“Sssshh…pelan-pelan Nin” Ringis Bara saat Nindy menempelkan
handuk basah ke sudut bibir pria itu. Wajahnya benar-benar hancur sekarang.
Lebam di mana-mana bahkan sudut bibirnya sobek. Nindy juga jadi ikut-ikutan
meringis sendiri demi mendengar ringisan Bara. Tak berapa lama kemudian, Nindy
telah selesai mengobati jejak jejak kemarahan Bian dari wajah tampan Bara.
Setelahnya, sekertaris Bara masuk dan membereskan mangkok berisi air es dan
handuk yang digunakan Nindy tadi.
“Itu cowok siapa, sih?” Tanya Nindy sebal lebih kepada dirinya
sendiri. Ia tak habis pikir akan menemukan Bara dalam keadaan dipukuli cowok
dengan penampilan yang sama sekali tidak bisa dikatakan sebagai rapi.
Bara dan Bimo yang memang masih ada disana diam saja. Membiarkan
Nindy bicara dengan dirinya sendiri. “Kamu nggak apa-apa, kan?” Tanya wanita
itu kemudian sambil menghadapkan tubuhnya pada Bara yang saat itu duduk di sofa
sambil bersandar. Bara tidak menjawab pertanyaan Nindy itu. Ia justru
mengangguk pada Bimo yang baru saja memberi kode bahwa ia tidak bisa
berlama-lama disini. Masih ada yang harus diurusnya. Bianca. Sejak tadi gadis
itu tidak beranjak dari tempatnya sama sekali. Bukan karena takut, tapi lebih
karena terkejut mendapati dirinya bisa terjebak pada keadaan seperti ini.
Apalagi melihat Bian yang sampai lepas kendali seperti tadi. Seingatnya, selama
ia mengenal Bian, tak pernah sekalipun ia melihat Bian semarah itu bahkan
sampai tega menonjok orang hingga babak belur seperti sekarang.
“Pulang Bi.” Ajak Bimo sambil berjalan mendahului Bianca. Bianca
yang baru saja tersadar cepat cepat menyusul langkah Bimo yang sudah keluar
dari ruangan Bara.
“Tadi itu siapa sih, Bar? Kok dia bisa sampai mukulin kamu kayak
gini?” Tanya Nindy perhatian.
“Temen.” Jawab Bara seadanya. Ia tidak mau Nindy sampai tahu
masalah ini karena bisa dipastikan wanita itu akan ikut campur. Dan ia sangat
tidak suka jika Nindy sudah mencampuri urusannya karena bisa dipastikan akan
muncul masalah baru.
“Kalo temen kenapa dia mukulin kamu? Emang kamu salah apa?” Tanya
Nindy lagi.
“Pengen banget tahu kayaknya lo.”
“Ya kan aku nanya Bar.”
“Sayangnya gue nggak mau jawab.”
Nindy hanya bisa manyun mendengar jawaban Bara. “Udah mending lo
balik ke kantor lo aja. Gue yakin lo banyak kerjaan yang lebih penting
dibanding duduk disini nanyain hal yang sama sekali nggak penting ke gue.” Usir
Bara. Sambil menghentakan kakinya tanda sebal, meskipun tidak ikhlas akhirnya
Nindy angkat kaki dari sana juga.
****
Bian melajukan motornya gila-gilaan. Tak dipedulikannya gadis yang
saat ini meringkuk di boncengannya sambil memeluk pinggangnya kuat kuat karena
ketakutan. Beberapa kali ia bahkan nekat menyalip kendaraan lain bahkan
menyelipkan tubuh motornya di antara dua truk yang sedang melaju bersisian.
Demi Tuhan mereka berdua benar-benar akan berubah menjadi bubur menjijikkan
jika sampai terlindas ban besar kendaraan itu.
Leganya, keadaan itu tak berangsur lama karena beberapa saat
kemudian motor Bian telah berhenti di depan kost Bina. Dengan tubuh gemetar
Bina turun dari boncengannya. Ditundukannya kepalanya saat Bian menahan
tangannya yang hendak akan masuk ke dalam. Ia pikir laki-laki itu akan marah,
meneriakinya tukang selingkuh atau bahkan membentaknya secara kasar. Tapi
ternyata tidak, Bian malah mendaratkan kecupan sayang di kening gadis itu lalu
menyuruh Bina masuk. Dan yang sebenarnya kaget hanya bisa mengangguk patuh.
Tidak berani membantah atau bahkan bertanya apakah Bian baik-baik saja atau
tidak. Bukannya terlalu percaya diri bahwa rasa sayang Bian padanya sebesar itu
tapi ia yakin bahwa saat ini Bian sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja.
Hanya saja, laki-laki enggan menunjukannya. Cukup tadi di ruangan Bara saja ia
seperti itu.
****
Bimo mengendarai mobilnya dalam diam. Begitu pula Bianca,
sebenarnya ia ingin sekali bertanya tentang apa yang sebenarnya terjadi disini.
Kenapa Bimo menjemputnya dan segalanya yang ia alami. Tapi ia tidak berani.
Takutnya ia ikut-ikutan menjadi korban amuk seperti yang dilakukan Bian tadi.
Beberapa saat hening masih tetap menyelimuti sampai akhirnya Bimo buka suara.
“Maaf ya Bi soal yang tadi. Maaf kalo kamu kaget.” Ujarnya sambil
menatap Bianca sesaat lalu kembali memfokuskan pandangannya pada jalanan di
depannya.
“Nggak apa-apa, Kak.” Jawab Bianca seadanya. Padahal pengen banget
nanya.
“Mmm…ini..kamu mau diantar kemana?” Tanya Bimo.
“Eh?”
“Iya. Aku nggak tahu rumah kamu dimana jadi…hehe.” Bimo menggaruk
kepalanya yang tidak gatal salah tingkah.
“O-oh… Bianca tersadar. Ke restoran kakak aku aja Kak.”
“Eh?”
“Iya di restoran kakak aku aja. Alamatnya di….” Selanjutnya Bianca
menyebutkan alamat restoran Ryan, kakaknya. Informasi yang menghadirkan sejuta
kelegaan pada Bimo. Jadi itu restoran kakaknya toh?
****
“Astaga Baraaaaaa….kenapa muka kamu jadi babak belur begini?”
Tanya Mama begitu Bara sampai di rumah.
“Kok mama belum tidur?” Tanya Bara heran. Ini sudah jampir jam dua
belas malam tapi mamanya belum tidur juga. Tidak mungkin kan mama menunggunya
pulang? Karena biasanya Bara memang sering sekali pulang terlambat dan mama
tidak pernah menunggunya.
“Mama mau nagih utang kamu. Eh jangan bahas itu dulu. Sekarang
kasih tahu sama mama kenapa muka kamu bisa jadi kayak ulekan cabe belum dicuci
kayak begini?” Interogasi mama.
Aduh mama istilahnya nggak ada yang elitan dikit, ya?
“Utang yang mana?” Tanya Bara heran. Kapan dia pinjam uang sama
mama?
“Utang siapa sebenarnya calon mantu mama. Aduh kamu ini
mengalihkan pembicaraan terus sih? Udah diobatin lukanya?”
“Oooh itu. Kirain apaan deh Ma. Udah mama tenang aja nanti kalo
udah pasti bakal Bara kasih tahu.”
“Lho? Emang di antara keduanya nggak ada yang pasti? Kamu masih
milih atau nunggu dipilih? Atau jangan-jangan itu lebam di muka ada hubungannya
sama pilihan itu, ya?”
Eh?
Kontrak cinta ma yg ini kapan neh lanjutannya?d tunggu :)
BalasHapusLagi proses hehe. Makasih yaa udah mau baca
HapusSama sama,bagus lho ceritanya :-)
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Hapus