Penulis: Sari Agustia
Penerbit: PT. Elexmedia Komputindo
Editor: Pradita Seti Rahayu
Tahun Terbit: 2015
ISBN: 978-602-02-6097-6
Rating: 4/5
Kata orang, pernikahan yang kupunya
ini sempurna.
Karier kami sama-sama menanjak.
Sejak dua tahun lalu, kami mulai tinggal di rumah sendiri. Tak hanya itu, kami
pun membekali diri kami masing-masing sebuah mobil untuk bepergian setiap
harinya. Oh ya, kami juga punya dana untuk traveliing
keluar negeri – setidaknya sekali dalam setahun – dan berkunjung ke rumah Ambu di Bandung atau rumah Bapak serta
Ibu Mertuaku di Malang.
Hanya satu yang sebenarnya sering
kali mengganggu: Keturunan. Lima tahun bahtera ini berjalan, belum juga hadir
si buah hati.
Kami tk pernah menunda. Tak pernah
juga mempermasalahkannya. Dan ... tak pernah juga membicarakannya.
Bagaimana
ini....
Suamiku
sebenarnya mau punya anak atau tidak?
Yang
ke dokter hanya aku. Yang mau adopsi hanya aku. Masa hanya aku saja yang
berusaha?
****
Cerita ini dibuka dengan kunjungan
Tessa dan suaminya – Bhaskoro, ke Malang untuk menghadiri pernikahan Indah,
salah satu adik ipar Tessa. Sebenarnya, Tessa ikut berbahagia dengan pernikahan
Indah hanya saja, seperti dugaan Tessa sebelumnya, kunjungannya ke Malang
selalu membuahkan masalah yang meresahkan bahkan cenderung menjengkelkan.
Pernikahannya dengan Bhas yang sudah mencapai angka lima tahun namun belum
dianugerahi momongan itu seolah duri yang senantiasa mengekor ke mana pun Tessa
pergi, apalagi kalau sudah ke berkunjung ke rumah mertuanya.
Ibu Murti adalah jenis ibu mertua
yang sudah pasti akan dihindari banyak perempuan kalau bisa. Selain bersikap
agak kaku, sang mertua juga kerap ikut campur dalam urusan rumah tangga Tessa
dan Bhas. Banyak berkomentar dan mengkritik ini itu. Di matanya, Tessa selalu
banyak salahnya. Ditambah belum bisa memberinya cucu, kesalahan Tessa jadi
semakin bertambah. Kesibukan Tessa dalam pekerjaannya dianggap sebagai biang
masalah adri sulitnya mereka memiliki keturunan. Padahal, kalau dari sisi Tessa
sendiri, dia beranggapan bahwa bukan pekerjaanlah pemicunya, melainkan
hubungannya dengan Bhas memang sudah tak sehangat awal-awal menikah.
Namun, sebagai perempuan yang juga
ingin menjadi ibu, Tessa pun gerah. Akhirnya ia memutuskan untuk melakukan
konsultasi kesuburan sehingga bisa diketahui dengan pasti letak masalahnya
dimana. Sayang, bertolak belakang dengan dirinya, Bhas justru menolak gagasan
ini. Suaminya itu yakin bahwa tak ada yang salah dengan dirinya sehingga ia
perlu melakukan tes kesuburan.
“Silakan kamu periksa sendiri! Aku
tak merasa ada yang sakit dalam badanku. Menurutku, Allah yang belum memberi
kita seorang anak – Bhas, hlmn 59
Meski agak tersinggung, Tessa pun
mengalah dan memilih melakukan konsultasi sendirian tanpa didampingi sang
suami. Suatu hari, Tessa tak sengaja bertemu dengan cleaning service kantor yang sedang mengandung. Dari basa-basi
hingga perbincangan ringan, Tessa pun akhirnya mengetahui bahwa keadaan ekonomi
Mbak Kanti tidak memadai jika harus membesarkan seorang bayi lagi. Menurut Mbak
Kanti, ia akan memberikan anaknya kelak pada siapa saja yang menginginkan
sehingga kehidupannya bisa lebih baik. Tessa yang sudah lama mengidamkan
seorang anak heran dengan ide tersebut, namun akhirnya bisa mengerti.
Tebersitlah gagasan di kepalanya untuk mengadopsi anak Mbak Kanti jika sudah
lahir nanti.
Gagasan ini pun diutarakannya pada
suaminya, namun ternyata Bhas menentang habis-habisan. Ia tidak bersedia
membesarkan anak yang bukan darah dagingnya. Namun, seperti kalimat bijak yang
berbunyi di balik setiap kesulitan pasti
ada kemudahan, gagasan untuk mengadopsi anak ini berhasil membuat Bhas
bersedia melakukan tes kesuburan dan bersama-sama mengusahakan kehadiran buah
hati bersama Tessa.
Tak perlu menunggu lama, Tessa pun
akhirnya dinyatakan hamil. Kebahagiaan jelas membanjiri setiap sel-sel tubuh
Tessa dan Bhas, termasuk Ambu dan
keluarga besar di Malang. Walau memang sikap Ibu masih cenderung seperti
menganaktirikan Tessa. Tapi Tessa tak peduli, yang terpenting adalah bagaimana
bayinya lahir sehat dan selamat.
Untung tak dapat diduga malang tak
dapat ditolak, belum genap dua bulan Tessa mengandung, ia harus menerima
kenyataan pahit bahwa janin yang dikandungnya tidak berkembang. Tessa mengalami
keguguran!
****
Membaca novel bertema perempuan
memang selalu menjadi kesukaan saya. Selalu ada sisi menarik yang saya ambil
juga pelajaran berharga yang saya petik. Hanya saya, dari sekia banyak novel
yang menceritakan kisah hidup seorang perempuan yang pernah saya baca,
kebanyakan selalu menceritakan perempuan yang tertindas, seperti yang dialami
Tessa.
Kalau dilihat dari kacamata karier
dan materi, Tessa tidak kekurangan satu hal pun bahkan mungkin hidup lebih dari
kecukupan. Punya suami yang tidak banyak komentar dan ambil pusing dengan
pendapat orang juga bisa dikatakan bonus yang menyenangkan. Hanya saja, hal itu
terasa nothing hanya karena mereka
belum dikarunia seorang anak. Setiap pasangan yang sudah menikah pasti
mengidamkan buah hati untuk menyemarakkan suasana rumah dan menjadi pelipur
lara, namun sikap mertua Tessa yang cenderung memojokkan sangat tidak saya
sukai. Karena saya belum menikah, sudah sejak lama saya selalu berdoa semoga
suatu saat nanti nggak dapat mertua yang banyak kometar dan turut campur dalam
kehidupan rumah tangga saya nantinya.
Selain itu, dalam kisah ini,
mengapa saya katakan Tessa adalah contoh perempuan tertindas, keterlambatan
mereka dalam memperoleh keturunan seolah dibebankan seluruhnya pada Tessa.
Sikap Bhaskoro yang juga hampir tidak pernah membela Tessa ketika dikritik
bahkan dijelekkan sang ibu membuat saya kesal. Kewajiban anak laki-laki pada
ibunya memang tidak akan terputus meski mereka telah berkeluarga, tapi bukankah
kewajibannya juga untuk melindungi martabat istrinya entah di depan orang asing
atau pun ibu kandungnya sendiri?
Buku ini membuat saya kerap
meringis karena miris terhadap beberapa fakta pernikahan yang di luar sana
mungkin saja banyak terjadi. Pada beberapa bagian, buku ini terasa agak
membosankan namun ceritanya tetap worth untuk
dibaca. Ada banyak pesan tersirat yang bisa membuat kita membuka mata sedikit
lebih lebar tentang menghargai amanah dan titipan Tuhan dalam hal ini, anak.
Bagian favorit saya adalah prosesi
pernikahan Indah yang menggunakan adat Jawa tok.
Walau saya bukan orang Jawa, saya selalu suka menangkap informasi tentang
kebudayaan daerah-daerah yang berbeda sukunya dengan saya. Selain memperbanyak
informasi, pengetahuan akan budaya Indonesia saya bisa semakin bertambah.
Seluruh prosesi pernikahan Indah membuat saya ingin menyaksikan midodareni dan sebagainya secara
langsung. Selain itu, selipan bahasa Jawa dan Sunda dalam banyak percakapan
membuat buku ini terasa pribumi dan Indonesia banget. Bukan berarti bahasa
daerah lain tidak Indonesia, hanya saja buku yang menyelipkan bahasa daerah
menurut saya adalah buku yang sangat membudaya. Pelestarian budaya berbahasa
daerahnya juga masuk, walau nggak secara tersurat.
Kemudian, ada fakta unik yang saya
dapatkan dari buku ini yakni tentang pantangan pernikahan antara dua orang yang
memiliki suku Sunda dan Jawa. Legenda Hayam Wuruk seolah menjadikan pernikahan
dua suku yang bersebelahan ini sebagai suatu pamali atau hal yang tabu untuk dilakukan. Bukan karena saya
percaya bahwa hal itu benar adanya, semua manusia sama, jika sukunya berbeda
maka itu tidak jadi masalah. Hanya saja menurut saya ini bisa menjadi suatu
pelajaran tentang rasisme yang mungkin saja masih berkembang dalam hidup
masyarakat kita hingga saat ini.
Ada satu hal yang saya sayangkan
dari buku ini yakni eksekusi ceritanya kerasa maksa dan nggak asyik. Kalau pada beberapa film thriller biasanya ada adegan si pembunuh
sudah mati, namun saat ada kata end tiba-tiba
wajah sehatnya di-shoot lagi, kan, nah kalau di buku ini mirip-mirip
seperti itu tapi tidak ada rasa puas saat membacanya. Buat saya seharusnya
ceritanya masih bisa lebih panjang, Bhas dan Ibu mertuanya setidaknya bisa
mendapat sedikit pelajaran berharga atas
sikap mereka, terkesan drama sih tapi mending begitu daripada gantung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar