Catatan harian yang semakin renta dan tua

Jumat, 18 Agustus 2017

,

Judul Buku: Mati, Bertahun yang Lalu
Penulis: Seo Tjen Marching
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama
Cetakan Pertama: Oktober 2010
Setting oleh: Fitri Yuniar
Vector Image dari: Shutterstock.com
ISBN: 978-979-22-6345-9
Rating: 2/5

"Aku sudah mati bertahun-tahun yang lalu. Namun tak seorang pun telah menguburku, karena mereka belum tahu. Padahal aku sudah mati tidak hanya sekali, tapi dua kali..."
Seorang karyawan klinik bedah plastik tiba-tiba mati di meja kerjanya. Namun energi jiwanya tak padam sehingga ia selalu kembali ke dunia kehidupan. Padahal, ia sendiri sudah lelah untuk terus hidup. Saat berusaha mencari mati yang sesungguhnya, ia dihadapkan pada kenyataan-kenyataan yang mengejutkan dan anehnya "menghidupkan". Apa yang terjadi pada dia sebenarnya?

****

Lewat sinopsis, buku ini menawarkan petualangan seru. Tapi, setelah baca, sayang sekali saya harus mengatakan bahwa nyaris tidak ada yang dapat saya ambil darinya. Memang, untuk gaya penulisan, bukunya keren. Terlihat sekali kecerdasan penulisnya dalam bidang filsafat dan bahasa sastra. Tapi, selain itu, buku ini terbaca hanya seperti tuangan monolog panjang dari seseorang yang amat pesimis dengan kehidupn. Lewat tulisan ini, pembaca seolah 'dipermainkan oleh kata-kata yang nyaris sama tapi memiliki makna berbeda'. Namun, lagi-lagi yang menjadi sama dengan dari setiap teori dan kisah hidup yang ada adalah kepesimisan.

Saya tidak menemui pengulasan tentang bagaimana pekerjaan karyawan klinik bedah plastik, kecuali penjelasan bahwa bos sang tokoh dapat memalsukan banyak hal.

Kemudian, sang tokoh aku disini tidak membahas hidupnya, melainkan hidup orang-orang yang pernah bersinggungan dengannya. Dengan kata lain, tokoh utama dalam buku ini seolah tidak mendapatkan perannya sebagai tokoh melainkan sebagai pencerita. Saya juga tidak menemukan adanya korelasi pembahasan tentang peristiwa Mei Kelabu saat Presiden Soeharto masih memimpin Indonesia dengan kisah yang ada dalam buku ini. Rasanya aneh, ketika membaca buku yang hanya menampilkan lebih banyak 'kebobrokan' yang diakhiri dengan kepesimisan. 

Konsep hidup dan mati memang dijelaskan tidak sesederhana kata hidup dan mati itu sendiri. Tapi, yah itu saja. Sorry to say.

Rabu, 16 Agustus 2017

,
Judul Buku: Go Set A Watchman
Penulis: Harper Lee
Diterjemahkan Dari: Go Set a Watchman
Terbitan: Penguin Random House, 2015
Copyright: © Harper Lee 2015
Hak Terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia: Penerbit Qanita
Penerjemah: Berliani Mantili Nugrahani & Esti Budihabsari
Penyunting: Tim Redaksi Qanita
Proofreader: Emi Kusmiati
Desainer Sampul: Glenn O'Neill
Ilustrator Sampul: Getty Images & iStockphoto
Penata Sampul: Dedi Rosadi
Digitalisasi: Ibn' Maxum
Edisi Digital: September 2015
Penerbit: Penerbit Qanita
ISBN: 978-602-1637-88-3
Rating: 4/5

"Go Set a Watchman mempertanyakan beberapa hal penting yang justru disamarkan dalam To Kill a Mockingbird. Menghibur, lucu, tapi lugas dan jujur."
__Ursula K. Le Guin, penulis The Earthsea Cycle

Dua pulih tahun lalu, Jean Louise menyaksikan Atticus, sang Ayah, membela Negro di pengadilan Maycomb County. Kini, Jean Louise menyadari bahwa Maycomb dan sang Ayah ternyata tak seperti yang dia kira selama ini, dan dia pun bukan Scout yang polos lagi.

Go Set a Watchman adalah naskya pertama yang diajukan Harper Lee kepada penerbit sebelum To Kill a Mockingbird, yang memenangi Pulitzer. Setelah 60 tahun dianggap hilang, naskah berharga ini ditemukan pada akhir 2014. Terbitnya Go Set a Watchman disambut animo luar biasa. Buku ini terjual lebih dari 1,1 kopi di minggu pertama, memuncaki daftar bestseller di Amerika selama 5 minggu berturut-turut dalam 1,5 bulan, dan mengalahkan penjualan Harry Potter serta 50 Shades of Grey. Go Set a Watchman, warisan berharga Harper Lee, penulis Amerika paling berpengaruh pada abad ke-20.

****

Buku ini adalah seri kedua dari To Kill a Mockingbird. Menceritakan kisah 20 tahun setelah pembelaan yang diberikan Atticus Finch kepada salah seorang Negro yang dituduh melakukan pemerkosaan terhadap orang kulit putih. Di sini, Jean Louise Finch sudah dewasa, 26 tahun tapi masih susah disuruh menggunakan korset. Tidak banyak perubahan yang terjadi padanya kecuali fisik, ia pun masih memuja dan menempatkan Atticus sebagai teladannya. Sayang, dalam buku ini Jeremy Finch atau Jem, kakak Scout tidak ada lagi kecuali dalam bentuk ingatan masa kecil yang Scout miliki. Saya rasa, dalam kasus ini penulis sengaja "membunuh" Jem supaya Go Set a Watchman dapat memiliki unsur kisah cinta. Dill, teman sepermainan Scout dan Jem yang tinggal di rumah Miss Rachel juga tidak muncul lagi. Nggak masalah sih, karena saya juga tidak mengidolakan Dill dalam buku sebelumnya, tapi kehadiran Henry Clinton sebagai teman masa kecil Scout juga laki-laki yang berniat mempersuntingnya jujur saja agak terasa aneh.

Karena di buku pertama, Dill-lah yang membangun unsur romansa anak-anak dengan Scout, sementara Hank sama sekali tidak disinggung.

Materi yang diangkat dalam buku ini agak sedikit berbeda dengan yang ada dalam To Kill a Mockingbird. Jika sebelumnya Atticus Finch membela Negro, kini ia "berbalik melawan" ketika para nigger sudah mulai mendapatkan sedikit tempat dalam masyarakat, khususnya di Maycomb County. Negro tetap dianggap sampah oleh banyak orang kulit putih, tapi Atticus tidak, namun ia tidak setuju apabila mereka turut campur terlalu banyak dalam sistem pemerintaha. Inilah yang menjadi pemicu konflik batin yang dialami Scout serta menumbuhka rasa marah dan kecewanya terhadap Atticus. Ayahnya dulu membela Negro, tidak membedakan warna kulit dan terjebak isu rasialis, lantas kenapa kini ia berubah? Mengecewakannya atas bentuk keadilan yang dulu dicekoki ke dalam kepalanya, membuat Calpurnia tidak  memandangnya dengan cara yang sama.

Sejujurnya, untuk buku seri kedua ini saya mengalami permasalahn objektivitas dalam memberikan penilaian. Menurut sudut pandang Scout, orang-orang negro adalah manusia jadi tidak ada masalahnya jika mereka ikut andil dalam bidang pemerintahan. Mereka berhak diberi kesempatan setelah sekian lama selalu berdiri sebagai jajaran kasta terendah dalam dunia manusia, terutama di mata orang-orang kulit putih. Tapi, menurut Atticus, tidak ada yang salah untuk berteman dengan orang-orang kulit hitam, satu sekolah dengan mereka, tapi ketika dengan bekal pendidikan tak memadai mereka memaksa untuk turut serta mengambil kebijakan atau menyentuh tatanan hukum suatu negara, maka itu harus dicegah. Tapi, dari sini saya bisa menarik kesimpulan bahwa Harper Lee berpihak pada Atticus. Go Set a Watchman memperlihatkan sisi yang berlawanan dengan To Kill a Mockingbird. Alasan Atticus memang masuk akal, seseorang harusnya menggeluti kesibukan yang ia kompeten di bidang tersebut, hanya saja, ketika mengambil contoh yang dekat - di tanah Papua sana, keterbelakangan pendidikan yang tidak hanya terjadi akibat orang-orangnya, namun pemberian fasilitas pendidkan yang belum merata, membuat saya bertanya-tanya atau mungkin berprasangka bahwa orang-orang kulit hitam, di mana saja, seolah ditekan agar tidak berkembang. Opini Atticus benar, tapi saya tidak bisa berpihak padanya layaknya paman Jack. Begitu pun dengan Scout, saya akui prinsip dan idealismenya memang mendekati atau bahkan sudah fanatik seperti yang paman Jack katakan, sikapnya yang mendewakan Atticus pun juga bukan hal yang dapat saya setujui karena lagi-lagi seperti yang dikatakan paman Jack, Atticus jugs manusia.

Mungkin pembaca akan selalu menarik kesimpulan dan pelajaran yang berbeda dari To Kill a Mockingbird maupun Go Set a Watchman.

Sabtu, 12 Agustus 2017

,
Judul Buku: To Kill A Mockingbird
Diterjemahkan dari: To Kill A Mockingbird karya Harper Lee terbitan J. B. Lippincott & Co., 1960
Terbit: 1960
Hak Terjemahan Bahasa Indonesia: Penerbit Qanita
Penerjemah: Femmy Syahrani
Penyunting: Berliani Mantili Nugrahani
Proodreader: Emi Kusmiati & Dina Savitri
Desainer Sampul: Glenn O'Neill
Ilustrator Sampul: Getty Images & Istockphoto
Penata Sampul: Dodi Rosadi
Digitalisasi: Ibn' Maxum
Edisi Kesatu, Cetakan I: Maret 2006
Edisi Kedua, Cetakan I: April 2008; Cetakan VII, Agustus 2009
Edisi Ketiga, Cetakan I: Oktober 2010
Edisi Keempat, Cetakan I: September 2015
Edisi Digital: September 2015
Diterbitkan Oleh: Penerbit Qanita
ISBN: 978-602-1637-87-6
Rating: 4/5

NOVEL TERBAIK ABAD KE-20
__Library Journal

"Kalian boleh menembak burung bluejay kalau bisa, tapi ingat, kalian berdosa apabila membunuh burung mockingbird."

Hidup Scout dan Jem berubah saat ayah mereka menjadi pembela seorang kulit hitam. Ketika Atticus membela seorang yang dianggap sampah masyarakat, kecaman pun datang dari seluruh penjuru. Novel ini menunjukkan betapa prasangka seringkali membutakan manusia. Dan keadilan hanya dapat dihadirkan dari rasa cinta yang tak membedakan latar belakang.

To Kill a Mockingbird, tonggak sastra dunia yang tak lekang oleh zaman. Memenangi Pulitzer Prize, terjual lebih dari 40 juta kopi di seluruh dunia, diterjemahkan dalam berbagai bahasa, dan diadaptasi ke dalam film pemenang Academy Award, To Kill a Mockingbird dianggap sebagai buku paling berpengaruh dan paling laris pada abad ke-20.

"Karya besar Harper Lee --- favorit saya sepanjang masa." 
___ Oprah Winfrey

****

Masalah rasisme di negeri Barat yang terkenal tidak hanya yang ada pada zaman Adolf Hitler saja. Sudah jadi fakta umum bahwa di tanah Amerika, orang-orang negro pada zaman sebelum pengesahan Nobel Perdamaian tidak mendapatkan tempat di tanah mereka sendiri. Rendahnya tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan orang-orang kulit hitam di zaman itu dianggap sampah dan didera bermacam kesulitan; kemiskinan, kelaparan dan juga mengalami masalah kesehatan yang memprihatinkan. Dan itulah yang diangkat penulis dalam buku ini.

To Kill a Mockingbird menceritakan kesenjangan ekonomi yang terjadi antara orang-orang kulit hitam dan orang-orang kulit putih. Saya tidak bisa menebak secara pasti tahun berapa karena tidak disebutkan. Tapi, bagi yang mempelajari sistem dan perubahan hukum disana yang digunakan dalam buku ini pasti dapat mengetahuinya secara jelas. Buku ini menggunakan latar Alabama, tempat penulis dilahirkan.

Penulisannya menggunakan sudut pandang orang pertama tunggal, dalam hal ini Jean Louis Finch atau yang lebih dikenal sebagai Scott. Karena Scott diceritakan dalam sosok anak kecil, beberapa kali saya sempat bingung saat hendak menangkap maksud yang ia sampaikan. Sedikit banyak Scott mengingatkan saya pada sosok Salva dalam buku Di Tanah Lada karya Ziggy Z, walau dalam karakter dan kecerdasan Ziggy dan Salva jelas punya perbedaan yang kentara. Namun karena semuanya sama-sama polos tapi cerdas, tak urung saya jadi teringat Salva juga

Buku ini memuat demikian banyak penyakit hati yang selama ini menggerogoti manusia secara terang-terangan namun seolah belum disadari. Prasangka dalam setiap karakternya ada di sana-sini. Prasangka Scott dan Jem terhadap Atticus, prasangka masyarakat terhadap keluarga Redley dan putra mereka, prasangka Miss Stephanie Crawford terhadap banyak hal yang terjadi, terutama prasangka orang-orang kulit putih terhadap para nigger.

Buku ini sebenarnya adalah bacaan yang ringan di luar pola pikir Scott yang terkadang membingungkan untuk gadis seusianya, namun karena konflik yang diangkat bertema kemasyarakatan dan isu rasisme yang hingga kini mungkin saja masih banyak dipraktikkan, buku ini jadi sangat worth untuk dibaca. Semacam reminder terhadap siapapun yang sudah membacanya untuk tidak sembarangan memberikan penilaian terhadap sesuatu. Adegan favorit saya adalah pada saat persidangan. Atticus Finch dan sikapnya menjadi salah satu hal yang patut dicontoh.

Minggu, 06 Agustus 2017

,
Judul: Reply 1988
Nama Lain: Answer Me 1988, Respond 1988
Genre: Keluarga, komedi, romansa
Penulis: Lee Woo-jung
Sutradara: Shin Won-ho
Pemeran: Lee Hyeri, Park Bo-gum, Ryu Jun-yeol, Go Kyung-pyo, Lee Dong-hwi

Kamis, 03 Agustus 2017

,
Judul Buku: Tuhan untuk Jemima
Penulis: Indah Hanaco
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama
Editor: Gita Savitri
Perwajahan Isi: Ayu Lestari
Perwajahan Sampul: Shutterstock & Mulyono
ISBN: 978-602-03-1660-4
Rating: 4/5

Jemima, gadis gelisah yang merindukan Tuhan, tapi tidak tahu harus mencari ke mana. Diberi kebebasan memilih agama, Jemima malah makin bimbang. Apalagi sederet tragedi sedang mengintai gadis itu dan keluarganya.

Kenneth, pria belia yang sangat tahu apa yang diinginkannya dalam hidup ini, sibuk berjuang untuk kelestarian lingkungan hidup. Saat menyaksikan paus-paus kesayangannya dibantai, dia memutuskan tidak memercayai keberadaan Tuhan adalah keputusan yang paling cerdas.

Kala keduanya bertemu di Selandia Baru, negara cantik berangin dengan berjuta keajaiban, otak dan hati mereka seolah diadu. Di antara keindahan pohon rimu, di antara pertarunga hidup dan mati, serta tamu khusus berwajah cahaya, akankah mereka menemukan hidayah-Nya?

****

Jemima adalah seorang gadis belia yang lahir dari keluarga campuran. Ibunya beragama Islam, sementara Ayahnya beragama kristen. Ia bersama kakaknya, Ashlyn, diberi kebebasan untuk memilih agama mana pun yang mereka sukai dan yakini. Ashlyn, sang kakak sudah mantap ikut ayahnya, tapi Jemima masih bimbang akan menyembah Tuhan yang mana. Sebuah tragedi memilukan dan tak terduga tiba-tiba menimpa keluarga Damarys. Ashlyn mengalami kecelakaan fatal yang menyebakan nyawanya tak tertolong. Di saat itulah, Jemima mulai merasakan kebutuhannya akan Tuhan. Ia tak tahu harus mengadu pada siapa di saat kepergian Ashlyn ternyata juga ikut menyerap kebahagiaan dibrumahnya. Mama dan papanya teramat berduka, hingga terasa tak lagi memperhatikannya. Untuk itu, Jemima butuh Tuhan, tapi Tuhan yang mana?

Demi menenangkan hati, Jemima memutuskan untuk berlibur. Harapannya, selain dapat mengobati luka hati, ia juga dapat menemukan Tuhan lewat tanda-tanda kebesaran-Nya yang akan dihadirkan negeri cantik itu. Sayang, sampai beberapa lama di sana, ia tak kunjung bisa menemukan agama mana yang akan ia anut. Tapi, ia bertemu dengan 3 aktivis lingkungan yang ternyata menyenangkan. Stu, Remy, dan Kenneth adalah bagian dari SWC, organisasi lingkungan hidup yang memerangi pembantaian paus untuk keperluan materialistis. Menariknya, 3 sekawan ini ternyata memiliki keyakinan yang berbeda tentang agama. Remy adalah seorang mualaf yang taat beribadah, Stu seorang katolik, sementara Kenneth Lockhart memilih menjadi ateis.

Kenneth tidak percaya Tuhan sejak ia melihat pembantaian paus-paus tak berdosa. Baginya, segala hal patut dilindungi, begitu pun paus. Dan ketika Tuhan seolah tak melakukan apa pun untuk melindngi mereka, maka tak ada gunanya percaya pada keberadaan-Nya. Pertemuannya dengan Jemima yang juga memiliki problem soal keyakinan membuat mereka cepat akrab. Bersama Nick - tante Jemima yang masih muda, mereka menjelajahi setiap sudut keindahan Selandia Baru.

Tapi, jangankan sebelum Jemima menemukan Tuhannya, bahkan ketika jadwal liburannya masih ada, Jemima tiba-tiba diminta pulang ke Indonesia karena ada hal penting terkait kematian kakaknya yang ternyata perlu penelitian lebih lanjut. Dan lagi, nyawa Jemima sedang dalam bahaya.

****

Ini adalah buku terbaik Indah Hanaco yang telah saya baca. Buku-buku lainnya tergolong biasa saja, tapi buku ini merupakan buku perjalanan spiritual yang meninggalkan pesan dan syi'ar keislaman yang mendalam. Lewat buku ini, Indah Hanaco berhasil mengajak pembacanya untuk memahami agama, dalam hal ini Islam, lewat-lewat hal sederhana. Tidak menggunakan dalil, namun ngena dan masuk akal. Juga, menjelaskan salah satu ayat dalam Al-Qur'an. Saya nggak ingat bunyi ayatnya, tapi yang pasti hal itu berkaitan dengan keberadaan Tuhan.

Melalui tokoh Jemima, kita secara tersirat diingatkan bahwa ketika kekosongan melanda, perasaan sendirian mendera, maka sebenarnya kita sedang dituntun untuk mendekat pada Tuhan. Lewat cobaan, seperti Jemima, Tuhan sedang membisikkan betapa ia rindu kita meminta, bercerita dan curhat kepadanya.

Pencarian akan Tuhan oleh Jemima, yang rupanya membuahkan hasil hampir negatif adalah jawaban atas pertanyaan "mengapa kita tak perlu mencari Tuha jauh-jauh." Karena sesungguhnya Dia sudah ada dan menampakkan keagunganNya di sekeliling kita, hanya saja kita belum sadar atau terlalu abai. Buat saya pribadi, konflik terkait Ashlyn hanyalah sampingan, pelengkap, bukan merupakan konflik utama. Konflik inti dalam buku ini adalah kebimbangan akan agama yang dialami tokohnya.

Ada banyak sisi menarik dalam buku ini. Buat saya, buku ini dapat dijadikan referensi liburan, menampilkan satu kesalahan parenting yang mungkin belum banyak disadari, kisah persahabatan yang unik dan kehidupan penuh toleransi positif, juga kampanye lingkungan hidup yang bagus. Pertama, Selandia Baru merupakan negara yang cukup jarang dipilih sebagai tempat liburan. Sebagian besar pilihan jalan-jalan di Eropa selalu jatuh pada Perancis. Tapi, buku ini menampilkan hal-hal menarik dan tempat-tempat yang bisa dikunjungi kalau liburan ke Selandia Baru.

Kedua, kesalahan parenting yang saya maksud di atas terletak pada kedua orangtua Jemima yang membebaskan anak-anaknya dalam memilih agama, tapi tidak memberikan bimbingan minimal dari agama yang dianut keduanya. Sehingga, ketika dewasa, anak justru dilanda kebingungan dan risau harus ikut agama yang mana. Tidak ada bekal yang memadai. Ketiga, toleransi. Dapat kita temukan betapa keluarga Jemima yang memiliki keyakinan berbeda tetap bisa hidup berdampingan dengan damai. Pun, tiga sekawan aktivis yang menghargai agama masing-masing. Stu paham Remy hanya makan makanan halal menurut Islam, Remy juga tidak memaksa teman-temannya untuk ikut makan bersamanya jika memang tidak ingin. Keempat, kampanye lingkungan hidup. Paus, merupakan contoh yang diambil. Memang keberadaan makhluk laut ini sudah semakin berkurang, tapi bagi saya ini adalah perwakilan akan ajakan sang penulis untuk pembaca agar senantiasa menjaga lingkungan dan mempertahankan kelestarian ekosistem.

Sisi paling menariknya, buat saya pribadi terletak pada penjelasan-penjelasan sederhana temtang Islam yang berkaitan dan sudah dibuktika oleh sains. Memang hanya sebagian kecil, tapi itu sangat bermanfaat dalam menambah wawasan dan juga menurut saya dapat semakin memperkuat iman seorang muslim terhadap Islam. Terakhir, buku ini memberi pesan pada kita semua bahwa hidayah bisa datang dari mana saja dan setiap kejadian entah menyenagkan atau tidak selalu mengandung hikmah tersendiri

Rabu, 02 Agustus 2017

,
Judul Buku: Manjali dan Cakrabirawa
Penulis: Ayu Utami
Penerbit: (KPG) Kepustakaan Populer Gramedia
Cetakan Pertama: Juni 2010
Cetakan Kedua: September 2010
Gambar Sampul dan Isi: Ayu Utami
Tataletak Sampul: Wendie Artswenda
Tataletak Isi: Bernadetta Esti W.U, Wendie Artswenda
Tebal Buku: x + 252; 13,5 x 20 cm
ISBN 13: 978-978-91-0260-7
Rating 4/5

....Marja membual bahwa baginya yang penting cowok itu enak diajak ngomong dan perutnya sixpack.
Sumi, banci salon favoritnya, menjawab, "Ike juga mau, dong, cowok yang begitu. Kayak apa sih pacar baru kamu?"
Lalu Marja memperlihatkan foto Parang Jati yang bertelanjang dada.
Sumi mejerit, "Aih! Cakrabirawa! Bikin ike jadi gerwani!"
Maksudnya, aih, cakep banget, bikin aku jadi geregetan....

Marja adalah gadis Jakarta. Kekasihnya menitipkan ia berlibur pada sahabatnya, Parang Jati. Mereka menjelajahi alam pedesaan serta candi-candi di sana, dan perlahan tapi pasti Marja jatuh cinta pada sahabatnya sendiri. Parang Jati membuka matanya akan rahasia yang terkubur di balik hutan: kisah cinta sedih dan hantu-hantu dalam negeri ini. Di antaranya, hantu Cakrabirawa!

****

Buku ini adalah perpaduan antara roman, sejarah, misteri dan juga hal mistik. Keempat materi yang memenuhi setiap sudut buku menurut saya terjalin dengan pas. Alurnya tak hanya menambah wawasan, terkadang membuat berdebar penasaran bahkan gregetan. Berbeda dengan dua seri lainnya, buku ini tergolong ringan dan mudah diikuti. Kisah cinta banyak mendominasi walau sisi sejarahnya tidak pernah ketinggalan. Oh iya ternyata sebelumnya saya salah baca urut buku ini. Seharusnya Bilangan Fu, lalu Manjali dan Cakrabirawa kemudian Lalita. Tapi malah terbalik jadi 1,3,2. Nggak apa-apa sih, karena materinya berbeda-beda, bukunya akan tetap asyik dibaca dalam urutan 1-2-3 ataupun 1-3-2. Yang pasti, Bilangan Fu harus dibaca lebih dulu.

Sisi menarik dalam seri ini, memang yang menjadi pokok bahasan tetap saja candi-candi, peninggalan sejarah dan juga hal-hal yang berkaitan dengan agama Hindu dan Buddha. Tapi, kisah cinta Ratna Manjali dan satuan tentara Cakrabirawa yang juga dibahas disini betul-betul jadi sisi menarik tersendiri. Saya suka sekali dengan plotnya, bagaimana Ayu Utami mempertemukan Manjali dan Cakrabirawa dalam kisah cinta segitiga sekaligus persahabatan. Sejarah yang dipaparkan dalam bentuk drama keluarga yang pendek namun melalui perjalanan rumit yang panjang. Saya rasa kalimat yang cocok untuk memggambarkan buku ini adalah "betapa keajaiban takdir bisa datang dari arah mana saja."

Kisah cinta terlarang antara Parang Jati dan Marja berjalan manis namun entah mengapa saya tetap tidak suka. Lebih prefer Marja dan Sandi Yuda, tanpa alasan. Hanya ngerasa kalau lebih-enak-begitu haha.

Kalau mau jujur, buku keduanya adalah yang paling saya sukai, sementara buku pertamanya paling banyak menghadirkan wawasan. Memang, beberapa hal disajikan dalam bentuk pola pikir tokoh-tokohnya, tapi menurut saya itu sangat bermanfaat. Berbeda dengan buku ketiga yang tentu saja juga memberikan informasi penting namun kurang bisa saya payami dan nikmati. Walau begitu, saya suka banget seri Bilangan Fu ini.