Catatan harian yang semakin renta dan tua

Kamis, 25 Mei 2017

,
Sumber Gambar
Warung Blogger sudah berusia enam tahun, nggak kerasa pula saya ngeblog juga sudah hampir menyentuh angka tersebut, walau baru dua tahun belakangan ini saya benar-benar aktif dan mengisi blog saya dengan konten yang bermanfaat. Awal mula ngeblog memang bukan karena inisitaif sendiri tapi karena tugas sekolah yang diharuskan untuk diposting menggunakan blog pribadi. Waktu itu saya masih duduk di SMK jadi belum melihat betul apa manfaat dari menulis secara online. Namun demikian, sejak awal nama blog saya tidak pernah berubah. Tetap mengguakan Diary Lusuh hingga sekarang.

Kesukaan saya pada cerita ataupun hobi saya di dalam bercerita menjadi pemicu utama keapa saya mulai aktif untuk mengisi blog dengan berbagai macam tulisan. Awalnya, blog tersebut hanya berisi tulisan-tulisan absurd dengan unsur komedi. Beberapa di antaranya diambil dari pengalaman yang murni pribadi. Sisanya, sekedar pemikiran nggak jelas yang jauh dari kata kritis dari seorang gadis belia.

Waktu berlalu, blog saya mulai dikenal orang walau masih terbatas pada teman-teman sekelas yang pasrah dipaks membaca, atau beberapa teman sosial media yang iseng-iseng demi mencari hiburan. Tapi, tidak saya duga, dari situlah pengunjung blog saya mulai berkembang. Mulai dari teman hingga orang asing yang kebetulan mampir tapi lalu betah untuk singgah lagi dan lagi demi satu episode terbaru cerita bersambung ataupun update-an pengalaman lucu dan menghibur yang saya alami.

Saat itulah saya benar-benar mersakan best moment selama ngeblog. Menyadari bahwa kini tulisan-tulisan saya digemari dan dibaca banyak orang, cerita-cerita saya mengundang perhatian dan kini didengarkan adalah salah satu anugerah Tuhan yang tidak bisa saya bantah. Karena dalam kehidupan nyata saya, sikap cerewet saya kerap membosankan. Ketika saya menceritakan sebuah film favorit tanpa henti, ketika saya menungkapkan rasa puas setelah membaca buku tertentu, atau ketika saya sekedar melontarkan gurauan sederhana namun nyatanya dirasa mengganggu.

Blog saya mungkin terlihat sepi follower ataupun komentar, tapi lewat akun media sosial pribadi saya, beberapa pembaca kerap mengirimakan pesan demi mengungkapkan rasa sukanya atau sekedar menagih kelanjutan suatu cerita yang belum menemukan ending-nya. Di saat itu, saya merasa menjadi pembicara, pencerita yang tak kasat mata. Momen ketika kita didengarkan dengan saksama oleh lawan bicara buat saya adalah salah satu penghargaan tertinggi dalam menjalani hidup dan itu saya dapatkan dari ngeblog. Ketika pembaca tidak jenuh dan dengan serius membaca tulisan saya hingga selesai walau hanya satu judul, di saat itu saya benar-benar merasa didengarkan.

Inilah pengalaman terbaik saya selama ngeblog. Tapi, tidak berhenti sampai disitu, masih ada pengalaman lainnya yang membuat saya semakin bahagia. Di antaranya adalah ketika memenangkan lomba menulis yang diharuskan untuk diposting dalam blog pribadi. Momen tersebut semakin menambah kebaikan-kebaikan yang saya peroleh dari aktivitas menulis secara online. Dipilih sebagai pemenang suatu lomba membuat saya merasakan nilai yang lebih. Bahwa tulisan saya, cerita saya, tidak hanya untuk didengar tapi naik tingkat menjadi cukup layak untuk didengarkan. Ditambah ketika saya mulai aktif menulis resensi buku yang kemudian membuat salah seorang penulis yang cukup terkenal tidak ragu mengirimkan buku terbarunya untuk saya baca dan dibuatkan resensi. Perasaan saya semakin membuncah oleh fakta baru bahwa ternyata tulisan saya, cerita saya, mampu mendatangkan manfaat tidak hanya bagi diri saya sendiri tapi juga bagi orang lain.

Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba blog ulang tahun ke-6 Warung Blogger



Minggu, 21 Mei 2017

,
Judul Buku: Hujan
Penulis: Tere Liye
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama
Terbit: Januari 2016
Cover: Orkha Creative
Tebal: 320 hlmn; 20 cm
ISBN: 978-602-03-2478-4
Rating: 4/5

Tentang Persahabatan
Tentang Cinta
Tentang Melupakan
Tentang Perpisahan
Tentang Hujan

Pada tahun 2042, dimana teknologi telah semakin maju, kehidupan serba mudah, banyak negara tertata indah, dan umat manusia semakin bertumbuh, terjadi sebuah bencana tak terduga. Bencana yang tak pernah diprediksi sebelumnya itu terjadi tepat di hari yang sama dengan kelahiran orang ke 10 milyar di bumi. Bagi beberapa orang, kelahiran tersebut adalah hal yang biasa. Bagi sebagian lainnya, hal itu perlu dirayakan hingga harus disiarkan di media berita mana saja. Bagi seorang profesor terkenal, kelahiran tersebut adalah bencana.

Kepadatan penduduk dan jumlah manusia yang semakin bertambah sejatinya adalah cara yang manjur untuk memulai kepunahan. Dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk bumi, secara otomatis, bumi pun harus bekerja ekstra untuk menyediakan sumber daya bagi manusia-manusia yang ada. Mulai dari tempat tinggal hingga makanan. Bumi punya kapasitas dan daya tampung yang tidak akan mampu memenuhi kebutuhan umat manusia yang terus berkembang biak setiap harinya.

“Kamu tahu, empat puluh dua tahun lalu, saat milenium baru, penduduk bumi hanya enam miliar. Sekarang? Tahun 2042? Sepuluh miliar. Kita hanya butuh empat puluh dua tahun saja. Itu gila. Catat dengan baik, dua ratus tahun lalu, bahkan penduduk bumi belum menyentuh dua ratus juta orang. Kita terus berkembang biak – yeah dengan segala respek atas umat manusia, harus diakui kita terlalu cepat berkembang biak, membuat bumi sesak – hlmn 12”

Ini adalah komentar salah satu profesor yang menjadi narasumber dalam sebuah acara talk show pagi yang membahas tentang kelahiran bayi kesepuluh. Di pagi yang sama, Lail – seorang gadis berusia tiga belas tahun sedang dalam perjalanan ke sekolah diantar ibunya. Menggunakan kereta listrik tercanggih abad itu, Lail berangkat dalam ketergesaan, takut terlambat.

Di dalam kereta api, layar-layar yang menampilkan ucapan selamat atas kelahiran manusia ke sepuluh milyar pun ada. Tak ketinggalan juga talk show pagi yang membahas masalah ini. Lail, yang masih mudah dan polos, hanya mengikuti acara tersebut tanpa minat, ia lebih khawatir pada sekolah barunya.

“Umat manusia sejatinya sama seperti virus. Mereka berkembang biak menyedot sumber daya hingga habis, kemudian tidak ada lagi yang tersisa. Mereka rakus sekali. Maka seperti virus, hanya obat paling keras yang bisa menghentikannya – hlmn 16”

Percakapan masih terus berlanjut, hingga pada pertanyaan tentang bagaimana cara mengatasi, obat apa yang akan digunakan untuk menekan jumlah manusia yang mewabah seperti virus. Dan tepat setelah jawaban dilontarkan sang profesor, di saat itu pula sesuatu yang mengerikan terjadi. Obat yang dimaksud itu datang, seperti doa yang diijabah Tuhan.

Bencana alam terjadi! Letusan gunung dengan skala 8 VEI menimpa bumi, memorakmorandakan segala hal yang dilalui, termasuk kesibukan orang berangkat kerja pagi dan kekhawatiran Lail akan sekolah barunya.

Gempa dengan kekuatan yang setara dengan ledakan gunung Krakatau tersebut membuat Lail kehilangan kedua orangtuanya di hari yang sama. Namun, di hari yang sama itu pula, ia oleh takdir dipertemukan dengan Esok – anak laki-laki yang selamat dari bencana gempa, sepertinya dan kelak menjadi orang yang teramat penting baginya.

****
Membaca novel ini membuat saya teringat akan karya Dan Brown yang berjudul Inferno. Buku tersebut juga mengangkat isu kepadatan penduduk dan populasi manusia yang semakin mewabah seperti virus. Hanya saja, yang menjadi pembeda adalah, obat dalam novel hujan ini datang lewat bencana alam, sementara dalam karya Dan Brown lebih pada sesuatu yang diusahakan seorang individu terkenal, akademisi yang disegani, dengan jalan menebarkan virus untuk menekan pertumbuhan manusia lewat suatu negara yang dikenal sebagai tempat bertemunya semua orang dari berbagai belahan dunia.

Perbedaan yang kedua, jika dalam karya Brown saya merasakan tegang luar biasa, dalam buku ini saya justru baper luar biasa. Pokoknya, baca novel ini saya entah harus berapa kali menyurut air mata dan menyedot ingus. Mewek pemirsah :D, dan untuk hal ini saya sangat mengapresiasi Tere Liye karena sekali lagi telah berhasil membuat saya jatuh dan ikut merasakan kepedihan yang dialami tokoh-tokoh dalam buku ini. Terdengar lebay, tapi bagi siapapun yang mempercayai keberadaan Tuhan dan kemampuannya membolak-balikkan bumi seperti memboolak-balikkan tangan, maka tak ada kalimat yang tepat untuk mendeskripsikan novel ini selain kita akan diajak untuk membayangkan kiamat, membayangkan kepunahan.

Sisi emosional saya sebagai manusia benar-benar tersentuh, apalagi dahsyatnya bencana benar-benar saya bayangkan bahwa suatu saat yang entah kapan, bumi memang akan berakhir jika masanya telah tiba. Tapi, buku ini sama sekali bukan buku yang memprediksikan bentuk dan kedahsyatan hari kiamat. Buku ini adalah bentuk peringatan atau teguran dari sang penulis terhadap sifat-sifat buruk manusia yang sudah mengakar dan mendarah daging sejak dulu hingga kini.

Setting dalam buku ini menggunakan waktu masa depan, waktu yang tak terprediksikan dengan kondisi zaman yang sudah semakin canggih, dengan penggunaan teknologi yang sudah sangat mutakhir. Jam tangan yang tertanam seperti chip di pergelangan, mobil terbang, hingga pesawat raksasa yang dapat memugkinkan manusia hidup di atas lapisan stratosfer bumi. Seperti khayalan, tapi bagi saya tidak ada yang bisa memprediksi lajunya perkembangan IPTEK. Buktinya, sekarang saja jenis ponsel dengan merk yang sama selalu ada update terbaru tiap tahunnya dengan spesifikasi yang semakin meningkat dan mumpuni. Bukan mustahil bahwa ‘teknologi yang diciptakan Tere Liye’ ini benar-benar akan hadir beberapa puluh tahun ke depannya nanti.

Untuk karakter, tentu saja awalnya saya mengidolakan Esok. Sosok anak muda yang kuat, bijak dan tidak mudah putus asa. Tapi ketika memasuki pertengahan cerita, saya justru mengagumi Maryam, sahabat Lail yang selalu ceria dan merekah. Semangat dan optimisme Maryam patut diacungi jempol, patut diconntoh. Begitu pun dengan Lail, ia adalah gadis yang tegar dengan segala kesulitan yang telah ia lewati. Walau dalam urusan cinta, Lail sangatlah awam dan belum profesional. Jujur saja, sikap Lail yang terlalu pembimbang dan penakut sebagai perempuan di pertengahan sempat membuat saya bosan. Petualangan Lail dan Maryam sebenarnya amatlah seru dan menyenangkan, juga menegangkan dan membuat kita termotivasi untuk melakukan hal yang sama, bahkan sedikit malu karena hingga usia yang sudah mencapai lebih dari dua puluh tahun seolah belum ada kontribusi nyata dan terlihat yang dapat kita lakukan untuk negeri, khususnya masyarakat. Tapi sikap Lail itu bikin saya jengkel. Lail digambarkan sebagai perempuan yang selalu suka menduga dan tidak mau bertanya untuk mendapatkan kejelasan yang sebenarnya. Itu adalah sifat saya yang sebenarnya sulit diubah, melihat Lail seolah saya disadarkan secara tak langsung dengan kalimat sebegini menyebalkanlah elo dulu :D. Yah walau harus diakui kisah cinta Lail dan Esok tergolong unik dan sangat manis. Kuitipan-kutipan cinta yang datang dari Maryam juga sangat bikin baper.

Menjelang ending, sekali lagi Tere Liye berhasil membuat saya penasaran, sekaligus deg-degan dengan apa yang akan terjadi sebelumnya. Bahkan, saya sempat menunda beberapa jam untuk membaca lembar-lembar bab terakhir. Bukan apa-apa, takut saja bahwa penutup ceritanya akan ikutan membuat saya merana seperti tokoh utamanya, tapi ternyata tidak begitu nendang setelah benar-benar saya baca. Tapi, senggak nendangnya ending dalam buku ini, akhir kisahnya masuk akal.

Buku ini sangat saya rekomendasikan bagi siapa saja sebagai bentuk ‘pengingat dan nasihat’. Dari sini, kita akan disuguhkan fakta tentang keserakahan manusia yang pada akhirnya akan membuat kita punah ketika alam sudah berbicara.

Kamis, 18 Mei 2017

,
Judul: The Architecture of Love
Penulis: Ika Natassa
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 2016
Editor: Rosi L. Simamora
Ilustrasi Isi: Ika Natassa
Desain Sampul: Ika Natassa
Tebal: 304 hlmn, 20 cm
ISBN: 978-602-03-2926-0

****
“People say that Paris is the city of love, but for Raia, New York deserves that title more. It’s impossible not to fall in love with the city like it’s almost impossible not to fall in love in the city”

New York mungkin berada di urutan teratas daftar kota yang paling banyak dijadikan setting cerita atau film. Di beberapa film Hollywood, mulai dari Nora Ephron’s You’ve Got Mail hingga Martin Scorsese’s Taxi Driver, New York bahkan bukan sekedar setting namun tampil sebagai “karakter” yang menghidupkan cerita.

Ke kota itulah, Raia, seorang penulis, mengejar inspirasi setelah sekian lama tidak mampun menggoreskan satu kalimat pun.

Raia menjadikan setiap sudut New York “kantor’-nya. Berjalan kaki menyusuri Brooklyn sampai Queens, dia mencari sepenggal cerita di tiap jengkalnya, pada orang-orang yang berpapasan dengannya, dalam percakapan yang dia dengar, dalam tatapan yang sedetik dua detik bertaut dengan kedua matanya. Namun bahkan setelah melakukan itu setiap hari, ditemani daun-daun menguning berguguran hingga butiran salju yang memutihkan kota ini, layar laptop Raia masih saja kosong tanpa cerita.

Sampai akhirnya dia bertemu seseorang yang mengajarinya melihat kota ini dengan cara berbeda. Orang yang juga menyimpan rahasia yang tak pernah ia duga.

****

Mungkin bagi beberapa orang bangunan hanyalah seonggok benda mati yang tidak bernyawa. Namun, tak ada yang dapat membantah bahwa dalam perjalanan sejarah, bangunan adalah bentuk dan perwujudan rasa cinta. Taj Mahal di Agra, India adalah suatu contoh bangunan yang memiliki sejarah yang cukup romantis. Bangunan dengan arsitektur Mughal ini adalah sebuah monumen yang dibangun karena keinginan Kaisar Mughal Shah Jahan untuk istri yang dicintainya, Persianya. Dalam buku ini, bangunan-bangunan indah di kota New York dijadikan latar yang membentuk kisah cinta antara dua orang.

Raia, seorang penulis yang mengalami writers block memutuskan untuk berangkat ke New York demi mengejar inspirasi. Masa lalu yang menyakitkan bersama sang suami menyebabkannya tak bisa lagi menulis. Hanya saja, meski sudah beberapa bulan menetap di New York, halaman word di laptop-nya masih tetap saja kosong tanpa satu kata pun.

Demi menghibur Raia, sahabatnya, Erin suatu malam mengajak Raia untuk ikut acara pelepasan tahun di salah satu apartemennya. Awalnya, Raya tak ingin ikut, baginya pesta tahun baru adalah sebuah acara yang membuat orang terjebak ilusi memulai sesuatu kembali dari awal. Padahal, keesokan harinya tidak ada orang yang dapat menjamin sesuatu yang baru bisa terjadi, seperti tiba-tiba rajin ke kantor atau tiba-tiba suatu kebiasaan buruk hilang. Yang justru terjadi adalah, di taggal 1 Januari, menjelang siang bahkan ada yang masih tidur karena pengar atau terlalu mengantuk karena begadang semalaman. Selain itu, budaya random kiss di New York juga tidak disukainya. Karena itulah, menjelang detik-detik pergantian tahun, Raya memutuskan untuk melarikan diri sejenak.

Bukan hanya terhindar dari budaya absurd, Raia justru ‘tersesat’ di suatu ruangan yang mempertemukannya dengan seorang laki-laki yang kelak dikenalnya sebagai River. Pertemuan mereka biasa saja, tidak istimewa, tidak pula seperti yang terjadi pada beberapa drama dimana dua orang yang bertemu untuk pertama kalinya langsung jatuh cinta. Yang terjadi adalah percakapan nyaris satu arah yang Raia bangun demi mengurangi kecanggungan.
Pertemuan tak terduga keduanya ternyata kembali terjadi. Persis ketika kalimat pertama Raia temukan, di saat itu juga ia mendapati keberadaan River dengan buku sketsanya. Belakangan Raia ketahui River adalah seorang arsitek.

“People say that Paris is the city of love, but for me, New York deserves the title more. It’s impossible not to fall in love with the city like it’s almost impossible not to fall in love in the city.”

Itulah kalimat pertama yang Raia goreskan. Tak hanya mengawali cerita di buku terbarunya, kalimat tersebut ternyata juga menjadi awal bagi kisah cinta keduanya. Bertahun menjalani hidup dalam rutinitas pelarian, River akhirnya kembali menemukan keberanian untuk menempuh jalan pulang, Raia juga kembali menemukan muse-nya yang hilang. Namun ternyata, kisah itu tidak berjalan semulus sketsa-sketsa River. Posisi River yang masih menyimpan nama Andara rapat-rapat di hatinya menjadi penghalang yang rumit. Bagaimana mungkin mencintai dua wanita sekaligus? Begitu pun Raia, pengalaman pahit dicampakkan Alam juga masih terlalu membekas di hatinya. Mereka berdua sama-sama pernah ditinggalkan, sama-sama terlalu kehilangan.

Yang membuat buku ini begitu menarik adalah keberadaan kota New York beserta bangunan dan arsitekturnya, berikut cerita-cerita di baliknya, sekaligus kisah romantis Raia dan River yang kemudian hadir karenanya. Penggambaran setting dan arsitekturnya yang mendetail akan membuat pembaca seolah diajak ikut jalan-jalan dan menghabiskan waktu di kota New York. Sketsa-sketsa yang ada juga semakin memperkuat nuansa jalan-jalannya. Di Flatiron yang pernah mendapat predikat sebagai gedung tertinggi di New York hingga berjalan-jalan di sidewalk dan mengamati brownatones di Brooklyn.

Perjalanan Raia dan River, pertemuan-pertemuan keduanya membuat buku ini terasa lebih ‘hidup’. Ditambah dengan fakta bahwa buku ini lahir oleh interkasi sang penulis – Ika Natassa dengan pembacanya. Memanfaatkan fitur poll di twitter, Ika mengajak pembaca untuk ikut terlibat dalam pembuatan novel ini, dengan dapat serta menentukan alur cerita sesuai keinginan. Buku ini adalah bukti cinta, seperti Taj Mahal, The Architecture of Love adalah bukti cinta Ika Natassa pada pembacanya begitu pun sebaliknya.

Ketika menulis, beberapa penulis terkadang menyelipkan cameo tenang dirinya. Buat saya pribadi, penggambaran Raia sebagai seorang penulis yang buku-bukunya selalu dinantikan, yang ludes dalam waktu singkat bahkan saat PO (Pre-Order) sangat Ika Natassa sekali.

Walau pada beberapa bagian eksekusinya terasa kurang ‘nendang’, feel kehilangan yang dialami River terhadap Andara juga agak kurang, buku ini memiliki pesan yang sangat jelas; bahwa hidup adalah hal yang terlalu berharga untuk kita sia-siakan hanya karena masa lalu.

“You know what is wrong about always searching for answers about something that happened in your past? It keeps you from looking forward. It distracts you from what’s in front of you.“

Buku ini juga tampil sebagai nasihat dengan banyaknya kutipan menarik terkait hidup, cinta, patah hati, masa lalu, masa depan, juga kutipan tentang menulis yang amat menarik dan hampir selalu muncul di setiap lembarannya. Entah kutipan tersebut berasal dari orang-orang besar yang amat terkenal atau dari penulis buku ini sendiri. Secara garis besar, kalimat yang tepat untuk mendeskripsikan The Architecture of Love adalah kita juga akan jatuh dan menemukan cinta.

Jumat, 12 Mei 2017

,
Sumber Gambar
Judul: Helaer
Genre: Thriller, Percintaan, Komedi, Drama
Penulis: Song Ji Na
Sutradara: Lee Jung Sub, Kim Jin Woo
Produser Eksekutif: Bae Kyung Soo
Produser: Mo Wan Il, Yoon Jae Hyuk
Rumah Produksi: Kim Jong Hak Productions
Stasiun Televisi: Korean Broadcasting System (KBS)
Negara: Korea Selatan
Bahasa: Korea
Pemain:

Ji Chang Wook as Healer

Park Min Young as Chae Yong Shin


Yoo Ji Tae as Kim Moon Hoo
Healer adalah seorang hacker yang bekerja sebagai ‘kurir malam’. Jenis pekerjaan ilegal yang tidak mewajibkan pemberi kerja dan pekerja bertatapan muka, atau bahkan bertukr informasi pribadi. Bersama dengan seorang wanita yang bernama Jo Min Ja, Healer melaksanakan tugas-tugas dari beberapa orang penting di Korea Selatan. Suatu hari, ia ditugaskan untuk mengambil sebuah video penting dari seorang pria bernama Goo Song Cheol. Video yang merekam suatu peristiwa penting itu ternyata juga diincar oleh pemilik perusahaan surat kabar Jae Il. Mereka menugaskan pekerja lainnya yang sejenis dengan Healer – Satuan SS Guard untuk merebut video tersebut. Namun, Healer dengan tangkas dapat menggagalkan usaha perampasan itu dan mengirim Goo Seong Cheol ke Amerika, sesuai permintaannya.

Belum lama setelah tugasnya selesai, ia kembali ditugaskan untuk membantu mencari seorang wanita dengan ciri-ciri yang sudah ditentukan, untuk dilakukan pengujian DNA. Tugas itu sebenarnya sudah sejak lama ia lakukan, namun hingga tiga kali tes, berdasarkan hasil tes DNA, gadis yang dimaksud belum juga ditemukan. Kini, ia harus kembali mencari sang gadis.

Kali ini, hasil pencariannya membuahkan hasil. Sepertinya gadis yang terakhir kali ditemuinya adalah orang yang dicari si pemberi kerja. Tapi, ternyata tugasnya belum selesai. Ia kembali ditugaskan untuk mengawasi si gadis, bahkan melindunginya. Namun, sebuah kabar mengejutkan tiba-tiba saja datang. Go Song Cheol ditemukan tewas di jembatan bawah rel kereta api menuju Busan dengan meninggalkan jejak yang mengarah pada Healer. Sosok misterius yang sudah bertahun-tahun diincar tim detektif cyber dari pihak kepolisian. Tak perlu waktu lama, Healer pun menjadi tersangka utama sebuah kasus pembunuhan.

Chae Yong Shin, seorang reporter majalah online yang begitu mengidolakan Kim Moon Hoo tidak pernah menyangka akan bertemu lelaki misterius yang seperti merampoknya, namun hanya membawa pergi potongan kukunya saja. Hal tersebut membuatnya penasaran setengah mati, apalagi setelah tahu bahwa si laki-laki adalah Healer, sang kurir yang amat terkenal itu. Belum hilang rasa penasarannya, secara tak sengaja ia dipertemukan dengan seorang perempuan putus asa yang hendak bunuh diri. Ternyata, perempuan tersebut adalah artis yang tidak cukup terkenal namun mengaku telah dipekerjakan sebagai PSK oleh manajemen tempatnya bernaung, dan yang harus dilayani adalah pejabat-pejabat penting yang salah satunya adalah calon walikota Seoul mendatang.

Yong Shin yang memang berjiwa reporter dan bercita-cita menjadi reporter yang dicintai masyarakat seperti Kim Moon Hoo pun tergerak hati untuk membantu, hanya saja ia tak punya keberanian. Seorang reporter biasa sepertinya tak akan mampu menghandle kasus ini. Tapi, dorongan dari Chae Chi Soo, sang ayah yang berporfesi sebagai pengacara membuat semangatnya terpompa. Ia akan menguak kebenaran demi keadilan. Kim Eui Chan adalah calon walikota Seoul yang berpotensi besar menjadi presiden, sudah sewajarnya masyarakat tahu bagaimana sifatnya yang sebenarnya.

Setelah dijadikan sebagai tersangka pembunuhan, Healer yang bertekad untuk menguak pelaku yang sebenarnya untuk membersihkan namanya masih tetap menjalankan tugasnya untuk menjaga Chae Yong Shin. Meski sudah dilarang oleh partnernya, ia tetap bertekad. Hal ini semata-mata karena secara tak sengaja ia menemukan fotonya yang diambil secara sembunyi-sembunyi yang ia temukan terpajang di kamar Chae Yong Shin berdampingan dengan reporter Kim Moon Hoo.

Fakta bahwa sang reporter adalah pemberi kerja yang memintanya untuk mendapatkan sampel tes DNA dari Yong Shin, serta bahwa pemilik surat kabar Jae Il, Kim Moon Shik, adalah kakak kandung Kim Moon Hoo mengusiknya. Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Bagaimana bisa di saat yang bersamaan ia terlibat kasus pembunuhan yang membuatnya seolah dijebak secara sengaja itu? Menunjukkan wajah dan identitasnya adalah hal yang terlarang. Helaer tidak boleh terlacak siapapun. Tapi kini ia ditugaskan untuk melindungi seorang wanita yang berprofesi sebagai reporter, yang dikuntit kemana pun oleh seorang reporter pula, yang ternyata merupakan adik kandung dari bos salah satu saingannya dalam melaksanakan pekerjaannya sehari-hari.

****
Ini adalah drama lama yang entah kenapa baru tergugah untuk ditonton sekarang. Walau udah ada Ji Chang Wook dan Park Min Young, dua tahun lalu, kayaknya malas gitu untuk nonton. Dan sekarang, setelah benar-benar udah selesai ditonton, saya sama sekali nggak nyesel. Dramanya emang worth it buat menemani waktu luang, sejam durasi per episode sama sekali nggak berasa lama. Malah berasa cepet, bener-bener menunjukkan kalau saya sangat menikmati ceritanya.

Awal-awal, kita memang akan disuguhi teka-teki, dan hal itulah yang bikin makin nagih untuk nonton dan nonton lagi. Profesi yang berkaitan dengan hacker pun jadi tambahan tersendiri. Plotnya unik dan konfliknya tidak biasa. Setiap episode saya selalu diberi kejutan-kejutan tak terduga. Belum lagi profesi tokoh wanitanya yang bergelut dengan dunia penulisan dan publikasi. Jadi makin suka deh. Jujur aja, saya doyan nulis dan buat saya pribadi, profesi sebagai wartawan atau reporter adalah profesi yang sangat saya suka untuk digunakan terhadap tokoh utama cerita-cerita saya. Kesahariannya sama, meliput dan menulis tapi selalu menuai kejutan tak terduga. Selalu ada rasa yang berbeda setiap harinya, tantangan yang berbeda setiap saatnya.

Konflik dalam drama ini sebenarnya complicated, drama banget emang, hanya saja peran reporter yang dikhususkan untuk menyuarakan kebenaran menjadi poin paling positifnya. Sebagaimana yang kita tahu, pers, media, liputan dan hal-hal berbau artikel berita udah bukan hal baru lagi sejak diberlakukannya kebebasan pers. Namun, dalam drama ini, pers yang seharusnya bebas dan independen, menyuarakan hak-hak dan dekat dengan rakyat sudah melenceng dari kemurnian fungsi dan keberadaan mereka. Campur tangan politik kekuasaan yang digambarkan dalam drama ini nyentil banget. Buat saya pribadi yang mungkin masih takut bersuara walau sesuatu itu benar, buat pers yang mungkin ditekan saat menyuarakan sesuatu yang benar, atau bahkan oknum-oknum yang berusaha menutupi kebenaran dengan menggunakan pengaruh uang dan kekuasaan.

Kisah cinta Chae Yong Shin dan Park Bong Soo juga manis banget. Berjalan seperti air yang mengalir, walau penuh dengan cerita rahasia. Tapi itu yang bikin saya makin gregetan nontonnya. Soundtracksnya juga juara banget. Suka banget sama Eternal Love-nya MLTR dan You-nya Ben, pas dalam setiap momen yang ada. Oh ya ada satu hal lagi yang saya suka banget, yakni kedai kopi milik ayah Yong Shin serta kantor redaksi Someday. Keduanya bertolak belakang sebenarnya. Kedai kopinya dominan warna gelap, sementara kantor redaksinya dominan warna putih. Tapi sumpah cakep banget. Kulkasnya yang bermotif bendera Inggris juga juara, pengin nyari beneran yang jual dimana wkwk. Yah walau untuk adegan actionnya kelihatan banget kalau pakai stuntman.

Untuk eksekusi memang terasa agak cepat, gimana gitu dan kurang sreg sih. Tapi lumayanlah, nggak sad ending. Jadi nggak bikin mutung banget. 

Rabu, 10 Mei 2017

,
Judul: Saman
Penulis: Ayu Utami
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Gambar Sampul: Lukisan kaca oleh Ayu Utami
Tataletak Sampul dan Isi: Wendie Artswenda
Cetakan Ke-1: April 1998
Catakan Ke-31: Mei 2013
Tebal Buku: x + 205; 13,5 cm x 20 cm
ISBN: 978-979-91-0570-7
Rating: 3/5

Empat perempuan bersahabat sejak kecil. Shakuntala si pemberontak. Cok si binal. Yasmin si “jaim”. Dan Laila, si lugu yang sedang bimbang untuk menyerahkan keperawanannya pada lelaki beristri.

Tapi diam-diam dua di antara sahabat itu menyimpan rasa kagum pada seorang pemuda dari masa silam: Saman, seorang aktivis yang menjadi buron dalam masa rezim militer Orde Baru. Kepada Yasmin, atau Lailakah, Saman akhirnya jatuh cinta?

Sejak terbit bersamaan dengan Reformasi, Saman tetap diminati dan telah diterjemahkan ke delapan bahasa asin. Novel ini mendapat penghargaan dari dalam dan luar negeri karena mendobrak tabu dan memperluas cakrawala sastra. Karya klasik yang wajib dibaca.

****
Bercerita tentang Laila yang jatuh cinta pada salah satu pekerja rig bernama Sihar. Hubungan romansa keduanya diawali oleh ledakan yang terjadi di lokasi kerja, diakibatkan sesosok pria bernama Rosano. Ledakan yang menewaskan sahabat sekaligus mitra kerja Sihar itu membuat Laila yang kala itu hadir sebagai pers mengusahakan bantuan untuk Sihar. Ketidakadilan dalam penanganan kasus ini membuat mereka akhirnya bekerja sama (dalam balutan cinta juga), untuk memperjuangkan hak-hak yang mestinya dipertanggungjawabkan perusahaan dengan adil.

Hal itu kemudian menggiring mereka pada pertemuan dengan Saman, salah satu laki-laki pujaan hati Laila zaman SMP yang saat itu benar-benar sudah berubah dari yang terakhir Laila temui. Saman adalah seorang pastor dengan nama Wisanggeni yang oleh kekejaman rezim memutuskan menjadi aktivis dan meninggalkan kewajibannya sebagai pastor di dalam gereja. Masa lalu yang amat berat dan kejam membuat lulusan pertanian yang memutuskan menjadi pastor tapi lalu membantu para buruh karet itu mengubah cara pandangnya.

Sebenarnya agak bingung gimana cara nulis review-nya karena hingga pertengahan bab, segala hal yang saya dapatkan adalah ketidakmengertian. Saya selalu bertanya-tanya apa hubungan kisah cinta Laila pada suami orang dengan hidup salah satu pastor yang telah banyak mengalami hal gaib dalam hidupnya. Untunglah, kemudian saya memperoleh pemahaman yang pasti tentang kisah seperti apa yang sebenarnya dituturkan.

Sebelum membahas lebih jauh, saya akan sedikit membahas tentang genre novel ini. Novel yang terbit menjelang reformasi ini bergenre “sastra wangi”. Jadi, secara bahasa memang menggunakan kalimat yang vulgar dan berani. Kisah yang didalam juga sedikit banyak membuat saya paham bahwa buku ini beraliran feminis. Jadi, buku ini memiliki beberapa adegan dewasa yang dijabarkan dengan bahasa sastra. Kalau yang hanya baca selewat mungkin akan bertanya-tanya apa maksud kalimatnya. Bahasanya vulgar tapi diksinya indah. Selain itu, novel dengan genre sastra wangi ini memang membahas hal yang tabu terkait sexualitas.

Kalau dari sisi kisah dan pengalaman hidup tokoh-tokohnya, cerita Saman ini inspiratif. Bagaimana kisah Wisanggeni yang seorang pastor tidak keberatan mengaplikasikan ilmu pertanian yang ia pelajari di Lubukrantau. Bagaimana sosok ini mampu dan berani melawan rezim, juga berusaha membangkitkan kembali dusun yang hampir sudah tak punya nyawa untuk bernapas lagi. Pun kisah Laila yang berjuang keras bersama Sihar untuk menegakkan keadilan.

Agak kurang sreg dengan ending-nya, serasa tidak ada yang saya petik selain pengalaman positif dan pemikiran serta beberapa pemahaman akademisi yang dipaparkan Saman dalam buku hariannya. Walau begitu, ada satu pelajaran yang bisa saya petik yakni betapa kekejaman dan rezim yang terlalu over power bisa mengubah banyak hal. Tak hanya tatanan negara serta sistem hukum dan peradilan tapi juga pribadi dan cara pandang seseorang.

Oh iya ada satu hal yang mengganjal yakni kisah Ibu Wisanggeni yang anaknya meninggal berutut-turut. Saya jadi kayak baca novel horror atau hal-hal yang berbau jin. Nggak tahu juga sih apa memang demikian atau karena isi kepala saya yang kurang bisa memahami apa maksud yang sebenarnya.

Buku ini adalah buku pertama jadi saya rasa saya mesti baca Larung juga, siapa tahu pemahaman saya bisa diperbarui. Seperti menilai sesuatu yang jangan hanya dari satu sisi saja, karena buku ini masih ada kelanjutannya, jadi akan lebih bagus kalau memang dibaca dua-duanya. Dan juga, karena ini novel roman, saya pengin nyari tahu kelanjutan kisah empat sekawan Laila, Yasmin, Shakuntala dan Cok berikut kisah cintanya. Jujur aja, bagian Tala sedikit banyak mengusik rasa penasaran saya. Bagian favorit saya dalam buku ini adalah tentang Tala yang bertentangan dengan Bapaknya. Tapi, kalau memang dalam Larung tidak akan ada mereka lagi (jujur belum baca sinopsis atau resensinya), yah mungkin saya hanya perlu mengambil kesimpulan bahwa beberapa kisah cinta memang tidak memiliki ending, sekalipun itu terlarang.

Ada beberapa kutipan menarik yang saya ambil dari buku ini:
  1. Manusia berasal dari kosong dan kembali kepada kosong – hlmn 49
  2. Dan jin macam apakah yang kali ini menghuni botol jantungmu? – Shakuntala, hlmn 130
  3. Tak pernah ada yang salah dengan cinta. Ia mengisi sesuatu yang tidak kosong – hlmn 131
  4. Aku tak suka Sihar. Tapi temanku suka padanya. “Lupakan dia, Laila.” Tapi dia tidak mau melupakannya. Ya sudah. – Shakuntala, hlmn 136
  5. It is better to light the candle than just to curse the darkness – hlmn 183

Sabtu, 06 Mei 2017

,
Judul: 3 Srikandi
Sutradara: Iman Brotoseno
Produser: Raam Punjabi
Penulis: Swastika Nohara dan Iman Brotoseno
Distributor: MVP Pictures
Tanggal Rilis: 4 Agustus 2016
Negara: Indonesia
Bahasa: Indonesia
Pemeran:

Reza Rahadian sebagai Donald Pandiangan

Bunga Citra Lestari sebagai Nurfitriyana Saiman

Chelsea Islan sebagai Liles Handayani

Tara Basro sebagai Kusuma Wardhani

"Donald Pandiangan memecahkan rekor dunia pada PON 1977 di Jakarta dan kelak menjadi juara Asia di Kalkuta, India. Karena prestasi Donald Pandiangan, Indonesia berharap meraih medali pada Olimpiade 1980 melalui cabang olahraga panahan. Desember 1979, secara tiba-tiba Uni Soviet melakukan invasi ke Afghanistan. Gelombang protes terjadi di berbagai negara, termasuk Indonesia. Protes berlanjut hingga banyak negara memboikot Olimpiade Moskow pada tahun berikutnya. Indonesia ikut memboikot dan kehilangan kesempatan mendapat medali pertama pada ajang Olimpiade."

“Saya paling tidak suka kalau ada urusan politik dicampuradukkan dengan urusan olahraga – Donald Pandiangan”
Kehilangan kesempatan untuk berlaga di ajang olimpiade internasional karena pergolakan politik membuat Donald Pandiangan kecewa dan menghilang. Pada tahun 1988, olimpiade kembali diadakan di Korea Selatan. Hanya saja, untuk tim pemanah putri, tidak ada pelatih. Untuk itulah, Pandi kembali dicari. Awalnya ia sempat menolak, kekecewaannya masih sangat mendalam dan belum terobati. Tapi kemudian ia berubah pikiran dan setelah sesi latihan sekaligus seleksi nasional, terpilihlah tiga orang yang akan mewakili Indonesia di ajang bergengsi itu. Nurfitriyana Saiman dari Jakarta – saat itu masih bernama DKI Jayakarta, Lilies Handayani dari Jawa Timur dan Kusuma Wardhani dari Ujung Pandang (kini bernama Makassar). Sesi latihan ketat pun mulai dilakukan di Sukabumi.

****

Filmnya sangat bagus. Sejak awal nonton hingga akhir cerita saya nggak terserang rasa bosan sedikit pun. Petualangan 3 Srikandi Indonesia ini sungguh membuat saya terharu dan bangga. Bersyukur juga ada film ini, karena dengan begitu kita kita yang hidup di generasi sekarang setidaknya tahu bahwa Indonesia juga pernah punya atlet panahan yang membanggakan. Dan, nggak menutup kemungkinan hal ini akan membuka peluang baru atlet-atlet panahan baru. Indonesia juga pernah punya nama besar, siapa yang tidak bangga?

Harus diakui, kalau dalam bidang olahraga, yang paling banyak dikenal di Indonesia menurut saya hanya sepak bola dan bulu tangkis. Padahal, di tim basket, voli, dan kayak sekarang yang diangkat ke dalam layar lebar – panahan, Indonesia juga punya generasi berbakatnya. Buat saya pribadi, film ini dapat menjadi motivasi bagi para atlet Indonesia untuk nggak lelah berkarya dan mengharumkan nama bangsa. Bayangkan saja ikut olimpiade di Korea Selatan yang terkenal banget dengan atlet panahannya itu.

Setting filmnya juga bagus. Terasa tahun 80-annya, walau saya nggak lahir di zaman itu, tapi tetap rasanya berbeda dengan tahun 90-an apalagi abad 21 sekarang. Feelnya beda gitu. Karakternya juga juara, Tara Basro sukses banget deh jadi orang Makassar. Logatnya kental dengan tambahan mi, ki, dan lain-lainnya. Jujur saja, lihat akting dia bikin saya ingat teman saya yang orang Bugis dan memang sejak kecil tinggal di Makassar. Sama banget. Walau ada satu hal yang kurang, yakni yang jadi anggota keluarga Kusuma ada yang meleset logat Makassarnya. Yang paling jelas sih Mamaknya Kusuma. Orang Makassar kan kalo manggil orangtua perempuan pakai kata Mamak, nah ada satu scene dimana Mamaknya Kusuma ini kelepasan bilang Ibu.

Chelsea Islan juga nggak kalah keren. Medok jawanya bertahan dari awal film hingga akhir, nggak ada meleset. Karakternya juga lucu, ceplas-ceplos dan menggemaskan. Cantik juga :D

Begitupun BCL. Walau untuk aksen dia nggak terlalu sulit karena pakai logat Jakarta yang gue-elo gue-elo, tapi tetap seperti pada film-filmnya yang lain, ia tampil sangat memesona. Apalagi Abang Rezanya. Duh nggak nahan deh. Makin nge-fans saya. Karakternya yang keras karena berdarah Batak itu pas banget nggak lebih, nggak kurang. Logatnya juga. Yah kalau Reza Rahadian mah emang udah terkenal banget ya dalam dunia seni peran.

Unsur sinematografinya nggak begitu menonjol. Kayaknya untuk ajang olimpiadenya diselipin video yang bener-bener pas olimpiade dulu. Pas olimpiadenya udah mulai berasa sih kalau syutingnya dilakukan di Indonesia, tapi agak-agak ragu juga karena banyak bule, orang Korea juga atlet dari negara lain.

Ending-nya benar-benar mengharukan. Saya nggak malu untuk bilang kalau saya menangis terharu dan juga bangga dengan 3 Srikandi Indonesia. Oh iya selain kisah latihannya yang cukup keras dan sulit, ada juga satu kisah manis dari Lilies dan Deni yang terhalang oleh restu orang tua serta keseruan jalan-jalan dan menikmati akhir pekan ala pemuda tahun 80-an. Jadi, filmnya jadi nggak berasa kaku dan terlalu serius. Unsur komedinya nyenengin.

“Musuh terbesar seorang pemanah adalah dirinya sendiri – Donald Pandiangan”

Jumat, 05 Mei 2017

,
Sumber Gambar
Judul: Goblin – The Lonely and Great God
Sutradara: Lee Eung Bok
Penulis: Kim Eun Sook
Stasiun TV: tvN
Jumlah Episode: 16
Tanggal Rilis: 2 Desember 2016 – 21 Januari 2017
Bahasa: Korea
Negara: Korea Selatan
Pemain:

Kim Go Eun as Ji Eun Tak

Gong Yoo as Goblin/Kim Shin

Lee Dong Wook as Jeoseong-saja

Yoo In Na as Sunny

Yook Sung Jae as Yoo Deok Hwa

Bercerita tentang seorang Jendral bernama Kim Shin yang diberi kepercayaan oleh sang raja untuk menjaga satu-satunya keturunan kerajaan yang akan tersisa, Wang Yeo. Keluarga kerajaan yang terhormat telah disusupi sosok serakah yang akan meracuni lingkungan kerajaan. Namun, posisinya sebagai jendral yang berwibawa dan dihormati masyarakat ternyata menjadi boomerang bagi dirinya. Dengan hasutan penasihat raja yang munafik dan serakah, Wang Yeo – sang raja muda yang juga adalah adik ipar Kim Shin memerintahakan pembunuhan pada sang jendral beserta prajurit dan pengikutnya. Peristiwa itu pun menewaskan Kim Sun, adik Kim Shin yang sudah diperistri Wang Yeo.

Kematian yang berasal dari fitnah tersebut ternyata menjadi kutukan bagi Kim Shin. Pedang yang diberikan raja padanya lalu ternyata kemudian digunakan untuk menusuk jantungnya sudah terlalu banyak memakan korban. Dan atas izin sang dewa, Kim Shin terlahir kembali sebagai Goblin.

Kim Shin dikutuk menjadi immortal. Tidak ada yang dapat memutus keabadian hidupnya kecuali pengantinnya, yang tidak diketahui dimana rimbanya. Beratus-ratus tahun menunggu, akhirnya penantian panjang itu menemui titik terang. Kim Shin akhirnya bertemu dengan pengantinnya, gadis remaja berusia sembilan belas tahun yang dapat melihat hantu dan hal-hal gaib lainnya. Termasuk jeoseong-saja atau Malaikat Maut. Tapi, ternyata hal selanjutnya tidak berjalan semulus yang dibayangkan.

Ji Eun Tak adalah salah satu orang yang pernah lolos dari kematian. Oleh sebab itu, keberadaannya di bumi dianggap sebagai suatu kesalahan. Jadi, gadis itu sudah berahun-tahun dicari sang malaikat maut untuk dipertemukan dengan takdir awalnya yakni kematian. Eun Tak terus-terusan dikejar kematian. Beruntung, keberadaan Goblin Ahjussi menolongnya. Malaikat maut tidak bisa mendekatinya dan menyakiti apalagi mencabut nyawawaya karena ia adalah pengantin sang goblin.

Waktu berlalu, Eun Tak dan Kim Shin pun semakin dekat. Namun, meski Eun Tak adalah pengantinnya, kehadirannya di bumi semata-mata ditakdirkan untuk membunuh Kim Shin. Jika takdir itu tidak dilaksanakan, maka dialah yang akan terbunuh.

****

Drama komedi romantis yang menyedihkan. Kok bisa komedi tapi sedih? Memang sudah begitu alurnya. Dilihat dari situasi Eun Tak dan Kim Shin sudah bisa dipastikan mereka terlibat hubungan asmara. Kisah cinta mereka lucu, karena disini Eun Tak adalah gadis remaja berusia belasan yang masih manja sementara Kim Shin berperawakan tiga puluhan tapi sudah hidup ratusan tahun. Banyak adu argumen yang terjadi, tapi rata-rata bikin ngakak dan senyum sendiri.

Kehadiran Malaikat maut dan permusuhannya dengan Kim Shin juga bikin komedinya makin berasa. Apalagi saat mereka harus tinggal satu atap gara-gara ulah Yoo Deok Hwa – cucu dari salah satu pengikut Kim Shin yang sudah mengabdi pada sang goblin dari generasi ke generasi. Makin lengkap deh. Pokoknya saya paling suka kalau Kim Shin, malaikat maut, dan Deok Hwa sudah ngumpul bertiga. Dijamin ketawa puas karena kekonyolan tingkah mereka.

Selain kisah cinta Eun Tak dan Kim Shin, kita juga akan disuguhkan kisah cinta yang cukup tragis dan mengedihkan antara Sunny dan Kim Woo Bin. Walau demikian, tetap ada hal lucu juga yang terjadi di antara mereka.

Konsep utama dan ide cerita dalam drama ini memang tidak masuk akal. Apalagi sudah berkaitan dengan malaikat maut dan hal-hal yang berkaitan dengan reinkarnasi. Tapi saya menyadari, makhluk goblin dan hal-hal yang menyertainya sepertinya sudah menjadi cerita legenda atau cerita lama rakyat Korea.

Hingga sekita episode kelima atau enam saya agak mikir ini dramanya hanya akan berputar pada komedi dan status Eun Tak juga keabadian sang goblin? Tapi ternyata setelahnya saya justru dapat kejutan yang lumayan bikin seneng. Ceritanya ternyata lebih kompleks dari sekedar kisah cinta. Ada beberapa pesan tersirat juga yang bisa kita petik dalam drama ini, walau mungkin nggak akan ditemukan jika kita berpatokan pada ide cerita yang nggak masuk akal dan penalaran logika.

Karakter yang ada dalam cerita ini hampir semua saya suka, punya ciri khas masing-masing yang unik dan mengesankan. Tapi, saat udah di atas episode 13 say didera kebosanan. Entah kenapa eksekusi ceritanya terasa kurang pas dan aneh. Yah walau sebenarnya kalau pakai dasar yang amat dipercaya para tokoh dalam drama: hidup ada empat fase, akan terasa masuk akal. Tapi tetap saja, saya nggak sreg sama penyelesaian cerita Kim Shin dan Eun Tak. Masih mending kisah Woo Bin dan Sunny, yah walau nggak masuk akal juga sih.

Soundtrack drama ini menurut saya bagus-bagus dan boleh jadi temen duduk yang enak apalagi kalau sambil baca buku.