Catatan harian yang semakin renta dan tua

Rabu, 17 September 2014

Je t'aime - Trik Jatuh Cinta

Sumber Gambar

Lonceng kecil yang tergantung di pintu café berdenting merdu ketika sosok gadis itu menyembul di baliknya. Seorang pramusaji menyambutnya dengan senyum sumringah ala orang Indonesia. Gadis itu membalasnya tak kalah ramah kemudian mengedarkan pandangannya mencari meja yang kosong. Café ini memang selalu ramai oleh pengunjung. Apalagi saat hari menjelang sore. Pilihanya jatuh pada meja kosong di sudut café yang langsung mengarah ke jendela. Gadis itu berjalan dan langsung menghempaskan tubuhnya dengan gaya dramatis di salah satu kursi. Seperti hari-hari sebelumnya, café ini akan selalu menjadi tempat pelariannya saat ia sedang lelah. Entah itu karena pekerjaan atau karena hal-hal lainnnya.


Gadis itu, Arini, menghembuskan napas lelah. Badannya terasa remuk semua dan pikirannya terasa buntu. Sejak kemarin ia mencari ide untuk melanjutkan novelnya, namun tak satupun yang mampir ke otaknya, membuat editornya, Egy yang super cerewet itu mengomelinya seharian.

Arini adalah seorang penulis novel yang cukup terkenal. Sudah sejak tiga tahun yang lalu ia menekuni hobi sekaligus pekerjaannya ini. Dan selama itu pula, ia tidak pernah mengalami kesulitan. Bahkan ada novel karangannya yang menuai sukses dan menjadi best seller. Akan tetapi, entah kenapa untuk penulisan novelnya kali ini benar-benar terasa sulit, padahal baru masuk bab kelima. Bab keempat yang diserahkannya pada Egy kemarinpun banyak mengalami revisi. Yeah, menulis novel memang bukan hal yang mudah, tapi Arini tidak pernah tahu bahwa akan sesulit ini.

Sebenarnya ini semua tidak akan terjadi jika saja Egy tidak menyarankan hal itu. Seperti yang sudah diketahui banyak orang, Arini adalah penulis novel misteri. Dan tentu saja misteri adalah sesuatu yang berhubungan dengan teka-teki. Tidak ada masalah dengan hal itu. Tapi beberapa minggu yang lalu, Egy menyarankan padanya untuk menambahkan bumbu sedikit cerita cinta di dalamnya. Laki-laki cupu itu menganggap bahwa Arini perlu melakukan improvisasi dalam gayanya menulis. Bukan karena tulisannya tidak bagus atau tidak menarik, tapi Egy menganggap bahwa kedatangan para penulis baru yang masih muda dengan ide-idenya yang masih fresh dan sesuai dengan selera remaja sekarang bisa saja membahayakan posisi Arini. Selama ini, Arini hanya selalu mengutamakan rasa ingin tahu pembaca untuk terus membuka lembar demi lembar novel tulisannya, tanpa pernah sekalipun membawa perasaan mereka untuk benar-benar masuk ke dalamnya, begitu kata Egy.

Itu bukan masalah. Lagipula gue nggak merasa terancam dengan kehadiran penulis-penulis muda. Bukannya itu bagus? Berarti semangat para anak muda untuk membaca meningkat, karena jika mereka suka menulis, sudah pasti mereka suka membaca. Dan membaca bukan hal yang buruk. Arini pernah membantah kata-kata Egy dengan kalimat seperti ini, tapi ia justru diceramahi.
Sebenarnya dalam hati Arini membenarkan kata-kata Egy. Sebagai seseorang yang hanya menggantungkan hidupnya pada kebaikan hati para pembaca untuk mengeluarkan beberapa ribuan demi tulisannya, Arini tidak bisa main-main dengan kariernya. Sebisa mungkin ia harus mempertahankan pembacanya bahkan sampai kapanpun. Satu-satunya keterampilan yang ia sadari dari dirinya hanya menulis. Dan novel tentang cinta memang lebih banyak digemari. Tapi masalahnya, bagaimana caranya Arini memasukkan bumbu manis bernama cinta ke dalam ceritanya jika ia saja belum pernah jatuh cinta?

Ponsel Arini yang tergeletak di meja berbunyi. Ada panggilan masuk. Buru-buru diraihnya ponselnya tersebut dan seketika mengutuk dalam hati ketika diketahuinya siapa yang mengubunginya. Egy.

“Apa?” Jawab Arini malas.

“Lo lagi dimana?” Tanya suara berat di seberang.

“Di cafĂ© deket kantor. Kenapa?”

“Gue kesitu.” Egy langsung menutup panggilannya tanpa menunggu jawaban Arini. Beberapa menit kemudian, wajah laki-laki itu telah muncul di depan mata Arini.

“Ngapain kesini?” Tanya Arini dengan nada sinis. Ia sedang kesal dengan Egy dan tak ingin melihat wajahnya. Untuk urusan pekerjaan, Egy memang editornya. Tapi di luar dari itu, Egy adalah sahabatnya.

“Gue minta maaf tadi udah marah-marahin elo. Lo tahu sendiri, kan gue kayak gitu karena apa.” Ujar Egy menjawab pertanyaan Arini.

“Hmmm…” Arini hanya menggumam pelan.

Egy diam tidak menanggapi. “Gini deh Rin. Gue ada ide biar elo nggak kesulitan begini buat nyari ide.” Celetuknya tiba-tiba.

Arini mengangkat salah satu alisnya, bertanya.

“Elo nggak bisa nulis cerita cinta karena elo belum pernah jatuh cinta bahkan setelah dua puluh tahun elo berkeliaran di bumi. Jadi solusinya cuma satu: elo harus jatuh cinta!”

****
            Arini harus jatuh cinta, begitu kata Egy. Awalnya Arini mengira Egy hanya bercanda berkata seperti itu. Tapi ternyata laki-laki itu serius. Ia benar-benar menyarankan Arini untuk jatuh cinta. Memberi saran memang gampang, tapi melakukannya itu yang susah. Hampir saja Arini melempar wajah polos Egy dengan vas bunga saat Egy mengatakan bahwa jatuh cinta adalah hal yang mudah. Bagaimana caranya?

Arini jadi teringat jawaban Egy ketika Arini bertanya apa yang membuat Egy berkesimpulan bahwa jatuh cinta itu mudah.

“Gini ya Rin. Kenapa menurut gue jatuh cinta itu mudah? Elo cewek. Dan cewek, adalah makhluk yang mudah jatuh cinta. Cewek adalah spesies yang haus akan namanya perhatian. Apalagi perhatian berlebih dari seorang cowok. Hal itu bisa membuat mereka menyimpulkan bahwa cowok itu jatuh cinta sama mereka dan membuat mereka akhirnya memutuskan untuk ikut jatuh cinta pada cowok itu. Ini fakta, karena berdasarkan apa yang gue lihat di sosmed, yang paling banyak diserang wabah para PHP rata-rata kaum cewek.”

“Jadi, untuk membuat seorang cewek jatuh cinta hanyalah satu. Beri dia perhatian. Dalam kasus elo, elo cuma perlu cari siapa yang mau kasih perhatian ke elo. Dan gue bakal bantu buat cari orang itu.”

Egy sinting. Emang dikira gue apaan sampe harus cari orang yang mau perhatiin gue. Gue cukup perhatian pada diri gue sendiri jadi gue nggak mungkin haus perhatian siapapun. Tapi Egy tidak peduli. Ia tetap bersikeras akan menemukan siapapun laki-laki yang mau memberi Arini perhatian yang bisa membuat gadis itu jatuh cinta.

****
Arini memejamkan matanya menikmati hembusan angin yang menerpa wajahnya sore itu. Ia sedang duduk duduk di bangku taman, seperti biasa, mencari ide. Beginilah yang ia lakukan. Berpindah tempat untuk bersemedi setiap hari. Ketika hendak meraih tas ransel yang ia letakkan di salah satu sisi bangku untuk mengeluarkan alat perangnya, sebuah kotak cantik dengan pita merah tergeletak disana. Diraihnya kotak tersebut yang ternyata berisi cokelat dan kartu ucapan. Dibukanya kartu ucapan itu dan membaca kalimat dalam bahasa Perancis yang tertera disana. 

Je t’aime

Arini memang tidak pernah belajar bahasa Perancis, tapi ia mengerti maksud dari kalimat ini. Ini adalah pernyataan cinta. Aku cinta kamu, begitulah artinya jika dibahasaindonesiakan. Milik siapa ini? Arini mengedarkan pandangannya ke kiri dan ke kanan, mencari pemilik kotak tersebut. Kira-kira sepuluh meter dari tempatnya duduk, matanya menangkap sesosok tubuh jangkung seorang laki-laki yang sedang berjalan. Cepat-cepat dikejaenya laki-laki itu sebelum ia semakin menjauh.

“Mas… Mas…” Panggilnya., tapi laki-laki itu terus saja berjalan. Sama sekali tak menghiraukan panggilan Arini.
Oke. Sepertinya ia berpikir bahwa bukan ia yang dipanggil. Tanpa ragu, Arini mengetukkan satu jarinya di bahu laki-laki itu dan mengulang panggilannya. Langkah laki-laki itu berhenti dan sontak membalikkan tubuhnya.

            Apa yang ditangkap mata Arini benar-benar membuatnya terperangah. Laki-laki yang kini berdiri di hadapannya sambil menatapnya dengan wajah kebingungan benar-benar tampan. Pria bule dengan hidungnya yang begitu mancung serta mata birunya yang begitu jernih. Sesaat ia tak mampu berkata-kata hingga teguran suara berat milik laki-laki itu membuatnya tersadar.

“Can I help you?” Tanya pria bule itu sambil menatap wajah Arini. Yeah, kebiasaan orang barat, selalu menatap wajah lawan bicaranya saat bicara.

Arini sedikit tergagap untuk menjawabnya. Tatapan laki-laki itu benar-benar membuatnya seperti kehilangan semua kosa kata yang tersimpan di kepalanya. “Mmm is it yours?” Tanyanya sambil menunjukkan kotak cokelat yang ditemukannya.

“You found it?” Bule itu malah balik bertanya dengan wajah yang terlihat begitu surprise.

“Yeah, I…”

“What a beautiful chance.” Belum selesai Arini bicara, laki-laki itu telah memotongnya. “You know, I just decided to play around with destiny. I never thought that there would be a pretty girl who found that chocolate.” Ujarnya kemudian.

Arini jadi bingung mendengarnya. Apa maksudnya dengan tidak pernah berpikir bahwa akan ada seorang gadis cantik yang menemukan cokelat ini? Apa cokelat ini memang sengaja ditinggalkan?

“I’ve promised that if there was a girl who found that chocolate, then I would  propose to her. So, will you marry me?”

“What the…

****
“Jadi tuh bule langsung ngelamar elo?” Tanya Egy sambil menahan tawa ketika Arini selesai menceritakan kejadian konyol yang dialaminya kemarin.

“Yeah, and I don’t even know his name. It’s crazy!” Gerutu Arini kesal. Ia benar-benar tidak habis pikir dengan apa yang terjadi pada bule gila itu. Apa kepalanya baru saja kejedot metro mini?

Egy malah semakin terbahak. “Trus? Abis denger dia bilang gitu, lo ngapain?” Tanyanya.

“Ya gue langsung kaburlah dari situ.” Jawab Arini malas.

“Ya udahlah nggak usah dipikirin. Tuh bule emang lagi error kali. Lagian lo sama dia nggak mungkin ketemu lagi. Dunia emang sempit, tapi cukup luas untuk mencegah dua orang yang nggak saling kenal ketemu secara nggak sengaja sampai dua kali.” Ujar Egy menenangkan. Arini memang pribadi yang meledak-ledak dan selalu over thinking. Maka tidak heran hal-hal kecil bahkan konyol seperti ini bisa membuatnya kesal setengah mati.

Mendengar hal itu, Arini mengangguk sambil tersenyum lega. Egy benar! Tidak mungkin ia bertemu lagi dengan bule itu. Tapi ternyata kali ini Dewi Fortuna tidak berpihak padanya. Baru berselang lima menit, sebuah suara yang entah kenapa seperti terdengar familier di telinganya, menegurnya.

“Hey, we meet again.”

Arini terperangah. Matanya melotot tak percaya. Bule sinting yang kemarin bertemu dengannya kini muncul di hadapannya. Laki-laki itu tersenyum manis tanpa dosa ke arahnya. “What are you doing here?” Tanya Arini masih dengan tampang terkejutnya.

Bule itu mengedikkan bahunya. “Gue rasa ini tempat umum, jadi nggak ada salahnya kalo gue kesini. Dan kebetulan banget gue ketemu elo lagi.” Jawabnya.

“You can speak Indonesia?” Arini semakin menganga tak percaya. Pasalnya, ni bule nggak ada tampang Indonesianya sama sekali. Dan biasanya bule yang model begini, bisa bahasa Indonesia tapi nggak selancar ini.

“Mulus.” Jawab bule itu sambil menjatuhkan dirinya di kursi di samping Arini. “Jadi gimana? Lo mau, kan nikah sama gue?”

****
“Berhenti ngintilin gue kenapa, sih?!” Bentak Arini sambil menatap si-bule-gila-entah-siapa-namanya itu. Sejak keluar dari cafĂ© tadi, laki-laki ini terus saja menguntitnya. Arini kan mau cari inspirasi. Gimana bisa dapet inspirasi kalo diekorin terus kemana-mana.

“Gue cuma mau nemenin calon istri gue. Salah?” Jawab bule itu sambil bertanya dengan wajah polos.

“Oh my God. I don’t know who you are! I don’t even know your name. Dan juga, siapa yang bilang gue mau nikah sama elo?”

“Oke. Gue ngerti maksud lo. Nama gue David, umur gue 22 tahun dan sekarang gue kerja di salah satu perusahan swasta di Jakarta. Now, you know who I am.” Dengan entengnya pria bule yang ternyata bernama David itu memperkenalkan dirinya pada Arini. Sama sekali tidak memperdulikan wajah Arini yang kini sudah memerah menahan marah.

“Lo gila!” Maki Arini kemudian mengambil langkah seribu untuk cepat-cepat beranjak dari sana, menjauh dari David.

“Iya. Gue emang udah gila. Gue gila karena jatuh cinta sama elo!

****
Teng tong.

Ponsel Arini berbunyi. Arini yang saat itu sedang mengetik naskah novelnya sejenak mengalihkan perhatiannya dan melihat siapa yang mengirimanya pesan. Dari nomor tidak dikenal.

Hai beb. Udah makan?

Kening Arini berkerut membaca pesan tersebut. Dari siapa? Ah biarkan saja. Mungkin salah nomor. Diputusaknnya untuk tidak membalas pesan tersebut. Namun, beberapa menit kemudian ponselnya kembali berbunyi.

Kok nggak dibales sih, Yang?

Ini siapa, ya? Akhirnya karena didesak rasa penasaran, Arini memutuskan untuk menghubungi si pengirim SMS tanpa nama itu. Baru saja dering kedua, panggilannya sudah diangkat.

“Hai sayang.” Sapa orang diseberang sana.

Demi langit dan bumi dan bintang-bintang yang bertaburan, Arini memaki-maki dalam hati. Ia kenal suara ini. Si bule gila. “Dari mana lo tahu nomor gue?” Tanya Arini sengit.

“Wah lo tahu kalo ini gue?” David – si penelepon malah bertanya heboh. “Emang nggak salah gue dapet calon istri kayak elo. Tanpa perlu bilang, elo langsung tahu kalo ini gue.” Ujarnya bangga.

“Udah nggak usah banyak omong. Cukup kasih tahu gue darimana elo dapet nomor gue!” Tandas Arini.

“Gue tanya sama temen lo, si Egy.” Jawab David jujur.

Egy sialan! Tanpa menunggu lama, Arini segera memutus sambungan teleponnya dengan David dan menghubungi Egy, editor cerewet culun yang ternyata rese itu. Akan tetapi, yang menjawab panggilannya bukan laki-laki itu melainkan suara membosankan dari operator. Belum selesai disitu kekesalannya, sebuah pesan baru masuk ke ponselnya. Dari David – lagi.

Main tutup aja kamu. Eh tp nggak papa. Nanti aku hubungin lg. Jgn lp makan, yaa :*

Kiamatlah duniannya.
****
Kata Egy, ia sengaja memberi nomor telepon Arini sama David. Demi kesuksesan misi membuat Arini jatuh cinta. David dianggap sebagai jembatan yang bisa mewujudkan itu. Karena menurut analisis Egy, setelah mendengar cerita Arini tentang David yang menghubunginya via telepon, David adalah tipe cowok yang gigih dalam memperjuangkan cinta. Dia juga cowok yang perhatian, buktinya walaupun sudah dicuekin segitunya sama Arini, dia tetap memperhatikan Arini dengan mengingatkannya untuk makan. Arini sih sudah marah-marah dan bilang bahwa ia tidak butuh cara seperti itu untuk jatuh cinta tapi Egy cuek saja. Menyebalkan.

Kini, sudah tiga minggu berjalan dan setiap hari SMS dari David selalu mampir di ponselnya.

Jangan lupa makan, yaa :*

Udah bobo?

Lg apa?

Gue kangen

Jalan, yuk.

Masih belum dapet ide juga?

Penasaran deh sama novel lo selanjutnya

Fighting, beb ;)

Dari sekian banyak SMS David, satu-satunya hal yang membuat Arini bingung adalah dari mana David tahu bahwa ia sedang mencari ide untuk novel terbarunya?

****
             Arini sudah uring-uringan sejak tadi pagi. Ia sama sekali tidak tahu apa yang dipikirkannya tapi ia sangat menanti kabar dari David. Pasalnya, sudah tiga hari ini laki-laki itu tidak menghubunginya. Baik sekedar mengucapkan selamat pagi ataupun mengingatkannya untuk makan. Arini tidak tahu David ada dimana dan Arini gengsi untuk menghubungi laki-laki itu duluan dan bertanya. Tapi bagaimana kalau terjadi sesuatu yang tak terduga padanya? Kecelakaan? Tertabrak kereta api? Astaga…pikiran Arini jadi melantur kemana-mana.

“Rin? Lo kenapa bengong?” Suara Egy membuyarkan lamunan Arini. Saat ini mereka sedang rapat untuk membahas bab kelima novel terbaru Arini.

“Nggak papa.” Jawab Arini. Ia memilih tidak menceritakan apa yang sedang ia pikirkan pada Egy. Ia pasti akan ditertawakan jika sampai Egy tahu ia mulai memikirkan David.

“Gue rasa untuk bab lima ini udah oke. Lo bisa lanjut ke bab enam.” Ujar Egy.

Arini mengangguk mengiyakan.

“Tumben HP lo nggak bunyi?” Tanya Egy. “Biasanya rame banget.”

Arini mengedikkan bahunya. “Tahu deh tuh bule kemana. Udah beberapa hari ini dia nggak pernah hubungin gue.” Jawab Arini sambil tanpa sadar mencebikkan bibirnya, menunjukkan ekspresi kesal.

“Lo kenapa manyun, gitu?” Tanya Egy heran.

“Siapa yang manyun? Nggak kok.” Bantah Arini.

“Tadi kok gue lihat. Kenapa? Lo kangen, ya?” Goda Egy sambil mengedipkan matanya.

“Apaan sih?” Digoda seperti itu, Arini jadi tambah kesal.

“Loh kok malah tambah jelek begitu tampang lo? Jangan bilang lo udah mulai jatuh cinta sama tuh bule?!”

****
            Sudah seminggu lebih dua hari David tidak menghubungi Arini. Gadis itu jadi semakin uring-uringan. Berbagai pertanyaan berkelabatan di kepalanya. David dimana? Ia kemana? Apa ia baik-baik saja? Atau jangan-jangan ia sakit?

Untuk pertama kalinya Arini memikirkan David sampai seperti ini. Kemarin-kemarin ia memang juga sedikit terpikirkan akan laki-laki itu tapi tidak sampai separah ini. Setiap saat ia ingat David. Setiap saat pula ia mengecek ponselnya, berharap menemukan paling tidak satu pesan atau panggilan tak terjawab dari laki-laki itu. Tapi hasilnya nihil.

Seperti ada yang hilang, itulah yang Arini rasakan. Ia sudah terbiasa dengan kehadiran David. Ia sudah terbiasa dengan segala jenis gangguan dari laki-laki itu. Dan kini, ketika hal itu tidak ada lagi, ketika setiap gangguan menyebalkan itu menghilang, ia merasakan kekosongan.

Apa ini yang dinamakan…rindu?

Benarkah?

Tidak mungkin!

***
“Rin, lo udah dapet kabar dari David?” Tanya Egy siang itu. Ia dan Arini baru saja selesai mendiskusikan bagaimana penulisan bab keenam untuk novel Arini.

Arini menggeleng.

“Dia nggak ngehubungin lo?” Tanya David dengan ekspresi tak percaya. “Masa sih? Padahal kemarin gue ketemu dia lho.”

“Beneran?! Dimana? Lo ketemu dia dimana? Dia baik-baik aja, kan?” Tanya Arini heboh. Tidak menyadari bahwa reaksinya sudah berlebihan, membuat Egy harus menahan tawanya kuat-kuat. Sama sekali tidak menyangka bahwa Arini akan bereaksi seperti ini demi mendengar nama David. Padahal sebelumnya, ia bahkan menganggap David sebagai gangguan dan bencana dalam hidupnya.

“Iya.” Jawab Egy santai. “Katanya sih hari ini dia mau ke Perancis.” Sambungnya.

“Perancis? Maksud lo?”

“Gue juga nggak tahu. Dia cuma bilang gitu sama gue. Dia nggak pamit sama lo, ya?”

Arini kembali menggeleng. “Kapan dia berangkatnya?” Tanyanya kemudian.

“Katanya sih hari ini. Pesawatnya take off jam lima sore.”

Mendengar jawaban Egy, secepat kilat Arini membereskan barang-barangnya yang berserakan di meja. Diliriknya jam di pergelangan tangannya. Jam empat kurang. Masih ada satu jam untuk mengejar. Semoga ia masih sempat. Tanpa pamit terlebih dahulu, Arini meninggalkan ruangan Egy.

****
Arini berlari kesana kemari di bandara mencari keberadaan David. Rasa panik menghinggapinya. Waktu sudah menunjukkan pukul empat lebih empat puluh menit. Sebentar lagi pesawat David akan take off. Ia harus cepat, jika tidak ia tidak tahu apa ia masih bisa diberi kesempatan untuk bertemu dengan laki-laki itu lagi. Sama sekali melupakan fakta bahwa ia bisa menghubungi David via ponsel. Yang ada di otaknya saat ini hanyalah bahwa ia harus bertemu David sekarang juga!

            Seketika ia bernapas lega saat matanya menangkap sosok pria-bule-tampan-berhidung-mancung-bermata-biru yang dikenalnya sedang duduk di kursi tunggu sambil memainkan ponselnya. Buru-buru dihampirinya pria itu. Tanpa ragu ia menjatuhkan diri di samping David. Membuat laki-laki itu sedikit terkejut.

“Arini?” Tanya David dengan ekspresi bingung, mendapati Arini kini duduk di sampingnya dengan wajah berkeringat dan napas sedikit memburu.

“Vid…katanya…elo…hari…ini…mau ke Perancis, ya?” Tanya Arini terbata karena napasnya masih terengah-engah.

David mengangguk. “Denger dari Egy, ya?” Tanyanya.

Arini mengangguk cepat sebagai jawaban.

“Kok lo keringetan gini, sih?” Tanya David heran sambil mengusap peluh di kening Arini dengan jemarinya. Tapi anehnya, Arini sama sekali tidak menolak ataupun menepis tangannya seperti biasa.

“Lo pasti balik lagi, kan?” Bukannya menjawab pertanyaan David, Arini malah balik bertanya.

Kening David mengernyit mendengarnya, tapi kemudian ia mengangguk.

Arini beranapas lega untuk kedua kalinya. “Gue kira lo nggak bakal balik lagi.” Arini bergumam pelan tapi masih bisa didengar David.

“Kenapa mikir gitu? Gue kan udah pernah bilang sama elo kalo gue kerja disini. Lagian gue Perancis juga cuma buat menghadiri pernikahan sepupu gue. Eh tapi nggak tahu juga sih gue. Kalo keluarga gue disana maksa gue buat menetap disana ya mau nggak mau gue bakal stay.

“Jadi ada kemungkinan lo nggak bakal balik lagi?” Tanya Arini. Ia jadi panik lagi.

“Bisa jadi.”

Arini diam. Bingung harus merespon bagaimana. Lagipula, tidak mungkin ia meminta David untuk menolak keinginan keluarga laki-laki itu jika mereka nantinya meminta David untuk tinggal di Perancis, walaupun ia sebenarnya ia ingin agar David tetap tinggal di Indonesia.

“Eh lo ngapain disini? Mau jemput keluarga lo atau mau nganter?” Tanya David.

“Eh?” Arini tergeragap.

“Iya lo ngapain di bandara.” David memperjelas pertanyaannya.

“Gu..gue… gue mau nyusul elo.”

“Nyusul gue? Buat apa?”

“Bisa, nggak kalo abis acara pernikahan sepupu lo, elo balik lagi kesini?” Tanya Arini sambil memandang wajah David dengan tatapan penuh harap.

Beberapa detik, David hanya bisa diam. Namun akhirnya ia tersenyum dan mengangguk.

****
“I need your help.” Egy yang saat itu sedang membaca e-mail dari salah satu temannya terkejut dengan pertanyaan tiba-tiba yang entah datang dari siapa itu. Didongakkannya wajahnya yang sejak tadi menunduk, menatap layar tabletnya.

            Di hadapannya kini berdiri sosok laki-laki tampan berwajah sangat tidak Indonesia. David, salah satu teman yang tak sengaja berkenalan dengannya ketika ia jalan-jalan ke Yogyakarta beberapa bulan yang lalu.

“Hey David.” Sambut Egy ceria. 

David membalasnya dengan senyuman. “Gue butuh bantuan lo.” Ujarnya.

Kening Egy berkerut. Ia baru saja bertemu dengan David untuk kedua kalinya hari ini tapi laki-laki itu langsung meminta bantuan padanya. “What can I do for you?”

“Gue lagi naksir cewek. Namanya Arini dan dia adalah seorang penulis novel misteri. Sudah beberapa bulan ini gue mencoba mencari cara untuk bisa kenalan sama dia, tapi selalu nggak membuahkan hasil. Tapi akhirnya, berkat informasi seorang teman yang gue kenal di media sosial yang ternyata adalah salah satu pembaca novel-novel Arini, gue tahu kalo elo adalah editornya.” David menjelaskan panjang lebar.

“So?”

“Can you help to make her fall for me?”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar