menghubungi David via ponsel.
Yang ada di otaknya saat ini hanyalah bahwa ia harus bertemu David sekarang
juga!
Seketika ia bernapas lega saat matanya
menangkap sosok pria-bule-tampan-berhidung-mancung-bermata-biru yang dikenalnya
sedang duduk di kursi tunggu sambil memainkan ponselnya. Buru-buru dihampirinya
pria itu. Tanpa ragu ia menjatuhkan diri di samping David. Membuat laki-laki
itu sedikit terkejut.
“Arini?”
Tanya David dengan ekspresi bingung, mendapati Arini kini duduk di sampingnya
dengan wajah berkeringat dan napas sedikit memburu.
“Vid…katanya…elo…hari…ini…mau
ke Perancis, ya?” Tanya Arini terbata karena napasnya masih terengah-engah.
David
mengangguk. “Denger dari Egy, ya?” Tanyanya.
Arini
mengangguk cepat sebagai jawaban.
“Kok
lo keringetan gini, sih?” Tanya David heran sambil mengusap peluh di kening
Arini dengan jemarinya. Tapi anehnya, Arini sama sekali tidak menolak ataupun
menepis tangannya seperti biasa.
“Lo
pasti balik lagi, kan?” Bukannya menjawab pertanyaan David, Arini malah balik
bertanya.
Kening
David mengernyit mendengarnya, tapi kemudian ia mengangguk.
Arini
beranapas lega untuk kedua kalinya. “Gue kira lo nggak bakal balik lagi.” Arini
bergumam pelan tapi masih bisa didengar David.
“Kenapa
mikir gitu? Gue kan udah pernah bilang sama elo kalo gue kerja disini. Lagian
gue Perancis juga cuma buat menghadiri pernikahan sepupu gue. Eh tapi nggak
tahu juga sih gue. Kalo keluarga gue disana maksa gue buat menetap disana ya
mau nggak mau gue bakal stay.”
“Jadi
ada kemungkinan lo nggak bakal balik lagi?” Tanya Arini. Ia jadi panik lagi.
“Bisa
jadi.”
Arini
diam. Bingung harus merespon bagaimana. Lagipula, tidak mungkin ia meminta
David untuk menolak keinginan keluarga laki-laki itu jika mereka nantinya
meminta David untuk tinggal di Perancis, walaupun ia sebenarnya ia ingin agar
David tetap tinggal di Indonesia.
“Eh
lo ngapain disini? Mau jemput keluarga lo atau mau nganter?” Tanya David.
“Eh?”
Arini tergeragap.
“Iya
lo ngapain di bandara.” David memperjelas pertanyaannya.
“Gu..gue…
gue mau nyusul elo.”
“Nyusul
gue? Buat apa?”
“Bisa,
nggak kalo abis acara pernikahan sepupu lo, elo balik lagi kesini?” Tanya Arini
sambil memandang wajah David dengan tatapan penuh harap.
Beberapa
detik, David hanya bisa diam. Namun akhirnya ia tersenyum dan mengangguk.
****
“I need your help.” Egy yang saat itu sedang membaca
e-mail dari salah satu temannya terkejut dengan pertanyaan tiba-tiba yang entah
datang dari siapa itu. Didongakkannya wajahnya yang sejak tadi menunduk,
menatap layar tabletnya.
Di hadapannya kini berdiri sosok
laki-laki tampan berwajah sangat tidak Indonesia. David, salah satu teman yang
tak sengaja berkenalan dengannya ketika ia jalan-jalan ke Yogyakarta beberapa
bulan yang lalu.
“Hey David.” Sambut Egy ceria.
David
membalasnya dengan senyuman. “Gue butuh bantuan lo.” Ujarnya.
Kening
Egy berkerut. Ia baru saja bertemu dengan David untuk kedua kalinya hari ini
tapi laki-laki itu langsung meminta bantuan padanya. “What can I do for
you?”
“Gue
lagi naksir cewek. Namanya Arini dan dia adalah seorang penulis novel misteri.
Sudah beberapa bulan ini gue mencoba mencari cara untuk bisa kenalan sama dia,
tapi selalu nggak membuahkan hasil. Tapi akhirnya, berkat informasi seorang
teman yang gue kenal di media sosial yang ternyata adalah salah satu pembaca
novel-novel Arini, gue tahu kalo elo adalah editornya.” David menjelaskan
panjang lebar.
“So?”
“Can you help to make
her fall for me?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar