Catatan harian yang semakin renta dan tua

Minggu, 18 Februari 2018

,
Judul Buku: The Forbidden Wish
Penulis: Jessica Kirby
Penerbit: Spring an Imprint of Penerbit Haru
Penerjemah; Mustika
Pemeriksa Bahasa: Orinthia Lee
Penyunting: Novianita
Proofreader: Titish A.K.
Desainer Sampul: Junweise
Penata Sampul: @teguhra
Cetakan Pertama: Maret, 2017
Tebal Buku: 404 hlmn; 20 cm
ISBN: 978-602-60443-3-4
Rating:


Gadis itu adalah Jinni terkuat dari semua jin.
Pemuda itu adalah pencuri jalanan.

Saat Aladdin menemukan lampu Zahra, gadis itu dilontarkan kembali ke dunia yang tidak dilihatnya selama ratusan tahun. Kemerdekaannya yang terikat pada lampu mengharuskannya untuk memenuhi tiga permintaan Aladdin.

Namun, saat raja dari para jin menawarkan kebebasan kepada Zahra, gadis itu mengambil kesempatan itu, hanya untuk menyadari bahwa dia jatuh cinta pada pencuri jalanan itu.

Saat kemerdekaannya hanya bisa diarih dengan mengkhianati Aladdin, jalan manakah yang akan dia pilih? Apakah kebebasannya sepadan dengan kehancuran hatinya?

****
Aladdin adalah seorang pencuri jalanan dan ia berhasil mencuri sebuah cincin dari Pangeran Darian, putra Penasihat Raja Negeri Parhenia. Namun, setelah 'menjadi miliknya' cincin itu terus saja berbicara. Ia meminta Aladdin untuk mencari sesuatu. Sesuatu yang tidak Aladdin tahu. Tapi, cincin itu dengan suaranya berhasil menuntun Aladdin. Ke tengah padang pasir, ke reruntuhan sebuah kota. Kota yang amat kuno tapi juga teramat megah. Kota itu memiliki taman yang tak tertandingi keindahannya. Tapi, bukan keindahan taman itu yang menarik Aladdin. Melainkan sebuah lampu, lampu jin. Lampu dengan jin yang akan mengabulkan tiga permohonan.

Namanya Zahra, tapi Aladdin lebih sering memanggilnya Asap. Untuk ukuran jin, Zahra terlalu cantik. Ia lebih terlihat sebagai seorang putri. Zahra akan mengabulkan 3 permintaan Aladdin, apa pun itu. Akan tetapi, di tengah perjalanan mereka untuk mewujudkan tiga permintaan tersebut, Zahra tergodal oleh tawaran kebebasan dari Nardhuka, Raja shaitan dan jin. Kebebasannya akan ditukar dengan kebebasan Zhian yang ditangkap oleh manusia. Zahra harus menemukan Zhian yang artinya ia harus mengkhianati Aladdin.

Kisah Aladdin dan lampu ajaib udah lama saya kenal tapi belum pernah benar-benar baca. Novel The Forbidden Wish ini adalah cerita remake dari kisah kuno tersebut. Dan, dari awal baca udah menikmati banget. Diksinya indah, terjemahannya bagus, ceritanya menarik. Jujur aja, nggak bisa bikin perbandingan apakah ada banyak bagian dalam cerita asli yang diubah, berapa banyak yang ditambahkan karena belum pernah baca kisah asli sebelumnya. Tapi, buku ini saya rekomendasikan banget buat para pencinta cerita dengan genre mitos dan kisah-kisah kuno.

Yang saya apresiasi banget dari buku ini adalah fakta bahwa penulisnya sampai mempelajari jin dan shaitan dalam kajian Islam karena Islam memang mengakui keberadaan jin dan makhluk gaib sejenisnya (Saya baca fakta ini dari hasil wawancara penulisnya dengan salah satu blogger yang pernah berkesempatan untuk wawancara sekaligus meresensi buku ini). Walaupun jin yang saya tahu hanya ifrit dan shaitan, di buku ini saya jadi ada tambahan pengetahuan seperti mengenal jin maarid dan ghul. Nggak tahu sih apa deskripsi sosok jinnya memang seperti yang digambarkan dalam buku ini.

Ceritanya asyik dan seru banget. Menegangkan. Setiap lembar demi lembarnya saya selalu dibuat khawatir jika penyamaran Aladdin dan Zahra di istana Parthenia terbongkar sebelum waktunya, sebelum Zhian ditemukan. Dibuat gemas juga dengan unsur romansa yang ada, berbeda dengan kisah roman yang biasanya bikin gemes cowoknya karena nggak peka, disini yang ngeselin justru si Zahra cantik. Pertimbangan Zahra masuk akal sih tapi tetep aja gemes-kesel-gondok gimana gitu. Pokoknya, baca ini tuh kita jadi diajak berimajinasi akan kota Parthenia, keindahan istana Raja, bentuk-bentuk jin, gregetan, khawatir, bahkan mesem mesem baper manja. Tapi, sayang banget menjelang bab terakhir saya nggak bisa menikmati bukunya dengan baik. Bukan karena bukunya jelek, tapi terlalu khawatir aja bukunya berakhir sad ending, padahal mah enggak. Buku ini jadi salah satu buku yang berpihak dengan manis pada pembaca yang cinta akhir bahagia ^_^

Senin, 12 Februari 2018

,

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bekerja adalah /be·ker·ja/ v 1 melakukan suatu pekerjaan (perbuatan); berbuat sesuatu: ia ~ di perkebunan2 mengadakan perayaan nikah dan sebagainya: ketika ~ mengawinkan anaknya, aku tidak diundangnya;~ bakti melakukan suatu pekerjaan, baik secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri dengan suka rela untuk kepentingan umum: sebulan sekali warga desa diharuskan ~ bakti~ sama melakukan (melaksanakan) suatu kegiatan atau usaha (perniagaan dan sebagainya) yang ditangani oleh dua orang (pihak) atau lebih: orang tua dan guru harus ~ sama mencegah perkelahian antarpelajar. 

Sementara bagi saya pribadi, bekerja adalah tuntutan, adalah suatu cara terbaik yang dapat dilakukan manusia demi bertahan hidup di dunia. Oleh karenanya, ketika takdir membawa saya bekerja di salah satu perusahaan pertambangan di timur Indonesia, rasanya luar biasa lega. Bagi anak yang selama ini sudah terlalu banyak merepotkan orang tua, terlepas dari tali bernama beban itu indah banget rasanya. Namun, bagaimana ketika sesuatu yang kita lakukan demi menyambung napas dan mengisi perut ini bertemu dengan idealisme? Masih bisakah kita merasa lega, atau justru merasa bersalah? Pada impian "akan menjadi apa" di masa kecil yang pupus sudah. Atau pada pemikiran dan cara pandang orang lain terhadap kita. Pada kalimat "bekerja jika tidak sesuai minat mending mati saja".

Saya pribadi jujur saja sangat nggak suka dengan banyak statement yang bilang bahwa orang kerja kantoran belum tentu bahagia. Karena, nggak ada tolak ukur pasti definisi bahagia itu seperti apa. Yang bisa memutuskan bahagia atau tidaknya seseorang adalah dirinya sendiri, bukan idealisme. 

Untuk ritme kerja, jujur saja, selama kerja di tambang tekanannya cukup besar. Pertama, tambang tuh nggak ada yang di perkotaan, beberapa bahkan dibangun dan berproduksi di pedalaman. Secara otomatis, penyedia angkutan umum masih sedikit. Jadi, harus bawa kendaraan sendiri kalau nggak mau ribet nunggu bus perusahaan yang nyaris selalu penuh dan sempit, atau nebeng ke orang dengan resiko telan malu bulat-bulat. Kedua, masalah disiplin. Kerja di tambang tuh nggak ada kayak di kantoran yang kalau telat bisa bikin alasan macet atau tiba-tiba sakit perut dan harus bolak-balik kamar mandi selama dua jam. Bos nggak akan mau tahu, yang jelas siap-siap terima surat teguran atau bahkan peringatan. Tambang yang beroperasi 24 jam juga menyebabkan jam kerja karyawan 'dirasa' nggak beraturan. Ada yang masuk pagi pulang sore, sore pulang malam, malam pulang pagi, atau bahkan ada yang masuk pagi pulang pagi lagi. Dan, ini bikin saya dapat label 'pemburu dollar'. Memang beberapa kalimat yang dilontarkan cuma bahan bercandaan, tapi setelah dipikir-pikir lagi, julukan itu kok jelek banget, ya? Itu baru satu jenis tempat kerja. Gimana yang lainnya, ya?

One day, saya pernah ditanya apa saya bahagia, apa saya nyaman dengan pekerjaan saya. Ketika saya jawab belum bisa menilai karena belum lama kerja, si penanya bilang 'mau gaji gede juga kalau nggak nyaman ya mending sih nggak usah.' Saya jadi bertanya-tanya, nggak nyaman ini dalam hal apa? Karena lingkungan pekerjaannya, tekanan kerjanya, suasana kerjanya, risiko yang harus ditanggung karena kerjanya (misal harus jauh dari orang tua dan nggak pulang selama berbulan-bulan), atau karena nggak sesuai passion dan imipian?

Saya menulis ini bukan sebagai upaya menunjukkan bahwa saya bahagia, atau saya besar gajinya. Saya menulis ini hanya karena gemes aja. Sama yang bilang kerja kantoran belum tentu lebih bahagia daripada yang kerja di rumah, yang kerja besar gajinya belum tentu lebih bahagia dari yang bergaji kecil, atau yang kerja nggak sesuai passion-nya itu nggak bahagia. Karena asal tahu saja, untuk bekerja di tempat seseorang berada sekarang, nggak akan bisa diuangkan seberapa banyak usaha dan apa aja yang udah dilalui. Untuk bisa berada di posisi saat ini, kita nggak tahu siapa yang sedang seseorang itu berusaha bahagiakan. Mungkin kita ngelihatnya terbebani banget. Tapi kita nggak tahu seberapa ikhlas orang tersebut dalam pekerjannya.

Saya pribadi, iya kerjanya siang dan malam. Tapi, setelah dipikir dan dilihat lebih jauh lagi, kerjaan saya nggak jelek-jelek amat kok. Saya ditempatkan di klinik perusahaan di bagian Asuransi Kesehatan. And I come to think about it, I realize that I save people. Nyelamatin pasien dari beban membayar biaya kesehatan yang nggak murah. Jadi, ada sisi positifnya, bukan melulu ngejar duit.

Pemburu dollar, workaholic, Si Gila Kerja, itu semua julukan yang menurut saya bernada negatif. Kesannya mengejar uang terus. Tapi, layaknya seorang Ayah yang kelelahan seharian kerja hingga nggak bisa menemani anaknya main di rumah, mereka yang lagi kerja walaupun nggak sesuai passion ini sebenarnya lagi berusaha untuk berbahagia. Dengan cara yang ada, dengan cara yang saat ini mereka punya. Jadi, kalau lihat ada orang yang kerja dari pagi sampai pagi lagi, stop stop deh bilang pemburu dollar. Cobalah sesekali untuk melihat sesuatu nggak selalu dari sisi yang terlihat.

Jumat, 09 Februari 2018

,

Dinding-dinding itu kokoh. Tinggi seperti tak berujung. Kupandang ke atas, yang ada hanya gelap. Di depan pun gelap. Satu-satunya cahaya hanya obor kecil yang kini kugenggam. Seperti labirin. Orang-orang bilang, jangan menjauh dari dinding jika tidak ingin tersesat. Kuraba sisi kananku, tidak ada apa-apa. Sementara sisi kiri, yang menyentuh kulit hanya angin. Gawat. Sepertinya aku tidak mempraktikkan  nasehat itu dengan benar. Panik. Takut. Seketika aku berlari namun ada suara yang mengikuti. “Mati...mati...,” katanya. Aku diburu. Aku akan dibunuh!

Di salah satu sudut Rumah Sakit Jiwa, Laila menjerit. Ia tersesat dan akan mati di tangan arwah wanita yang ditebasnya karena cemburu
,
Judul Buku: A Man of Pure Love
Penulis: Hong Ban Ya
Terbit Pertama Kali: Korea, Shin Young Media Service, Inc
Penerjemah: Primastuti Dewi
Penyunting: Arumdyah Tyasayu
Proofreader: Seplia
Penerbit: Haru Media
Cetakan Pertama: Oktober, 2016
Cetakan Kedua: Desember, 2017
Tebal Buku: 492 hlmn; 20 cm
ISBN: 978-602-7742-98-7
Rating:

Yoon Do Jin.
Umur 28 tahun. Penyanyi dan pencipta lagu. Mantan anggota idol. Bertubuh tinggi dan berwajah tampan. Dijuluki 'Anjing' karena sifat yang sombong dan perilaku yang brutalnya sudah dikenal luas. Hanya sedikit yang tahu bahwa Yoon Do Jin bertekuk lutut di hadapan seorang wanita bernama Lee Jin Su.

Lee Jin Su.
Umur 28 tahun. Wartawan majalah entertainment  murahan. Penampilannya sering polos tanpa riasan dengan kacamatanya berbingkai tebal dan rambut dikeriting kecil-kecil. Sama sekali tidak feminin. Mantan ketua geng anak-anak di lingkungan rumahnya.

Mereka bukan kekasih, tapi juga tidak mau disebut teman.
Bertengkar bila bertemu, tapi tidak bisa menjauh.

Hubungan aneh yang sudah berjalan selama delapan belas tahun itu mulai retak ketika seorang anggota grup idol Yoon Do Jin tiba-tiba hadir ke dalam kehidupan mereka lagi, menguak satu per satu rahasia yang pernah terkubur dalam-dalam.

****

Yoon Do Jin adalah seorang mantan anggota idol yang sukses membangun karir solonya sebagai penyanyi dan pencipta lagu. Sayang, kesuksesannya tidak diiringi dengan sikap dan sifat yang baik. Perangai buruknya sudah  banyak dikenal, tapi meski demikian ia tetap disukai banyak orang. Di antara orang-orang tersebut ada seseorang bernama Lee Jin Su, sahabat masa kecil Do Jin yang selalu mampu menjungkirbalikkan dunia lelaki itu.

Lee Jin Su adalah seorang wartawan majalah entertainment yang akrab dengan kehidupan para artis. Ia pun menjadi bagian dari para 'pembobol privasi' artis-arti di Korea. Tapi ia bersahabat dengan Yoon Do Jin, artis pembuat masalah yang doyan bikin heboh. Entah apalagi yang harus ia lakukan agar Do Jin tak berlaku seenaknya. 

Hari-hari Jin Su yang sudah direpotkan oleh Do Jin pun bertambah 'semarak' dengan kehadiran mantan anggota idol Boys Be, maknae dalam grup Do Jin dulu dengan fakta bahwa Yoon Do Jin amat membencinya. Yoon Do Jin dan In Young Ha, mereka menyukai wanita yang sama; Lee Jin Su.

****

Awal baca, agak aneh karena jujur ini pertama kalinya baca novel Korea terjemahan yang memang benar-benar ditulis oleh orang Korea asli. Dan langsung ngeh kalau sastra Korea amat berbeda dengan sastra Indonesia kalau ujung penilaiannya lewat gaya penulisan buku ini. Kalau menurut saya pribadi, buku ini tuh kayak sinopsis per episode dalam setiap drama Korea yang kita temui. Diksi kurang, lebih dominan percakapan. Penjelasan latar juga amat sedikit. Nggak banyak yang bisa diingat.

Tapi, kendala-kendala di atas terbayarkan dengan imajinasi yang entah bagaimana caranya amat membantu saya dalam memvisualisasikan adegan-adegan dalam buku ini. Mungkin karena saya juga salah satu penyuka drama Korea, adegan-adegan yang ada juga jatuhnya kayak drama Korea. Beberapa dialog pun kadang saya ganti dengan bahasa Korea yang saya tahu dan ternyata kayaknya akan lebih asyik kalau baca versi aslinya. Sayang, bahasa Korea saya terbatas jadi itu nggak memungkinkan. Cuma, terjemahannya enak kok. Enak banget malah untuk dibaca.

Materi yang diangkat juga menarik. Memang sih, kehidupan idol Korea sepertinya memang sudah jadi santapan publik. Belum label memiliki yang kadang dilekatkan oleh para penggemarnya terhadap idolanya masing-masing. Tahu sendiri, kan kalau fans di Korea tuh ganas-ganas. Bahkan beberapa lebih ganas dari haters yang ada di Indonesia. Buku ini menunjukkan hal itu banget. Yang paling menarik adalah kolaborasi antara manajemen para artis dan juga majalah-majalah entertainment. Wartawan memang menjadi sosok yang paling dihindari para artis dalam industri hiburan Korea. Sekali berskandal, ancaman karir tamat di depan mata. Tapi nggak menyangka juga kalau dalam beberapa hal dua pihak yang saling 'berselisih' ini bisa saling melengkapi satu sama lain. Bagaimana peran media dalam industri hiburan Korea ditampakkan banget disini.

Endingnya memukau. Asyik banget pas baca. Baper juga. Pokoknya suka!