Bara sudah memutuskan. Sepertinya
kalimat terakhir itu harus ditambahkan. Ya. Tidak salah. Kalimat Bara yang
menguak segalanya harus ditambahkan dalam cerita ini. Jika tidak, sampai kapan
harus begini? Sampai kapan Bian mau begini? Sampai kapan Bianca mau begini?
Sampai kapan Bina diperlakukan seperti ini? Sampai kapan Bimo mau begini? Dan
kini… karena Bara sudah tidak lagi menjadi orang yang tidak tahu apa-apa, ia
tidak mau kalimat ‘Sampai kapan Bara ikut
seperti ini?’ menjadi penutup pertanyaan dalam catatan ini. Ia tidak mau.
Ia tidak mau ikut-ikutan menjadi orang yang tersiksa sendirian. Ia tidak mau
menjadi orang yang menyiksa. Menyiksa Bina, menyiksa Bian, menyiksa Bimo, dan
menyiksa Bianca secara diam-diam. Ia akan mengungkap segalanya terserah bagaimana
caranya. Ia tidak peduli.
****
Hari
ini Bara tidak ke kantor. Sejak ia memutuskan untuk mengungkap semua kebohongan
yang selama ini ditutupi Bian, sebagai langkah awal ia meminta bantuan Bimo
untuk mencari tahu jadwal kuliah Bina. Bimo sendiri tidak keberatan. Tidak ada
ruginya bagi dirinya. Sekalipun tidak ada untungnya juga da ia yakin mulai saat
ini Bara akan sering merepotkannya. Langkahnya kini tertuju kea rah Fakultas
Ekonomi. Ia harus bertemu Bina. Bagaimanapun caranya. Dengan santai ia melewati
koridor fakultas layaknya ia juga tercatat sebagai mahasiswa di fakultas ini.
Beberapa pasang mata mahasiswi menatapnya terpesona yang hanya ia tanggapi
dengan wajah cuek dan tidak peduli. Sedangkan tatapan takjub serta iri
mahasiswa hanya ia tanggapi dengan wajah angkuhnya. Ia tahu bahwa sebagian
besar dari mereka pasti mengenalinya sebagai seorang Fay Bara Putra, CEO muda
yang sedang ramai diperbincangkan majalah.
Itu
dia! Batinnya ketika menangkap sosok Bina yang baru saja keluar dari kelas.
Dihampirinya gadis yang tengah membelakanginya itu yang terlihat sedang
berbincang dengan seorang gadis berwajah blasteran. Diketuknya bahu bina tengan
telunjuk kanannya. Bina yang sepertinya sedang membicarakan tugas yang terkait
dengan Manajemen pun menoleh dan terkejut mendapati Bara sedang berdiri di
hadapannya dengan tampilannya yang casual
tapi menyenangkan mata.
“Hai”.
Sapa Bara sok akrab.
“H-hai.”
Jawab Bina terbata. Ia masih cukup shock dengan
kehadiran Bara yang tiba-tiba dan tanpa kabar sama sekali. Eh? Tapi kalau
dipikir lagi, kenapa Bara harus mengabarinya segala jika ingin kesini. Siapa
tahu dia memang ada urusan dengan kampus ini. Tap penampilannya…
“Bengong
aja!” Tegur Bara membuyarkan lamunan Bina. Bina terkesiap. Tidak sadar ia sudah
melamun di depan Bara.
“Ada
apa kemari?” Tanya Bina spontan. Pertanyaan yang suskes membuatnya menutup
mulutnya dengan tangan. Bodoh! Bodoh! Kok pertanyaan gue kedengeran kayak gue
pede banget dicariin sama ni CEO?!
“Kange
sama kamu.” Jawab Bara santai sambil mengedipkan matanya.
“Ha?”
Bina jadi tidak nyambung. Tadi Bara bilang apa? Dia kangen? Kangen siapa?
Kangen sama kamu.
WHAT???
Tadi dia bilang dia KANGEN sama GUE? Sumpah lo!?
“Nah
kan bengong lagi kamunya.” Tegur Bara lagi. “Liat Bimo nggak?” Tanya Bara cuek.
Seolah kekagetan Bina saat ia mencerna alasan kedatangannya ke kampus tidak
disadarinya.
“Kak
Bimo?” Bina hanya mampu menjawab pertanyaan Bara tadi dengan menyebutkan nama
Bimo yang terdengar seperti pertanyaan itu. Tidak disadarinya bahwa saat ini
mereka sudah menjadi tontonan mahasiswa mahasiswi lainnya, pun Bianca yang
sejak tadi tidak bicara sepatah katapun.
“Hm,”
Bara menggumam untuk menjawab pernyataan Bina barusan yang baginya terdengar
seperti pertanyaan sambil mengangguk polos. Dalam hati ia bersumpah bahwa wajah
kaget nan bingung Bina saat ini benar-benar menggemaskan. Membuatnya ingin
sekali mencubit pipi gadis ini.
“Kak
Bimo-nya tadi ke akademik.” Bukan Bina yang menjawab, melainkan gadis yang saat
ini berada di sampingnya. Gadis setengah bule.
Bara
mengangguk mengerti. “Thank’s ya.”
Ucapnya sambil menatap gadis yang tidak dikenalnya itu. Gadis cantik yang
menarik yang akan dengan mudah untuk menggaet laki-laki manapun jika ia mau.
“Aku ke sana dulu, ya.” Pamitnya sambil tersenyum kea rah Bina kemudian
mengacak rambutnya pelan dan berlalu. Bina yang masih kaget, jadi lebih kaget
lagi mendapati dirinya diperlakukan seperti itu. Bukan karena itu Bara. Bukan
karena Bara alasannya. Tapi lebih karena bagaimana bisa Bara melakukan hal itu
padanya sementara mereka tidak ada hubungan apa-apa?
Sementara
itu, Bara yang baru saja beberapa meter jauhnya dari arah Bina dan gadis entah
siapa baginya itu tersenyum simpul. Untuk hari ini cukup seperti ini dulu. Ia
tidak boleh gegabah. Untungnya Bina merupakan seseorang yang masuk dalam
jajaran gadis-gadis polos yang ada di Indonesia sehingga setidaknya ia tidak
mendapat tamparan atau tendangan di tulang keringnya karena telah berbuat
seenaknya. Tapi harus diakuinya bahwa tindakan tadi merupakan hal termanis yang
pernah ia lakukan terhadap seorang perempuan. Vivian saja tidak pernah
diperlakukannya semanis itu. Tapi Bina…hari ini ia menyadari satu hal. Bina
memang gadis biasa. Tapi justru karena ia biasa, siapa saja akan betah berada
di sampingnya dan bahkan ingin menjaganya. Seperti yang saat ini ia lakukan
mungkin. Atau seperti apa yang selama ini dilakukan Bian. Laki-laki itu hanya
ingin menjaganya. Menjaga perasaan gadis itu agar tidak terluka. Tapi sayang,
cara yang ia lakukan adalah cara yang ia yakin tidak bisa diterima gadis itu,
walaupun sebenarnya ia sadar bahwa cara yang dirinya lakukan saat ini termasuk
cara yang licik. Memanfaatkan cara Bian untuk memuluskan cara yang ia inginkan.
Tapi kembali lagi pada intinya. Ia hanya bermaksud menjaga. Mereka hanya
menjaga.
****
Kening
Bian berkerut mendapati suasana fakultas tidak seperti biasanya. Beberapa orang
sibuk bergerombol dan berbincang entah apa. Sebenarnya ini bukan hal yang aneh.
Memang sudah menjadi kebiasaan para mahasiswa untuk berkumpul sembari menunnggu
dosen datang ataupun hanya untuk mengisi kekosongan waktu saja. Tapi ini aneh.
Sepertinya sejak tadi bahan obrolan yang ia tidak sengaja dengar saat melewati
gerombolan itu selalu menyebut-nyebut kata Fay di dalamnya. Ia tidak tahu
apakah kata itu memang ada di dalam kamus besar bahasa Indonesia atau
bagaimana.
Tapi masa bodoh. Ada yang lebih
penting dari hal itu. Ia harus mengikuti perkuliahan dari seorang dosen yang
terkenal paling killer di kalangan dosen-dosen
yang mengajarnya di jurusan Teknik Arsitek jadi ia harus cepat agar tidak
terlambat. Dipercepatnya langkah sambil sesekali melihat jam tangan yang
melingkar di pergelangan tangan kirinya. Ia harus cepat. Batas waktu terlambat
hanya sampai lime belas menit. Jika lebih dari itu, ia memang masih tetap
diizinkan untuk mengikuti kelas, akan tetapi, ia harus rela mendapat tambahan
tugas yang harus dikumpulkan keesokan paginya, pukul tujuh tepat.
Lima
meter mencapai pintu kelas, langkah tergesanya terhenti. Di depan kelas,
teman-temannya juga sedang bergerombol sambil membicarakan sesuatu. Apakah
dosennya sudah masuk dan bahkan mungkin sudah keluar lagi dari kelas? Tapi
tidak mungkin. Ini saja belum mencapai lima belas menit untuk toleransi
keterlambatan. Dihampirinya gerombolan teman sekelasnya itu lalu tanpa tedeng
aling aling langsung melontarkan pertanyaan yang kontan obrolan itu terhenti
dan membuat semua pasang mata yang ada menatapnya dengan tatapan sebal.
“Pak
Burhan udah keluar?” Tanyanya. “Iya. Pak Burhan udah masuk ya trus udah keluar
lagi?” Ia memperjelas pertanyaannya.
“Jiah.
Elo masih mikirin tuh dosen?” Tanya Adi dengan tatapan tak percaya seolah-olah
ia adalah makhluk paling aneh yang pernah ada di muka bumi ini. Dan
pertanyaannya itu lho. Kedengerennya kok kayak gue ada hubungan khusus gitu
sama Pak Burhan a.k.a pacaran, tapi Pak Burhan ninggalin gue dan gue masih
nggak bisa move on. Gile aje!
“Anjir.
Lo kate gue homo?!” Makinya kesal. Tawa teman-temannya kontan meledak mendengar
pertanyaan sarkasnya.
“Santai
Bro. Maksud si Mas Adi bukan kayak
gitu.” Jawab Vino sambil merangkul bahu temannya itu dan melirik Adi genit saat
menyebutkan kata ‘Mas’ tadi. Yang ditatap kontan menunjukkan ekspresi seperti
mau muntah, membuat tawa mereka kembali meledak. Tak ketinggalan Bian. Ia juga
jadi tersenyum kecil melihat tingah kedua temannya itu.
“Trus,
lo semua kok pada di luar?” Tanya Bian akhirnya.
“Do’i
lo nggak jadi masuk. Tapi beliau ngasih tugas.” Jawab Vino. “Tapi ada yang
lebih penting dari itu.” Timpal Koko.
“Asli!”
Teman-temannya mengamini dengan wajah mantap.
“Banget!.”
“Suer!”
“Tokcer
dah!” Kali ini Galih sambil mengangkat jempol kanannya.
“Mantep
banget dah pokoknya.”
Kening
Bara kembali berkerut mendapati ekspresi masing-masing temannya yang sama
sekali tidak jauh-jauh dari kalimat ‘Ada gossip bari, bow.”
“Lo
nggak bakal percaya deh.” Kali ini Adi yang menyahut. Bian hanya mengangkat
bahunya sambil bersiap beranjak ketika Vino kembali menariknya.
“Eyyyyyyyyyy….
Nggak asik banget sih lo! Dengerin dulu dong, Papa. Lo nggak bakal nyesel.”
Bian hanya pasrah dipaksa ikutan bergosip dengan Bapak-bapak tukang arisan ini.
Ia masih sayang dengan image-nya yang
harus terpaksa rusak jika ia tidak mendengarkan ocehan tidak penting ini, yang
membuat mereka semakin memanggilnya dengan sebutan-sebutan menjijikkan. Honey, baby, sweety… Hoek!!
Membayangkannya saja sudah ngeri.
“Lo
tahu?!” Rayyan membuka pembicaraan. Khas cewek banget kalo baru mau ngegosipin
orang.
“Kagak.”
Jawab Bian malas.
“Dilarang
menginterupsi! Tadi pagi, sebelum lo dateng, ada kehebohan yang bener-bener
heboh di Fekon.” Ungkapnya. Bian jadi semakin bingung kenapa gossip dari
fakultas lain bisa sampai ke anak-anak teknik.
“Yups.”
Timpal Eki.
“Tadi
pagi, CEO Brata Putra Group yang bernama Fay Bara Putra dateng ke Fekon. Lo tau
nggak, dia mau ngapain?” Rayyan sok sok bermain tebak-tebakkan.
“Paling
ngasih seminar tentang bisnis atau kewirausahaan.” Jawab Bian asal. Apa lagi
yang bisa membuat seorang pengusaha datang ke kampus jika tidak seputar
memberikan seminar?
“Nei…nei…nei…”
Rayyan menggoyang-goyangkan jari telunjuknya di depan wajah Bian. “Salah besar,
Tuan Fabian Alfonso. Anda salah besar.” Ralatnya berlebihan.
“Dia
kesini buat apa?” Rayyan sok bertanya pada Eki yang dengan senang hati dijawab
laki-laki gondrong itu.
“Dia
kesini buat ketemu ceweknya. Dia kesini buat ketemu PACARNYA!!” Cerita Eki
berapi-api. “Gila! Gue nggak nyangka ada anak Fekon yang bisa ngegaet tuh
pengusaha sukses.”
“Oh.”
Komentar Bian datar lalu berbalik meninggalkan teman-temannya yang sontak
menyorakinya kesal.
“Nggak
seru lo!”
“Nggak
asik!”
Bian
cuma nyengir kuda dan berlalu. Akan tetapi, langkahnya terhenti ketika sebuah
suara menginterupsi.
“Itu
Bina.” Ucap suara itu. Richie! Kening Bian berkerut tak mengerti sampai Richie
kembali bersuara.
“Cewek
yang disamperin CEO itu, Bina. Shabrina Ariesta!
****
Bina
benar-benar tidak bisa tenang. Sejak tadi ia hanya mengaduk-aduk minumannya
tanpa ada niat untuk meminumnya sama sekali. Bianca yang melihat hal itu
sebenarnya merasa sedikit terganggu, ditambah lagi ekspresi Bina sama sekali
tidak menunjukkan ketenangan. Tapi ia memilih diam. Ia tahu apa penyebabnya.
Pasti karena kedatangan Bapak Fay pagi tadi.
“Menurut
lo kenapa?” Tanya Bina tiba-tiba.
“Apanya?”
Tanya Bianca seolah tak mengerti.
“Bapak
Fay tadi… kenapa dia tiba-tiba dateng dan bilang dia kangen sama gue. Gue
bener-bener nggak paham.” Keluh Bina dengan wajah frustasi.
Bianca
mengedikkan bahunya tanda ia juga tidak tahu. “Lo kenal sama dia?” Tanyanya.
“Iya…ehmmm
maksud gue nggak gitu juga. Lo kan tau kalo observasi kemarin gue di Brata
Putra Group. Gue emang sempat ketemu dia beberapa kali. Tapi itupun secara
nggak sengaja. Tapi gue nggak seakrab itu sama dia. Nggak ada hubungan spesial.
Nggak ada hubungan khusus kayak yang tadi diomongin anak-anak.” Bina
menjelaskan. Pikirannya kembali melayang saat sepeninggar Bara tadi, dimana
teman-temannya langsung mengerubunginya dan menanyakan apa hubungannya dengan
seorang Fay Bara Putra. Ada puka bahkan pertanyaan yang membuatnya sangat
merasa bersalah “Trus nasi Bian gimana?”
“Gue
juga nggak tau. Mungkin dia cuma iseng. Lagian tadi dia juga nanyain Kak Bimo
kan?” Bianca menjawab santai. “Udah. Nggak usah dipikirin.” Ujarnya
menenangkan.
“Tapi
kalo Bian sampe tau, gimana?” Tanyanya.
“Ya
udah. Lo tinggal jelasin, kan? Lagian kalo lo bener nggak ada hubungan apa-apa
sama dia, kenapa lo mesti takut? Bian pasti ngerti kok.”
Bina
mengangguk pasrah. Semoga Bian mengerti. Semoga Bian tidak salah paham. Atau
akan lebih baik jika Bian tidak tahu saja.
****
Tangan
Bian mengepal keras mendengar kalimat yang baru saja Richie lontarkan. “Maksud
lo apa?” Desisnya menahan emosi yang sudah menggelegak.
“Nggak
ada. Cuma mau ngejelasin.” Jawab Richie cuek. Ia tahu, sejak awal Richie memang
tidak setuju ia berhubungan dengan Bina. Sejak empat tahu lalu. Entah apa
alasannya, ia juga tidak mengerti. Tapi sejauh ini Richie tidak pernah
membicarakan Bina apalagi sampai menuduh Bina menduakannya.
“Gue
nggak nuduh Bina ngeduain lo kalo itu yang lo pikir. Gue cuma ngasih tahu
doang. Gue tahu lo percaya sama cewek lo, dan lo juga bukan tipe cowok posesif,
tapi seharusnya lo bisa lebih perhatian sama dia ketimbang orang lain.”
Jelasnya sambil menepuk pundak Bian dan berlalu.
Sepeninggal
Richie, dengan cepat diketiknya sebaris kalimat pada salah satu fitur yang ada
di ponselnya.
****
Ponsel Bina bergetar saat ia baru saja menyelesaikan
makan siangnya.
From: Bian
Aku mau bicara
Bina
menelan ludahnya susah payah. Sepertinya Bian sudah tahu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar