,
Jumat, 19 Desember 2014
Minggu, 14 Desember 2014
,
Tak mudah menjadi aku yang ketika memutuskan berharap,
dipaksa untuk habis memangkasnya.
Tak mudah menjadi aku yang ketika memutuskan berhenti, dibuat
melambung lagi dengan angan yang tinggi, lalu dihempaskan kembali.
Tak mudah menjadi aku yang selalu jadi sosok yang menunggu,
menunggumu berpaling darinya dan menatapku
Tak
mudah menjadi aku yang selalu jadi orang yang menanti janji yang tak pasti
Tak
mudah menjadi aku yang mencintamu.
Tak
mudah. Sulit rasanya. Lelah. Teramat lelah
Mencintaimu
terlalu melelahkan… terlalu melukai…
Tapi
bagaimana? Mungkin kau sudah terlalu mengenalku sehingga berpikir tak apa
berbuat begini. Tak apa membuatku kecewa dan kecewa lagi
Kau
tahu, waktuku tidaklah banyak. Aku tidak akan pernah bisa menjanjikan hidup
yang selamanya. Tidakkah kau berpikir bahwa esok, lusa, bahkan detik ini juga
bumi bisa tiba-tiba berhenti berputar untukku, membawaku pergi dan tak akan
bisa kembali lagi?
Jika
tidak karena kekuatan harapan, mungkin hatiku sudah lama hancur berantakan,
berserakan, tertiup angin dan hilang.
Kamis, 11 Desember 2014
,
Senin, 03 November 2014
,
,
Minggu, 02 November 2014
,
Dulu,
kamu hanya tamu di dalam duniaku. Kamu hanya figuran dalam cerita hidupku.
Bahkan, bisa dibilang aku sama sekali tidak mengenalmu, tidak memperdulikan
keberadaanmu, tidak menganggap dirimu penting karena memang selama itu kamu
juga menempatkan diri pada posisi demikian. Tak dikenal, tak dipedulikan, tak
dianggap penting. Hingga entah kapan, semuanya berubah. Kamu menjadi seseorang
yang aku kenal. Seseorang yang bisa aku baca dan aku ingat. Semuanya terasa
biasa. Bukan hanya kamu yang bisa aku baca, bisa aku ingat. Ada banyak figuran
lain yang bahkan sudah bertahun bertukar tawa dan cerita denganku. Ketambahan
satu bukan merupakan masalah. Justru aku menganggapnya sebagai anugerah. Aku
bisa semakin diberkati sebagai pemeran utama.
Semakin hari aku mengenalmu, membacamu, dan mengingatmu. Aku tidak
ingat siapa yang memulai. Entah dirimu yang memang mendesak masuk, atau aku
yang menarikmu ke dalam. Aku sama sekali tidak punya ide bahwa suatu saat nanti
ini akan terjadi. Tapi, semakin aku tahu tentangmu, semakin aku ingin lebih
banyak tahu lagi. Aku ingin tahu apa yang kamu suka, apa yang tak kamu suka.
Aku ingin tahu apa yang sedang kamu lakukan, baru kamu lakukan dan apa yang
ingin dan akan kamu lakukan. Aku ingin tahu apa impianmu dan berjanji pada
diriku akan mendukungmu. Aku ingin tahu bagaimana keadaanmu dan dimana kamu.
Hingga akhirnya hal itu membawaku pada pertanyaan: ‘Apakah kamu juga begitu?
Ingin tahu tentang aku? Ingin lebih mengenalku?’ Puncaknya, aku ingin tahu
apakah aku bisa menjadi bagian dalam hidupmu? Apakah aku bisa masuk sebagai
salah satu figuran yang mendapat posisi penting dalam ceritamu? Mengabaikan
kenyataan bahwa dalam ceritaku, aku adalah pemeran utama, pusat cerita,
pengendali segala arah, Si Pemegang Piala Citra.
Awalnya aku begitu percaya diri. Aku yakin, di dalam sana, di
palung sana, meskipun kamu tak pernah mengatakannya, aku sudah menjadi si
figuran itu. Figuran yang punya posisi penting itu. Kepercayaan diriku begitu
tinggi. Sikapmu yang begitu manis membuatku melambung. Berharap jauh. Hingga entah kapan pula, rasa percaya
diri itu memudar, mengabur dan bahkan kini hampir tak terlihat. Kamu berubah.
Kamu seolah tak ingin aku baca lagi, tak ingin aku ingat lagi, tak ingin aku
kenal lagi. Semakin aku ingin membacamu, semakin kamu tidak mau. Kamu menjauh,
membuat jarak, merentangnya, membuatku kini berdiri di ujung batas duniamu,
terhalang oleh figuran lain yang mungkin kini berlomba menggantikan posisiku.
Ingin sekali rasanya aku membunuh jarak itu, memutusnya dan
membawa diriku kembali ke dalam duniamu. Merangkak aku untuk menembus
gerombolan manusia yang berdiri menghalangi tubuh dan pengkihatanku. Tak peduli
aku terinjak, aku melakukannya. Demi kembali mendapatkan posisi istimewa
figuran itu. Tapi hal yang menyedihkan adalah, bahkan saat aku baru memulai,
kamu sudah semakin merentang jarak itu. Membuatku jauh dan semakin jauh. Tak
ada kesempatan untuk mendekat. Membuatku berpikir, apakah kamu memang ingin aku
pergi? Menghilang dari duniamu? Terhapus dari ceritamu?
Aku sungguh tidak tahu lagi. Di lain sisi, aku ingin meneruskan
perjuanganku. Tak ingin lelah dan keringatku berakhir sia-sia. Tapi di sisi
yang lainnya, aku sudah terlalu jauh tertinggal, jarak yang harus kutempuh akan
membuatku kelelahan. Kamu kini sudah nampak bagai sebuah titik di kejauhan. Aku
juga sudah terlalu sering terluka. Tidakkah aku akan mati begitu mencapaimu?
Lantas, apa gunanya? Meskipun bisa melihatmu kembali seperti dulu, jika hanya
sedetik, aku bohong jika mengatakan aku bahagia. Aku berjuang bukan hanya agar
bisa melihatmu lagi. Aku sudah terluka dimana-mana. Aku ingin posisi penting
itu lagi! Tapi sama sekali tidak ada jaminan bahwa aku akan mendapatkannya.
Kalau aku tidak mendapatkannya, bagaimana? Sia-sialah semuanya. Aku takut akan
kenyataan itu.
Jadi, demi keselamatanku, aku memutuskan. Karena aku adalah aksara
yang tak ingin kamu baca, maka aku tidak akan memaksamu. Aku tidak akan
membuatmu merentang jarak lagi demi ‘membunuhku’. Aku akan menjauh, aku akan
berlalu. Dari hidupmu, aku akan pergi. Dari ceritamu, aku akan terlupa.
,
,
Sabtu, 25 Oktober 2014
,