Catatan harian yang semakin renta dan tua

Minggu, 02 Maret 2014

Cinta Tak Sempurna #11



            Bara sudah memutuskan. Sepertinya kalimat terakhir itu harus ditambahkan. Ya. Tidak salah. Kalimat Bara yang menguak segalanya harus ditambahkan dalam cerita ini. Jika tidak, sampai kapan harus begini? Sampai kapan Bian mau begini? Sampai kapan Bianca mau begini? Sampai kapan Bina diperlakukan seperti ini? Sampai kapan Bimo mau begini? Dan kini… karena Bara sudah tidak lagi menjadi orang yang tidak tahu apa-apa, ia tidak mau kalimat ‘Sampai kapan Bara ikut seperti ini?’ menjadi penutup pertanyaan dalam catatan ini. Ia tidak mau. Ia tidak mau ikut-ikutan menjadi orang yang tersiksa sendirian. Ia tidak mau menjadi orang yang menyiksa. Menyiksa Bina, menyiksa Bian, menyiksa Bimo, dan menyiksa Bianca secara diam-diam. Ia akan mengungkap segalanya terserah bagaimana caranya. Ia tidak peduli.

****
Hari ini Bara tidak ke kantor. Sejak ia memutuskan untuk mengungkap semua kebohongan yang selama ini ditutupi Bian, sebagai langkah awal ia meminta bantuan Bimo untuk mencari tahu jadwal kuliah Bina. Bimo sendiri tidak keberatan. Tidak ada ruginya bagi dirinya. Sekalipun tidak ada untungnya juga da ia yakin mulai saat ini Bara akan sering merepotkannya. Langkahnya kini tertuju kea rah Fakultas Ekonomi. Ia harus bertemu Bina. Bagaimanapun caranya. Dengan santai ia melewati koridor fakultas layaknya ia juga tercatat sebagai mahasiswa di fakultas ini. Beberapa pasang mata mahasiswi menatapnya terpesona yang hanya ia tanggapi dengan wajah cuek dan tidak peduli. Sedangkan tatapan takjub serta iri mahasiswa hanya ia tanggapi dengan wajah angkuhnya. Ia tahu bahwa sebagian besar dari mereka pasti mengenalinya sebagai seorang Fay Bara Putra, CEO muda yang sedang ramai diperbincangkan majalah.

Itu dia! Batinnya ketika menangkap sosok Bina yang baru saja keluar dari kelas. Dihampirinya gadis yang tengah membelakanginya itu yang terlihat sedang berbincang dengan seorang gadis berwajah blasteran. Diketuknya bahu bina tengan telunjuk kanannya. Bina yang sepertinya sedang membicarakan tugas yang terkait dengan Manajemen pun menoleh dan terkejut mendapati Bara sedang berdiri di hadapannya dengan tampilannya yang casual tapi menyenangkan mata.


“Hai”. Sapa Bara sok akrab.

“H-hai.” Jawab Bina terbata. Ia masih cukup shock dengan kehadiran Bara yang tiba-tiba dan tanpa kabar sama sekali. Eh? Tapi kalau dipikir lagi, kenapa Bara harus mengabarinya segala jika ingin kesini. Siapa tahu dia memang ada urusan dengan kampus ini. Tap penampilannya…

“Bengong aja!” Tegur Bara membuyarkan lamunan Bina. Bina terkesiap. Tidak sadar ia sudah melamun di depan Bara.

“Ada apa kemari?” Tanya Bina spontan. Pertanyaan yang suskes membuatnya menutup mulutnya dengan tangan. Bodoh! Bodoh! Kok pertanyaan gue kedengeran kayak gue pede banget dicariin sama ni CEO?!

“Kange sama kamu.” Jawab Bara santai sambil mengedipkan matanya.

“Ha?” Bina jadi tidak nyambung. Tadi Bara bilang apa? Dia kangen? Kangen siapa?

Kangen sama kamu.

WHAT??? Tadi dia bilang dia KANGEN sama GUE? Sumpah lo!?

“Nah kan bengong lagi kamunya.” Tegur Bara lagi. “Liat Bimo nggak?” Tanya Bara cuek. Seolah kekagetan Bina saat ia mencerna alasan kedatangannya ke kampus tidak disadarinya.

“Kak Bimo?” Bina hanya mampu menjawab pertanyaan Bara tadi dengan menyebutkan nama Bimo yang terdengar seperti pertanyaan itu. Tidak disadarinya bahwa saat ini mereka sudah menjadi tontonan mahasiswa mahasiswi lainnya, pun Bianca yang sejak tadi tidak bicara sepatah katapun.

“Hm,” Bara menggumam untuk menjawab pernyataan Bina barusan yang baginya terdengar seperti pertanyaan sambil mengangguk polos. Dalam hati ia bersumpah bahwa wajah kaget nan bingung Bina saat ini benar-benar menggemaskan. Membuatnya ingin sekali mencubit pipi gadis ini.

“Kak Bimo-nya tadi ke akademik.” Bukan Bina yang menjawab, melainkan gadis yang saat ini berada di sampingnya. Gadis setengah bule.

Bara mengangguk mengerti. “Thank’s ya.” Ucapnya sambil menatap gadis yang tidak dikenalnya itu. Gadis cantik yang menarik yang akan dengan mudah untuk menggaet laki-laki manapun jika ia mau. “Aku ke sana dulu, ya.” Pamitnya sambil tersenyum kea rah Bina kemudian mengacak rambutnya pelan dan berlalu. Bina yang masih kaget, jadi lebih kaget lagi mendapati dirinya diperlakukan seperti itu. Bukan karena itu Bara. Bukan karena Bara alasannya. Tapi lebih karena bagaimana bisa Bara melakukan hal itu padanya sementara mereka tidak ada hubungan apa-apa?

Sementara itu, Bara yang baru saja beberapa meter jauhnya dari arah Bina dan gadis entah siapa baginya itu tersenyum simpul. Untuk hari ini cukup seperti ini dulu. Ia tidak boleh gegabah. Untungnya Bina merupakan seseorang yang masuk dalam jajaran gadis-gadis polos yang ada di Indonesia sehingga setidaknya ia tidak mendapat tamparan atau tendangan di tulang keringnya karena telah berbuat seenaknya. Tapi harus diakuinya bahwa tindakan tadi merupakan hal termanis yang pernah ia lakukan terhadap seorang perempuan. Vivian saja tidak pernah diperlakukannya semanis itu. Tapi Bina…hari ini ia menyadari satu hal. Bina memang gadis biasa. Tapi justru karena ia biasa, siapa saja akan betah berada di sampingnya dan bahkan ingin menjaganya. Seperti yang saat ini ia lakukan mungkin. Atau seperti apa yang selama ini dilakukan Bian. Laki-laki itu hanya ingin menjaganya. Menjaga perasaan gadis itu agar tidak terluka. Tapi sayang, cara yang ia lakukan adalah cara yang ia yakin tidak bisa diterima gadis itu, walaupun sebenarnya ia sadar bahwa cara yang dirinya lakukan saat ini termasuk cara yang licik. Memanfaatkan cara Bian untuk memuluskan cara yang ia inginkan. Tapi kembali lagi pada intinya. Ia hanya bermaksud menjaga. Mereka hanya menjaga.

****
Kening Bian berkerut mendapati suasana fakultas tidak seperti biasanya. Beberapa orang sibuk bergerombol dan berbincang entah apa. Sebenarnya ini bukan hal yang aneh. Memang sudah menjadi kebiasaan para mahasiswa untuk berkumpul sembari menunnggu dosen datang ataupun hanya untuk mengisi kekosongan waktu saja. Tapi ini aneh. Sepertinya sejak tadi bahan obrolan yang ia tidak sengaja dengar saat melewati gerombolan itu selalu menyebut-nyebut kata Fay di dalamnya. Ia tidak tahu apakah kata itu memang ada di dalam kamus besar bahasa Indonesia atau bagaimana.

            Tapi masa bodoh. Ada yang lebih penting dari hal itu. Ia harus mengikuti perkuliahan dari seorang dosen yang terkenal paling killer di kalangan dosen-dosen yang mengajarnya di jurusan Teknik Arsitek jadi ia harus cepat agar tidak terlambat. Dipercepatnya langkah sambil sesekali melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Ia harus cepat. Batas waktu terlambat hanya sampai lime belas menit. Jika lebih dari itu, ia memang masih tetap diizinkan untuk mengikuti kelas, akan tetapi, ia harus rela mendapat tambahan tugas yang harus dikumpulkan keesokan paginya, pukul tujuh tepat.

Lima meter mencapai pintu kelas, langkah tergesanya terhenti. Di depan kelas, teman-temannya juga sedang bergerombol sambil membicarakan sesuatu. Apakah dosennya sudah masuk dan bahkan mungkin sudah keluar lagi dari kelas? Tapi tidak mungkin. Ini saja belum mencapai lima belas menit untuk toleransi keterlambatan. Dihampirinya gerombolan teman sekelasnya itu lalu tanpa tedeng aling aling langsung melontarkan pertanyaan yang kontan obrolan itu terhenti dan membuat semua pasang mata yang ada menatapnya dengan tatapan sebal.
“Pak Burhan udah keluar?” Tanyanya. “Iya. Pak Burhan udah masuk ya trus udah keluar lagi?” Ia memperjelas pertanyaannya.

“Jiah. Elo masih mikirin tuh dosen?” Tanya Adi dengan tatapan tak percaya seolah-olah ia adalah makhluk paling aneh yang pernah ada di muka bumi ini. Dan pertanyaannya itu lho. Kedengerennya kok kayak gue ada hubungan khusus gitu sama Pak Burhan a.k.a pacaran, tapi Pak Burhan ninggalin gue dan gue masih nggak bisa move on. Gile aje!

“Anjir. Lo kate gue homo?!” Makinya kesal. Tawa teman-temannya kontan meledak mendengar pertanyaan sarkasnya.

“Santai Bro. Maksud si Mas Adi bukan kayak gitu.” Jawab Vino sambil merangkul bahu temannya itu dan melirik Adi genit saat menyebutkan kata ‘Mas’ tadi. Yang ditatap kontan menunjukkan ekspresi seperti mau muntah, membuat tawa mereka kembali meledak. Tak ketinggalan Bian. Ia juga jadi tersenyum kecil melihat tingah kedua temannya itu.

“Trus, lo semua kok pada di luar?” Tanya Bian akhirnya.

“Do’i lo nggak jadi masuk. Tapi beliau ngasih tugas.” Jawab Vino. “Tapi ada yang lebih penting dari itu.” Timpal Koko.

“Asli!” Teman-temannya mengamini dengan wajah mantap.

“Banget!.”

“Suer!”

“Tokcer dah!” Kali ini Galih sambil mengangkat jempol kanannya.

“Mantep banget dah pokoknya.”

Kening Bara kembali berkerut mendapati ekspresi masing-masing temannya yang sama sekali tidak jauh-jauh dari kalimat ‘Ada gossip bari, bow.”

“Lo nggak bakal percaya deh.” Kali ini Adi yang menyahut. Bian hanya mengangkat bahunya sambil bersiap beranjak ketika Vino kembali menariknya.

“Eyyyyyyyyyy…. Nggak asik banget sih lo! Dengerin dulu dong, Papa. Lo nggak bakal nyesel.” Bian hanya pasrah dipaksa ikutan bergosip dengan Bapak-bapak tukang arisan ini. Ia masih sayang dengan image-nya yang harus terpaksa rusak jika ia tidak mendengarkan ocehan tidak penting ini, yang membuat mereka semakin memanggilnya dengan sebutan-sebutan menjijikkan. Honey, baby, sweety… Hoek!! Membayangkannya saja sudah ngeri.

“Lo tahu?!” Rayyan membuka pembicaraan. Khas cewek banget kalo baru mau ngegosipin orang.

“Kagak.” Jawab Bian malas.

“Dilarang menginterupsi! Tadi pagi, sebelum lo dateng, ada kehebohan yang bener-bener heboh di Fekon.” Ungkapnya. Bian jadi semakin bingung kenapa gossip dari fakultas lain bisa sampai ke anak-anak teknik.

“Yups.” Timpal Eki.

“Tadi pagi, CEO Brata Putra Group yang bernama Fay Bara Putra dateng ke Fekon. Lo tau nggak, dia mau ngapain?” Rayyan sok sok bermain tebak-tebakkan.

“Paling ngasih seminar tentang bisnis atau kewirausahaan.” Jawab Bian asal. Apa lagi yang bisa membuat seorang pengusaha datang ke kampus jika tidak seputar memberikan seminar?

“Nei…nei…nei…” Rayyan menggoyang-goyangkan jari telunjuknya di depan wajah Bian. “Salah besar, Tuan Fabian Alfonso. Anda salah besar.” Ralatnya berlebihan.

“Dia kesini buat apa?” Rayyan sok bertanya pada Eki yang dengan senang hati dijawab laki-laki gondrong itu.

“Dia kesini buat ketemu ceweknya. Dia kesini buat ketemu PACARNYA!!” Cerita Eki berapi-api. “Gila! Gue nggak nyangka ada anak Fekon yang bisa ngegaet tuh pengusaha sukses.”

“Oh.” Komentar Bian datar lalu berbalik meninggalkan teman-temannya yang sontak menyorakinya kesal.

“Nggak seru lo!”

“Nggak asik!”

Bian cuma nyengir kuda dan berlalu. Akan tetapi, langkahnya terhenti ketika sebuah suara menginterupsi.

“Itu Bina.” Ucap suara itu. Richie! Kening Bian berkerut tak mengerti sampai Richie kembali bersuara.

“Cewek yang disamperin CEO itu, Bina. Shabrina Ariesta!

****
Bina benar-benar tidak bisa tenang. Sejak tadi ia hanya mengaduk-aduk minumannya tanpa ada niat untuk meminumnya sama sekali. Bianca yang melihat hal itu sebenarnya merasa sedikit terganggu, ditambah lagi ekspresi Bina sama sekali tidak menunjukkan ketenangan. Tapi ia memilih diam. Ia tahu apa penyebabnya. Pasti karena kedatangan Bapak Fay pagi tadi.

“Menurut lo kenapa?” Tanya Bina tiba-tiba.

“Apanya?” Tanya Bianca seolah tak mengerti.

“Bapak Fay tadi… kenapa dia tiba-tiba dateng dan bilang dia kangen sama gue. Gue bener-bener nggak paham.” Keluh Bina dengan wajah frustasi.

Bianca mengedikkan bahunya tanda ia juga tidak tahu. “Lo kenal sama dia?” Tanyanya.

“Iya…ehmmm maksud gue nggak gitu juga. Lo kan tau kalo observasi kemarin gue di Brata Putra Group. Gue emang sempat ketemu dia beberapa kali. Tapi itupun secara nggak sengaja. Tapi gue nggak seakrab itu sama dia. Nggak ada hubungan spesial. Nggak ada hubungan khusus kayak yang tadi diomongin anak-anak.” Bina menjelaskan. Pikirannya kembali melayang saat sepeninggar Bara tadi, dimana teman-temannya langsung mengerubunginya dan menanyakan apa hubungannya dengan seorang Fay Bara Putra. Ada puka bahkan pertanyaan yang membuatnya sangat merasa bersalah “Trus nasi Bian gimana?”

“Gue juga nggak tau. Mungkin dia cuma iseng. Lagian tadi dia juga nanyain Kak Bimo kan?” Bianca menjawab santai. “Udah. Nggak usah dipikirin.” Ujarnya menenangkan.

“Tapi kalo Bian sampe tau, gimana?” Tanyanya.

“Ya udah. Lo tinggal jelasin, kan? Lagian kalo lo bener nggak ada hubungan apa-apa sama dia, kenapa lo mesti takut? Bian pasti ngerti kok.”

Bina mengangguk pasrah. Semoga Bian mengerti. Semoga Bian tidak salah paham. Atau akan lebih baik jika Bian tidak tahu saja.

****

Tangan Bian mengepal keras mendengar kalimat yang baru saja Richie lontarkan. “Maksud lo apa?” Desisnya menahan emosi yang sudah menggelegak.

“Nggak ada. Cuma mau ngejelasin.” Jawab Richie cuek. Ia tahu, sejak awal Richie memang tidak setuju ia berhubungan dengan Bina. Sejak empat tahu lalu. Entah apa alasannya, ia juga tidak mengerti. Tapi sejauh ini Richie tidak pernah membicarakan Bina apalagi sampai menuduh Bina menduakannya.

“Gue nggak nuduh Bina ngeduain lo kalo itu yang lo pikir. Gue cuma ngasih tahu doang. Gue tahu lo percaya sama cewek lo, dan lo juga bukan tipe cowok posesif, tapi seharusnya lo bisa lebih perhatian sama dia ketimbang orang lain.” Jelasnya sambil menepuk pundak Bian dan berlalu.

Sepeninggal Richie, dengan cepat diketiknya sebaris kalimat pada salah satu fitur yang ada di ponselnya.

****

Ponsel Bina bergetar saat ia baru saja menyelesaikan makan siangnya.

From: Bian

Aku mau bicara

Bina menelan ludahnya susah payah. Sepertinya Bian sudah tahu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar