Catatan harian yang semakin renta dan tua

Kamis, 05 November 2015

,
Sumber Gambar
Gue tahu kalian pasti nggak bertanya-tanya sama sekali kenapa postingan kali ini guw kasih judul pake bahasa inggrisnya kata ingat dalam bahasa indonesia plus tanda kutip. Meski begitu, gue akan tetap kasih tahu apa alasannya karena ini akan jadi bahasan.

Jadi gini, tadi gue dengerin radio gitu (sebagai informasi ini adalah salah satu kegiatan favorit gue buat 'membunuh' waktu). Di radio itu - sebut aja Radio Mawar lagi bawain topik. Topiknya tentang bulan ketigabelas. Jadi kita para listener ditanya kalo misal dalam setahun itu ada tigabelas bulan, cocoknya dikasih nama apa? Gue awalnya bingung. Apa ya kira-kira? Gue nggak mau mengambil keputusan mainstream dengan menjawab kasih nama kayak nama gue. Jadi, gue berpikir keras. Dan di kepala gue tercetus ide untuk ngambil huruf yang akan membentuk kata alias nama dari bulan ketigabelas itu dari duabelas bulan yang sudah ada. Tapi, kok kesannya maksa banget?

Jadi, gue mutusin untuk nggak gabung aja di topik itu. Eh tapi, si Ilham kesayangan gue tiba-tiba bisikkin kalau cocoknya bulan ketigabelas itu diberi nama 'Remember'. Kenapa remember? Karena nama itu diharapkan dapat membuat kita sebagai manusia jadi lebih bisa mengingat dan meresapi. Apa yang diingat? Segala hal yang telah terjadi selama duabelas bulan terakhir. Ya bisa dikatakan bulan buat intropeksi diri. Apalagi setelah bulan ketigabelas itu ketemu tanggal 29, 30, atau 31, kita bakal ketemu sama tahun baru.
Walaupun sebenarnya ide ini nggak mudah. Ya iyalah. Geger dunia kalo setahun yang biasanya cuma 365 hari jadi 395 atau bahkan 400 hari? Tatanan waktu jadi kacau dan amburadul. Lagian ide ini emang aneh juga sih (tapi jangan salahin gue. Salahin aja radio yang ngasih topiknya) karena berkat mereka gue jadi berimajinasi yang nggak masuk akal.

Selain ide yang sangat cukup dan memadai dengan mustahil untuk diwujudkan ini, setelah gue pikir-pikir barusan, akan ada nggak enaknya juga kalo bulan ini ada. Karena bisa dipastikan akan banyak gagal move-on-er yang tercipta di bumi ini. Setahun sekali harus mengenang, mengingat dan meresapi kenangan indah bersama mantan. Yang ada bukan move on tapi makin berharap segala hal indah itu terulang. Seketika lupa aja gitu kalo hal indah itu adanya di awal doang, ke belakangnya pahit tapi tetep aja mau ngulang =D

Minggu, 01 November 2015

,
Sumber
Riri meletakkan ranselnya di tempat tidur. Dipijatnya kakinya yang terasa pegal. Berjalan kaki sejauh 12 kilometer memang tidak mudah, apalagi harus melewati kaki gunung, perkebunan dan sungai. Ia dan teman-temannya sedang berada di Kampung Cibeo, salah satu Kampung Suku Baduy Dalam, Banten. Sebagai seorang blogger traveler, jalan-jalan adalah salah satu kegiatan favorit Riri dan untuk postingan blognya edisi minggu depan, ia berencana untuk membahas Suku Baduy Dalam, suku yang masih memegang erat adat istiadat dan tidak menerima budaya luar.

Meski begitu, kedatangan mereka disambut dengan baik. Mereka diberi izin untuk mengeksplorasi kehidupan sehari-hari para penduduk Kampung Cibeo, menginap di rumah Pu'un - pimpinan Kampung, selama beberapa hari dan juga diizinkan untuk ikut ke Arca Domas, tempat pemujaan lelembut atau roh halus.

Sebelum memulai aktivitas, Riri memutuskan untuk membersihkan diri terlebih dahulu. Riri bangkit dan berjalan menuju sungai yang sudah ditentukan bisa digunakan untuk mandi bagi pendatang. Riri berjalan melewati pintu depan (rumah orang Suku Baduy tidak memiliki pintu belakang). Akan tetapi, baru beberapa langkah ia berjalan, sesosok bayangan putih tiba-tiba melintas dari arah kanannya. Bulu kuduk Riri meremang seketika. Hari memang sudah sore dan cuaca yang mendung serta tidak adanya pencahayaan bola lampu membuat rumah jadi terasa mencekam.

Digiring oleh rasa penasaran, Riri memutar arah, mencoba mencari tahu bayangan apa yang melintasinya. Matanya hanya bisa membelalak terkejut mendapati seorang permpuan dengan rambut panjang dan wajah penuh darah menatapnya dengan marah! Kuntilanak!

Perlahan, Riri berjalan mundur! Napasnya memburu! Digigitnya bibir kuat-kuat untuk menghalau teriakan. Kuntilanak itu mengikutinya hingga ia tersudut. Kemudian kuntilanak itu tersenyum dengan sangat menyeramkan. Dari giginya yang tanggal beberapa, keluar darah kental hitam berbau busuk. Kakinya tidak menapak di tanah dan baju panjangnya juga penuh noda darah. Ia hendak mencekik Riri!

Riri sudah hampir pipis di celana ketika didengarnya seseorang menegurny, "Teh Riri!"
,
Sumber
Vien melompat turun dari Tuk Tuk. Ia sudah sampai di Khaosan Road, jalan pendek yang berada di daerah Banglamphu, salah satu surga bagi para pelancong terutama backpacker yang berkunjung ke Thailand. Ia berjalan menelusuri Khaosan Road yang sudah ramai dan mulai memilih-milih kerajinan tangan. Matanya tertuju pada salah satu miniatur becak Thailand dengan bahan dari besi cor tembaga dan kuningan. Akan tetapi, perhatiannya tiba-tiba saja teralih oleh kehadiran gadis kecil cantik yang berdiri tak jauh darinya dan seolah memperhatikannya. Diberinya gadis itu sebentuk senyum yang sayangnya tidak dibalas. Dengan canggung, Vien kembali memilih kerajinan tangan.

Vien berlalu ke penjual lukisan. Lukisan gajah yang menangis. Dan, Vien kembali melihat gadis itu, kali ini ia memperhatikan lukisan gajah tadi dengan wajah sedih.

Ke penjual buku, ia kembali mendapati kehadiran gadis kecil itu. Berdiri tak jauh darinya dan menatapnya dengan pandangan penuh kemarahan. Vien mulai merasakan adanya keganjilan. Mencoba mengabaikan, Vien terus berjalan dari penjual satu ke penjual lainnya, melupakan kehadiran gadis kecil itu. Setelah itu, ia mampir di Masjid Chakrabongse di gang Trok Surao untuk melaksanakan shalat maghrib.

Sehabis shalat, Vien bersiap menuju ke Stasiun Hualamphong. Keretanya menuju Chiang Mai dijadwalkan berangkat jam 7 malam. Namun lagi-lagi, gadis itu muncul. Berdiri di depan salah satu bar, memperhatikannya! Dengan cepat, Vien berjalan keluar dari Khaosan Road, menyetop taksi menuju stasiun.

Pukul dua belas siang. Vien bernapas lega. Akhirnya ia tiba di Chiang Mai. Ia akan bertolak langsung ke Doi Pui - desa tradisional di Chiang Mai, mengunjungi sahabatnya. Sepanjang perjalanan, Vien benar-benar tidak bisa tenang. Gadis itu terus mengikutinya.

Sesampainya di Doi Pui, Vien disambut oleh Idam - sahabatnya yang menetap sementara untuk penelitian etnik Chiang Mai, di rumah tinggalnya. Alangkah terkejutnya Vien saat mendapati gadis kecil itu juga berada disana. Di salah satu pigura!

"Namanya Ice, anak pemilik rumah. Dia meninggal dua tahun lalu!"