Catatan harian yang semakin renta dan tua

Rabu, 24 Januari 2018

,
Title: Meloholic
Director: Song Hyun Wook
Writer: Team Getname (Original Comic)
Network: OCN
Episodes: 10
Language: Korean
Country: South Korea

U-Know Yoon Ho as Yoon Eun Ho

Kyung Soo Jin as Han Ye Ri & Han Joo Ri

Han Joo Wan as Kim Sun Ho
Meloholic adalah drama berepisode pendek yang bercerita tentang Yoo Eun Ho, pria culun yang tiba-tiba mendapat kekuatan bisa membaca pikiran wanita setelah tersambar petir. Semenjak itu, Yoo Eun Ho yang culun dan cupu pun berubah jadi pria tampan yang keren dan diidolakan banyak wanita. Alasannya adalah karena ia selalu tahu apa yang wanita mau dan selalu mampu mengartikan bahasa rumit kaum wanita tanpa perlu bertanya. Tapi, meski begitu, Yoo Eun Ho tidak tertarik dengan wanita mana pun. Selain karena unsur patah hati di masa lalu, semenjak bisa membaca pikiran wanita, ia jadi bisa tahu mana wanita yang tulus menjadi dirinya sendiri. Dan, sejauh ini, belum ada yang seperti itu.

Keadaan berubah saat ia secara tak sengaja bertemu dengan wanita bernama Han Ye Ri yang menggantikan posisi teman kelasnya untuk hadir dalam kelas psikologi. Istilahnya jadi joki gitu. Dan, berbeda dengan wanita yang pernah ia temui dan ia kenal, Han Ye Ri adalah wanita yang jujur. Ia tak pernah bicara A tapi maunya B. Tidak bilang C ketika sedang D. Seketika itu pula Yoo Eun Ho jatuh cinta. Tapi, perjalanan cinta mereka tidak mulus. Selain karena Ye Ri yang ternyata masih gagal move on, juga karena pertemuan itu kembali menguak kasus pembunuhan berantai di bak mandi dimana Eun Ho pernah secara tidak sengaja menjadi saksi pembunuhan tersebut.

Alur drama ini sebenarnya unik. Genre supranatural berbaur dengan psikologi juga kriminal. Hanya saja, jumlah episodenya terlalu sedikit sehingga di banyak bagian ceritanya terkesan bolong. Sejujurnya, saya selalu suka dengan drama Korea yang mengangkat tema psikologis apalagi kalau sudah bahas DID (Diseorientation Identity Disorder) atau yang lebih banyak dikenal dengan kata kepribadian ganda. Tapi, dalam drama ini, saya sama sekali nggak menemukan alasan kenapa Han Ye Ri bisa mengidap penyakit itu. Memang, bullying bisa juga jadi penyebab karena setahu saya, identitas baru yang terbentuk dalam DID hadir sebagai perisai, atau sebagai seseorang yang akan menghalau kenangan buruk si penderita yang menyebabkan ia mengidap penyakit tersebut. Hanya saja karena ya itu, episodenya dikit banget, jadinya penyebab kemunculan penyakit ini terhadap Han Ye Ri jadi nggak terasa realistis. Nggak tercerna logika. Belum lagi latar belakang keluarga Han Ye Ri yang tidak jelas. Sebenarnya semua tokohnya latar belakangnya samar bahkan hampir tak terlihat.

Yang paling keren dari drama ini sih penulis novel psikopatnya. Itu lebih bisa dibilang keren walau memang tindak kriminal sih haha daripada penyakit Han Ye Ri dan pertemuannya dengan Yoo Eun Ho. Lagipula, kekuatan Yoo Eun Ho juga nggak realistis tapi ya karena genrenya supranatural jadinya sah-sah saja. Oh iya, drama ini kayaknya harus dikasi rating 21+ jadi kalau yang belum cukup umur jangan nonton dulu yaa :D
,
Title: ReLIFE
Directed By: Takeshi Furusawa
Based on: ReLIFE By Yayoiso
Production Company: C&I Entertainment, Culture Entertainment, Dentsu, Earth Star Entertainment, NHN Comico, Nippon Shuppan Hanbai (Nippan) K.K, Parco Co.,Ltd, Shociku, TMS Entertainment
Distributed By: Shociku
Release Date: 15 April 2017
Country: Japan
Language: Japanese
Casts:


Taishi Nakagawa as Kaizaki Arata & Yuna Taira as Hishiro CHizuru

Takasugi Mahiro as Kazuomi Ohga

Elaiza Ikeda as Kariu Rena

Yudai Chiba as Yoake Ryo

Sae Okazaki as Onoya Ann

Seperti yang para pencinta Jejepangan tahu bersama, beberapa manga keren dan populer kerap diadaptasi jadi anime dan anime dengan rating tinggi biasanya juga diadaptasi ke dalam bentuk film atau yang biasanya disebut Live Action. Begitu pun dengan live action satu ini. ReLIFE berasal dari manga yang cukup terkenal karena keunikan ide cerita yang diangkat. Neet  atau Hikikomori adalah salah satu penyakit 'aneh' yang populer dan banyak menyerang remaja Jepang. Beberapa di antaranya pun sepertinya menyerang orang dewasa. Kalau diperhatikan lewat ciri-ciri yang sering diangkat dalam beberapa serial, neet adaalah orang yang cukup sulit dalam bersosialisasi atau mengalami masalah sosialisasi. Dan, inilah yang diangkat manga ini.

Kaizaki Arata adalah pria dewasa berusia 27 tahun berstatus pengangguran yang terus menerus mendapat penolakan dari perusahaan tempat ia melamar kerja. Kehidupan sosialnya pun sempit, ia kerap dilanda perasaan minder ketika harus bertemu dengan teman-teman masa SMA atau pun kuliahnya. Di suatu malam, ia bertemu dengan seorang pria bernama Yoake Ryo yang mengaku berasal dari salah satu perusahaan yang ingin menawarkan eksperimen terhadapnya. Eksperimen itu mengharuskan Kaizaki Arata untuk menyamar menjadi anak SMA. Eksperimen tersebut bernama ReLIFE. Singkatnya, ia akan mengulang masa SMA untuk melihat kembali apa saja hal yang mungkin sudah ia lewatkan sehingga ia berada pada titik Hikikomori. Eksperimen ini bertujuan untuk mengubah dirinya, mengubah hidupnya.

Saya adalah salah satu penggemar serial manga ini. Sudah sejak lama ngefans dan sudah sejak lama pula berharap manganya dapat adaptasi anime. Seneng banget ternyata tahun lalu animenya keluar dan tambah senang ketika Live Actionnya juga menyusul. Hanya saja, kalau dibandingkan dengan animenya, saya bisa bilang kalau Live Actionnya kurang ngena. Kenapa? ReLIFE adalah salah satu manga dengan alur lambat tapi menyenangkan dan sangat menonjolkan perkembangan karakter setiap tokohnya. Di anime saya bisa mendapatkan itu walau nggak semua karena animenya emang masih gantung dan bahkan nyaris belum separuh cerita manga. Dalam versi LA-nya, ceritanya cenderung padat dan perkembangan karakter tokoh-tokohnya nggak berasa, terkesan lompat-lompat. Apalagi ada beberapa perubahan peran dan juga pengurangan karakter. Beberapa poin dan momen penting yang mendukung setiap perubahan yang terjadi pada tokoh utama cerita ini juga hilang. Jadinya, emang kurang greget nontonnya.

Dalam hal kepadatan cerita, saya paham banget kalau dalam LA ini, eksperimen ReLIFE jadi terasa sedikit realistis, tapi agak disayangkan momen-momen berharga dalam hidup Kaizaki Arata jadi nggak nampak. Tapi, bagian liburan sebelum kelulusan mereka saya suka sih. Lebih hidup dibanding ketika dibaca dalam manga dan kalau di anime emang belum sampai bagian ini. Baru sampai Festival Kembang Api jadi emang masih gantung banget. Unsur romansanya juga realistis sih, tapi tetap berasa kurang. Udah bisa dipastikan kalau nggak akan ada live action seri 2, tapi kalau animenta saya masih ngarep akan ada. 

Senin, 22 Januari 2018

,
Judul Buku: PARAK: Nona Teh & Tuan Kopi #1
Penulis: Crowdstoria
Penerbit: KataDepan
Editor: Gita Romadhona & Adhista
Penata Letak: Wahyu Suwarni
Desain Sampul: Deff Lesmawan dan Crowdstoria
Cetakan Pertama: 2017
Tebal Buku: 352 hlmn; 13 x 19 cm
ISBN: 978-602-6475-29-9
Rating: 3/5

Dalam secangkir teh, adakalanya kalian temukan rasa manis jika meminumnya dengan gula. Pahit, mungkin saja. Sejatinya, yang tercecap adalah sepat semata. Kalian mungkin tak pernah tahu apa yang tersimpan dalam secangkir teh yang tertuang.

Begitu pula si Nona Teh, seorang perempuan lajang dengan karier cemerlang. Pada usia tiga puluh tiga, dia pikir hidupnya berjalan baik-baik saja. Sampai ketika dia bertemu seorang lelaki pembawa sekeping masa lalunya yang tak pernah dia tahu.

Dalam secangkir kopi, ada rasa pahit yang pekat saat kalian menyesapnya tanpa gula. Namun, dengan caranya sendiri, secangkir kopi menyemangati, membuat kita seketika terjaga.

Kalian bisa menyebutnya si Tuan Kopi, seorang laki-laki mapan yang belum menikah. Bukanlah komitmen yang dia takutkan, melainkan sekotak masa lalu hitam yang mencakar benak ketika dia terbangun dari mimpi buruk. Kejadian demi kejadian mempertemukannya dengan perempuan pembawa kebetulan. Namun, apa bertemu kebetulan beruntun saja sudah cukup untuk meyakini sesuatu?

Percayakah kalian pada kebetulan? Percayakah kalian tentang kepak kupu-kupu di benua lain yang menjadi penyebab badai di benua sebelahnya?

Aku percaya. Karena itulah aku menulis kisah ini.

Selamat membaca, semoga kalian menemukan kebetulan yang bisa dipercaya.

****

Ekspektasi saya terhadap novel ini adalah pembahasan dua sosok dengan latar belakang hobi yang berbeda. Perempuan pencinta teh yang bertemu pria pencinta kopi. Hobi yang bertolak belakang namun mampu menyatukan. Pembahasan tentang teh juga kopi dan proses pembuatannya. Apalagi sekarang kopi dan kedainya lagi ngetren. Baik buat pencinta kopi maupun pencinta tempat nongkrong yang instagramable. Ekspektasi saya begitu. Tapi ternyata  jauh dari dugaan, memang tokoh utamanya cinta teh dan penggila kopi. Tapi konflik utamanya tidak sesederhana itu.

Lebih dari pembahasan hobi, buku ini lebih menitikberatkan pada beberapa kesalahan parenting yang selama ini mungkin diabaikan tapi justru memberikan dampak yang kurang bagus bagi lingkungan sekitarnya terutama di dalam keluarga. Kebetulan tadi sore saya sempat nonton tayangan apa ya namanya di salah satu stasiun televisi swasta yang membahas tentang parenting. Ternyata yang dimaksud dengan parenting bukan hanya pada cara yang baik dan benar dalam mengasuh anak namun juga tentang sikap dan cara memperlakukan pasangan dalam hal ini suami atau istri. Dan ini pas banget buat buku ini.

Ada kurang lebih empat keluarga bermasalah yang dibahas disini. Keluarga tokoh utama dan keluarga lain yang juga bersinggungan dengan kisah hidup tokoh utama. Kayaknya sih masalahnya nggak bisa saya bocorkan disini karena nanti malah jadi spoiler. Tapi, kisah empat keluarga ini worth buat dibaca dan diambil pelajaran berharga. Terutama, impak yang menimpa lingkungan keluarga tersebut karena kesalahan parenting yang terjadi.

Hanya saja, jujur, ceritanya kadang terasa lompat dan tiap babnya kayak kurang berkolaborasi dengan baik. Nggak semua sih tapi pas baca saya ngerasanya gitu. Dan, judul bukunya terasa kurang pas sama kisahnya. Tapi saya sempat searching arti kata PARAK di google dan hasilnya begini:


Jadi, mungkin aja sebenarnya masuk tapi saya yang kurang paham atau kurang mengerti. Karena kesalahan parenting yang dimaksud dalam buku ini sih emang jatuhnya ke figur Ayah dalam keluarga. Oh iya karena ini bukunya sepertinya berseri, jadi nggak akan lengkap kalau baca semuanya. Dan, masih ada teka-teki juga yang belum bisa didapatkan jawabannya dari buku ini. Saya menanti deh buat buku keduanya :)

Jumat, 12 Januari 2018

,
Judul Buku: Ayahku (Bukan) Pembohong
Penulis: Tere Liye
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Terbit: April 2011
Cetakan Kedua: Mei 2011
Cetakan Ketiga: Juni 2011
Tebal Buku: 340 hlmn; 20 cm
ISBN: 978-979-22-6905-5
Rating: 4/5

Kapan terakhir kali kita memeluk Ayah kita? Menatap wajahnya, lantas bilang kita sungguh sayang padanya? Kapan terakhir kali kita bercakap ringan, tertawa gelak, bercengkerama, lantas menyentuh lembut tangannya, bilang kita sungguh bangga padanya?

Inilah kisah tentang anak yang dibesarkan dengan dongeng-dongeng tentang kesederhanaan hidup. Kesederhanaan yang justru membuat ia membenci ayahnya sendiri. Inilah kisah tentang hakikat kebahagiaan sejati. Jika kalian tidak menemukan rumus itu dalam novel ini, tidak ada lagi cara terbaik untuk menjelaskannya.

Mulailah membaca novel ini dengan hati lapang, dan saat tiba di halaman terakhir, berlarilah secepat mungkin menemui ayah kita, sebelum semuanya terlambat, dan kita tidak pernah sempat mengatakannya.

Tere Liye adalah pengarang beberapa novel dengan rating tinggi di website para pencinta buku www.goodreads.com. Tere Liye banyak menghabiskan waktu untuk melakukan perjalanan, mencoba memahami banyak hal dengan melihat banyak tempat. Selamat membaca novel kecil ini.

Selamat membaca buku ini, satu hal yang pasti nyata: saya menangguk banyak kearifan di kedalaman cerita. A. Fuadi, Penulis Trilogi 5 Menara

Sungguh Tere-Liye berhasil menggugah saya sebagai pembaca sekaligus seorang anak dari seorang ayah yang sangat saya banggakan. A must read.
Amang Suramang, Penggerak di Goodreads Indonesia

Isinya tak hanya menggugah dan membuat haru, tapi membuat kita merasa perlu meneguhkan kembali keyakinan dan kecintaan pada keluarga. Salut atas novel ini!
Arwin Rasyid, Presiden Direktur Bank CIMB-Niaga

Novel ini dapat menjadi langkah awal untuk menata ulang konsep budi pekerti di negeri ini.
Muliaman D. Hadad, Deputi Gubernur Bank Indonesia

****
Dongeng selalu menjadi cerita pertama yang akrab dengan anak-anak. Sejak dulu hingga sekarang, masih ada beberapa orangtua yang gemar membacakan cerita, ataupun menceritakan sesuatu yang menarik kepada anak-anaknya saat menjelang tidur. Dan, semua cerita tersebut pasti memiliki pesan moral di dalamnya. Seperti Dam, ia pun mendapat perlakuan yang sama dari Sang Ayah. Bedanya, ia mendengarkan cerita-cerita ini bukan saat  menjelang tidur namun ada sesi tertentu yang biasanya dilakukannya berdua ayahnya untuk bercerita.

Ayah Dam akan menceritakan pengalaman-pengalaman hebat yang pernah ia alami. Petualangan-petualangan seru yang pernah ia alami. Dam benar-benar takjub akan hal itu dan kelak menjadi anak yang amat bijak memandang hidup karenanya. Namun, menginjak dewasa, Dam mulai menyadari ada yang 'tidak beres' dengan cerita-cerita Ayahnya. Belum lagi, beberapa teori Retro, temannya di Akademi Gajah juga seolah mendukung beberapa bukti yang Dam temukan di perpustakaan.

Masalah muncul ketika Dam telah berkeluarga dan memiliki anak bernama Zas dan Qon. Sama seperti dirinya saat masih kecil, anak-anak itu pun sama tertariknya dengan cerita-cerita kakeknya. Sejak sang kakek tinggal serumah dengan mereka, sesi bercerita adalah bagian yang paling mereka tunggu. Dan, Dam tidak suka itu. Dam tidak suka anak-anaknya dididik dengan cara yang sama dengannya. Karena yang Dam tahu, cerita-cerita ayahnya adalah bohong.

Yang paling menarik dari buku ini adalah konsep yang ditawarkan penulis. Di zaman yang sudah serba modern seperti sekarang ini, banyak para orangtua yang sudah meninggalkan budaya mengajar dan mendidik lewat dongeng. Padahal, meski cerita-cerita tersebut kadang tidak nyata, pesan moral yang dikandungnya amatlah besar. Saya sendiri sudah membuktikan kebenarannya lewat kebiasaan berdongeng yang sudah diterapkan kedua orangtua. Berdongeng adalah salah satu cara mengenalkan dan menanamkan budi pekerti luhur.

Pada beberapa cerita, teori yang ditanamkan adalah berbohong untuk kebaikan. Seperti yang dilakukan Ayah Dam, namun dalam beberapa hal ada juga ketidaksetujuan saya seperti ketika Ayah Dam menceritakan Suku Penguasa Angin sebagai bagian yang pernah terjadi dalam hidupnya. Rasa-rasanya akan lebih baik jika dalam penceritaan itu beliau menceritakan itu sebagai 'sebuah kisah dari antah berantah'. 

Buku ini mengharukan, memberikan banyak pemahaman terutama dalam hal kesederhanaan hidup, membuat rindu rumah, terutama pada kedua orangtua. Seperti yang dikatakan penulis:

"Mulailah membaca novel ini dengan hati lapang, dan saat tiba di halaman terakhir, berlarilah secepat mungkin menemui ayah kita, sebelum semuanya terlambat, dan kita tidak pernah sempat mengatakannya."

Buku ini jadi semacam pengingat bagi kita anak-anak, bahwa orangtua, seperti apapun mereka, adalah bentuk kasih sayang Tuhan yang tidak bisa kita abaikan. Adalah sebentuk nasihat bahwa tidak selamanya kita bisa memeluk Ayah dan Bunda. Maka bersyukurlah, sayangi, perlakukan mereka dengan baik dan berbaktilah selagi waktu masih ada.
,
Judul Buku: Fearfacer #1 Sapaan untuk Yang Terpercaya
Penulis: Esa Khairina Husein
Penerbit: DAR! Mizan Anggota IKAPI
Ilustrasi: TOR Studio
Penyunting Naskah: Dian Hartati dan Irawati Subrata
Penyunting Ilustrasi: Kulniya Sally
Desain Sampul: Kulniya Sally
Proofreader: Febti Sribagusdadi Rahayu
Layout Sampul dan Setting Isi: Tim Artistik dan Neni H.
Digitalisasi: Garko
Terbit: Rabi' Al-Tsani 1436 H/Februari 2015
ISBN: 978-602-242-654-7
Rating: 3/5 Bintang

Niat Kei dan Lazu berlibur sebulan di London tak berjalan sesuai harapan. Tidak ada London Eye, Westminster Abbey, atau Buckingham Palace.

Tinggal bersama keluarga aneh yang mereka juluki 'The Franks' terasa begitu datar, Kei memutuskan bertualang sendiri. Penjelajahan tanpa arah mempertemukannya dengan Adrian, yang mengaku sebagai cucu Sherlock Holmes. Tertular virus Adrian, Kei menyisir daerah-daerah tak biasa hingga dia menemukan jurnal terakhir Holmes.

Di tempat lain Lazu menemukan petualangannya sendiri. Direkrut menjadi anggota kehormatan organisasi sekelas CIA menjadi mimpi buruknya, dan sayangnya justru menjadi nyata. Keputusasaan, rasa lelah, dan memar di sekujur tubuh menjadi makanannya sehari-hari.

Bagaimana bila di akhir, segalanya menjadi lebih pelik daripada perkiraan mereka? Bagaimana jika hanya karena jurnal tua, persahabatan, kepercayaan, dan loyalitas tak lagi ada harganya?

****

Fiksi remaja dalam genre fantasi dari Fantasteen yang saya baca dan saya suka. Kei dan Lazu adalah dua orang kakak beradik yang mendapatkan kesempatan untuk berlibur ke London. Sesaimpainya di sana, mereka dititipkan pada keluarga Frank yang terdiri dari empat orang dengan kepribadian berbeda-beda. Tidak ada yang istimewa dengan liburan kali ini kecuali judulnya saja. Hidup di rumah besar keluarga The Franks sama sekali tidak seru. Oleh karenanya, Kei yang memang doyan dan penasaran dengan hal-hal baru, mencoba menjelajah daerah sekitar sendirian. Dan, secara tidak sengaja ia bertemu dengan anak laki-laki yang mengaku sebagai cucu Sherlock Holmes.

Berbeda dengan Kei, Lazu justru tidak bisa kemana-mana. Ia terjebak di antara The Franks dan harus melalui serangkaian tes dan 'serangan-serangan' tidak terduga. Hal ini harus dirahasiakan, jadi ia tidak menceritakan apa-apa pada Kei. Dua kakak beradik ini pun melakukan petualangan yang berbeda. Namun ternyata, petualangan yang berbeda itu justru mempertemukan mereka berdua pada petualangan yang sesungguhnya. Apa itu?

Untuk ukuran fiksi fantasi remaja, konflik dalam buku ini tergolong ringan. Dan, karena bukan jenis fantasi seperti dalam cerita-cerita disney, beberapa setting yang ada juga nggak terlalu fantasi. Kecuali petualangan yang dialami Lazu. Sayang, konflik buku ini tidak berlangsung disini. Bukunya justru lebih menjurus pada cerita detektif, apalagi melibatkan tokoh Sherlock Holmes walau tidak secara langsung.

Tapi, saya menikmati banget bacanya. Di samping karena ceritanya yang ringan dan enak dibaca, jarang-jarang saya baca buku fantasi yang ditulis oleh penulis Indonesia. Hanya saja, penyelesaiannya terasa kurang greget. Mungkin kejutan lain akan ada di buku seri ke duanya.

Oh iya saya sempat kaget sih karena penulis menggunakan Sherlock Holmes dan kekasihnya sebagai salah satu tokoh dalam buku ini walau nggak secara langsung. Tapi menurut saya cerdas sih dan menunjukkan banget kalau penulis juga mengidolakan detektif jago ini. Btw, saya belum baca Sherlock Holmes loh T.T

Kamis, 04 Januari 2018

,
Judul Buku: Parade Para Monster
Penulis: Eva Sri Rahayu
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama – M&C (Penerbit Clover)
Editor: Vivekanada Gitandjali TD
Editor Supervisi: Risma Megawati
Ilustrasi: Grace Dijauw/RSDF
Desain Sampul & Grafis: Heru Lesmana
Cetakan Pertama: 2017
ISBN: 9 786024 286736
Rating:

“There’s a monster inside me.”

Semenjak kekuatan misterius dalam dirinya bangkit, Weena jadi sangat terobsesi pada Festival Halloween yang diadakan di Greenwich Village di Manhattan. Bagi Weena yang dianggap monster, tidak ada tempat yang lebih cocok selain Festival Halloween: paradenya para monster!

Bersama dengan sahabatnya, Jack, Weena mendaftar sebagai volunteer di Festival itu. Sayangnya pengajuan mereka ditolak. Tapi tiba-tiba, muncul undangan misterius untuk datang ke Festival Halloween “yang lain”.

Sebuah undangan yang membuka pintu ke dunia para monster... yang akan membahayakan nyawa mereka berdua!

“I am never afraid, never sad, and never cry. I will destroy those who hurt me. I am a monster.”

****
Awalnya, Weena adalah gadis biasa. Namun, segalanya berubah ketika secara tiba-tiba ia dapat memindahkan benda-benda sesuai keinginannya. Teman-temannya sontak menganggapnya menakutkan, monster. Oleh karenanya, sejak kecil Weena sudah terbiasa hidup nyaris terisolir dengan orang-orang di sekitarnya. Beruntung, ia mengenal Jack, cowok yang sekolah di tempat yang sama dengannya dan ternyata tidak mempermasalahkan keanehan yang dimilikinya. Weena dan Jack sama-sama terobsesi pada Halloween. Keduanya pun mendaftar menjadi relawan di Festival Halloween di Manhataan, namun ditolak. Tapi, kemudian mereka mendapat undangan misterius. Ternyata ada Festival Halloween lain yang mengundang mereka kesana. Di tempat itulah petualangan mereka dimulai.
****
Parade Para Monster adalah buku Eva Sri Rahayu pertama yang saya baca. Ketinggalan banget ya hihi. Tapi, walau buku pertama, di awal-awal baca buku ini udah langsung suka sama ceritanya. Harus diakui kalau penulis genre fantasi di Indonesia masih jarang. Bacaan fantasi kita rata-rata kayaknya masih didominasi buku terjemahan. Jadi, saya appreciate banget setiap ada penulis Indonesia yang menulis buku bergenre fantasi.

Ide cerita dan tema yang diangkat juga menarik. Halloween! Indonesia memang nggak merayakan festival ini, tapi lewat buku ini saya jadi tahu tentang apa sih sebenarnya Halloween itu? Siapa Jack O’lantern dan kepala labunya yang menyeringai serta mengapa sampai ada perayaan Halloween? Hanya saja di pertengahan unsur roman yang ada entah kenapa terasa sedikit mengganggu karena porsinya yang kebanyakan. Ekspektasi saya lebih ke petualangan fantasi yang akan dialami Weena bersama teman-temannya di negeri Far Far Away. Namun yang dominan rupanya malah debar-debar cinta anak SMA yang diliputi unsur orang ketiga.

Leganya, ketika memasuki konflik utama dan penyelesaian, bagian romannya sudah agak berkurang berganti dengan pertarungan-pertarungan hebat dan cukup sengit kalau boleh saya bilang. Akhirnya ceritanya seru lagi dan sarat petualangan kembali. Endingnya cukup mengejutkan karena dari pertarungan yang ada, saya seperti merasa bahwa buku ini tidak akan menemukan akhir bahagia. Ternyata perkiraan saya salah. Rumus ending yang digunakan sebenarnya mainstream dan banyak ditemukan dalam film-film action yang pernah saya tonton, tapi penulis berhasil membuat pembaca tidak menyadarinya sehingga nggak muncul kalimat “ah paling juga gini....” atau “nanti pasti juga begitu.”


Oh ya satu lagi. Ini bukan kritik, bukan saran, juga bukan penilaian minus terhadap bukunya tapi entah mengapa saya merasa bahwa bukunya sepertinya akan lebih enak kalau menggunakan sudut pandang orang ketiga. Ini hanya pendapat pribadi saya saja sebagai pembaca.