Catatan harian yang semakin renta dan tua

Rabu, 18 Desember 2013

Cinta Tak Sempurna

Cinta seperti apa yang aku inginkan? Cintaiku apa adanya. Itu sudah lebih dari cukup.
_Shabrina Ariesta_

‘Cintaiku apa adanya.’ Itu katamu. Aku menyanggupinya, tanpa banyak tanya.
_Fabian Alfonso_

Cintaku masih bertahan disini. Tanpa berani menampakkan wujudnya.
_Bianca Lewis_

Sakit. Itu yang kau rasakan. Sama sepertiku. Kapan kau akan memandangku?
_Bimo Ardian_

Cinta. Satu kata aja ‘bullshit’.
_ Fay Bara Putra_

*SATU*
12 Desember 2012. Empat tahun sudah. Empat tahun sudah aku bersamanya. Menjalin kasih dengan penuh cinta. Aku tidak tahu bagaimana menggambarkannya, yang pasti aku bahagia.’
Pukul 12.01 malam. Kembali seperti empat tahun lalu. Shabrina Ariesta. Gadis berusia delapan belas tahun itu menutup diary-nya dengan senyum yang sejak seminggu yang lalu sudah bertengger dengan manis di bibirnya. Persis seperti orang gila.
Drrt…drrrttt…
One Message Received.

From: Bian
Happy Aniversary yang keempat sayang.
Aku sayang kamu :*

Pesan singkat dari Bian. Fabian Alfonso. Pacarnya sejak empat tahun yang lalu. Betapa bahagianya memiliki pacar sebaik, setampan, sepintar, setajir dan seromantis Bian. Itulah yang sering dikatakan teman-temannya sejak ia duduk di bangku kelas X. Saat ia pertama kali meresmikan dan mengikat hubungannya dengan Bian dengan kata pacaran. Dan ia tidak memungkirinya.
Bian memang baik, itulah yang ia tahu, karena sampai saat ini tidak pernah sekalipun Bian berlaku kasar terhadapnya. Marah saja bisa dibilang tidak pernah. Karena setiap kali Bian menunjukkan tanda-tanda akan marah, ia selalu menangkisnya dengan rajukan manja yang membuat laki-laki itu luluh.
Bian memang tampan. Itulah kenyataannya. Kulit putih bersih yang entah mengapa tak pernah gosong terbakar matahari meskipun hampir setiap hari laki-laki itu berjemur di bawah matahari untuk menjalankan hobinya bermain basket, bola mata cokelat yang hangat dan menunjukkan keramahan, alis yang tidak terlalu tebal namun tetap terlihat cocok dengan matanya, hidung mancung dan rahang yang tegas, tubuhnya yang tidak terlalu atletis namun tetap tidak kurus apalagi kerempeng untuk ukuran laki-laki.
Bian memang pintar. Itu fakta. Bian yang selalu juara umum sejak kecil. Bian yang selalu mewakili sekolah untuk mengikuti berbagai olimpiade dan lomba di bidang olahraga. Bian yang selalu menjadi ketua dalam segala hal sejak SMP. Ketua OSIS, ketua tim basket, Pradana dan ketua ekskul PMR.
Bian memang tajir. Tidak dipungkiri. Meskipun itu kekayaan orang tuanya, sudah bisa dipastikan, Bian yang memang anak tunggal di keluarga mereka akan meneruskan bisnis Ayahnya suatu saat nanti. Perusahaan yang bergerak di bidang real estat yang memiliki cabang hampir di seluruh penjuru Indonesia.
Bian yang romantis. Memang seperti itulah Bian. Selalu penuh kejutan dan kasih sayang. Itulah yang ia rasakan selama ini. Selama empat tahun. Ditekannya keypad ponselnya dengan cepat, membalas pesan itu. Tak ingin membuat Bian-nya menunggu lama.
****
From: Bina
Happy anniversary yang keempat juga J
Aku juga sayang kamu :*

Fabian Alfonso. Ditatapnya LCD ponselnya yang menampilkan pesan balasan dari kekasihnya. Kekasih yang sudah sejak empat tahun yang lalu menemani hari-harinya. Membuatnya tak terbiasa sendiri. Membuatnya seolah merasa sepi jika sehari saja tak mendengar kabarnya.
Shabrina Ariesta. Gadis biasa dan memang biasa saja. Tidak cantik namun terlihat manis. Tidak pintar, namun tidak juga tulalit. Bukan anak orang kaya. Bukan tipe gadis pesolek dengan segala jenis make-up. Bukan gadis yang terbiasa dengan high heels dan dress elegan. Gadis yang lebih suka tampil natural. Gadis yang sampai saat ini masih menggunakan bedak bayi dan telon sebagai parfum. Gadis yang lebih nyaman dengan jeans dan kaos atau kemeja kebesaran. Gadis yang masih mengandalkan sepatu keds sebagai alas kakinya. Gadis sederhana dan apa adanya.
****
Ia datang lagi. Dua belas Desember datang lagi. Hari ini datang lagi. Hari dengan sejuta sayatan pedang di setiap sudut hati. Dengan perih yang semakin menyakitkan di setiap irisannya. Gadis itu duduk termenung. Menatap wajah tersenyum yang dibingkai pigura di atas meja belajarnya. Ia menyanyanginya. Ia mencintainya. Ia mencintai laki-laki itu.
Jika ia egois, maka sejak saat pertama kali bertemu dengan laki-laki yang menyandang nama yang sama dengannya, ia pasti sudah mengejar laki-laki itu sejak dulu. Tak peduli apakah laki-laki itu tak mencintainya. Tak peduli apakah akan ada orang lain yang terluka. Tapi ia tidak bisa. Ia tidak mampu. Ia tidak sejahat itu.
Mengapa takdir tak pernah berpihak padanya? Sejak dulu. Sejak kecil. Sejak ia pertama kali menampakkan wujudnya di bumi. Wujud yang menurut orang-orang cantik. Wujud yang menurut orang-orang menarik. Ia yang peranakkan Jerman memang memiliki wajah dan bentuk fisik yang sedikit berbeda dari orang-orang Indonesia pada umumnya. Tubuh tinggi semampai, kaki yang jenjang dan wajah Indo-nya yang menawan.
Mengapa harus dia? Mengapa harus gadis itu? Mereka berbeda. Mereka tidak sama. Mereka hanya mirip. Mereka jauh. Dia berbeda dengan Bian dia dan Bian-nya. Bian yang kini duduk adalah Bian yang cantik, dan Bian-nya adalah Bian yang tampan. Bian yang saat ini termenung adalah Bian yang cerdas, dan Bian-nya adalah Bian yang pintar. Bian yang kini terluka bukanlah Bian yang tidak berperasaan, dan Bian-nya adalah Bian yang baik hati. Bian yang sejak dulu memendam ini adalah Bian yang berasal dari keluarga pengusaha, dan Biannya adalah Bian yang tidak pernah kekurangan apapun. Sedangkan gadis itu??
Sekali lagi mereka hanya mirip. Satu hal: Bian dan Bina.
****
Dengan langkah sempoyongan laki-laki itu melangkah memasuki kamar nyamannya. Tepatnya apartemen yang sejak empat tahun yang lalu ditempatinya. Pelariannya saat kepalanya terasa penuh. Saat hatinya terasa kacau. Sudah empat tahun berlalu, dan ia masih seperti ini. Menghabiskan malam di diskotik, menghirup berbungkus-bungkus nikotin, menenggak berbotol-botol alkohol untuk sejenak melupakan masalah yang dihadapinya – untuk kembali mengingatnya keesokan hari.
Tapi ternyata ia salah. Tak peduli semabuk apapun, alam bawah sadarnya tetap memerintahkannya untuk mengingatnya. Mengingat gadis itu. Gadis yang telah menelan luka yang sama pahitnya seperti dirinya. Gadis yang harus selalu melewati satu malam di setiap tahun dengan tangis yang tak pernah diluapkan dan pertanyaan-pertanyaan bodoh yang tak pernah memiliki jawaban. Sama sepertinya. Pertanyaan yang berputar di satu kata: Mengapa. Mengapa yang tidak pernah menemukan ‘karena’.
Dua belas Desember memang benar-benar petaka.
****
Laki-laki berusia dua puluh satu tahun itu melangkah dengan pasti dari terminal kedatangan Bandara Soekarno Hatta. 12 Desember 2012. Seperti janjinya kepada kedua orang tuanya, tepatnya Ibunya, bahwa ia akan kembali tahun ini. Ia tidak berjanji akan kembali pada tanggal 12 Desember 2012. Ia hanya berjanji bahwa setelah empat tahun ia akan kembali ke Indonesia. Pulang ke rumah dan menetap. Kebetulan saja pada hari ini. Di tanggal yang unik. Semoga ini pertanda baik.
Ia baru saja kembali dari Amerika. Menyelesaikan studi strata satunya di Universitas California Los Angeles di bidang bisnis. Seperti keinginan Ayahnya tentu saja, dan seperti impannya untuk menjadi seorang pengusaha sukses. Seandainya saja Ayahnya belum meninggal, ia pasti belum ada disini. Ia pasti masih di Amerika. Bersenang-senang dengan teman-temannya. Tapi demi mengingat Ibunya yang tak lagi muda, ia kembali. Menjadi anak yang berbakti. Lucu. Sangat lucu sebenarnya. Seorang Bara, mencoba menjadi anak yang berbakti dan patuh pada perintah orang tua.
Bara si tukang berantem sejak kecil. Bara si tukang cari gara-gara sejak kecil. Bara si tukang tawuran sejak SMP. Bara si tukang pukul. Bara si pembantah. Bara si trouble maker. Mungkin karena faktor umur yang entah mengapa begitu cepat menginjak angka 21 sehingga keinginan untuk mulai bersikap dewasa dan tidak kekanak-kanakkan muncul dalam benaknya.
Dengan hangat disambutnya pelukan rindu wanita itu. Ibunya yang sejak empat tahun lalu ditinggalkannya untuk menempuh pendidikan di Negeri Paman Sam.
“Aduh anak mama. Mama kangen banget sama kamu, nak. Tega sekali nggak pernah ngunjungin mama sejak berangkat ke Amerika. Diteleponin juga jarang banget diangkatnya. Mama kira kamu sudah lupa sama mama.” Ucap Ibu Vira sambil mendekap tubuh putra semata wayangnya erat.
Bara tersenyum. Tak menjawab kalimat sambutan mamanya. Ia tahu. Ini bukan saat yang tepat untuk bercanda, kecuali jika ingin mendapat tepukan keras.
“Kamu nggak kangen sama mama?” Tanya Ibu Vira sambil melepas pelukannya dan menatap wajah anaknya. Ia sudah besar. Sudah terlihat dewasa. Bola mata hitamnya semakin tajam. Rahangnya terlihat lebih kokoh dan tegas. Tubuhnya juga sudah lebih tinggi dan berotot. Mungkin saja ia rajin berolahraga disana. Sangat berbeda dengan penampilannya empat tahun lalu saat masih berusia tujuh belas tahun.
“Ya kangenlah ma.” Jawabnya sambil tersenyum. “Pulang yuk. Bara kangen masakan mama. Kangen juga sama rumah” Ajaknya sambil merangkul Ibunya ke area parkir tempat Mang Asep – supir keluarga mereka sejak Bara masih kecil, menunggu.
“Lho? Kamu nggak bawa siapa-siapa kesini selain koper sama barang-barangmu?” Tanya mamanya.
“Maksud mama? Siapa-siapa apanya?” Tanya Bara bingung.
“Ya calon istrilah Bara.” Jawab mamanya enteng sambil menatap Bara dengan tatapan seolah ia adalah makhluk paling aneh di muka bumi.
Langkahnya terhenti. Rangkulannya terlepas. Seketika matanya membulat maksimal. Seolah ingin keluar dari kelopaknya jika tidak ditegur sang mama. “Hush. Mata kamu udah kayak mau lompat aja.”
“Abisnya mama nanyanya aneh. Baru juga pulang udah langsung ditanyain calon istri.” Jawab Bara sambil kembali melangkah. Kali ini tanpa merangkul sang mama lagi.
“Ya kan kamu sudah dewasa. Udah dua puluh satu. Wajarlah kalo mama nanya calon istri. Emang kamu nggak pengen nikah. Mau jadi perjaka tua?”
Alamak. Apa pula ini. Nikah? Perjaka tua? Mamanya ini ada-ada saja. Memangnya ia sudah terlihat seperti kakek-kakek umur tujuh puluh tahun dengan wajah keriput dan uban dimana-mana?
“Nikah itu bagusnya kalo masih muda. Biar nanti kalo udah punya anak, kamu sama istri kamu masih muda juga.” Tambah beliau. Saat ini mereka sudah duduk di dalam mobil.
“Betul begitu kan Asep?” Mamanya kini sudah mulai meminta pendapat atau lebih tepatnya dukungan orang lain dan kali ini korbannya adalah Mang Asep.
Mang Asep tersenyum sambil menanggapi. “Iya Den. Betul itu. Ada lho Den orang di kampung saya nikahnya nanti umur tiga puluh tujuh. Punya anaknya nanti lima tahun setelah nikah. Jadilah anaknya diolok-olok teman-temannya gara-gara punya Bapak sudah tua.” Ternyata Mang Asep lebih cocok dikatakan sebagai partner disini.
“Iya deh. Nanti besok Bara hunting calon istri di PIM. Kalo perlu semua cewek yang ketemu sama Bara, Bara lamar semua. Biar mama banyak mantunya.” Jawabnya akhirnya yang menuai tepukan keras di punggungnya dari Sang mama.

Please leave your comment :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar