“Bagaimana kabarnya?”
Kutatap wanita yang kini terbaring pucat di ranjangnya. Selang infus menancap
pada salah satu tangannya, beruntung ia sudah kembali bisa bernapas dengan
normal jadi oksigen telah dilepas siang tadi.
“Baik, Dok. Apa saya
sudah boleh pulang?” Wanita itu menjawab lalu bertanya penuh harap. Aku maklum,
rumah sakit memang bukan tempat yang enak untuk ditinggali berlama-lama. Seraya
tersenyum, aku menggeleng. Sekilas kugenggam tangannya yang diletakkan di atas
perutnya.
“Sabar, ya. Kalau
kondisi kamu sudah membaik, saya pasti akan segera mengizinkan kamu pulang.”
Kulihat kilat harapan
di matanya meredup seketika. Dalam hati aku sedikit merasa bersalah. Tapi aku
melarangnya pulang bukan karena ingin ia bisa lebih lama aku tatap dan aku kunjungi
kapan saja. Kondisinya belum memungkinkannya untuk meninggalkan rumah sakit.
Aku khawatir kesehatannya kembali menurun, penyakit yang dideritanya mungkin
sudah umum dan sering ditemui. Jika tidak berhati-hati, akibatnya bisa fatal.
Kanker sama sekali tak bisa disepelekan. Meski jinak, ia tetaplah salah satu
pembunuh paling berbahaya. Dan kini, ia menggerogoti Nayla, pasienku. Pasien
yang telah aku cintai sejak lama.
Aku ingat dua tahun
lalu, saat pertama kali Nayla divonis menderita penyakit kanker. Aku takkan
pernah lupa bagaimana ekspresinya dan betapa ia terluka dengan kenyataan itu.
Tak ingin berlama-lama, secara cepat, operasi pun dilakukan. Operasi yang
kulakukan itu berjalan lancar. Sel-sel kanker yang mulai menggerogoti otak
Nayla pun berhasil diangkat. Hanya saja, kenyataan pahit menamparku tiga bulan
lalu. Saat Nayla tiba-tiba saja dilarikan di rumah sakit karena sakit kepala
hebat yang mendera dan membuatnya kehilangan kesadaran.
Sel-sel mematikan itu
kembali, kanker itu kembali. Seketika itu juga, aku merasa gagal sebagai
dokter. Aku merasa gagal menyelamatkan pasienku, karena kini, ia harus kembali
berjuang dengan kondisi yang lebih parah dari sebelumnya.
“Apa menurut dokter
saya masih bisa.... sembuh, selamat?” Pertanyaan Nayla yang tiba-tiba itu
membuyarkan lamunanku.
Sedikit kebingungan,
aku mencoba menjawab pertanyaannya. “Nayla.... yang namanya penyakit selalu
bisa diusahakan kesembuhannya. Dan saya sebagai dokter akan selalu berusaha
membantu kamu, membantu pasien-pasien saya. Kuncinya adalah berusaha dan tak
luput berdoa. Saya selalu percaya hal itu, dan saya yakin Tuhan akan selalu
menolong orang-orang yang bersabar.”
Tak kusangka ia
tertawa. Tawa yang terdengar pahit ditelingaku, “Kalau begitu, saya rasa dua
tahun lalu saya kurang bersabar sehingga Tuhan kembali memberikan saya penyakit
yang sama.”
****
Berdiri mematung di
depan pintu, Chandra menatap Nayla dari balik kaca yang menutupi sebagian kecil
pintu tersebut. Lebih tepatnya, ia sedang mengintip. Melihat wajah pucat Nayla,
ingin rasanya ia mendobrak pintu itu dan berlari memeluknya. Membenamkan
wajahnya erat-erat pada lekukan leher wanita itu, seperti yang selama ini
selalu ia lakukan. Tapi sekarang ia tidak bisa, kuasanya kini terbatas. Nayla
menolak untuk ia kunjungi.
“Kamu sebaiknya
meninggalkan aku, Ndra.” Ujar Nayla siang itu. Masih terkejut dengan fakta
bahwa kini Nayla kembali harus memperjuangkan hidupnya di atas ranjang rumah
sakit dan perawatan intensif, wanita itu kini memberinya kejutan tambahan.
“Maksud kamu apa?” Sedikit
kebingungan, ia bertanya. Dalam hati, ia was-was juga. Mengenal Nayla
bertahun-tahun membuat ia paham betul dengan watak dan tabiat wanita itu.
Sekali ia kesusahan, didera kesulitan dan penderitaan, ia tak ingin siapa pun
terlibat.
“Iya. Aku nggak mau
kalau kamu harus mengalami kesulitan bersamaku.” Jawabnya.
Chandra menarik napas
gusar. Sejujrunya, ia sangat tidak suka dengan sifat Nayla yang satu ini. Kalau
bisa ia ingin marah, tapi kondisi Nayla membuat kemarahannya surut dalam
sekejap.
“Kamu bicara apa, sih?
Kita berdua, sudah sewajarnya hidup saling berdampingan dalam keadaan apa pun.
Saling menguatkan satu sama lain, memberi kekuatan agar tidak menyerah
bertahan. Itu adalah hal yang wajar, Nayla. Kamu nggak perlu merasa terbebani
dengan kehadiranku.” Chandra mencoba memberi pengertian, berharap kalimatnya
barusan akan membuat Nayla berubah pikiran.
“Justru sebaliknya aku
yang nggak mau menjadi beban buat kamu. Aku cinta kamu, Ndra. Dan hal yang
selalu ingin aku berikan adalah kebahagiaan, dalam kondisiku yang seperti ini,
aku nggak akan bisa memberikan hal itu.” Sayangnya, Nayla adalah wanita yang
keras kepala. Ia tetap ngotot.
“Aku sudah bahagia
dengan ada kamu, mendampingi kamu di saat tersulitmu bahkan akan lebih bisa
melengkapi kebahagiaanku.”
“Tapi aku nggak. Aku
harap kamu mau mengerti.”
Keputusan final Nayla
memang berhasil membuat Chandra mengalah dan meninggalkan wanita itu sendirian.
Tidak dalam artian sebenarnya, karena faktanya, walau dari jauh, walau tanpa
kentara, ia selalu berusaha ada dan memantau perkembangan kesehatan Nayla. Hanya
saja, Chandra tak bisa berbohong bahwa ia tersiksa dengan keadaan ini.
Beberapa menit
kemudian, dilihatnya dokter Irwan, dokter yang dua tahun lalu juga menangani
Nayla sudah selesai melakukan pemeriksaan. Kini ia sedang berjalan menuju pintu
dan Chandra tak ada pilihan selain menyingkir. Ia tak mau Nayla melihatnya
karena bisa dipastikan wanita itu akan marah. Ia memilih berjalan dan menuju
ruangan dokter Irwan. Ia akan menunggu dokter itu disana, kondisi kesehatan
Nayla di atas segalanya dan ia wajib tahu segalanya.
“Chandra...” Ternyata
dokter Irwan sudah langsung mengenalinya dari jarak jauh. Dengan langkah
panjang, ia berjalan menghampiri Chandra dan menjabat tangannya. “Apa kabar?
Sepertinya saya sudah lama tidak melihat Anda di rumah sakit?”
“Nayla menolak saya
kunjungi....” Jawaban itu terlontar tanpa direncanakan dari mulut Chandra.
Kening dokter Irwan sedikit mengerut, menunjukkan kebingungannya dan secepat
kilat Chandra langsung mengalihkan pembicaraan. Dokter Irwan tidak perlu tahu
masalah pribadinya dengan Nayla, walau diakui kondisi psikologis Nayla bisa
dikatakan adalah bagian tanggung jawab dokter Irwan juga. “Saya kemari untuk
membicarakan kondisi kesehatan Nayla,” ujarnya kemudian.
“Oh iya, tentu saja.
Silakan masuk.”
****
Sebenarnya bisa
dikatakan aku berpura-pura ketika bertanya kenapa Chandra sudah jarang
mengunjungi rumah sakit. Walau tidak menjelaskan secara gamblang, kusadari
bahwa ada yang tak beres antara hubungannya dengan Nayla. Bukan kapasitasku
untuk ikut campur dalam kehidupan pribadi kedua pasangan ini, namun entah
mengapa jauh di dalam sana, sisi jahat diriku membisikkan sesuatu yang tak
kuduga akan terbersit dan terlintas dalam kepalaku. Menggunakan kesempatan
renggangnya hubungan dua orang demi mendapatkan posisi penting di antara mereka
berdua bukanlah caraku dalam menjalani hidup dan mendapatkan apa yang aku
inginkan, hanya saja ketidakhadiran Chandra di samping Nayla membuatku merasa
jadi satu-satunya sandaran wanita itu. Dan hal itu membuatku bangga dan merasa
‘penting’.
Kuperhatikan wajah
Chandra yang sangat tidak terurus itu. Jambangnya yang sudah panjang dan
jenggot yang sudah waktunya dicukur tumbuh hampir di sepanjang dagu dan
pipinya. Matanya yang berkantung dan penampilannya yang jauh dari kata rapi
sudah dapat menggambarkan bahwa lelaki ini didera stres berat namun tak ada
tempat untuk membaginya.
“Bagaimana keadaan
Nayla, Dok?” Pertanyaannya memutus konsentrasiku dari menganalisisnya.
“Kondisinya sudah cukup
membaik, tapi berdasarkan hasil pemeriksaan, Nayla sudah harus dijadwalkan
untuk operasi. Meski kanker yang menyerangnya masih tergolong jinak, kami
khawatir jika tidak diambil tindakan secara cepat maka hal-hal yang tidak
diinginkan bisa saja terjadi.”
Wajah Chandra bertambah
pucat demi mendengar penjelasanku, tapi itulah kenyataannya. Kanker yang
menyerang Nayla tidaklah begitu menyeramkan tapi tetap saja, ia adalah salah
satu penyakit yang paling berpotensi membunuh siapa saja tanpa aba-aba.
“Kira-kira kapan operasinya
bisa dilaksanakan, Dok?” Tanyanya, berusaha mengembalikan ketenangannya. Aku
yakin sekali bukan kata kanker yang membuat lelaki di depanku ini begitu merasa
takut, melainkan kalimat terakhirku.
Siapa pun yang jatuh
cinta pasti tidak akan rela jika terjadi hal-hal
yang tidak diinginkan pada orang yang dicintinya seperti yang kuucapkan
tadi.
“Kami memerlukan
persetujuan pihak keluarga agar bisa segera mengambil tindakan.” Jawabku. “Saya
sudah membicarakan hal ini dengan Nayla, tapi sepertinya ia kurang setuju.”
Kening Chandra megerut
mendengarnya. “Maksud Anda, kurang setuju bagaimana?” Sudah pasti ia heran,
siapa pun yang sakit sudah normalnya mengharapkan kesembuhan. Bukan justru
menunda-nunda tindakan penyelamatan seperti yang Nayla lakukan.
“Begini Chandra... saya tidak bermaksud untuk ikut
campur tapi saya rasa Nayla mengalami paranoid. Ia sudah pernah menjalani
operasi sebelumnya, dinyatakan sehat lalu dua tahun kemudian harus kembali
menelan pil pahit bahwa penyakitnya itu kembali.” Chandra mendengarkan dengan
sangat serius. “Itu sebabnya, ketika saya menuturkan soal operasi, ia menjadi
ragu. Ia takut, ia paranoid bahwa hal yang sama akan kembali terulang dan ia
hanya harus menjalani operasi berulang-ulang dan tak berkseudahan.” Chandra
menarik napas, sepertinya kalimatku bukan hanya menambah tingkat stresnya tapi
juga membuatnya frustrasi kini.
“Oleh sebab itu,
dukungan keluarga adalah yang terpenting disini. Nayla membutuhkan dorongan dan
motivasi sehingga keinginannya untuk mengusahakan kesembuhannya dapat kembali.”
****
Apa yang Dokter Irwan
katakan tentu saja benar. Nayla butuh dukungan, wanita itu butuh sokongan
motivasi dan semangat untuk sembuh kembali. Tapi, bagaimana Chandra bisa
melakukannya jika kehadirannya ditolak mentah-mentah, jika Nayla berkata bahwa
ia tak ingin Chandra ada untuknya? Sebagai satu-satunya keluarga yang wanita
itu miliki, siapa lagi yang bisa memberikan motivasi jika bukan Chandra
sendiri?
Mengumpulkan kekuatan
di saat jiwa sudah benar-benar kelalahan tentu saja bukan hal mudah. Bukan kali
pertama kehadirannya mendapatkan penolakan, dan ditolak berkali-kali oleh orang
yang kita cintai tentu saja menyakitkan. Tapi Chandra menolak diam, bahkan jika
ia harus menerima makian, bagaimana pun caranya ia harus meyakinkan Nayla agar
ia mau menjalani operasi pengangkatan kanker kembali.
Dikutuknya pintu kamar
rawat Nayla dua kali lalu memegang handle
pintu dan membukanya. Terlihat Nayla sedikit terkejut dengan kehadirannya,
ada kerinduan yang terpancar jelas dari matanya kala menatap Chandra, tapi
binar itu dengan cepat lenyap entah kemana. Dipalingkannya wajahnya, enggan
menatap apalagi menyambut kahadiran Chandra.
“Assalamualaikum.”
Chandra mengucapkan salam seraya duduk di salah satu kursi di samping Nayla.
Wanita itu menjawab tanpa suara. Hanya gerak bibir yang menandakan bahwa wanita
itu tak sepenuhnya mengabaikannya.
“Nayla....”
Tidak ada jawaban.
Wanita itu bungkam.
“Nay, please.....”
“Aku sudah bilang aku
nggak mau dikunjungi!” Nayla berujar tajam. Nada suaranya menyiratkan
kemarahan.
“Aku tahu, aku minta
maaf. Tapi tadi aku baru saja bicara dengan Dokter Chandra. Beliau menyarankan
untuk operasi....” belum selesai Chandra bicara, Nayla sudah memotong... “Aku
nggak mau bertaruh untuk sesuatu yang nggak pasti lagi.”
“Ini pasti Nayla. Pasti
tujuannya untuk kesembuhan kamu. Aku mau kita sama-sama lagi seperti dulu.”
“Kamu bisa menjamin
bahwa aku akan sembuh total, bahwa kanker sialan ini akan lenyap selamanya dari
tubuhku?!” Seketika Nayla berpaling menatap Chandra. Sorot terluka tercetak
jelas dari matanya.
“Nay... tolong jangan
kalah. Ini hanya kanker jinak yang bisa dengan mudah diangkat.”
“Mungkin kamu
menyepelekan kejinakannya, tapi tetap saja bagiku ia adalah monster yang
menggerogoti dan bisa membunuhku kapan saja!!”
“Aku nggak
menyepelekan! Sekalipun nggak pernah aku mengaggap enteng penyakit kamu. Justru
sikap kamu yang demikian, kalau kamu memang berpikir bahwa kanker itu bisa
membunuh kamu kapan saja, sudah seharusnya kamu menuruti saran dokter dan nggak
bersikap keras kepala seperti ini.” Tanpa terduga, kalimat kasar itu terlontar
dari mulut Chandra. Gumpalan air tiba-tiba memenuhi pelupuk mata Nayla demi
mendengarnya. Ini adalah kali pertama Chandra marah karena penyakitnya.
Melihatnya, kontan saja
lelaki itu merasa bersalah. “Maaf... aku nggak bermaksud berkata sekasar itu.
Tapi tolong, Nay. Aku nggak bisa kalau harus ditinggal pergi sama kamu. Aku
suami kamu dan aku benar-benar mengharapkan kesembuhan kamu. Aku mau kita
sama-sama lagi seperti dulu, aku nggak mau hal apa pun bahkan penyakit paling
mematikan sekali pun mengubah apa yang sudah kita bina sejak dulu. Kamu nggak
mau aku kunjungi karena nggak mau aku terbebani masih bisa aku terima Nay. Aku
tetap bisa memantau kondisi kamu walau dari jauh. Tapi kalau diminta membiarkan
kamu terjebak pada penyakit ini dan meninggalkan aku selamanya, demi Tuhan aku
nggak akan pernah bersedia.”
Nayla menangis.
Menangis dengan teramat keras, menandakan betapa ia juga ingin sembuh dan
kembali lagi ke pelukan Chandra, kembali menjadi istri yang baik untuk lelaki
yang dicintainya.
****
Sejujurnya aku terluka.
Pelukan Chandra yang begitu erat dan bagaimana eratnya pula Nayla membalasnya
membuatku cemburu dan terluka. Posisi selalu ada untuk Nayla dengan sangat
terpaksa harus aku kembalikan pada pemiliknya, pada Chandra, suami sah Nayla.
Memang, sutau kebodohan yang pasti saat seorang dokter yang sukses sepertiku
jatuh cinta pada pasienku yang sudah bersuami. Tapi seperti kata adikku Irna,
cinta selalu tak bisa diprediksi datangnya. Seperti cintaku pada Nayla.
Meski begitu, aku
berterima kasih pada Chandra. Berkatnya, secara tidak langsung ia sudah
berhasil meyakinkan Nayla untuk mengusahakan kesembuhannya. Kehadiranku memang
benar-benar hanya sebagai dokter di mata Nayla, tidak kurang dan tidak lebih.
Tapi dalam kasus ini, aku menolak mengakuinya. Aku akan menganggap Chandra
sebagai pembawa pesan berharga dan bukti cintaku pada Nayla.
Some
things better left untold.... dan karena sampai kapan
pun perasaaanku tidak akan pernah terungkapkan, maka aku akan menyatakannya
lewat kesembuhannya
Bagus cerpennya mbak.
BalasHapusSalam kenal ya..
hehe terima kasih Mbak. Salam kenal :)
Hapus