Catatan harian yang semakin renta dan tua

Rabu, 21 Oktober 2020

Rindu - Tere Liye


Judul Buku: Rindu
Penulis: Tere Liye
Penerbit: Republika

"Apalah arti memiliki? Ketika diri kamu sendiri bukanlah milik kami?
Apalah arti kehilangan, ketika kami sebenarnya menemukan banyak saat kehilangan, dan sebaliknya, kehilangan banyak pula saat menemukan?

Wahai, bukankah banyak kerinduan saat kami melupakan? Dan tidak terbilang keinginan melupakan saat kami dalam rindu? Hingga rindu dan melupakan jaraknya setipis benang saja."

Buku ini adalah buku yang mengajak kita untuk merenung dan belajar. Berlatar tahun 1938, Tere Liye membuat kita belajar dari penggalan-penggalan kisah hidup di masa lalu yang hingga masa perjalanan haji di tahun 1938 bersama kapal Blitar Holland masih menggantung, menghantui dan menjadi pertanyaan beberapa tokoh yang berperan dalam buku ini. Kisah pertama datang dari Bonda Upe. Masa lalu kelam Bonda Upe yang kerap membuatnya tidak percaya diri dalam menjalani hari-hari dan menanti masa depannya. Kisah ini mengajak kita untuk berdamai dengan kenyataan, dengan masa lalu yang meskipun menyakitkan atau memalukan untuk dikenang, ia adalah bagian dari diri kita yang tidak boleh kita tepiskan. Kita tidak perlu memerdulikan pendapat orang tentang masa lalu kita, yang kita jalani adalah saat ini. Biarlah masa lalu menjadi bagian perjalanan hidup untuk dijadikan pelajaran. 

Selanjutnya, kisah masa lalu yang datang dari Daeng Andipati. Daeng Andipati adalah seorang pengusaha sukses di zamannya yang masih menyimpan dendam dan kemarahan pada seseorang yang semestinya ia cintai dan doakan. Kesuksesan karier dan kehidupan keluarga tidak mampu mengenyahkan perasaan kecewa dan marah di masa lalu. Perasaan yang hingga kapal Blitar Holland bergerak meninggalkan Pelabuhan Makassar pun tak dapat ia tanggalkan. Ternyata kunci dari semuanya adalah ikhlas dan menerima, merengkuh masa lalu dan kekecewaan itu sebagai bagian dari perjalanan hidup yang membawanya pada kesuksesan hari ini.

Kisah ketiga datang dari Mbah Kakung dan Mbah Putri. Pasangan sepuh yang masih mesra dan seolah berjanji sehidup semati, bersama-sama melakukan perjalanan haji di usia senjanya, namun harus menelan pahitnya takdir terpisah di tengah perjalanan laut menuju Mekkah. Mbah Putri meninggal di atas kapal Blitar Holland dan untuk mengikuti prosedur keamanan dan kenyamanan di dalam kapal, jenazahnya harus dilemparkan ke laut. Tak terbayang penyesalan bercampur perasaan tidak mampu menerima, perasaan tidak adil yang dirasakan Mbah Kakung. Kenapa harus saat ini? Kenapa harus di atas laut? Kenapa tidak menunggu saat mereka tiba di tanah suci? Sedikit lagi waktu yang diperlukan untuk sampai di Mekkah? Namun, dari kisah ini, kita diajak untuk percaya pada ketetapan Allah SWT, pilihan Tuhan, meyakini bahwa apa yang diberikan sudahlah yang terbaik untuk diri kita asal kita tidak berhenti percaya kepadaNya.

Berikutnya, cerita cinta yang datang dari Ambo Uleng. Seorang pelaut tangguh yang ternyata hampir tak mampu melawan badai cinta yang datang. Kisah cintanya dengan gadis yang telah lama dicintainya harus kandas karena perbedaan strata. Ambo Uleng dianggap tidak sederajat dengan sang gadis, keluarga si gadis tidak bisa membatalkan perjodohan dengan cucu salah satu ulama termahsyur di tanah Makassar pada saat itu. Ambo Uleng galau, Ambo Uleng patah hati, lantas lari ikut kapal Blitar Holland sebagai kelasi. Tapi ternyata, meski telah lari meewati samudera, ia tetap tidak bisa meninggalkan rasa cintanya. Perasaan itu tetap ikut dan terasa sakit apalagi saat melihat kemesraan Mbah Kakung dan Mbah Putri. Ia dendam, namun di akhir cerita akhirnya ia menemukan kejutan yang terbaik yang tak pernah ia duga.

Lalu terakhir, pertanyaan terakhir justru datang dari orang yang paling disegani di seluruh kapal Blitar Holland. Ialah Ahmad Karaeng, pria yang di usia senjanya masih menyuarakan perlawanan dan kemerdekaan terhadap Belanda lewat tulisan-tulisannya. Pria yang jadi tempat orang-orang bertanya, justru memiliki pertanyaan yang ia sendiri tak bisa menemukan jawabannya.

Dari sisi penceritaan, menurut saya Tere Liye adalah salah satu penulis yang masuk dalam jejeran penulis berbakat dan terkenal. Saya kagum dengan kemampuannya meramu cerita dengan latar yang terbatas menjadi cerita dengan kualitas yang istimewa. Walaupun sejujurnya, karakter favorit saya adalah Ambo Uleng sehingga saya mengharapkan banyak adegan yang melibatkan karakter satu ini. Bisa dibilang Ambo Uleng adalah salah satu 'juru kunci' dari cerita ini. Selain itu, saya dibuat sedikit penasaran dengan pertanyaan Ruben si boatswain, tentang apa sesungguhnya kebahagiann itu? Buku ini memberikan jawabannya, tidak secara gamblang dan terang-terangan tapi melalui perjalanan kisah pertanyaan besar empat orang dalam buku ini, namun selain Ambo Uleng, Ruben juga menjadi salah satu karakter favorit saya dan sejujurnya saya menantikan perannya yang mungkin akan meninggalkan pesan mendalam selain dari lontaran pertanyaannya. Tapi, meski begitu, hal-hal ini tidak mengurangi keistimewaan buku ini. Buat yang lagi Rindu, atau mungkin sedang ada pertanyaan belum terjawab, saya rasa buku ini bisa memberikan sedikit petunjuk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar