Catatan harian yang semakin renta dan tua

Selasa, 18 Juni 2019

,
Koleksi Pribadi: Palu, 16 Juni 2019


Setelah memutuskan untuk mengadu nasib di pedalaman, mudik lebaran selalu menjadi bonus paling indah tiap tahunnya. Alhamdulillah tahun ini saya bisa pulang lebaran dan berkumpul bersama keluarga. Tapi ada drama di dalamnya. Drama yang sempat membuat saya berpikir mungkin ini adalah pertanda bahwa saya sebenarnya belum diizinkan mudik sama Allah.

Pada tanggal 13 Mei, kira-kira 2 minggu sebelum lebaran saya sudah booking tiket penerbangan domestik di salah satu maskapai milik Indonesia. Tapi, ada kendala. Setelah proses pembayaran selesai, tiketnya gagal atau tidak sukses masuk dan saya diminta untuk mengajukan permohonan refund. Seminggu kemudian, karena takut nggak kebagian/kehabisan tiket saya meminta tolong kepada @ndynita94untuk memesankan tiket dengan rute penerbangan yang sama seperti yang saya pesan sebelumnya, di maskapai yang sama pula. Alhamdulillah tiketnya berhasil masik

Tapi, drama lain kembali terjadi satu hari sebelum keberangkatan saya ke kampung halaman. Malam harinya, saya dan teman-teman seperjuangan berencana untuk melakukan perjalanan Morowali-Kendari untuk mengejar pesawat pagi. Rencananya kami akan berangkat pukul 9 malam dan akam tiba pukul 5 Pagi di Kendari. Tapi, satu berita menegangkan muncul. Jalan Trans Sulawesi yang akan kami lewati terendam banjir akibat hujan berturut-turut selama kurang lebih 2 minggu terakhir. Beberapa daerah lain juga longsor. Tidak bisa lewat. Kami harus secepatnya reschedule penerbangan. 
Tegang! Lebaran tinggal 2 hari, tapi saya terancam tidak bisa pulang. Ditambah saat itu jaringan internet maupun telepon di daerah saya tinggal sedang jelek. Jadi, sambil hujan-hujanan naik motor, saya harus menenteng bagasi kabin demi mencari jaringan dan koordinasi dengan teman-teman senasib seperjuangan yang sama seperti saya sepertinya akan batal mudik lebaran.

Setelah tersambung dengan pihak maskapai dan menjelaskan alasan, saya meminta untuk pindah bandara saja. Sebenarnya di Morowali ada bandara, cuma akses kendaraan ke sana cukup sulit. Tidak seperti ke Kendari yang iya jauh tapi tiap hari pasti ada mobil kesana. Dan ternyata tidak bisa. Pihak maskapai hanya bisa memberi fasilitas reschedule, tidak bisa pindah bandara. Tapi, karena jalanan tidak bisa dilewati sama sekali ke Kendari dan lebaran tinggal 2 hari lagi, tidak ada pilihan saya harus refund kembali tiket (padahal tiket sebelumnya proses refund-nya juga masih "akan ditindaklanjuti setelah cuti bersama lebaran") atau merelakannya hangus. Dan proses refund kedua yang memakan waktu beberapa menit untuk koordinasi dengan pihak maskapai juga pihak agen (karena belinya via agen ticketing online) berakhir pada putusan final untuk diikhlaskan saja dan dianggap sedekah 😁

Dengan bantuan salah satu teman di tempat kerja, saya kembali pesat tiket pesawat dengan tujuan yang sama namun rute yang berbeda. Alhamdulillah, berangkat pagi ke Bandara Morowali ba'da subuh, tiba pukul setengah sembilan pagi yang kembali diuji dengan delay satu jam; pesawat dijadwalkan take off 9.30 tapi harus diundur ke 10.30, stopover 25 menit di Luwuk, transit kurang lebih 3 jam di Palu, saya tiba di Manado pukul 18.40 ba'da maghrib dan tiba di rumah pukul 1 pagi keesokan harinya karena terhalang macet dan halangan lainnya. 
Bersyukur sekali, walaupun dengan berbagai ujian dan cobaan, halangan dan rintangan, saya bisa berlebaran di kampung halaman. Bertemu keluarga, saudara dan tetangga yang sudah lama tak jumpa.

Tapi, ternyata masih ada ujian lain yang menunggu saat tibanya kembali ke realita. Sama seperti arus mudik, arus balik tahun ini juga tak kalah luar biasanya 😆

Bersambung ke cerita ARUS BALIK