Catatan harian yang semakin renta dan tua

Kamis, 20 Maret 2014

Kontrak Cinta #6



Dengan perasaan campur aduk, Ael membelokkan mobilnya ke arah salah satu restoran yang tak jauh dari tempat Ivy merelakan hampir seluruh isi perutnya ke dalam got di pinggir jalan. Dilepasnya seatbelt yang menjamin keselamatannya sementara ia dalam perjalanan tadi. Dibukanya pintu kanan dan keluar dari mobil dengan cepat. Tanpa menunggu Ivy, ia terus melangkah sampai di depan pintu utama restoran. Akan tetapi, setelah sepuluh menit berlalu, gadis yang ditunggunya dan yang memaksanya untuk mampir ke sini tak kunjung keluar dari mobil. Dengan cepat dikeluarkannya ponselnya dari dalam saku celana jeans rombengnya dan mengontak Ivy. Tapi sialnya, gadis itu tak mengangkatnya.

Setengah menggeram ia kembali ke arah mobil dan langsung membuka pintu penumpang depan dan berniat untuk mengomel.

“Lo sebenernya…” Kalimatnya yang sebenarnya adalah ‘Lo sebenernya niat makan atau nggak?’ itu terhenti ketika mencapai kata kedua. Ivy tertidur. Sekali lagi.. Ivy tertidur. VIVIAN TERTIDUR!!       

Shit! Great! Setelah tadi gadis membuat acara pengintaiannya terhadap Nindy hari ini gagal dan membuatnya harus menelan kenyataan mati penasaran tentang apa yang akan Nindy lakukan dengan pria bernama Bara itu, setelah gadis itu berlagak merajuk karena Ael tidak mengizinkannya mengisi kembali perutnya karena tidak ingin Ivy muntah lagi, membuat Ael terpaksa mengemudikan mobilnya kea rah restoran ini meskipun ia tidak lapar sama sekali, gadis itu malah seenak jidatnya molor di mobilnya.


Maksudnya apa coba? Bukan berarti setelah ia menyetujui persyaratan konyol agar Ivy mau membantunya, kemudian gadis ini bisa bertindak seenaknya.

“Oy…” Panggil Ael pelan.

Ivy bergeming.

“Ivy.” Panggilnya kali ini agak lebih keras.

Gadis itu masih tetap tidur.

“Bangun. Katanya lo laper.”

Ael kembali berusaha membangunkannya dengan harapan agar setelah melihat gadis itu makan, perasaannya bisa jauh lebih baik. Setidaknya rentetan hal yang ia lakukan hari ini sampai mengabaikan pekerjaannya di kantor yang ia yakin keesokan harinya akan menumpuk – tidak berakhir sia-sia. 

Ugh. Membayangkannya saja sudah membuat Ael ingin meninju apa saja yang dilewatinya. Bahkan orang yang tidak bersalah sekalipun. Ia sungguh benar-benar penasaran tentang apa yang akan Nindy lakukan bersama pria itu. Ia tidak ingin menduga dan membayangkan hal-hal buruk karena itu akan membuatnya tersiksa, tapi tak bisa dipungkiri bahwa hal buruk itu sudah berseliweran dengan semangatnya di dalam tempurung kepalanya.

Awalnya ia berusaha mengerti demi perasaan kasihan melihat Ivy muntah-muntah di pinggir jalan seperti tadi. Tapi melihat ini, ia mulai berpikir sepertinya Ivy sengaja melakukannya agar usahanya untuk menghalangi usahanya mengejar Nindy. “Oke. Gue harap lo benr-bener tidur, Ivy.” Ucapnya kemudian.

****

Vivian merasa bodoh. Iya. Dirinya benar-benar merasa bodoh. Entah apa yang dipikirkannya sehingga ia melakukan hal itu. Sungguh. Ia tidak bermaksud membuat Ael kesal. Ia hanya ingin…ingin…membuat Ael sedikit memikirkannya? Ah entahlah. Ia hanya ingin melihat Ael mengerti sedikit keadaannya. Ia hanya ingin Ael member sedikit rasa pengertiannya mengingat selama ini laki-laki itu sellau bersikap egois di depannya. Ia bukan bermaskud membalas atau apa… tapi ya sudahlah.

Yang ia tahu, ia tidak boleh membuka matanya bahkan jika nanti mobil yang saat ini melaju berhenti di depan gedung apartemennya. Iya! Ia memang pura-pura tidur. Ia pura-pura tidak mendengar apa saja yang dikatakan Ael padanya sebagai usaha untuk membangunkannya. Ia tidak mengerti kenapa tapi ia merasa itu akan lebih baik jika Ael membiarkannya tidur tanpa berusaha membangunkannya. Itu sudah lebih dari cukup. Entah cukup bagaimana dan dalam hal apa.

Setelah hampir empat puluh lima mencoba menutup rapat matanya dan menjaga agar posisinya tidak berubah – minimal tidak terlalu sering bergerak untuk menegaskan bahwa ia memang sedang tertidur, akhirnya dirasakannya laju mobil yang menurun dan berhenti total sama sekali.

“Udah sampe.” Ucap Ael pelan namun Ivy dapat memastikan bahwa dua kata itu diucapkan padanya.

Namun ia bergeming. Tapi ia berjanji, jika kali ini Ael kembali berusaha membangunkannya, ia akan bangun dengan sukarela. Tapi ternyata ia salah. Ael tidak kembali membangunkannya seperti itu. Di luar dugaan, laki-laki itu malah turun dari mobil, memutar kea rah kursi penumpang, membuka pintu dan setelah itu Ivy merasakan tangannya yang ditarik perlahan kemudian diletakkan untuk memeluk seseorang, dan kemudian tubunya melayang dengan dua tangan penyangga yang dapat menjamin bahwa ia tidak akan jatuh. Awalnya ia bingung, tapi kemudian suara pintu mobil yang ditutup menyadarkannya bahwa saat ini Ael sedang menggendongnya. Bridal Style!

****

Dengan santai Ael berjalan masuk ke gedung apartemen Ivy, menaiki lift dan menghadapi tatapan heran maupun geli orang-orang yang tak sengaja ditemuinya tanpa rasa malu. Ia tahu bahwa Ivy tidak tidur tapi ia tidak peduli. Salah gadis itu sendiri mengajaknya bermain-main di saat hatinya sedang tidak dalam mood yang baik.

Sesampainya di lantai tempat apartemen Ivy berada, ia tak sengaja berpapasan dengan seorang laki-laki yang dulu pernah ditemuinya saat ia pertama kali menginjakkan kakinya di apartemen Ivy. Ia tidak tahu siapa namanya, tapi sepertinya ia bisa meminta tolong pada laki-laki itu.

Bimo, tetangga sekaligus teman Ivy sejak SMA sebenarnya agak kaget melihat Ivy datang sambil digendong seorang laki-laki, namun ia kemudian menyadari bahwa laki-laki yang tenga menggendong Ivy saat ini adalah laki-laki yang sama dengan yang pernah mengaku sebagai tunangan Ivy. Hanya saja penampilannya memang agak sedikit berantakan dibanding beberapa waktul lalu. Penampilan Ivy juga sebenanrnya agak aneh tapi tertutupi oleh posisinya yang saat ini sedang tidak berdiri dengan sempurna.

Tapi satu yang penting…Ivy kenapa?

Pertanyaan yang hanya mampu diutarakannya dalam pikirannya itu terjawab oleh suara Ael. “Dia ketiduran di mobil. Gue nggak tega banguinnya. Pulas banget kayaknya.” Katanya sambil terkekeh seolah Ivy ketiduran di mobilnya adalah salah satu hal yang lucu dan menggelikan, namun menyenangkan baginya.

“Oh.” Komentar Bimo pendek.

“Gue boleh minta tolong nggak?” Tanya Ael padanya ramah. Bimo diam sebagai jawabannya.

“Tolong bukain pintunya. Gue nggak tahu gimana cara bukanya dengan posisi kayak gini.” Lanjutya sambil memperlihatkan kunci apartemen Ivy pada Bimo yang saat itu digenggamnya menggunakan tangan kanannya yang menopang punggung Ivy. Ivy sendiri bingung bagaimana caranya kunci itu sudah ada di tangan Ael. Ia tahu Ael memiliki kunci apartemennya berkat ‘kreativitas’ Bunda, tapi ia tidak merasa bahwa sejak tadi Ael menggenggam kunci itu sambil menggendongnya.

Dengan santai Bimo meraih kunci itu dan membuka apartemen Ivy. Ael melangkah masuk dengan Ivy di gendongannya setelah mengucapkan terima kasih. “Nggak mampir dulu?” Tawarnya ramah setelah ia sukses masuk ke dalam apartemen.

“Nggak usah. Ini udah sore.” Tolak Bimo.

Ael bukannya tidak menyadari maksud perkataan Bimo tentang bahwa hari sudah sore. Ia sangat paham bahwa Bimo tidak ingin menggangu Ael dan Ivy yang akan melakukan apa saja sore itu.

Ael mengangguk. “Gue Ael. Sorry tangan gue…” Ucapnya meminta maaf karena tidak bisa menjabat tangan Bimo untuk berkenalan dengan lebih sopan.

No prob. Gue Bimo – tetangga sekaligus temen SMA-nya Viv.” Jawab Bimo balas memperkenalkan diri. “Dan elo… tunangannya Vivian, right?” Tanyanya memastikan.

Yes.” Jawab Ael mantap.

“Oke. Berarti gue nggak perlu khawatir Vivian lagi sama siapa sekarang.”

Of Course.”

Setelah Bimo memasuki apartemennya sendiri, Ael segera melangkah ke kamar Ivy dan membaringkan tubuh gadis itu di ranjangnya. Jujur, walaupun Ivy tidak begitu berat, tetap saja menggendongnya untuk waktu yang lama membuat tangannya pegal juga.

Diselimutinya Ivy yang ia tahu kini berbaring dengan mata seolah-olah benar-benar tertutup karena ketiduran itu, bukan karena terpaksa menutup mata, kemudian dikecupnya kening gadis itu.

“Nice dream, sweetheart.” Ucapnya dengan penekanan pada kata ‘sweetheart’ kemudian berbalik dan menutup pintu, meninggalkan Ivy yang masih sedikit shock dan tidak percaya dengan apa yang baru saja dialaminya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar