Catatan harian yang semakin renta dan tua

Rabu, 26 Desember 2018

,
Judul Buku: Catatan Juang
Penulis: Fiersa Besari
Penerbit: mediakita
Penyunting: Juliagar R. N.
Penyunting Akhir: Agus Wahadayo
Desainer Cover: Budi Setiawan
Lettering: @deanurrizkir
Penata Letak: Didit Sasono
Kategori: Novel Fiksi
Cetakan Pertama: 2017
Cetakan Keempat: 2018
Tebal Buku: iv + 306 hlmn.; 13x19 cm
ISBN: 978-979-794-549-7
Rating: 5 Bintang

Seseorang yang
akan menemani setiap
langkahmu dengan
satu kebaikan kecil
setiap harinya.

tertanda,
Juang

****

Kasuarina atau yang akrab disapa Suar adalah seorang wanita cerdas yang bercita-cita menjadi sineas. Sebagai mantan mahasiswi jurusan DKV, Suar bisa dibilang amat berbakat dalam bidang yang tak hanya menjadi hobi, tapi juga merupakan cita-citanya sejak kecil. Sayang, realitas membuatnya harus mengubur impiannya dalam-dalam dan terjebak menjadi staff asuransi di salah satu bank. Sebenarnya, tidak ada masalah dengan pekerjaan itu. Suar tergolong karyawan teladan dan amat disukai bosnya karena selalu bisa closing melebihi target yang sudah ditentukan. Hanya saja, suatu kejadian mengubah semuanya. Suar jadi jenuh, malas dengan kantor dan pekerjaannya, sering kena marah bos. 

Suatu hari, di perjalanan menuju kantornya, Suar tidak sengaja menemukan sebuah buku bersampul merah. Buku yang sepertinya diari itu terjatuh di angkot yang ditumpangi Suar. Awalnya, Suar berniat membaca buku itu demi menemukan pemiliknya agar bisa mengembalikannya. Tapi ternyata, buku tersebut justru membawa perubahan dalam hidupnya. Buku ini membuatnya mengambil keputusan untuk melangkah

****

Buku ini masih memuat kisah tentang Juang, lelaki yang menjadi tokoh utama dalam buku Konspirasi Alam Semesta yang saya review sebelumnya. Walaupun bukan dalam bentuk fisik, tapi dalam bentuk tulisan dalam jurnalnya, Juang menjadi tokoh dalam bayangan yang begitu hidup, terutama bagi Suar. Terdiri dari empat bagian, buku ini menggambarkan perkembangan karakter Suar serta perubahan-perubahan yang berani ia tempuh dalam hidup setelah membaca buku catatan bersampul merah milik Juang.

Bagian pertama, menceritakan kisah Suar yang lelah dengan pekerjaannya. Berkat buku catatan bersampul merah, Suar berani melangkah. Idealisme, imipian, kisah-kisah di masa kecil yang menggugah, tujuan hidup, bahkan cinta yang Juang tuangkan lewat tulisannya membuat Suar berani untuk menatap masa depan dengan lebih positif, berani untuk kembali melihat cita-cita dan impiannya dan mengejarnya.

Bagian kedua, seperti pada buku Konspirasi Alam Semesta, Juang tidak hanya mengajak Suar untuk mulai maju, melangkah untuk memperbaiki hidupnya, tapi juga untuk lebih memerhatika sekitar. Suar, juga saya selaku pembaca, diajak untuk merenungi fenomena dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di bumi Indonesia. Isu nasionalsime diangkat, kepedulian sosial diuji.

Pada bagian ketiga, Suar diuji dengan kegagalan setelah ia berani mengejar impian. Tapi, lagi-lagi, catatan milik Juang membuatnya tidak berkecil hati, bangkit dan melangkah lagi, dengan perhatian terhadap alam sekitar. Ego manusia yang benci dengan kegagalan dan penolakan baik itu dalam hal impian dan cinta seperti diberi pencerahan bahwa itu adalah bagian dalam hidup yang tidak seharusnya dikenang dengan cara yang menyakitkan, tapi untuk dijadikan pelajaran agar menjadi manusia yang lebih baik lagi di masa depan.

Sementara di bagian keempat, konspirasi alam semesta yang berbicara. Bagaimana Suar dipertemukan dengan "Juang yang selama ini ia cari dan kagumi serta telah banyak menginspirasi," juga pada cinta sejati.

Secara keseluruhan, bukunya sangat sangat bagus. Keren malah. Juang, adalah laki-laki yang mengajak manusia-manusia di sekelilignnya untuk senantiasa menebar dan berbagi kebaikan untuk sesama dalam keadaan dan dalam bentuk apa pun. Mungkin saja, Juang adalah spesies manusia langka yang saat ini sudah sulit untuk ditemukan, tapi buku catatan bersampul merah miliknya yang diterbitkan, selalu mampu menebar kasih sayang. 

Selasa, 25 Desember 2018

,
Judul Buku: Bumi Manusia
Penulis: Pramoedya Ananta Toer
Penerbit: LENTERA DIPANTARA
Desain Sampul: Nadia
Editor: Astuti Ananta Toer
Cetakan 10: September 2005
Cetakan 11: Juni 2006
Cetakan 12: Desember 2006
Cetakan 13: Mei 2008
Cetakan 14: Juni 2009
Cetakan 15: Januari 2010
Cetakan 16: Oktober 2010
Cetakan 17: Januari 2011
ISBN: 979-97312-3-2
Rating: 5 Bintang

Roman Tetralogi Buru mengambil latar belakang dan cikal bakal nation Indonesia di awal abad ke-20. Dengan membacanya waktu kita dibalikkan sedemikian rupa dan hidup di era membibitnya pergerakan nasional mula-mula, juga pertautan raga, kegamangan jiwa, percintaan, dan pertarungan anonim para srikandi yang mengawal penyemaian bangunan nasional yang kemudian kelak melahirkan Indonesia modern.

Roman bagian pertama; Bumi Manusia, sebagai periode penyemaian dan kegelisahan dimana Minke sebagai aktor sekaligus kreator adalah manusia berdarah priyayi yang semampu mungkin keluar dari kepompong kejawaannya menuju manusia yang bebas dan merdeka, di sudut lain membelah jiwa ke-Eropa-an yang menjadi simbol dan kiblat dari ketinggian pengetahuan dan peradaban.

Pram menggambarkan sebuah adegan antara Minke dengan ayahnya yang sangat sentimentil: Aku mengangkat sembah sebagaiman biasa aku lihat dilakukan punggawa terhadap kakekku dan nenekku dan orangtuaku, waktu lebaran. Dan yang sekarang tak juga kuturunkan sebelum Bupati itu duduk enak di trmpatnya. Dalam mengangkat sembah serasa hilang seluruh ilmudan pengetahuan yang kupelajari tahun demi tahun belakangan ini. Hilang indahnya dunia sebagaimana dijanjikan oleh kemajuan ilmu .... Sembah pengagungan pada leluhur dan pembesar melalui perendahan dan penghinaan diri! Sampai sedatar tanah kalau mungkin! Uh, anak-cucuku tak kurelakan menjalani kehinaan ini.

"Kita kalah Ma," bisikku.

"Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya."

****

Berkisah tentang Minke, pribumi asli bersuku Jawa yang menempuh pendidikan di HBS (Hogere Burgerschool) Surabaya. HBS adalah sekolah menengah umum pada zaman Hindia Belanda untuk orang Belanda, Eropa atau elit pribumi dengan bahasa pengantar Bahasa Belanda (credit: wikipedia).

Suatu hari, Minke, diajak oleh teman satu sekolahnya, Robert Suurhof untuk berkunjung ke rumah salah satu pengusaha terkenal di zaman itu, di kediaman Herman Mellema. Disana, ia berkenalan dengan Robert Mellema dan juga Annelies Mellema, putra dan putri Herman Mellema bersama gundiknya yang banyak dikenal dengan sebutan Nyai Ontosoroh. Dan kunjungan yang tak pernah Minke rencanakan itu membawanya pada peristiwa-peristiwa tak terduga.

Sebagai siswa HBS, citra Minke bisa dikatakan cukup baik, walaupun ia dikenal sebagai pribumi tanpa nama keluarga. Hanya saja, status Nyai Ontosoroh sebagai gundik orang Eropa, dan kunjungan-kunjungan lain yang menyusul setelah kunjungan pertama membuat hidupnya menjadi rumit.

Dalam buku ini, saya merasa seperti diajak untuk menengok kondisi masyarakat Hindia Belanda yang mengambil latar kota Surabaya di akhir abad ke-19. Dapat dilihat bawah kelahiran Indonesia modern terjadi di masa ini. Sebagai percontohan, Minke, laki-laki bersuku Jawa yang diperkenalkan pada pendidikan dan budaya Eropa, pengetahuan dan ilmu, hal yang membuatnya mulai berpikir dan bertindak kritis terhadap sekitar, terutama terhadap budaya peninggalan leluhur yang seolah mengekang seseorang untuk selalu tunduk dan sujud pada adab yang sudah diwariskan turun temurun. Dalam buku ini, Minke adalah pria Jawa dengan tingkat kecerdasan dan pola pikir orang Eropa.

Selain itu, buku ini juga memaparkan kondisi perlindungan dan penegakan hukum yang diaplikasikan di Hindia Belanda pada zaman itu. Orang-orang pribumi mungkin memang kelihatannya dilindungi haknya, terutama dari kepemimpinan raja-raja terdahulu, hanya saja hak-hak yang dilindungi itu tidak lebih tinggi kedudukannya dari kepentingan orang Eropa. Seperti pembagian warisan Herman Mellema setelah ia wafat, hak asuh terhadap anak yang diakuinya, hingga status Minke dan Annelies. Hal yang membuat saya miris dan membayangkan betapa 'kejamnya' hukum pada saat itu.

Buku ini juga memuat kisah romansa dengan Minke sebagai tokoh utamanya juga, roman yang menyedihkan. kisah yang menjadi penutup buku ini dan membuat saya penasaran setengah mati untuk membaca buku keduanya. Padahal, awal-awal membaca, saya sedikit merasa bahwa buku ini masuk kategori 'berat' tapi ternyata tidak, pelan-pelan malah saya terbiasa dengan gaya menulis Pram dan menikmatinya.

Senin, 24 Desember 2018

,
Judul Buku: Konspirasi Alam Semesta 
Penulis: Fiersa Besari
Penerbit: mediakita
Penyunting: Juliagar R. N.
Penyunting Akhir: Agus Wahadyo
Desainer Cover: Budi Setiawan
Penata Letak: Didit Sasono
Cetakan Pertama: 2017
Cetakan Ketiga: 2017
Tebal Buku: vi + 238 hlmn.; 13x19 cm
ISBN: 978-979-794-535-0
Rating: 5 Bintang

Seperti apakah warna cinta? Apakah
merah muda mewakili rekahannya,
ataukah kelabu mewakili pecahannya?

****

Juang Astrajingga, seorang pria dengan latar belakang hidup yang rumit, oleh semesta dipertemukan dengan Ana Tidae, wanita cerdas dengan kehidupan yang juga tidak sederhana. Pertemuan pertama mereka yang terjadi bak sebuah adegan dalam sinetron, membawa keduanya pada petualangan cinta yang mampu menjungkirbalikkan dunia mereka hampir tanpa aba-aba. Juang tidak bisa menolak pesona Ana, tidak bisa menyangkal rasa bahwa ia jatuh cinta pada pandangan pertama. Sementara Ana, meski berkeras bahwa status mereka hanya teman semata, tidak bisa menghalau cinta yang selalu datang tanpa terencana. Masalahnya; Ana sudah ada yang punya, Deri namanya.

Petualangan cinta Juang yang pertama bersama Ana pun dimulai. Ia harus bertahan bersama gadis itu, terus mencintainya, dengan status yang tidak pernah diberi gelar pasti. Akankah Juang berhasil mengukuhkan Ana sebagai hanya miliknya seutuhnya?

****

Meski saya adalah salah satu dari sekian banyak followers Instagram maupun Twitter Bang Fiersa, jujur saja, Konspirasi Alam Semesta menjadi buku pertamanya yang saya baca. Awalnya, berpikir bahwa buku ini murni hanya membahas soal cinta antara Juang dan Ana yang terhalang orang ketiga, ternyata tidak. Buku ini memuat cerita yang kompleks namun tidak rumit untuk dipahami, menghanyutkan untuk diikuti, kadang membuat saya terbawa perasaan, terutama ketika membaca pesan-pesan Juang untuk Ana ketika ia berada di Papua, pesan-pesan yang sarat makna dan cerita. Bahwa betapa kepada Analah, Juang ingin membagi kepingan-kepingan perjalanan dalam hidupnya. Ini adalah bagian yang paling saya suka dari buku ini. Saya adalah tipe pencerita, kalau dibahasa sehari-harikan sebut saja "bawel" dan saya juga suka mendengarkan orang bercerita. Terutama tentang perjalanan hidup, hal-hal yang pernah dialami, kisah-kisah seru di masa lalu - terlebih itu dari orang yang saya cintai. Posisi Ana, sebagai satu-satunya wanita yang diceritai Juang saat ia berjuang di Timur Indonesia membuat buku ini makin istimewa - walau mungkin rasa istimewanya hanya saya saja yang merasakannya. Muatan puisi, lagu, pesan-pesan, surat, isi hati Juang maupun Ana menjadi pemanis yang begitu indah dan romantis bagi saya.

Selain tentang cinta, buku ini juga mengangkat isu kesenjangan sosial yang menurut saya pribadi, hingga saat ini masih menjadi problem nyata Indonesia yang masih kurang mendapat perhatian baik oleh pemerintahnya, maupun oleh masyarakat luas pada umumnya. Penulis mengangkat cerita tentang Papua, negeri yang kaya dengan hasil emasnya namun menjadi etnik paling miskin di tanahnya sendiri. Negeri yang seharusnya mampu membeli apa saja jika melihat keberadaan salah satu perusahaan industri terbesar di sana, namun untuk mendapatkan pendidikan yang memadai dan merata saja hampir tidak bisa. Buku ini tidak hanya akan memanjakan kita dengan kisah cinta yang mendebarkan, penuh bunga cinta, nggak cuma bikin baper-baper manja, tapi secara tersirat mengajak pembaca untuk membuka mata lebih lebar, pikiran lebih terbuka, untuk senantiasa bersyukur akan apa yang kita punya, untuk bersama-sama belajar menaruh perhatian pada saudara-saudara sebangsa kita.

Buku ini bisa dikatakan memiliki akhir bahagia, bisa juga dikatakan tidak. Kenapa begitu? Karena kalau dinilai dari sisi ceritanya, alurnya, kehidupan tokoh-tokoh di dalamnya, apa saja yang telah mereka lalui, lakukan lalu dapatkan, kisah Juang Astrajingga sebenarnya memiliki kahir bahagia. Tapi, kalau dinilai dari sisi ego pembaca seperti saya yang benci dengan duka di akhir cerita - bagaimana pun proses duka itu dihantarkan, buku ini sama sekali tidak memiliki akhir bahagia. Walau demikian, saya suka dan senang sudah membaca buku ini. Terima kasih untuk Bang Fiersa, yang sudah menyuguhkan karya sebaik ini bagi para pembaca Indonesia :)