Penulis: Ika Natassa
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 2016
Editor: Rosi L. Simamora
Ilustrasi Isi: Ika Natassa
Desain Sampul: Ika Natassa
Tebal: 304 hlmn, 20 cm
ISBN: 978-602-03-2926-0
****
“People say that Paris is the city of love, but for Raia, New York deserves that title more. It’s impossible not to fall in love with the city like it’s almost impossible not to fall in love in the city”
New York mungkin berada di urutan
teratas daftar kota yang paling banyak dijadikan setting cerita atau film. Di beberapa film Hollywood, mulai dari
Nora Ephron’s You’ve Got Mail hingga
Martin Scorsese’s Taxi Driver, New
York bahkan bukan sekedar setting namun
tampil sebagai “karakter” yang menghidupkan cerita.
Ke kota itulah, Raia, seorang
penulis, mengejar inspirasi setelah sekian lama tidak mampun menggoreskan satu
kalimat pun.
Raia menjadikan setiap sudut New
York “kantor’-nya. Berjalan kaki menyusuri Brooklyn sampai Queens, dia mencari
sepenggal cerita di tiap jengkalnya, pada orang-orang yang berpapasan
dengannya, dalam percakapan yang dia dengar, dalam tatapan yang sedetik dua
detik bertaut dengan kedua matanya. Namun bahkan setelah melakukan itu setiap
hari, ditemani daun-daun menguning berguguran hingga butiran salju yang
memutihkan kota ini, layar laptop Raia masih saja kosong tanpa cerita.
Sampai akhirnya dia bertemu
seseorang yang mengajarinya melihat kota ini dengan cara berbeda. Orang yang
juga menyimpan rahasia yang tak pernah ia duga.
****
Mungkin bagi beberapa orang
bangunan hanyalah seonggok benda mati yang tidak bernyawa. Namun, tak ada yang
dapat membantah bahwa dalam perjalanan sejarah, bangunan adalah bentuk dan
perwujudan rasa cinta. Taj Mahal di Agra, India adalah suatu contoh bangunan
yang memiliki sejarah yang cukup romantis. Bangunan dengan arsitektur Mughal
ini adalah sebuah monumen yang dibangun karena keinginan Kaisar Mughal Shah
Jahan untuk istri yang dicintainya, Persianya. Dalam buku ini,
bangunan-bangunan indah di kota New York dijadikan latar yang membentuk kisah
cinta antara dua orang.
Raia, seorang penulis yang
mengalami writers block memutuskan
untuk berangkat ke New York demi mengejar inspirasi. Masa lalu yang menyakitkan
bersama sang suami menyebabkannya tak bisa lagi menulis. Hanya saja, meski
sudah beberapa bulan menetap di New York, halaman word di laptop-nya masih
tetap saja kosong tanpa satu kata pun.
Demi menghibur Raia, sahabatnya,
Erin suatu malam mengajak Raia untuk ikut acara pelepasan tahun di salah satu
apartemennya. Awalnya, Raya tak ingin ikut, baginya pesta tahun baru adalah sebuah
acara yang membuat orang terjebak ilusi memulai sesuatu kembali dari awal.
Padahal, keesokan harinya tidak ada orang yang dapat menjamin sesuatu yang baru
bisa terjadi, seperti tiba-tiba rajin ke kantor atau tiba-tiba suatu kebiasaan
buruk hilang. Yang justru terjadi adalah, di taggal 1 Januari, menjelang siang
bahkan ada yang masih tidur karena pengar atau terlalu mengantuk karena
begadang semalaman. Selain itu, budaya random
kiss di New York juga tidak disukainya. Karena itulah, menjelang
detik-detik pergantian tahun, Raya memutuskan untuk melarikan diri sejenak.
Bukan hanya terhindar dari budaya absurd, Raia justru ‘tersesat’ di suatu
ruangan yang mempertemukannya dengan seorang laki-laki yang kelak dikenalnya
sebagai River. Pertemuan mereka biasa saja, tidak istimewa, tidak pula seperti
yang terjadi pada beberapa drama dimana dua orang yang bertemu untuk pertama
kalinya langsung jatuh cinta. Yang terjadi adalah percakapan nyaris satu arah
yang Raia bangun demi mengurangi kecanggungan.
Pertemuan tak terduga keduanya
ternyata kembali terjadi. Persis ketika kalimat pertama Raia temukan, di saat
itu juga ia mendapati keberadaan River dengan buku sketsanya. Belakangan Raia
ketahui River adalah seorang arsitek.
“People say that Paris is the city of love, but for me, New York deserves the title more. It’s impossible not to fall in love with the city like it’s almost impossible not to fall in love in the city.”
Itulah kalimat pertama yang Raia
goreskan. Tak hanya mengawali cerita di buku terbarunya, kalimat tersebut
ternyata juga menjadi awal bagi kisah cinta keduanya. Bertahun menjalani hidup dalam
rutinitas pelarian, River akhirnya kembali menemukan keberanian untuk menempuh
jalan pulang, Raia juga kembali menemukan muse-nya
yang hilang. Namun ternyata, kisah itu tidak berjalan semulus sketsa-sketsa
River. Posisi River yang masih menyimpan nama Andara rapat-rapat di hatinya
menjadi penghalang yang rumit. Bagaimana mungkin mencintai dua wanita
sekaligus? Begitu pun Raia, pengalaman pahit dicampakkan Alam juga masih
terlalu membekas di hatinya. Mereka berdua sama-sama pernah ditinggalkan,
sama-sama terlalu kehilangan.
Yang membuat buku ini begitu
menarik adalah keberadaan kota New York beserta bangunan dan arsitekturnya,
berikut cerita-cerita di baliknya, sekaligus kisah romantis Raia dan River yang
kemudian hadir karenanya. Penggambaran setting
dan arsitekturnya yang mendetail akan membuat pembaca seolah diajak ikut
jalan-jalan dan menghabiskan waktu di kota New York. Sketsa-sketsa yang ada
juga semakin memperkuat nuansa jalan-jalannya. Di Flatiron yang pernah mendapat
predikat sebagai gedung tertinggi di New York hingga berjalan-jalan di sidewalk dan mengamati brownatones di Brooklyn.
Perjalanan Raia dan River,
pertemuan-pertemuan keduanya membuat buku ini terasa lebih ‘hidup’. Ditambah
dengan fakta bahwa buku ini lahir oleh interkasi sang penulis – Ika Natassa
dengan pembacanya. Memanfaatkan fitur poll
di twitter, Ika mengajak pembaca untuk ikut terlibat dalam pembuatan novel
ini, dengan dapat serta menentukan alur cerita sesuai keinginan. Buku ini
adalah bukti cinta, seperti Taj Mahal, The
Architecture of Love adalah bukti cinta Ika Natassa pada pembacanya begitu
pun sebaliknya.
Ketika menulis, beberapa penulis
terkadang menyelipkan cameo tenang
dirinya. Buat saya pribadi, penggambaran Raia sebagai seorang penulis yang
buku-bukunya selalu dinantikan, yang ludes dalam waktu singkat bahkan saat PO (Pre-Order) sangat Ika Natassa sekali.
Walau pada beberapa bagian
eksekusinya terasa kurang ‘nendang’, feel
kehilangan yang dialami River terhadap Andara juga agak kurang, buku ini
memiliki pesan yang sangat jelas; bahwa hidup adalah hal yang terlalu berharga
untuk kita sia-siakan hanya karena masa lalu.
“You know what is wrong about always searching for answers about something that happened in your past? It keeps you from looking forward. It distracts you from what’s in front of you.“
Buku ini juga tampil sebagai
nasihat dengan banyaknya kutipan menarik terkait hidup, cinta, patah hati, masa
lalu, masa depan, juga kutipan tentang menulis yang amat menarik dan hampir
selalu muncul di setiap lembarannya. Entah kutipan tersebut berasal dari
orang-orang besar yang amat terkenal atau dari penulis buku ini sendiri. Secara
garis besar, kalimat yang tepat untuk mendeskripsikan The Architecture of Love adalah kita
juga akan jatuh dan menemukan cinta.
aku belum selesai baca mba hahahha baru sampe River n Raia janjian jalan pertama kali eaaa masi lama euy perjalananku 😂
BalasHapusWah semangat mbaaa baca sampai tuntas 😊
Hapus