Sumber Gambar |
“Siapa
sajakah yang sudah melihat Hilal?”
“Sudahkah
Hilal terlihat?”
“Tak perlu ribut. Kita tunggu saja
pengumuman dari Menteri Agama. Memantau Hilal adalah salah satu tugas mereka
selaku perwakilan kita.”
Sedari
pagi, sejak semalam, kemarin, bahkan dua minggu yang lalu, orang-orang sudah
sibuk berbisik-bisik soal datangnya Hilal. Termasuk kedua orang tua beserta
kakak-kakakku. Baik tetangga maupun saudara jauh, pembicaraan itu semakin hari
semakin membuat sakit kepalaku. Hanya tembok-tembok yang mengeliingiku yang
tahu, betapa tidak percayanya aku pada kebaikan Bulan yang disebut-sebut
sebagai Karunia dan Rahmat Tuhan.
Mendapat
ampunan atas segala kesalahan hanya dengan beribadah selama satu bulan? Sungguh
tidak masuk akal! Tuhan, seperti yang dipercaya banyak orang tentulah Maha
Baik. Tapi apa kebaikanNya berlaku pada pendosa macam diriku? Biarkan aku
terbahak jika ada yang mengiyakannya. Bahkan orangtuaku pun menyangsikan
kebenarannya.
Setelah
beberapa lama bercokol di depan televisi, anggota keluargaku bubar. Pemerintah mengumumkan bahwa besok sudah
waktunya berpuasa. Aku yang sedang makan malam, sesekali melirik kesibukan Abah
menyemprotkan wewangian pada pakaiannya, kakak perempuanku yang membenahi
kerudungnya, dan Abangku yang sedang membujuk putra bandelnya agar mau ikut
berangkat ke masjid.
“Kamu
ndak siap-siap, Yu?” Ummi bertanya padaku. Hampir saja aku tersedak
mendengarnya. Inilah kali pertama sejak aku keluar dari penjara ada yang
mengajakku untuk berangkat shalat berjama’ah. Segera kuteguk air di hadapanku.
Kutandaskan hingga tiada tetes yang tersisa. Tiba-tiba saja tenggorokanku
terasa kering, tidak tahu harus mejawab apa.
“Tidak
perlu ajak Wahyu, Abah tidak mau masjid kita yang suci dimasuki anak tidak tahu
diuntung dan tidak bisa berterima kasih.”
****
“Mas
Wahyu nggak puasa, ya?” Fajar, anak
Abangku menatap polos pada Ayam Goreng di ujung bibirku. Meski bertanya
demikian, mata bulatnya terfokus pada makanan yang sebentar lagi masuk ke
mulutku.
“Kamu
mau?” Tawarku.
Secepat
kilat bocah itu mengangguk, tapi kemudian ia segera menggeleng. “Kata Ayah,
Fajar baru bisa makan kalau sudah adzan maghrib.”
“Nggak apa-apa. Emang Fajar bisa menahan
lapar seharian?” Lalu
Abah muncul. Entah dari mana ia, tapi wajahnya terlihat sangat marah. Bola
matanya seakan mau keluar dari tempatnya.“Jangan coba-coba mempegaruhi Fajar,
Wahyu! Jika kamu ingin sesat, sesatlah sendirian. Jangan libatkan siapa pun di
rumah ini!”
Setelah
berkata demikian, ia berlalu. Menyeret Fajar menjauh dariku, seolah aku virus
mematikan yang tidak seharusnya didekati. Memang benar demikian. Aku adalah
virus yang telah mencoreng nama baik keluarga. Melempar wajah K.H Abdullah –
begitu orang-orang menyebutnya, dengan kotoran paling busuk di dunia. Bagaimana
bisa anak seorang kiay tercatat sebagai mantan Narapidana? Itu adalah aib yang
tak dapat diterima.
Beberapa menit setelah Abah pergi,
ponsel yang tersimpan di dalam kantong celanaku berbunyi. Ada pesan masuk. Dari
Radi, teman semasa SMA-ku dan yang paling memahami pergolakan batin yang aku
alami. Isinya sebuah ajakan untuk bersenang-senang, melupakan segala masalah
dan kekecewaan yang tentu saja langsung aku iyakan.
Aku
berangkat ke tempat yang disebutkan Radi. Menggunakan motor ninja pembelian Ummi
beberapa tahun lalu, aku tiba di salah satu tempat hiburan di pinggiran
Jakarta. Pub ini memang sudah menjadi
langganan Radi sejak entah kapan aku tidak tahu, belakangan pun menjadi tempat
favoritku untuk menghabiskan waktu. Segalanya aku peroleh disini. Kesenangan
dunia bertaburan seolah akhirat tidak menunggu esok hari. Tapi aku tidak
peduli. Di luar sana, mereka-mereka yang mengaku paling benar dan dekat dengan
Tuhan tak pernah mencoba memahami bagaimana menderitanya aku sejak hal yang
diakibatkan oleh kebodohanku itu terjadi. Menyimpan luka dan rasa bersalah
sendirian adalah salah satu hal mematikan yang akan membunuh siapa saja
pelan-pelan, termasuk aku.
Dentuman musik yang memekakkan
telinga segera menyambutku begitu aku masuk. Asap rokok di mana-mana,
orang-orang teler karena alkohol, serta wanita-wanita yang rela merendahkan
harga diri demi harapan hidup di hari esok. Beberapa mencoba merayuku tapi
tidak satu pun aku gubris. Aku tidak perlu perempuan malam ini., yang aku
butuhkan adalah ramuan dahsyat yang dapat membawaku terbang ke langit sesegera
mungkin dan melupakan segalanya.
Radi
menyambutku dengan sumringah. Di salah satu sudut, ia duduk ditemani beberapa
wanita dengan busana yang mengundang, sementara di atas meja, beberapa bungkus mariyuana siap pakai seakan sudah
menunggu kedatanganku. Tanpa menunggu komando, segera saja kuraup bagian
kecilnya, kupadatkan, lalu kuhirup dalam-dalam. Ini yang aku butuhkan. Saat
itu, yang aku pikirkan adalah bahagia bisa didapatkan di mana saja termasuk
lewat fantasi yang menggila.
****
Aku
terbangun tiba-tiba, setengah sadar menatap sekeliling. Mencoba menyesuaikan
pandangan dengan cahaya yang terasa menyakitkan. Dan setelahnya, aku rasanya
ingin kabur saja. Tidak seharusnya aku disini. Apa yang aku lakukan disini?
Bagaimana bisa? Bukankah tadi aku sedang terbang di atas awan bersama Rossa –
aku tidak tahu siapa gadis itu tapi yang jelas aku memanggilnya demikian,
menari bahagia dan bersenandung mesra? Siapa yang membawaku kesini? Beberapa
orang yang baru saja tiba menatapku dengan pandangan jijik dan ingin muntah,
beberapa lainnya mengeluarkan sumpah serapah.
“Pembunuh!”
“Pemerkosa!”
“Manusia
Terkutuk.”
“Aib
keluarga.” Segala macam bentuk makian keluar dari mulut mereka yang mengaku
suci dan terampuni, ditujukan kepadaku. Saat itu, waktu sudah menunjukan pukul
empat lebih dua pulu dua menit. Sebentar kemudian, adzan subuh berkumandang.
Tanpa berpikir panjang, aku kabur meninggalkan
tempat itu – Masjid Darussalam yang sudah sejak lama berdiri di komplek tempat
tinggalku.
Aku
berjalan tak tentu arah. Jantungku berdetak begitu cepat, seolah ada yang
menabuh gendang di dalamnya. Adzan masih berkumandang dengan merdunya sementara
telingaku benar-benar sudah sakit mendengarnya. Lalu sosok itu muncul. Pria
berwajah seputih cahaya itu tiba-tiba saja sudah berdiri di hadapanku. Tidak
seperti orang-orang yang mencaciku, ia justru memberikan senyum yang teramat
menyejukkan. Wajahnya yang bersinar itu pun menguarkan wangi yang tak pernah
aku baui sebelumnya. Tanpa mengucap kata, ia berjalan melewatiku. Mungkin ia
mau ke masjid untuk menunaikan shalat subuh.
Sedetik
aku terpana, tapi kemudian realita kembali menguasaiku. Mungkin saja mataku
salah, efek ganja mungkin belum hilang sepenuhnya. Akhirnya aku memutuskan
untuk tidak memikirkannya meskipun senyum bercahayanya terasa seperti anugerah
yang datang tanpa disangka-sangka. Aku pun melanjutkan langkahku. Tapi,
kemudian aku terpaku. Wajah itu adalah wajah pria yang beberapa jam lalu
menemaniku.
“Siapa
kamu?” Tanyaku dengan susah payah. Keringat mengucur deras membasahi tubuhku.
Meski begitu, segala yang mengelilingiku tampak indah dan tentu saja
menerimaku, kecuali satu orang entah siapa yang kini duduk di depanku. Wajahnya
bersih secerah matahari pagi. Tatapannya meneyejukkan seperti embun dan baunya
seharum kesturi.
“Aku merindukanmu.” Jawabnya. Aku
terbahak mendengarnya. Aku tidak kenal siapa dia, bertemu saja baru kali ini
lalu ia mengatakan bahwa ia merindukanku. Lawakan yang sungguh konyol.
“Aku tidak mengenalmu.” Aku menatap
wajahnya yang saat ini tersenyum namun menyiratkan kesedihan yang disimpan
dalam dalam.
“Kau kenal aku, Wahyu. Aku adalah
salah satu kebaikan yang diturunkan dengan serta membawa namamu.”
Aku mengernyit. Tidak paham dengan
apa yang sedang laki-laki penuh cahaya itu bicarakan. Mungkin ia sedang
mengigau...
“Aku Ramadhan!”
Aliran
darahku serasa berhenti. Ingatan itu menghantam ulu hatiku begitu telak.
Tubuhku limbung, secepat kilat mencari pegangan yang sialnya tak kutemukan. Aku
terjatuh di tengah jalan. Lututku menghantam aspal dengan bunyi yang
menyakitkan, tapi tak sesakit dengan apa yang kini aku rasakan. Beberapa detik
kemudian, tawaku membahana. Menyadari sebuah ketololan jika aku percaya pada
apa yang baru saja disampaikan ingatan. Bagaimana bisa aku tertohok oleh
sesuatu yang diakibatkan oleh padatnya kanabis. Tentu saja itu hanyalah
fantasi, tidak kurang apalagi lebih.
Orang-orang
yang sudah mulai sibuk dengan aktivitasnya meskipun sedang berpuasa menatapku
yang seolah bersimpuh di tanah dengan tatapan heran. Mungkin aku disangka mabuk
atau gila karena tertawa sendirian.
****
Ramadhan
sepuluh hari lagi berakhir. Orang-orang bukan lagi hanya sibuk dengan puasa
tapi beberapa persiapan untuk menyambut Lebaran, Hari Kemenangan. Ummi, meski pun
tak ketinggalan. Kue-kue kering dan segala jenis panganan lebaran sudah mulai
dipersiapkan. Kerudung terbaru, baju koko mahal dan parfum terkini. Waktu itu
aku masih saja seperti biasa, melakukan yang aku suka, makan dan minum
seenaknya di depan siapa saja serta menutup pendengaran akan kumandang
kedatangan Lailatul Qadar. Peduli setan! Meski aku berkesempatan mendapatkan
malam itu, amalanku pasti tidak akan dihitung. Segalanya akan sia-sia dan aku
tetap saja menderita hingga nanti aku mati.
Waktu
menunjukkan pukul dua siang saat permintaan itu diutarakan. Ummi memintaku
mengantakannya ke pasar untuk membeli bahan-bahan makanan, persiapan untuk
berbuka.
“Ummi
baru sadar kalau bahan makanan kita sudah habis. Wahyu antarkan Ummi, ya? Cuma
sebentar, ndak akan lama.”
Sebenarnya
aku tidak ingin, tapi inilah kali pertama ada yang meminta sesuatu padaku. Aku
merasa dibutuhkan, jadi aku menyetujuinya. Aku mengantarkan Ummi ke pasar
menggunakan mobil Abah. Tadinya aku menolak, karena Abah pasti akan murka jika
benda kesayangannya digunakan orang lain apalagi diriku. Tapi Ummi meyakinkan
bahwa untuk kali ini Abah pasti mengizinkan.
Sesampainya
di pasar, aku mengekori ke mana pun Ummi pergi sambil menenteng beberapa
belanjaan yang sudah dibayar. Ke penjual sayur hingga ke penjual kurma. Awalnya
aku tidak memperhatikan. Tapi entah hapal dengan baunya, aku pun otomatis
menatap wajah si penjual yang cahayanya masih secerah saat aku bertemu
dengannya malam itu. Ia pun melempar senyum kepadaku.
Setelah
membeli beberapa bungkus buah kurma, Ummi dan aku pun hendak beranjak pulang
lalu laki-laki itu berkata...
“Aku
masih menunggumu, Wahyu.”
Sungguh
mengganggu. Teramat mengganggu. Kalimat pendek itu tak bisa lepas dari
pikiranku bahkan hingga malam menjelang. Aku tidur bersama tanda tanya,
memejamkan mata dengan otak yang berkelana. Apa maksud ini semua? Apa ini yang
mereka sebut hidayah? Petunjuk? Tapi... bagaimana bisa? Aku bukan jenis orang
yang pantas mendapatkannya. Malam itu, aku tidak bisa tidur sama sekali.
Di
sepertiga malam, aku bangkit dari tempat tidur. Kehausan. Tanpa mematikan
lampu, aku berjalan menuju dapur.
Tepat
setelah kakiku menginjak anak tangga yang terakhir, pemandangan menakutkan itu
terjadi. Di depan sana, di dalam ruang keluarga, kulihat Ummi menangis
sejadi-jadinya. Membelai kepala anak laki-lakinya dengan penuh sayang dan
penyesalan. Beribu kata maaf terucap, namun segalanya sudah terlambat. Waktu
telah berhenti untuknya.... untukku....
Tidak!
Ini salah. Kesetanan aku berlari, menghampiri Ummi yang masih menangis. Ingin
memberitahu bahwa yang terbaring kaku di depan sana bukan aku, yang kini
hidungnya ditutupi kapas putih jelas bukan Wahyu, tapi sia-sia. Tanganku seperti
berusaha menangkap angin. Suaraku tak keluar, Ummi tak bisa kusentuh. Air mata
menganak sungai di pipiku. Aku menangis ketakutan, ini semua tidak mungkin
terjadi, lalu saat itu tiba-tiba cahaya lampu dan suara Ummi menghentikan
tangis dan sedu sedanku – yang berlutut di depan meja kaca panjang.
“Sedang
apa, Wahyu?”
Sedikit
kebingungan, aku bangkit dan menjawab “Wahyu mau sahur, Ummi.”
****
“Itulah
yang terjadi sebelum kau datang. Apa kau sudah puas?” Wahyu menyelesaikan
ceritanya pada Izra yang memandanganya dengan tatapan kagum. Dari jauh
sayup-sayup terdengar gema takbir. Hari ini adalah hari Kemenangan umat Islam,
Hari Raya Idul Fitri. “Kenapa kau menatapku seperti itu?” Tanya Wahyu.
“Pantas
saja tadi aku tidak tega jika melakukannya secara cepat.” Izra menjawab. “Aku
tidak menyangka bahwa kau menerima petunjuk itu.”
“Terima
kasih tapi yang barusan itu tetap saja terasa sakit. Aku tidak tahu dan juga
tidak akan mencari tahu apa alasannya, namun aku bersyukur untuk keputusan yang
telah aku ambil malam itu.”
Mendengarnya,
Izra tersenyum.
“Sudahlah.
Bukankah tadi kau bilang kau akan mengantarkanku untuk bertemu Tuhanku,
Izrail?”
Buat kumpulan cerpen aja coba.. kirim ke penerbit. Bagus lho cerpen2 nya.. Diksi nya juga keren.. Salute lah.
BalasHapuswww.theamazingjasmi.com
Wah makasih Mbak. Jadi makin semangat saya nulisnya :D
BalasHapusAku selalu suka kalau ada yg nulis cerita kayak percakapan seseorang dengan benda yang sebenarnya gak bisa bicara. Kayak si Aku dan Ramadhan ini. Aku gak tau apa istilahnya dalam cerpen. Walaupun saya cinta Indonesia tapi nilai B.Indo saya waktu sekolah lebih rendah dari Kimia. Nah gimana tuh? Haha
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
HapusEmmm apa ya namanya? Monolog? Haha aku jg bahasa indo malah lebih rendah dari bahasa inggris. Aku masih kurang banyak paham soal istilah2 dalam tulisan Bahasa Indonesia tapi emang doyan nulis cerita wkwk
HapusHaah.. Monolog. Bisa jadi. Hihi
HapusSemangat terus nulisnya.. Nanti aku update terus deh cerpen2 barunya. ^^