Dengan
perasaan campur aduk, Ael membelokkan mobilnya ke arah salah satu restoran yang
tak jauh dari tempat Ivy merelakan hampir seluruh isi perutnya ke dalam got di
pinggir jalan. Dilepasnya seatbelt yang
menjamin keselamatannya sementara ia dalam perjalanan tadi. Dibukanya pintu
kanan dan keluar dari mobil dengan cepat. Tanpa menunggu Ivy, ia terus
melangkah sampai di depan pintu utama restoran. Akan tetapi, setelah sepuluh
menit berlalu, gadis yang ditunggunya dan yang memaksanya untuk mampir ke sini
tak kunjung keluar dari mobil. Dengan cepat dikeluarkannya ponselnya dari dalam
saku celana jeans rombengnya dan
mengontak Ivy. Tapi sialnya, gadis itu tak mengangkatnya.
Setengah
menggeram ia kembali ke arah mobil dan langsung membuka pintu penumpang depan
dan berniat untuk mengomel.
“Lo
sebenernya…” Kalimatnya yang sebenarnya adalah ‘Lo sebenernya niat makan atau
nggak?’ itu terhenti ketika mencapai kata kedua. Ivy tertidur. Sekali lagi..
Ivy tertidur. VIVIAN TERTIDUR!!
Shit! Great! Setelah
tadi gadis membuat acara pengintaiannya terhadap Nindy hari ini gagal dan
membuatnya harus menelan kenyataan mati penasaran tentang apa yang akan Nindy
lakukan dengan pria bernama Bara itu, setelah gadis itu berlagak merajuk karena
Ael tidak mengizinkannya mengisi kembali perutnya karena tidak ingin Ivy muntah
lagi, membuat Ael terpaksa mengemudikan mobilnya kea rah restoran ini meskipun
ia tidak lapar sama sekali, gadis itu malah seenak jidatnya molor di mobilnya.
Maksudnya
apa coba? Bukan berarti setelah ia menyetujui persyaratan konyol agar Ivy mau
membantunya, kemudian gadis ini bisa bertindak seenaknya.
“Oy…”
Panggil Ael pelan.
Ivy
bergeming.
“Ivy.”
Panggilnya kali ini agak lebih keras.
Gadis
itu masih tetap tidur.
“Bangun.
Katanya lo laper.”
Ael
kembali berusaha membangunkannya dengan harapan agar setelah melihat gadis itu
makan, perasaannya bisa jauh lebih baik. Setidaknya rentetan hal yang ia
lakukan hari ini sampai mengabaikan pekerjaannya di kantor yang ia yakin
keesokan harinya akan menumpuk – tidak berakhir sia-sia.
Ugh.
Membayangkannya saja sudah membuat Ael ingin meninju apa saja yang dilewatinya.
Bahkan orang yang tidak bersalah sekalipun. Ia sungguh benar-benar penasaran
tentang apa yang akan Nindy lakukan bersama pria itu. Ia tidak ingin menduga
dan membayangkan hal-hal buruk karena itu akan membuatnya tersiksa, tapi tak
bisa dipungkiri bahwa hal buruk itu sudah berseliweran dengan semangatnya di
dalam tempurung kepalanya.
Awalnya
ia berusaha mengerti demi perasaan kasihan melihat Ivy muntah-muntah di pinggir
jalan seperti tadi. Tapi melihat ini, ia mulai berpikir sepertinya Ivy sengaja
melakukannya agar usahanya untuk menghalangi usahanya mengejar Nindy. “Oke. Gue
harap lo benr-bener tidur, Ivy.” Ucapnya kemudian.
****
Vivian
merasa bodoh. Iya. Dirinya benar-benar merasa bodoh. Entah apa yang
dipikirkannya sehingga ia melakukan hal itu. Sungguh. Ia tidak bermaksud
membuat Ael kesal. Ia hanya ingin…ingin…membuat Ael sedikit memikirkannya? Ah
entahlah. Ia hanya ingin melihat Ael mengerti sedikit keadaannya. Ia hanya
ingin Ael member sedikit rasa pengertiannya mengingat selama ini laki-laki itu
sellau bersikap egois di depannya. Ia bukan bermaskud membalas atau apa… tapi
ya sudahlah.
Yang
ia tahu, ia tidak boleh membuka matanya bahkan jika nanti mobil yang saat ini
melaju berhenti di depan gedung apartemennya. Iya! Ia memang pura-pura tidur.
Ia pura-pura tidak mendengar apa saja yang dikatakan Ael padanya sebagai usaha
untuk membangunkannya. Ia tidak mengerti kenapa tapi ia merasa itu akan lebih
baik jika Ael membiarkannya tidur tanpa berusaha membangunkannya. Itu sudah
lebih dari cukup. Entah cukup bagaimana dan dalam hal apa.
Setelah
hampir empat puluh lima mencoba menutup rapat matanya dan menjaga agar posisinya
tidak berubah – minimal tidak terlalu sering bergerak untuk menegaskan bahwa ia
memang sedang tertidur, akhirnya dirasakannya laju mobil yang menurun dan
berhenti total sama sekali.
“Udah
sampe.” Ucap Ael pelan namun Ivy dapat memastikan bahwa dua kata itu diucapkan
padanya.
Namun
ia bergeming. Tapi ia berjanji, jika kali ini Ael kembali berusaha
membangunkannya, ia akan bangun dengan sukarela. Tapi ternyata ia salah. Ael
tidak kembali membangunkannya seperti itu. Di luar dugaan, laki-laki itu malah
turun dari mobil, memutar kea rah kursi penumpang, membuka pintu dan setelah
itu Ivy merasakan tangannya yang ditarik perlahan kemudian diletakkan untuk
memeluk seseorang, dan kemudian tubunya melayang dengan dua tangan penyangga
yang dapat menjamin bahwa ia tidak akan jatuh. Awalnya ia bingung, tapi
kemudian suara pintu mobil yang ditutup menyadarkannya bahwa saat ini Ael
sedang menggendongnya. Bridal Style!
****
Dengan
santai Ael berjalan masuk ke gedung apartemen Ivy, menaiki lift dan menghadapi tatapan heran maupun geli orang-orang yang tak
sengaja ditemuinya tanpa rasa malu. Ia tahu bahwa Ivy tidak tidur tapi ia tidak
peduli. Salah gadis itu sendiri mengajaknya bermain-main di saat hatinya sedang
tidak dalam mood yang baik.
Sesampainya
di lantai tempat apartemen Ivy berada, ia tak sengaja berpapasan dengan seorang
laki-laki yang dulu pernah ditemuinya saat ia pertama kali menginjakkan kakinya
di apartemen Ivy. Ia tidak tahu siapa namanya, tapi sepertinya ia bisa meminta
tolong pada laki-laki itu.
Bimo,
tetangga sekaligus teman Ivy sejak SMA sebenarnya agak kaget melihat Ivy datang
sambil digendong seorang laki-laki, namun ia kemudian menyadari bahwa laki-laki
yang tenga menggendong Ivy saat ini adalah laki-laki yang sama dengan yang
pernah mengaku sebagai tunangan Ivy. Hanya saja penampilannya memang agak
sedikit berantakan dibanding beberapa waktul lalu. Penampilan Ivy juga
sebenanrnya agak aneh tapi tertutupi oleh posisinya yang saat ini sedang tidak
berdiri dengan sempurna.
Tapi
satu yang penting…Ivy kenapa?
Pertanyaan
yang hanya mampu diutarakannya dalam pikirannya itu terjawab oleh suara Ael.
“Dia ketiduran di mobil. Gue nggak tega banguinnya. Pulas banget kayaknya.”
Katanya sambil terkekeh seolah Ivy ketiduran di mobilnya adalah salah satu hal
yang lucu dan menggelikan, namun menyenangkan baginya.
“Oh.” Komentar Bimo pendek.
“Gue
boleh minta tolong nggak?” Tanya Ael padanya ramah. Bimo diam sebagai
jawabannya.
“Tolong
bukain pintunya. Gue nggak tahu gimana cara bukanya dengan posisi kayak gini.”
Lanjutya sambil memperlihatkan kunci apartemen Ivy pada Bimo yang saat itu
digenggamnya menggunakan tangan kanannya yang menopang punggung Ivy. Ivy
sendiri bingung bagaimana caranya kunci itu sudah ada di tangan Ael. Ia tahu
Ael memiliki kunci apartemennya berkat ‘kreativitas’ Bunda, tapi ia tidak
merasa bahwa sejak tadi Ael menggenggam kunci itu sambil menggendongnya.
Dengan
santai Bimo meraih kunci itu dan membuka apartemen Ivy. Ael melangkah masuk
dengan Ivy di gendongannya setelah mengucapkan terima kasih. “Nggak mampir
dulu?” Tawarnya ramah setelah ia sukses masuk ke dalam apartemen.
“Nggak
usah. Ini udah sore.” Tolak Bimo.
Ael
bukannya tidak menyadari maksud perkataan Bimo tentang bahwa hari sudah sore.
Ia sangat paham bahwa Bimo tidak ingin menggangu Ael dan Ivy yang akan
melakukan apa saja sore itu.
Ael
mengangguk. “Gue Ael. Sorry tangan
gue…” Ucapnya meminta maaf karena tidak bisa menjabat tangan Bimo untuk
berkenalan dengan lebih sopan.
“No prob. Gue Bimo – tetangga sekaligus
temen SMA-nya Viv.” Jawab Bimo balas memperkenalkan diri. “Dan elo… tunangannya
Vivian, right?” Tanyanya memastikan.
“Yes.” Jawab Ael mantap.
“Oke.
Berarti gue nggak perlu khawatir Vivian lagi sama siapa sekarang.”
“Of Course.”
Setelah
Bimo memasuki apartemennya sendiri, Ael segera melangkah ke kamar Ivy dan
membaringkan tubuh gadis itu di ranjangnya. Jujur, walaupun Ivy tidak begitu
berat, tetap saja menggendongnya untuk waktu yang lama membuat tangannya pegal
juga.
Diselimutinya
Ivy yang ia tahu kini berbaring dengan mata seolah-olah benar-benar tertutup
karena ketiduran itu, bukan karena terpaksa menutup mata, kemudian dikecupnya
kening gadis itu.
“Nice dream, sweetheart.” Ucapnya
dengan penekanan pada kata ‘sweetheart’ kemudian
berbalik dan menutup pintu, meninggalkan Ivy yang masih sedikit shock dan tidak percaya dengan apa yang
baru saja dialaminya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar