Bau apa, ya?
_Fay Bara Putra_
_EMPAT_
Bara
baru saja memasuki area kantor ketika ia tak sengaja berpapasan dengan
seorang gadis yang sepertinya ia kenal. Bukan kenal juga. Tepatnya
sepertinya pernah ia lihat. Gadis itu berpakaian sedikit aneh
menurutnya. Bagaimana bisa ada seorang gadis keluar dari kantor dengan
penampilan yang sangat jauh dari kata rapi kalau tidak mau dibilang
aneh. Iya aneh. Bagaimana bisa ia bertemu dengan gadis yang sangat biasa
seperti itu. Ini zaman modern. Sangat sulit untuk menemukan perempuan
dengan penampilan yang ….yang apa, ya? Pokoknya menurutnya gadis itu
aneh.
Ia menggunakan kemeja berwarna merah kotak-kotak yang agak kebesaran dengan panjang hampir mencapai lutut, celana jeans yang juga kalau dilihat tidak skinny seperti celana jeans yang sedang trend saat
ini, sepatu keds berwarna putih yang kelihatan jelas jarang dicuci, dan
tas selempang yang kalau diperhatikan sepertinya sudah digunakan cukup
lama. Mungkin mencapai angka tahun kalau dihitung. Rambutnya dikucir
kuda dengan beberapa helai anak rambut yang mencuat ke mana-mana dan
wajahnya tanpa riasan sama sekali. Jangankan blush on atau eye shadow, bedak saja sepertinya ia tidak menggunakannya.
Untung
saja ia manis. Yah… cukup manislah. Sehingga penampilannya yang agak
agak itu bisa sedikit tertutupi. Ditatapnya gadis yang kini behenti
tepat di depannya dengan pandangan aneh dan menyelidik kalau tidak bisa
dikatakan menilai. Dari ujung kepala sampai ujung kaki. Tatapan yang
sebenarnya bisa membuat sebagian besar perempuan ‘meleleh’ dibuatnya.
Tapi ternyata tidak. Gadis itu sama sekali tidak terlihat terpesona atau
sejenisnya. Justru sebaliknya. Ia malah memalingkan wajahnya ke arah
lain alias buang muka tanpa lupa menjulingkan matanya sebelumnya. Sikap
yang seketika membuat Bara gondok minta ampun. Hei! Tidakkah ia tahu
bahwa saat ini berada di bawah teritorinya? Daerah kekuasaannya? Ia
adalah Raja disini. Tidak ada yang pantas berlaku seperti itu disini
terhadapnya. Bakan di mana saja. Ia Bara. Seorang Fay Bara Putra.
Seorang eksekutif muda yang saat ini menjadi sorotan berbagai media dan
digilai jutaan gadis, bahkan tante-tante dan nenek-nenek yang terobsesi
menjadikannya menantu dan cucu mantu.
Sebelum sempat melancarkan
protesnya, gadis itu sudah terlebih dulu berlalu dari depannya. Sekilas
Bara mencium bau yang juga aneh menurutnya. Sepertinya bau itu tidak
asing. Tapi sudah lama tidak pernah diciumnya. Apa ya? Yang jelas itu
bukan bau ketiak atau bau keringat. Memangnya AC di kentornya sudah
tidak berfungsi sampai-sampai membuat orang-orang kepanasan dan
berkeringat?
Dilihatnya Pak Bambang, manajer HRD (Human Development Research) perusahaan menghampirinya dengan langkah tergesa. Ia tahu penyebabnya. Khawatir ia ‘meledak’ gara-gara sikap gadis tadi.
“Selamat pagi Pak Fay.” Sapanya sekedar basa basi.
“Pagi. Siapa tadi?” Tanyanya.
“Oh itu salah satu mahasiswi yang meminta izin untuk melakukan obsevasi di kantor, Pak.” Jawab Pak Bambang.
“Observasi?”
“Iya.
Katanya untuk pengambilan nilai UAS salah satu mata kuliah, mereka
diberi tugas oleh dosen untuk melakukan observasi terkait analaisis SWOT
(Strength, Weakness, Opportunity, Thread).”
Oh… manajemen strategi toh. Batin Bara. “Sudah Bapak terima surat permohonannya?” Tanyanya.
“Sudah
Pak. Tapi karena ini masih terlalu pagi, saya memintanya untuk kembali
lagi nanti siang. Atau jika bapak tidak berkenan, saya bisa
membatalkannya.”
“Tidak usah. Tidak apa-apa.”
****
“Bi,
lo udah masukkin surat permohonan buat observasi?” Tanya Bina pagi itu.
Ia baru saja sampai di kampus dan tak sengaja berpapasan dengan Bianca
di parkiran. Ia tidak berangkat dengan Bian dikarenakan Bian harus
mengikuti ujian.
“Udah. Tinggal observasi aja. Tapi karena hari ini perusahaan ada kegiatan, jadinya gue baru bisa mulainya besok.” Jawab Bianca.
“Emang lo observasi dimana?” Tanya Bina.
“Di
kantor om gue sih he…he.” Jawabnya sambil nyengir. Wajar saja. Bianca
memang berasal dari keluarga ‘berada’. Keluarga besarnya rata-rata
memiliki perusahaan sendiri baik dari pihak Ayah maupun Ibunya. Tinggal
pilih saja. Bahkan untuk kerja, ia tidak perlu repot-repot mencarinya
karena sudah dipastikan ia akan mendapatkan hak warisan. Bahkan mungkin
ia tidak perlu bekerja sama sekali. Benar-benar berbanding terbalik
dengan dirinya dan berbanding lurus dengan Fabian. Bianca sama dengan
Fabian.
“Elo dimana?” Tanya Bianca.
“Gue sih di Brata Putra
Group. Tadi aplikasinya udah gue masukkin. Tapi karena katanya masih
pagi, gue disuruh balik entar siang.
Brata Putra Group. Perusahaan
jasa yang benar-benar sudah dikenal. Bergerak di bidang jasa perhotelan
dan jasa pendidikan. Merupakan salah satu dari sekian banyak perusahaan
besar di Indonesia. Yang saat ini dipimpin oleh eksekutif muda. Putra
semata wayang keluarga Brata Putra yang baru saja menerima pelimpahan
wewenang dan jabatan beberapa hari yang lalu. Bina tahu perihal
pelimpahan ini dari Koran dan internet. Bahkan acara infotainment pun
menayangkannya. Sepertinya perusahaan ini memang tidak bisa dipandang
sebelah mata mengingat hanya untuk pelimpahan wewenang saja, berbagai
media berebut untuk meliputnya. Katanya sih pimpinan baru itu baru saja
menyelesaikan pendidikannya di Amerika. Masih 21 tahun. Big applause buat beliau. “Eh observasinya itu berapa hari sih Bi?”
“Ya tergantung sih kalo dari gue.”
“Tergantung
apanya?” Tanya Bina lagi. Maklum ia memang agak-agak blo’on dalam
hal-hal seperti ini. Ia lebih suka mata pelajaran eksak sebenarnya. Tapi
entah mengapa ia malah terdampar di ekonomi.
“Tergantung
data-datanya udah bisa mencukupi kebutuhan buat tugas lo atau nggak,
sama tergantung dari perusahaannya. Kalo mereka sibuk, ya bisa jadi
obeservasi elo bakalan dibikin singkat. Entah datanya udah cukup buat
diolah atau nggak.”
“Gitu, ya?” Tanya Bina dengan wajah memelas.
Pasalnya ia adalah orang yang sangat susah untuk membangun sebuah
interkasi dengan orang lain. Bisa dibilang ia penganut ansos – anti
sosial tinggi.
Bianca hanya mengangguk.
****
Waktunya
kembali. Kembali ke perusahaan maksudnya. Lagi-lagi Bian tidak bisa
menemaninya. Jadwal ujiannya hari ini memang padat. Dari pagi sampai
sore. Fabian sudah meminta maaf tadi karena tidak bisa mengantarnya.
Tapi karena ia sudah terlanjur khawatir tidak bisa menjalankan tugas
dengan baik, ia jadi marah-marah tidak jelas. Membuat Fabian juga
ikut-ikutan ‘ngambek’. Huh!
Sepanjang perjalanan ia terus berdoa dan mengucapkan kalimat-kalimat penyemangat dalam hati. Demi nilai Bina. Demi kuliah. Demi harapan Ayah Bunda. Demi masa depan yang cerah. Bisiknya dalam hati.
Sesampainya
di perusahaan, ia langsung menemui sekretaris Pak Bambang – manajer HRD
yang tadi pagi ditemuinya. Kini, ia sudah duduk di dalam ruangan Pak
Bambang dengan manis dan canggung. Ia kembali menjelaskan maksud dan
tujuannya datang kemari beserta data-data yang ia butuhkan kepada kepala
bagian Penelitian dan Pengembangan Tenaga Kerja perusahaan itu.
“Saya
mengerti dengan maksud dan tujuan Anda. Akan tetapi, karena disini
kapasitas saya hanya dalam bidang SDM, saya rasa Anda harus menghubungi
bagian-bagian yang lebih berkaitan. Kalau dari saya, saya hanya bisa
memberikan informasi yang berkaitan dengan tenaga kerja saja. Saya rasa
sebaiknya Anda menemui Bapak Indra Setiawan selaku manajer promosi dan
penjualan untuk data-data lainnya.”
****
Konsentrasinya
benar-benar sudah terganggu. Konsentrasinya benar-benar sudah buyar
sejak pagi tadi. Bahkan saat rapat Dewan Direksi tadi, ia tidak
sepenuhnya berada di sana. Perhatian dan pikirannya melayang ke satu
arah.
“BARA!” Teriak Nindy – gadis yang saat ini sedang
menemaninya makan siang dengan kesal. Sebagai informasi saja, Nindy
disini sama sekali bukan siapa-siapa. Ia hanya figuran dalam skenario kehidupannya. Begitulah Bara menyebutnya. Iya. Figuran. Pemeran tambahan jika tidak suka dibilang pemeran pembantu yang sama sekali tidak berpengaruh.
Nindy adalah kenalan Bara di kampus dulu. Teman seangkatan yang sampai sekarang masih getol untuk
mengejarnya. Tak perduli sudah berpuluh-puluh kali Bara menolaknya
dengan alasan yang sama: Ia tidak percaya dengan hal remeh-temeh sejenis
cinta. Tapi memang dasar Nindy-nya muka badak.
“Apa?” Tanyanya malas.
“Lo
dengerin gue nggak sih?” Tanya Nindy kesal sambil membanting sendok dan
garpu di atas meja. Mengundang perhatian para pengunjung café.
“Emang
lo ngomong apa tadi?” Tanya Bara santai. Tak peduli dengan tatapan
garang dan kesal Nindy serta tatapan ingin tahu beberapa pasang mata.
“Bar, please deh. Sampai kapan lo mau giniin gue terus?”
“Giniin lo gimana?”
“Ya sampai kapan lo bakal nganggep gue patung?”
“Nggak tahu. Gue kan udah bilang sama lo apa alasannya. Lo-nya aja yang ngotot.”
“Bar, lo liat dong gue. Apa kurangnya gue, coba?” Tanya Nindy dengan pe-denya.
Ditanya
seperti itu, Bara jadi tergelitik untuk menilai. Ditatapnya gadis itu
dengan tatapan tajam. Iya juga, ya. Kalau dipikir-pikir, laki-laki mana
yang tidak akan terpesona dengannya. Cantik, cerdas, berpendidikan,
punya karier yang bisa dibanggakan, berasal dari keluarga konglomerat, sexy, wangi
dengan parfum merk internaisonal, selalu terlihat menarik dengan
tampilannya yang modern. Semua itu cukup untuk dijadikan modal sebagai
menggaet laki-laki manapun, kecuali dirinya.
“Satu yang kurang
dari lo.” Ucap Bara tiba-tiba. “Lo kurang tulus. Lo cuma terobsesi sama
gue. Perasaan lo nggak tulus sama gue.” Sambungnya.
“Maksud lo?”
“Ya
gitu.” Ah iya! Ngomongin soal parfum, kok dia jadi ingat gadis itu
lagi, ya? Baunya…. Ah jadi itu! Seketika Bara menepuk jidatnya seolah
tersadar akan sesuatu. Nindy hanya menatapnya aneh.
“Akhirnya gue inget juga. Thank’s banget, ya Nin.” Ucapnya sambil beranjak dari duduknya dan berlalu dari hadapan Nindy.
Iya ingat itu bau apa. Itu minyak telon. Iya. Itu bau minyak telon.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar