Catatan harian yang semakin renta dan tua

Kamis, 08 September 2016

[Review] Somewhere Called Home - Jurnal yang Mengantarku Pulang

Pulang adalah kata kerja yang selalu diidamkan siapa saja. Anak sekolah, pekerja kantoran, buruh, pegawai biasa, penyanyi, bahkan petinggi negara pasti menginginkan saat-saat dimana kata pulang menghampirinya. Dan kemewahan tersebut hanya dapat diperoleh di rumah. Sayangnya, Ben tidak memiliki pendapat yang sama. 

Judul Buku: Somewhere Called Home
Penulis: Dhamala Shobita
Penerbit: de TEENS
Penyunting: Avifah Ve
Penyelaras Akhir: RN
Tata Sampul: Wulan Nugra
Tata Isi: Violetta
Pracetak: Endang
Tahun Terbit: 2016
Tebal Buku: 260 hlmn; 13 x 19 cm
ISBN: 978-602-391-178-3

****
Hidup adalah petualangan tanpa henti

Manusia adalah kumpulan dari kenangan-kenangan yang tertata menjadi satu. Isi kepala manusia mungkin memiliki lebih dari lima puluh persen kenangan. Kenangan bahagia, sedih, marah, semuanya bercampur menjadi satu dan membentuk manusia sejak ia lahir dan tumbuh menjadi dewasa.

Menurut Benjamin Murray, seorang surfer blasteran Australia-Indonesia, hidup adalah petualangan tanpa henti. Maka dari itu, ketika dirinya mulai terlibat lebih jauh dalam kehidupan seorang gadis bernama Lila yang sedang mencari kakaknya, Ben semakin bersemangat untuk melanjutkan petualangannya. Pertemuan keduanya di Pulau Sipora, Sumatera Barar, dalam kurun waktu kurang lebih dari satu bulan cukup untuk membentuk perasaa antara Ben dan Lila. Sayangnya, gadis itu tak mempunyai waktu lagi dalam hidupnya. Di sanalah perjalanan Ben dimulai.

****

Ben jarang pulang, pekerjaannya sebagai freelancer dan kesukaannya pada surfing membuat ia lebih senang menyatu denga alam, dengan ombak besar yang terkadang terlihat menakutkan, dengan wangi garam lautan.

Ben jarang pulang, lebih tepatnya tidak suka pulang. Baginya, rumah dan kediaman keluarganya tidak menghadirkan kata pulang yang sebenarnya semenjak ia mengetahui konflik yang terjadi antara orangtuanya. Perjalanan demi perjalanan telah Ben lalui dan akhirnya, ia bertemu Lila di Pulau Sipora, Sumatera. Seorang gadis yang mampu membuatnya nyaman. Ia sedang mencari kakaknya, Dila. Perpisahan kedua orangtua Lila telah menyebabkan Lila dan Dila terpisah. Bertahun-tahun mereka tidak bertemu, hingga kemudian surat-surat dari Dila datang, surat-surat yang bercerita tentang perjalanan dan petualangannya. Surat-surat itu yang akhirnya membuat Lila bertekad untuk menemukan Lila di tempat yang pernah Dila kujungi, tempat-tempat yang Dila sebutkan dalam surat-suratnya.

Kebersamaan Ben dan Lila meski tidak berlangsung lama ternyata menimbulkan benih yang tidak bisa disebut cinta, namun mampu untuk membuat Ben menyanggupi bahwa ia akan meneruskan perjuangan Lila dalam mencari kakaknya, karena keadaan Lila sudah tidak memungkinkan gadis itu untuk terus mencari Dila. Berbekal jurnal-jurnal peninggalan Lila, Ben memulai pencariannya. Meski tidak optimis, Ben baru tahu bahwa menemukan orang yang tak pernah dikenalnya bukalnlah hal yang mudah. Perjalanan pertama Ben ke Teluk Meranti tidak membuahkan hasil apa-apa. Ia hanya sempat menikmati indahnya berselancar di Bono - gelombang panjang yang bermuara di Sungai Kampar yang tingginya bisa mencapai empat hingga enam meter.

Perjalanan Ben ke destinasi selanjutnya pun sama. Ia hanya menumpang menjadi bule yang mondar-mandir di desa, sesakali membacakan dongeng untuk anak-anak Pulau Rinca yang sayangnya lebih sering membuat mereka mengantuk, Akan tetapi, Ben sama sekali tidak menemukan infromasi apa-apa tentang Dila. Mereka hanya mengenal Lila, gadis yang dikenal ramah dan pintar membackan dongeng bagi anak-anak serta suka membantu warga. Namun demikian, meski pencarian akan Dila masih menemui kebuntuan, ada satu hal yang sangat membekas di benak Ben disana, yakni kehangatan keluarga, Tidak disangka-sangkanya, jurnal-jurnal Lila tidak hanya berisi curhatan cengeng seorang perempuan akan tetapi jurnal itu juga telah memberikan sesuatu yang Ben pikir tidak akan pernah ia dapatkan lagi.

****

Sebelumnya, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada penulis Dhamala Shobita yang telah berkenan memberikan saya kesempatan untuk membaca jurnal-jurnal Lila dan mengikuti petualangan Benjamin Murray secara cuma-cuma :D

Sampul novelnya sangat manis. Saya pribadi yang suka warna biru namun lebih senang dengan aksesori berwarna cokelat sangat menyukai sampul novel ini. Warna cokelatnya benar-benar menggugah selera, dan jurnal Lila sebagai pemandu bagi Ben sudah sangat tergambarkan dari sampulnya.

Untuk blurb awalnya membuat saya menduga bahwa saya akan disajikan cerita yang mengharu biru dan sarat dengan kesedihan. Lila yang tak lagi memiliki banyak waktu dalam hidupnya telah terlebih dahulu membunyikan alarm di kepala saya bahwa gadis itu tidak akan bisa menemani Ben hingga cerita ini berakhir, dan ternyata benar demikian. Akan tetapi, dugaan bahwa akan ada banyak air mata karena kematian ternyata salah besar. Meski keberadaannya tidak lagi nyata, Lila tetap hidup dalam jurnal-jurnal yang ditinggalkannya untuk Ben. Ben adalah laki-laki yang cukup tabah, tidak banyak bertanya meski hampir tidak tahu apa-apa. Dan saya suka bagaimana jurnal-jurnal tesebut menggambarkan karakter Lila dengan sangat baik. Gadis yang lemah lembut, penyayang, namun pantang menyerah. Jurnal-jurnal Lila juga berhasil memberikan feel yang pas tentang rasa iri seseorang terhadap saudaranya yang dianggap selalu berlebih dalam segala hal.

Keberadaan karakter lain yang membuat Ben lebih bisa menikmati perjalananya meski hampir tanpa hasil juga sangat saya sukai. Konflik yang terbentuk dalam novel ini bagi saya rapi, tidak lari kesana kemari dan tidak mengandung drama yang berlebihan. Namun, saya sedikit kebingungan dalam memahami konflik keluarga Ben yang sebenarnya karena sejak awal hingga menjelang akhir hanya disajikan garis-garis besar yang tidak secara gamblang diceritakan. Meski pada akhirnya saya dapat memahaminya, saya senang dengan adanya penjelasan lebih lanjut karena itu artinya penulis tidak dengan sengaja membuat pembaca menebak dan kebingungan hingga bukunya selesai dibaca.

Jurnal-jurnal Lila juga meski memang hanya buku catatan harian dan surat yang tidak kesampaian, mengalami perkembangan isi dimana awalnya Lila hanya terpaku pada pencarian akan kakaknya, menjadi mencari sambil menimati waktu-waktu dan kemewahan berjalan-jalan yang jarang sekali ia dapatkan. Karakter Ben juga berkembang dan menyesuaikan berdasarkan situasi dan kondisinya. Dari Ben yang tidak peduli menjadi Ben yang pada akhirnya lebih berusaha peka dan memikirkan perasaan orang-orang di sekelilingnya, terutama keluarganya.

Kemudian destinasi atau tempat-tempat tujuan dalam rangka menuntaskan misi pencarian terhadap Dila. Tempat-tempat indah ini juga dideskripsikan dengan baik, juga ada tambahan menarik seperti bagaiamana cara kita menghabiskan waku dan bersennag-senang menikmati pemandangan alam yang ada. Dari kesemua tempat tujuan, yang paling menarik perhatian saya adalah Bono, Pantai Pink dan Bukit Doa. Jujur saja, saya tidak pernah melihat pemandangan pertemuan sungai dan laut yang indah seperti yang digambarkan tentang Bono jadi saya sangat penasaran untuk dapat melihatnya langsung. 

Yang kedua adalah Pantai Pink. Dalam pikiran saya, pink hanya identik dengan benda-benda lucu dan girly seperti Hello Kitty, balon dan pernak pernik Naughty. Dari novel inilah saya mengenal Pantai Pink dan sangat tertarik untuk mengunjungi pantai tersebut. Pasir putih, air yang biru dan kehijau-hijauan, karang-karang yang dapat dilihat dari atas lautan, pulau yang cantik dengan langitnya yang biru semua sudah pernah saya nikmati. Tapi pantai pink, dari buku inilah yang pertama kali.

Kemudian Bukit Doa. Ini adalah salah satu destinasi wisata saya di Minahasa setelah Bukit Kasih yang sampai sekarang belum kesampaian. Padahal kalau dipikir jaraknya dari rumah hanya kurang lebih 4-6 jam, karena dari rumah ke Manado membutuhkan waktu 4 jam, dan dari Manado ke Tomohon kalau nggak salah hitung dan belum berubah hitungannya itu membutuhkan waktu sekitar 2 jam perjalanan. Saya super iri sama Ben dan Ris yang punya kesempatan untuk ke Bukit Doa, suatu saat nanti saya harus kesana, tentu saja mampir dulu ke Bukit Kasih :D

Ada banyak pesan yang dapat kita petik dari novel ini, tapi satu yang paling menonjol yakni tentang pentingnya menjaga keutuhan keluarga serta mensyukurinya. Karena di luar sana banyak sekali orang-orang yang tidak lagi bisa membuat keluarganya lengkap berkumpul dan makan malam bersama, menonton TV bersama dan bercengkerama. Bukan karena Tuhan tak lagi mengizinkan tapi karena keadaan yang membuat mereka terpaksa harus berpisah. The most memorable scene dari novel ini adalah saat Ben berbicara kepada Ayahnya terakhir kalinya. Bagi saya, adegan itu benar-benar menceritakan rasa cinta yang sesungguhnya.

Somewhere Called Home saya rekomendasikan bagi siapa saja yang gemar membaca dan suka dengan konflik keluarga atau manisnya cinta yang tidak terlontar lewat kata-kata. Meski pada beberapa bagian saya temukan typo, novel ini tetap asyik untuk dinikmati.

Rate: 3/5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar