Catatan harian yang semakin renta dan tua

Senin, 11 Februari 2019

,
Sumber Foto
Judul: Witch at Court
Genre: Drama Hukum
Pembuat: KBS Drama Production
Negara: Korea Selatan
Bahasa: Korea
Produser Eksekutif: Ji Byung-hyun, Kim Jong-shik, Song Jae-joon
Produser: Choi Jun-ho, Seo Byung-chul
Kamera: Single-camera
Durasi: 60 menit per episode
Rumah Produksi: iWill Media
Distributor: Korean Broadcasting System
Jaringan Penyiar: KBS2
Tanggal Rilis: 9 Oktober 2017
Pemain:

Jung Ryeo-won as Ma Yi-deum (Sumber Foto)



Yoon Hyun-min as Yeo Jin-wook (Sumber Foto)
Setelah dinyatakan bebas dari tuduhan kekerasa seksual yang dilakukan Cho Gap Soo, Kwak Young Shil sebagai salah satu korban yang menyimpan bukti kejahatan laki-laki itu pun menghubungi Min Ji Sook, jaksa yang menangani kasus tersebut. Ia hendak memberikan satu-satunya bukti kuat yang dapat membuat Cho Gap Soo terjerat hukum tindak pidana. Namun sayang, pertemuan tersebut tidak berjalan sesuai yang diharapkan. Kwak Young Shil menghilang sebelum sempat bertemu Min Ji Sook dan Cho Gap Soo dapat menjalankan hidupnya dengan normal lalu 20 tahun kemudian hendak mencalonkan diri sebagai calon walikota Youngpal.

Sementara itu, setelah sekian lama melakukan pencarian terhadap ibunya namun tidak membuahkan hasil, Ma Yi Deum, putri Kwak Young Shil memutuskan untuk menjadi jaksa. Perjalanan karier Ma Yi Deum bisa dikatakan cukup lancar, namun karena tidak mau menutupi tindak pidana yang dilakukan Kepala Jaksa, Ma Yi Deum pin dipindahkan ke Unit Pidana Terhadap Wanita. Di unit ini, ia bertemu dengan seorang jaksa bernama Yeo Jin-wook yang merupakan mantan psikiater, juga Min Ji Sook yang hingga 20 tahun berlalu, masih menyelidiki kasus kekerasan seksual di tahun 1997 serta kasus raibnya Kwak Young Shil sebagai saksi kunci kasus tersebut.

****

Drama ini adalah drama bergenre hukum yang berfokus pada tindak pidana pelecehan dan kekerasam seksual. Topik ini menurut saya menarik sekali untuk diikuti karena fokus materinya yang dalam beberapa drama detektif dan hukum lainnya selalu memuat kisah tentang pembunuhan. Awalnya, saya mengira bahwa drama ini beraliran feminis, jelas saja apalagi lihat dari temanya. Namun ternyata, kasus kekerasan seksual yang dimaksud disini bukan hanya kekerasa seksual atau pelecehan terhadap perempuan saja namun juga terhadap laki-laki. Meski memang porsi tindak pidana kekerasa seksual terhadap wanita lebih banyak. Kekerasan terhadap laki-laki dalam drama ini hanya satu sih, tapi cukup membantah asumsi feminis seperti yang saya buat di awal-awal menonton.

Dramanya keren. Mengusung tema hukum tidak lantas membuat ceritanya jadi kaku. Justru ada bumbu komedi yang sangat menghibur dan bisa dikatakan sebagai intermezzo di tengah kasus-kasus pelik yang ditangani Ma Yi Deum dan kawan-kawannya. Karakter Ma Yi Deum juga unik disini. Sejak kecil ia adalah gadis yang ceplas-ceplos, ceria, dan tidak pantang menyerah. Kehilangan ibunya tidak lantas membuat karakter dan sifatnya berubah. Ia tetap Ma Yi Deum yang 'parah'. Ia lucu, kadang sok tahu, punya sifat buruk apalagi dalam hal memperjuangkan kasusnya. Namun, seiring berjalannya cerita, hal itu berubah ke arah yang baik sehingga tidak menjadikannya tokoh yang menyebalkan. Sementara Yeo Jin wook adalah mantan psikiater yang cenderung tenang, kalem, tampan dan selalu punya banyak pertimbangan dalam melakukan sesuatu termasuk saat melaksanakan investigasi. Tipe pria idaman gitulah.

Unsur romansanya ada, namun tidak terlalu mencolok. Cuma sedikit, tapi manis kalau menurut saya. Saya suka interaksi Yi Deum dan Jin Wook dalam menunjukkan perasaan masing-masing. Drama ini juga dijamin bisa membuat penonton tegang dan jengkel terutama pada karakter Cho Gap Soo. Tapi walau demikian, aktingnya patut diacungi jempol. Juara deh kalau soal karakter antagonisnya. Punya ciri khas juga. Dramanya rekomen buat pencinta drama Korea

Selasa, 05 Februari 2019

,
Sumber Foto
 Judul: Insya Allah Sah
Sutradara: Benni Setiawan
Produser: Manoj Punjabi
Penulis: Benni Setiawan
Musik: Aghi Narottama, Bemby Gusti
Perusahaan Produksi: MD Pictures
Tanggal Rilis: 25 Juni 2017
Negara: Indonesia
Bahasa Indonesia
Pemeran:
Pandji Pragiwaksono as Raka
Titi Kamal as Silvi
Richard Kyle as Dion
Donita as Kiara
Ferdy Taher as Tommy
Joe P Project as Jody
Budi Dalton as Dony
Budi Arab as Ipank
Ira Maya Sopha as Tante Sinta
Tanta Ginting as Polisi Sabar Ikhlas
Deddy Mizwar as Ayah Silvi
Prilly Latuconsina as Silvi
Marcella Zalinaty as Istri Pejabat
Happy Salma as Anna
Fitri Tropica as Manajer Gedung Wanita
Lydia Kandou as Ibu Silvi
Bayu Skak as Anto
Gary Iskak as waria
Arie Untung as Andi
Ardit Erwandha as driver ojek online
Karina Suwandi as Mama Dion
Alexa Key as Diah

Credit: Wikipedia 

Suatu hari, saat Silvi berkunjung ke kantor Dion, kekasihnya, ia terjebak di dalam lift bersama seorang laki-laki aneh yang doyan berdakwah, Raka namanya. Dan, namanya orang kena musibah, secara otomatis Silvi jadi ingat Tuhan, di samping memang ada Raka yang tergolong sebagai seseorang yang religius. Di dalam lift yang mati, Silvi pun bernadzar.
"Ya Allah jika Engkau memberikan hamba kesempatan hidup, hamba janji akan menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Hamba nggak akan minum alkohol lagi. Hamba akan memberikan sebagian penghasilan ke anak yatim. Hamba akan shalat dan puasa. Jika hamba diberikan kesempatan hidup lagi, hamba berjanji akan menaati perintahMu dan menjauhi laranganMu, dan hamba berjanji akan menjadi muslimah yang soleha."
Setelah itu, lift pun terbuka, Silvi dan Raka selamat, dan ia sukses dilamar Dion di depan karyawan-karyawan kantornya. Tapi ternyata, kesialan Silvi tidak berhenti hanya pada lift mati. Persiapan pernikahannya bersama Dion justru mengalami hal yang lebih parah, banyak hambatan, tentu juga kemunculan Raka yang lebih sering mengekori hidupnya sejak ia mengucapkan nadzarnya.

Film ini adalah film bergenre drama-komedi plus religi. Karena meskipun banyak hal-hal konyol di dalam, film ini juga mengandung niai syi'ar dan tausiyah kalau menurut saya pribadi. Walaupun syi'ar tersebut hanya datang dari Raka sebagai reminder bagi Silvi. Reminder tak diinginkan yang lebih sering terasa mengganggu.

Cerita yang paling dominan mengisi film berdurasi satu jam lebih sekitar 20 menit ini adalah persiapan pernikahan Silvi dan Dion dan berbagai tetek bengeknya. Yang paling menonjol adalah pengurusan gedung pernikahan yang selalu tidak bisa sesuai dengan tanggal cantik yang sudah mereka tentukan. Jadi semacam reminder juga sebenarnya buat kita bahwa menikah itu nggak gampang. Mempersipkan pernikahan adalah waktu yang teramat krusial bagi dua orang yang berencana menikah. Ada saja hambatan, ada saja godaan, yang seolah menjadikan pernikahan itu sebagai sesuatu yang nggak seharusnya terlaksana. Soalnya terlalu banyak cobaannya, jadi kayak mungkin nggak jodoh makanya nggak pernah ada yang berjalan mulus. Dan, dari sinilah mental pasangan tersebut diuji.

Tapi, walau ceritanya banyak porsi tentang mengurus pernikahan, main idea film ini bukan pada proses menuju pelaminannya Dion Silvi. Lebih kepada menunaikan janji. Makanya saya bilang kalau filmnya juga bergenre religi. Raka, sebagai salah satu karyawan Dion, adalah seseorang yang amat religius dalam kesahariannya. Dan, karena ia menjadi saksi nadzar dan janji Silvi saat terjebak di lift, ia menjadi punya kewajiban untuk mengingatkan Silvi akan janji tersebut. Ada banyak pesan-pesan keagamaan yang disampaikan dalam film ini. Baik secara tersirat, maupun secara gamblang disebutkan dengan mengutip beberapa ayat dalam Al-Qur'an.

Saya suka filmnya. Suka banget malah. Nggak hanya mengibur tapi juga memberikan manfaat bagi penontonnya. Satu pesan penting yang amat ditekankan dalam film ini; bahwa menepati janji itu wajib hukumnya, dan mengingatkan janji orang lain juga memiliki kedudukan yang sama. Karena sejatinya, ketika mengucap janji, kita sudah membuat kesepakatan tak tertulis untuk berbisnis dengan Tuhan. Dan, hukumnya wajib untuk ditepati. 
,
Sumber Foto
Judul: Kartini
Sutradara: Hanung Bramantyo
Produser: Robert Ronny
Skenario: Hanung Bramantyo, Bagus Bramanti
Cerita: Robert Ronny
Musik: Andi Rianto, Charlie Meliala
Sinematografi: Faozan Rizal
Penyunting: Wawan I. Wibowo
Perusahaan Produksi: Legacy Pictures, Screenplay Films
Tanggal Rilis: 19 April 2017
Durasi: 122 Menit
Negara: Indonesia
Bahasa: Bahasa Jawa, Bahasa Belanda, Bahasa Indonesia
Pemain:
 Dian Sastrowardoyo as Raden Adjeng Kartini
Neysa Chan as Raden Adjeng Kartini Kecil
Deddy Sutomo as Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat
Christine Hakim as M.A. Ngasirah
Nova Eliza as M.A Ngasirah Muda
Djenar Maesa Ayu as Raden Adjeng Moeriam
Acha Septriasa as Roekmini
Ayushita as Kardinah
Reza Rahadian as Sosrokartono
Adinia Wirasti as Soelastri
Denny Sumargo as Slamet
Dwi Sasono as Raden Adipati Joyodiningrat
Rianti Cartwright as Wilhelmina

Credit: Wikipedia

Film ini adalah film biografi yang mengangkat kisah salah satu pahlawan perempuan Indonesia Raden Adjeng Kartini. Menceritakan latar belakang kehidupan Kartini sejak ia masih kecil hingga kemudian mendirikan sekolah gratis bagi perempuan dan orang-orang miskin.

Raden Adjeng Kartini adalah putri Bupati Raden Mas Adipati Sosroningrat bersama seorang perempuan bernama Ngasirah. Mengikuti adat dan budaya Jawa, Kartini sebagai perempuan tidak diwajibkan untuk menempuh pendidikan. Ia hanya perlu berada di rumah sampai saatnya nanti dipingit lalu kemudian dipinang oleh lelaki sebagai istri pertama, kedua, ketiga, atau bahkan seterusnya. Kartini pun demikian. Bersama saudara-saudaranya Kardinah dan Roekmini, mereka pun menjalani pingitan. Namun, sifat pemberontak yang sudah ada pada dirinya sejak ia masih kecil tetap tertanam hingga ia beranjak remaja bahkan dewasa.

Sebelum berangkat menempuh pendidikan di luar negeri, salah satu kakak laki-laki Kartini yang bernama Sosrokartono meninggalkan beberapa buku yang akan membuat Kartini melihat dunia luar bahkan tanpa perlu meninggalkan kamar pingitannya. Dari sinilah keinginan Kartini untuk belajar dan menempuh pendidikan bermula. Lewat buku yang ditinggalkan Sosrokartono, ia mampu menatap dunia yang tidak pernah ada dalam bayangannya selama ini.

 Film ini adalah film beraliran feminis. Selain penekanan terhadap tokoh utamanya, dalam hal ini Raden Adjeng Kartini sendiri, film ini juga memuat kisah tentang memperjuangkan hak-hak perempuan. Memang, dalam hal ini, budaya yang amat ditekankan adalah budaya Jawa, mengingat Raden Adjeng Kartini sendiri adalah seorang wanita berdarah Jawa. Hanya saja, meski belum pernah mendengar kisah tentang perjuangan hak perempuan terutama dalam menempuh pendidikan dan mendapat tempat serta kedudukan yang sama di dalam bermasyarakat dalam budaya saya, tetap saja saya berterima kasih sekali kepada Raden Adjeng Kartini. Karena, jika melihat sekeliling, meski mungkin sudah tidak nampak, pada beberapa lapisan masyarakat, hak perempuan masih menjadi hal yang tabu. Walau tidak lagi seperti dulu, tetap saja kita masih bisa menemukan pembatasan-pembatasan tingkat bagi perempuan dalam menempuh pendidikan; contoh paham yang mengatakan bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi atau tidak perlu menempuh pendidikan hingga ke perguruan tinggi karena ujung-ujungnya akan menjadi ibu rumah tangga juga. Oleh karena itu, film ini seperti memberi rasa kesyukuran yang teramat bagi saya, karena kini, saya bisa bersekolah tanpa dibatasi di jenjang pendidikan tertentu saja.

Namun demikian, perjalanan Kartini, kalau dilihat dari flm ini, tidak sepenuhnya berjalan hanya karena usahanya sendiri saja. Memiliki Ayah seorang Bupati yang paham pendidikan, serta Ibu yang meski tidak sekolah tinggi, namun berpandangan luas, menjadi keuntungan tersendiri bagi Kartini untuk memperjuangkan impiannya. Terlebih, sang suami yang kemudian melamarnya juga tidak keberatan. Walaupun memang ada banyak hambatan yang ia temui sebelumnya.

Film ini cukup menguras air mata. Para pemerannya juga juara sih, bisa dibilang bertabur bintang. Berisi aktor dan aktris yang memang sudah malang melintang di industri perfilman. Secara kesleuruhan, film ini tidak hanya menceritakan tentang perjuangan hak perempuan namun juga mengajak kita semua untuk memahami pentingnya pendidikan. Seperti kata Ayah Kartini, suatu saat pasti akan ada perubahan, dan kita yang harus memulainya. Salah satu caranya, meski secara tersirat dijelaskan adalah dengan memberikan dan mencari pendidikan. Secara tidak langsung pula, pendidikan yang dimaksud bukan hanya pendidikan formal yang dapat kita temui di bangku sekolah, tapi juga pendidikan yang bisa kita dapatkan dan usahakan sendiri yakni dengan memperbanyak membaca.

Film ini menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa utamanya. Dan, saya terkesan sekali dengan akting para pemainnya terutama Dian Sastro. Saya nggak bisa bahasa Belanda, tidak bisa menilai apa bahasa Belandanya fasih atau nggak, tapi saya suka. Rasanya juga malah tertarik buat belajar. Dijajah selama kurang lebih 450 tahun, kayaknya sih adalah hal yang wajar kalau ikut mempelajari bahasanya juga. Karena sudah barang tentu, ada sejarah bangsa kita yang ditulis dalam Bahasa Belanda.

Kemdudian, karena pada zamannya pendidikan memang masih diberikan oleh orang Belanda, jadi dapat kita lihat juga bahwa ada aliran modern yang masuk ke dalam kisah Kartini ini. Tapi, satu pertanyaan Ngasirah terhadap Kartini menjadi nasihat yang begitu baik untuk kita ambil.

"Ilmu apa yang sudah kamu pelajari dari aksara Londo?"
"Kebebasan."
"Dan apa yang tidak ada dalam aksara Londo?"
"Nil tidak tahu."
"Bakti..." 
Menjadi pesan yang teramat jelas bahwa sejauh apa pun kita menuntut ilmu, setinggi apa pun ilmu itu kita junjung, kita tidak boleh melupakan budi pekerti dan nilai-nilai luhur yang sudah ditanamkan sejak lama. 

Minggu, 03 Februari 2019

,
Sumber Foto
Judul: Crazy Rich Asians
Produser: Nina Jacobson, Brad Simpson, John Penotti
Skenario: Peter Chiarelli, Adele Lim
Berdasarkan: Kaya Tujuh Turunan oleh Kevin Kwan
Musik: Brian Tyler
Sinematografi: Vanja Cernjul
Penyunting: Myron Kerstein
Perusahaan Produksi: SK Global Entertainment, Starlight Culture Entertainment, Color Force, Ivanhoe Pictures, Electric Somewhere
Distributor: Warner Bros. Pictures
Tanggal Rilis: 7 Agustus 2018 (TCL Chinese Theatre), 15 Agustus 2018 (Amerika Serikat), 11 September 2018 (Indonesia)
Durasi: 120 menit
Negara: Amerika Serikat
Bahasa: Inggris
Pemain:

Constance Wu as Rachel Chu
Sumber Foto

Henry Golding as Nicholas Young
Sumber Foto

Crazy Rich Asians adalah sebuah film yang diangkat dari novel karya Kevin Kwan yang berjudul Kaya Tujuh Turunan. Berkisah tentang Rachel Chu, seorang profesor di bidang ekonomi yang masih sangat muda. Ia cantik, cerdas, dan berpacaran dengan Nicholas Young atau yang akrab disapa Nick, pewaris utama kekayaan keluarga Young yang sudah terkenal di berbagai belahan dunia. Awalnya, Rachel tidak tahu tentang identitas Nick yang sebenarnya sampai tiba saatnya Nick membawa serta Rachel pulang ke Singapura untuk menghadiri pernikahan sahabatnya.

Sebagai gadis cantik yang juga cerdas, Rachel tidak menemui kesulitan dalam memperkenalkan diri atau pun berbaur dengan keluarga Nick. Hanya saja, sejak perkenalan pertama, Rachel sudah dapat mendeteksi bahwa ibu kandung Nick tidak menyukainya, dengan alasan Rachel 'terlalu Amerika' untuk Nick. Selain penolakan secara halus dari ibu kandung Nick, Rachel juga tidak disukai banyak teman-teman Nick terutama di kalangan para gadis. Ia memang pantas dicemburui, tapi bukan hal itu yang menjadi masalah utama. PR yang ditemu profesor cantik ini begitu tiba di Singapura adalah bagaimana cara mendapatkan restu dari orangtua Nick.

Secara konflik, konflik dalam film ini sudah amat lazim dan banyak ditemukan dalam banyak cerita-cerita film lain, buku, FTV, drama Korea, bahkan sinetron di Indonesia. Ketika wanita biasa menjalin hubungan dengan lelaki kaya raya sejak zaman nenek moyangnya, maka yang akan menjadi kendala dalam hubungan mereka adalah restu. Mata duitan sudah barang tentu akan melekat sebagai nama belakang si wanita. Dalam film ini, karena Rachel adalah wanita kuat, cerdas dan berpendidikan, ditambah lamanya ia menjalani kehidupan dalam dunia modern, hal itu justru menjadi tantangan, bukan hambatan. Dan, buat saya ini yang menjadikan film ini menarik dan asyik buat ditonton. Nick dan Rachel tidak main kucing-kucingan dengan orangtua Nick. Ia juga tidak merasa terintimidasi ataupun berkecil hati hingga bersedih dengan perlakuan teman-teman Nick yang di luar batas. Bisa dibilang, Rachel menjadi karakter favorit saya dalam film ini.

Kemudian, karena film ini mengambil cerita yang condong dengan budaya dan ras tertentu, dalam hal ini China, beberapa budaya juga masih diselipkan. Dan juga fakta, bahwa dimana-mana beberapa paham konvensional memang masih sangat melekat dalam diri manusia. Di Indonesia contohnya, paham bahwa perempuan tidak perlu memliki pendidikan tinggi karena ujung-ujungnya juga akan menjadi ibu rumah tangga masih banyak dianut oleh beberapa orang. Walaupun memang paham tersebut terbantahkan dengan fakta bahwa tingkat kecerdasan pada anak sebagian besar diturunkan dari ibunya, sehingga sang ibu sebagai sekolah pertama bagi anaknya, wajib memiliki pendidikan. Dalam film ini, penolakan terhadap Rachel Chu yang sebenarnya sangat ideal sebagai seorang ibu, selain menghormati keluarga calon suaminya dan mencintai Nick, ia adalah seorang profesor ekonomi di usianya yang masih sangat muda, adalah alasan bahwa ia 'terlalu Amerika'. Ibu Nick meninggalkan kuliahnya di bidang Hukum agar bisa membantu suaminya mengelola perusahaan, sementara Rachel dianggap tidak akan mampu mengikuti jejak tersebut, karena terlalu Amerika, terlalu liberal, terlalu modern pemikirannya dan mungkin terlalu berpendidikan. Jadi, bisa kita lihat, bahwa tidak hanya di Indonesia, paham dan pemikiran konvensional juga masih berlaku di negara lain.

Selanjutnya, karena filmnya bercerita tentang laki-laki kaya yang jatuh cinta dengan wanita biasa saja, bintang yang paling bersinar dalam cerita ini mungkin adalah Nicholas Young, si pria kaya dengan banyak penggemar di mana-mana. Jadi, kehidupan yang ditunjukan, walau tidak terlepas dari paham konvensional yang saya sebutkan di atas, adalah kehidupan glamor penuh kemewahan. Dan itu juga tercermin dari teman-teman Nick. Unsur sinematografi dalam film ini juga membantu banget dalam menampakkan hal tersebut.

Secara keseluruhan, saya suka banget sama ceritanya, sama filmnya, dan jadi super pengen baca novelnya juga. Filmnya seru, ada sedikit komedinya juga dan sudah pasti romantis dan asyik untuk dinikmati. Satu hal yang saya petik dari buku ini; jadilah perempuan yang cerdas dan tangguh dalam menghadapi penolakan. Dan ketika kita ditolak oleh seseorang karena kecerdasan dan ketangguhan yang kita miliki, tidak perlu bersedih. Karena sudah pasti mereka yang akan menyesal nanti.
,
Sumber Foto
Judul: Brother of The Year
Pengarah: Witthaya Thongyooyong
Penerbit: Jira Maligol, Vanridee Pongsittisak
Penulis: Witthaya Thongyooyong, Nontra Kumwong, Tossaphon Riantong, Adisorn Trisirikasem
Penyunting: Vijjapat Kojiw, Thammarat, Sumethsupacok
Tanggal Rilis: 10 Mei 2018 (Thailand), 28 Juni 2018 (Malaysia)
Durasi: 128 Menit
Negara: Thailand
Bahasa: Thailand, Inggris, Jepang
Pemain:

Urassaya Superbund as Jane
Sumber Foto

Sunny Suwanmethanon as Chut
Sumber Foto
Nickhun as Moji
Sumber Foto
Film ini menceritakan tentang kakak beradik Chut dan Jane yang sejak kecil selalu bertolak belakang dalam hal kecerdasan. Sejak masih di bangku sekolah, Jane selalu lebih unggul daripada Chut, kakak laki-lakinya. Setelah menyelesaikan pendidikannya di luar negeri, Jane kembali ke Thailand dan bergabung dengan salah satu perusahaan iklan dimana Moji yang diperankan oleh Nickhun juga bekerja di sana. Namun, setelah terpisah kurang lebih 4 tahun, Chut dan Jane kembali bersinggungan dalam hal ini dalam bidang pekerjaan. Perusahaan tempat Chut bekerja adalah salah satu perusahaan yang mengajukan tender iklan di perusahaan tempat Jane dan Moji bekerja.

Sejak lama tidak kompak. Chut dan Jane selalu mengalami konflik. Konfliknya masih tergolong biasa saja sebenarnya, tapi menjadi berbeda ketika Chut mengetahui hubungan Moji dan Jane. Chut tidak merestui mereka berpacaran, apalagi sampai menikah.

Satu lagi film komedi Thailand yang saya tonton. Jujur saja, film komedi Thailand selalu menjadi favorit saya sejak lama. Bukan hanya karena kisahnya yang unik, tapi tingkah konyol karakter-karakter di dalamnya juga sangat menghibur.

Akan tetapi, dalam film ini kekonyolan itu agak terasa kurang. Memang komedinya tetap ada dan tetap bercita rasa Thailand, hanya saja, konflik keluarga dalam hal ini konflik Jane dan Chut lebih mendominasi. Jadinya, porsi dramanya agak terasa lebih dominan. Selain itu, karakter Moji yang dibuat sebagai pria keturunan Jepang yang mengharuskan beberapa percakapan menggunakan bahasa Jepang bikin filmnya jadi kayak kurang enak untuk dinikmati. Saya nggak bisa bahasa Jepang sih, tapi, karena saya juga salah satu penikmat anime akhirnya jadi agak merasa kalau bahasa Jepang yang digunakan dalam film ini terdengar kaku dan tidak fasih.

Meski begitu, saya suka dengan bagaimana kasih sayang antara Chut dan Jane. Tertutup oleh pertengkaran demi pertengkaran sejak kecil, mereka seolah seperti tikus dan kucing. Namun demikian, tidak peduli bagaimana menyebalkannya Chut, Jane tetap menyayanginya. Begitu pun tidak peduli seberapa mengintimidasinya Jane dengan kemampuan dan kecerdasan yang ia miliki sebagai seorang adik perempuan, Chut tetap peduli padanya. Ini menjadi semacam pesan tersirat kepada penonton bahwa seburuk apapun hubungan kita dengan saudara kita, percayalah, sesungguhnya mereka adalah orang yang paling peduli terhadap diri kita.