Catatan harian yang semakin renta dan tua

Selasa, 25 Desember 2018

[Resensi] Bumi Manusia (Tetralogi Buru #1) By Pramoedya Ananta Toer

Judul Buku: Bumi Manusia
Penulis: Pramoedya Ananta Toer
Penerbit: LENTERA DIPANTARA
Desain Sampul: Nadia
Editor: Astuti Ananta Toer
Cetakan 10: September 2005
Cetakan 11: Juni 2006
Cetakan 12: Desember 2006
Cetakan 13: Mei 2008
Cetakan 14: Juni 2009
Cetakan 15: Januari 2010
Cetakan 16: Oktober 2010
Cetakan 17: Januari 2011
ISBN: 979-97312-3-2
Rating: 5 Bintang

Roman Tetralogi Buru mengambil latar belakang dan cikal bakal nation Indonesia di awal abad ke-20. Dengan membacanya waktu kita dibalikkan sedemikian rupa dan hidup di era membibitnya pergerakan nasional mula-mula, juga pertautan raga, kegamangan jiwa, percintaan, dan pertarungan anonim para srikandi yang mengawal penyemaian bangunan nasional yang kemudian kelak melahirkan Indonesia modern.

Roman bagian pertama; Bumi Manusia, sebagai periode penyemaian dan kegelisahan dimana Minke sebagai aktor sekaligus kreator adalah manusia berdarah priyayi yang semampu mungkin keluar dari kepompong kejawaannya menuju manusia yang bebas dan merdeka, di sudut lain membelah jiwa ke-Eropa-an yang menjadi simbol dan kiblat dari ketinggian pengetahuan dan peradaban.

Pram menggambarkan sebuah adegan antara Minke dengan ayahnya yang sangat sentimentil: Aku mengangkat sembah sebagaiman biasa aku lihat dilakukan punggawa terhadap kakekku dan nenekku dan orangtuaku, waktu lebaran. Dan yang sekarang tak juga kuturunkan sebelum Bupati itu duduk enak di trmpatnya. Dalam mengangkat sembah serasa hilang seluruh ilmudan pengetahuan yang kupelajari tahun demi tahun belakangan ini. Hilang indahnya dunia sebagaimana dijanjikan oleh kemajuan ilmu .... Sembah pengagungan pada leluhur dan pembesar melalui perendahan dan penghinaan diri! Sampai sedatar tanah kalau mungkin! Uh, anak-cucuku tak kurelakan menjalani kehinaan ini.

"Kita kalah Ma," bisikku.

"Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya."

****

Berkisah tentang Minke, pribumi asli bersuku Jawa yang menempuh pendidikan di HBS (Hogere Burgerschool) Surabaya. HBS adalah sekolah menengah umum pada zaman Hindia Belanda untuk orang Belanda, Eropa atau elit pribumi dengan bahasa pengantar Bahasa Belanda (credit: wikipedia).

Suatu hari, Minke, diajak oleh teman satu sekolahnya, Robert Suurhof untuk berkunjung ke rumah salah satu pengusaha terkenal di zaman itu, di kediaman Herman Mellema. Disana, ia berkenalan dengan Robert Mellema dan juga Annelies Mellema, putra dan putri Herman Mellema bersama gundiknya yang banyak dikenal dengan sebutan Nyai Ontosoroh. Dan kunjungan yang tak pernah Minke rencanakan itu membawanya pada peristiwa-peristiwa tak terduga.

Sebagai siswa HBS, citra Minke bisa dikatakan cukup baik, walaupun ia dikenal sebagai pribumi tanpa nama keluarga. Hanya saja, status Nyai Ontosoroh sebagai gundik orang Eropa, dan kunjungan-kunjungan lain yang menyusul setelah kunjungan pertama membuat hidupnya menjadi rumit.

Dalam buku ini, saya merasa seperti diajak untuk menengok kondisi masyarakat Hindia Belanda yang mengambil latar kota Surabaya di akhir abad ke-19. Dapat dilihat bawah kelahiran Indonesia modern terjadi di masa ini. Sebagai percontohan, Minke, laki-laki bersuku Jawa yang diperkenalkan pada pendidikan dan budaya Eropa, pengetahuan dan ilmu, hal yang membuatnya mulai berpikir dan bertindak kritis terhadap sekitar, terutama terhadap budaya peninggalan leluhur yang seolah mengekang seseorang untuk selalu tunduk dan sujud pada adab yang sudah diwariskan turun temurun. Dalam buku ini, Minke adalah pria Jawa dengan tingkat kecerdasan dan pola pikir orang Eropa.

Selain itu, buku ini juga memaparkan kondisi perlindungan dan penegakan hukum yang diaplikasikan di Hindia Belanda pada zaman itu. Orang-orang pribumi mungkin memang kelihatannya dilindungi haknya, terutama dari kepemimpinan raja-raja terdahulu, hanya saja hak-hak yang dilindungi itu tidak lebih tinggi kedudukannya dari kepentingan orang Eropa. Seperti pembagian warisan Herman Mellema setelah ia wafat, hak asuh terhadap anak yang diakuinya, hingga status Minke dan Annelies. Hal yang membuat saya miris dan membayangkan betapa 'kejamnya' hukum pada saat itu.

Buku ini juga memuat kisah romansa dengan Minke sebagai tokoh utamanya juga, roman yang menyedihkan. kisah yang menjadi penutup buku ini dan membuat saya penasaran setengah mati untuk membaca buku keduanya. Padahal, awal-awal membaca, saya sedikit merasa bahwa buku ini masuk kategori 'berat' tapi ternyata tidak, pelan-pelan malah saya terbiasa dengan gaya menulis Pram dan menikmatinya.

5 komentar:

  1. Aku baca ini di 2007an. Agak kurang mudeng waktu Mince ngelepas istrinya. Itu pisahnya kenapa sih Mak?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Karena mereka nggak menang di pengadilan. Penilaian hukum pada saat itu, Annelies masih di bawah umur jadi pernikahannya dengan Minke tidak sah

      Hapus
  2. Akubbaru baca setengahnya, mungkin belum terbiasa dengan gaya penulisannya Pram. Tapi, aku mau baca lagi. Masih penasaran sama cerita lengkapnya

    BalasHapus
  3. Saya masih penasaran banget dengan buku2nya Pram. Apalagi buku tentang Bumi Manusia ini. Sudah masuk list bacaan tahun ini. Terima kasih udah mengulas bukunya. Jadi tambah penasaran untuk membacanya.

    BalasHapus