Catatan harian yang semakin renta dan tua

Minggu, 29 Desember 2013

Cinta Tak Sempurna #4

Bau apa, ya?
_Fay Bara Putra_

_EMPAT_

Bara baru saja memasuki area kantor ketika ia tak sengaja berpapasan dengan seorang gadis yang sepertinya ia kenal. Bukan kenal juga. Tepatnya sepertinya pernah ia lihat. Gadis itu berpakaian sedikit aneh menurutnya. Bagaimana bisa ada seorang gadis keluar dari kantor dengan penampilan yang sangat jauh dari kata rapi kalau tidak mau dibilang aneh. Iya aneh. Bagaimana bisa ia bertemu dengan gadis yang sangat biasa seperti itu. Ini zaman modern. Sangat sulit untuk menemukan perempuan dengan penampilan yang ….yang apa, ya? Pokoknya menurutnya gadis itu aneh.
Ia menggunakan kemeja berwarna merah kotak-kotak yang agak kebesaran dengan panjang hampir mencapai lutut, celana jeans yang juga kalau dilihat tidak skinny seperti celana jeans yang sedang trend saat ini, sepatu keds berwarna putih yang kelihatan jelas jarang dicuci, dan tas selempang yang kalau diperhatikan sepertinya sudah digunakan cukup lama. Mungkin mencapai angka tahun kalau dihitung. Rambutnya dikucir kuda dengan beberapa helai anak rambut yang mencuat ke mana-mana dan wajahnya tanpa riasan sama sekali. Jangankan blush on atau eye shadow, bedak saja sepertinya ia tidak menggunakannya.
Untung saja ia manis. Yah… cukup manislah. Sehingga penampilannya yang agak agak itu bisa sedikit tertutupi. Ditatapnya gadis yang kini behenti tepat di depannya dengan pandangan aneh dan menyelidik kalau tidak bisa dikatakan menilai. Dari ujung kepala sampai ujung kaki. Tatapan yang sebenarnya bisa membuat sebagian besar perempuan ‘meleleh’ dibuatnya. Tapi ternyata tidak. Gadis itu sama sekali tidak terlihat terpesona atau sejenisnya. Justru sebaliknya. Ia malah memalingkan wajahnya ke arah lain alias buang muka tanpa lupa menjulingkan matanya sebelumnya. Sikap yang seketika membuat Bara gondok minta ampun. Hei! Tidakkah ia tahu bahwa saat ini berada di bawah teritorinya? Daerah kekuasaannya? Ia adalah Raja disini. Tidak ada yang pantas berlaku seperti itu disini terhadapnya. Bakan di mana saja. Ia Bara. Seorang Fay Bara Putra. Seorang eksekutif muda yang saat ini menjadi sorotan berbagai media dan digilai jutaan gadis, bahkan tante-tante dan nenek-nenek yang terobsesi menjadikannya menantu dan cucu mantu.
Sebelum sempat melancarkan protesnya, gadis itu sudah terlebih dulu berlalu dari depannya. Sekilas Bara mencium bau yang juga aneh menurutnya. Sepertinya bau itu tidak asing. Tapi sudah lama tidak pernah diciumnya. Apa ya? Yang jelas itu bukan bau ketiak atau bau keringat. Memangnya AC di kentornya sudah tidak berfungsi sampai-sampai membuat orang-orang kepanasan dan berkeringat?
Dilihatnya Pak Bambang, manajer HRD (Human Development Research) perusahaan menghampirinya dengan langkah tergesa. Ia tahu penyebabnya. Khawatir ia ‘meledak’ gara-gara sikap gadis tadi.
“Selamat pagi Pak Fay.” Sapanya sekedar basa basi.
“Pagi. Siapa tadi?” Tanyanya.
“Oh itu salah satu mahasiswi yang meminta izin untuk melakukan obsevasi di kantor, Pak.” Jawab Pak Bambang.
“Observasi?”
“Iya. Katanya untuk pengambilan nilai UAS salah satu mata kuliah, mereka diberi tugas oleh dosen untuk melakukan observasi terkait analaisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Thread).”
Oh… manajemen strategi toh. Batin Bara. “Sudah Bapak terima surat permohonannya?” Tanyanya.
“Sudah Pak. Tapi karena ini masih terlalu pagi, saya memintanya untuk kembali lagi nanti siang. Atau jika bapak tidak berkenan, saya bisa membatalkannya.”
“Tidak usah. Tidak apa-apa.”
****
“Bi, lo udah masukkin surat permohonan buat observasi?” Tanya Bina pagi itu. Ia baru saja sampai di kampus dan tak sengaja berpapasan dengan Bianca di parkiran. Ia tidak berangkat dengan Bian dikarenakan Bian harus mengikuti ujian.
“Udah. Tinggal observasi aja. Tapi karena hari ini perusahaan ada kegiatan, jadinya gue baru bisa mulainya besok.” Jawab Bianca.
“Emang lo observasi dimana?” Tanya Bina.
“Di kantor om gue sih he…he.” Jawabnya sambil nyengir. Wajar saja. Bianca memang berasal dari keluarga ‘berada’. Keluarga besarnya rata-rata memiliki perusahaan sendiri baik dari pihak Ayah maupun Ibunya. Tinggal pilih saja. Bahkan untuk kerja, ia tidak perlu repot-repot mencarinya karena sudah dipastikan ia akan mendapatkan hak warisan. Bahkan mungkin ia tidak perlu bekerja sama sekali. Benar-benar berbanding terbalik dengan dirinya dan berbanding lurus dengan Fabian. Bianca sama dengan Fabian.
“Elo dimana?” Tanya Bianca.
“Gue sih di Brata Putra Group. Tadi aplikasinya udah gue masukkin. Tapi karena katanya masih pagi, gue disuruh balik entar siang.
Brata Putra Group. Perusahaan jasa yang benar-benar sudah dikenal. Bergerak di bidang jasa perhotelan dan jasa pendidikan. Merupakan salah satu dari sekian banyak perusahaan besar di Indonesia. Yang saat ini dipimpin oleh eksekutif muda. Putra semata wayang keluarga Brata Putra yang baru saja menerima pelimpahan wewenang dan jabatan beberapa hari yang lalu. Bina tahu perihal pelimpahan ini dari Koran dan internet. Bahkan acara infotainment pun menayangkannya. Sepertinya perusahaan ini memang tidak bisa dipandang sebelah mata mengingat hanya untuk pelimpahan wewenang saja, berbagai media berebut untuk meliputnya. Katanya sih pimpinan baru itu baru saja menyelesaikan pendidikannya di Amerika. Masih 21 tahun. Big applause buat beliau. “Eh observasinya itu berapa hari sih Bi?”
“Ya tergantung sih kalo dari gue.”
“Tergantung apanya?” Tanya Bina lagi. Maklum ia memang agak-agak blo’on dalam hal-hal seperti ini. Ia lebih suka mata pelajaran eksak sebenarnya. Tapi entah mengapa ia malah terdampar di ekonomi.
“Tergantung data-datanya udah bisa mencukupi kebutuhan buat tugas lo atau nggak, sama tergantung dari perusahaannya. Kalo mereka sibuk, ya bisa jadi obeservasi elo bakalan dibikin singkat. Entah datanya udah cukup buat diolah atau nggak.”
“Gitu, ya?” Tanya Bina dengan wajah memelas. Pasalnya ia adalah orang yang sangat susah untuk membangun sebuah interkasi dengan orang lain. Bisa dibilang ia penganut ansos – anti sosial tinggi.
Bianca hanya mengangguk.
****
Waktunya kembali. Kembali ke perusahaan maksudnya. Lagi-lagi Bian tidak bisa menemaninya. Jadwal ujiannya hari ini memang padat. Dari pagi sampai sore. Fabian sudah meminta maaf tadi karena tidak bisa mengantarnya. Tapi karena ia sudah terlanjur khawatir tidak bisa menjalankan tugas dengan baik, ia jadi marah-marah tidak jelas. Membuat Fabian juga ikut-ikutan ‘ngambek’. Huh!
Sepanjang perjalanan ia terus berdoa dan mengucapkan kalimat-kalimat penyemangat dalam hati. Demi nilai Bina. Demi kuliah. Demi harapan Ayah Bunda. Demi masa depan yang cerah. Bisiknya dalam hati.
Sesampainya di perusahaan, ia langsung menemui sekretaris Pak Bambang – manajer HRD yang tadi pagi ditemuinya. Kini, ia sudah duduk di dalam ruangan Pak Bambang dengan manis dan canggung. Ia kembali menjelaskan maksud dan tujuannya datang kemari beserta data-data yang ia butuhkan kepada kepala bagian Penelitian dan Pengembangan Tenaga Kerja perusahaan itu.
“Saya mengerti dengan maksud dan tujuan Anda. Akan tetapi, karena disini kapasitas saya hanya dalam bidang SDM, saya rasa Anda harus menghubungi bagian-bagian yang lebih berkaitan. Kalau dari saya, saya hanya bisa memberikan informasi yang berkaitan dengan tenaga kerja saja. Saya rasa sebaiknya Anda menemui Bapak Indra Setiawan selaku manajer promosi dan penjualan untuk data-data lainnya.”
****
Konsentrasinya benar-benar sudah terganggu. Konsentrasinya benar-benar sudah buyar sejak pagi tadi. Bahkan saat rapat Dewan Direksi tadi, ia tidak sepenuhnya berada di sana. Perhatian dan pikirannya melayang ke satu arah.
“BARA!” Teriak Nindy – gadis yang saat ini sedang menemaninya makan siang dengan kesal. Sebagai informasi saja, Nindy disini sama sekali bukan siapa-siapa. Ia hanya figuran dalam skenario kehidupannya. Begitulah Bara menyebutnya. Iya. Figuran. Pemeran tambahan jika tidak suka dibilang pemeran pembantu yang sama sekali tidak berpengaruh.
Nindy adalah kenalan Bara di kampus dulu. Teman seangkatan yang sampai sekarang masih getol untuk mengejarnya. Tak perduli sudah berpuluh-puluh kali Bara menolaknya dengan alasan yang sama: Ia tidak percaya dengan hal remeh-temeh sejenis cinta. Tapi memang dasar Nindy-nya muka badak.
“Apa?” Tanyanya malas.
“Lo dengerin gue nggak sih?” Tanya Nindy kesal sambil membanting sendok dan garpu di atas meja. Mengundang perhatian para pengunjung café.
“Emang lo ngomong apa tadi?” Tanya Bara santai. Tak peduli dengan tatapan garang dan kesal Nindy serta tatapan ingin tahu beberapa pasang mata.
“Bar, please deh. Sampai kapan lo mau giniin gue terus?”
“Giniin lo gimana?”
“Ya sampai kapan lo bakal nganggep gue patung?”
“Nggak tahu. Gue kan udah bilang sama lo apa alasannya. Lo-nya aja yang ngotot.”
“Bar, lo liat dong gue. Apa kurangnya gue, coba?” Tanya Nindy dengan pe-denya.
Ditanya seperti itu, Bara jadi tergelitik untuk menilai. Ditatapnya gadis itu dengan tatapan tajam. Iya juga, ya. Kalau dipikir-pikir, laki-laki mana yang tidak akan terpesona dengannya. Cantik, cerdas, berpendidikan, punya karier yang bisa dibanggakan, berasal dari keluarga konglomerat, sexy, wangi dengan parfum merk internaisonal, selalu terlihat menarik dengan tampilannya yang modern. Semua itu cukup untuk dijadikan modal sebagai menggaet laki-laki manapun, kecuali dirinya.
“Satu yang kurang dari lo.” Ucap Bara tiba-tiba. “Lo kurang tulus. Lo cuma terobsesi sama gue. Perasaan lo nggak tulus sama gue.” Sambungnya.
“Maksud lo?”
“Ya gitu.” Ah iya! Ngomongin soal parfum, kok dia jadi ingat gadis itu lagi, ya? Baunya…. Ah jadi itu! Seketika Bara menepuk jidatnya seolah tersadar akan sesuatu. Nindy hanya menatapnya aneh.
“Akhirnya gue inget juga. Thank’s banget, ya Nin.” Ucapnya sambil beranjak dari duduknya dan berlalu dari hadapan Nindy.
Iya ingat itu bau apa. Itu minyak telon. Iya. Itu bau minyak telon.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar