Hari pertama!
Hari
pertama misi Vivian-Rafael dilaksanakan. Vivian meringis melihat penampilannya
di depan cermin yang ia pegang. Celana jeans,
blus lengan panjang yang hampir mencapai lutut, juga selendang yang
menutupi kepalanya serta kacamat hitam. Ia benar-benar tampak seperti cewek
obsesif yang mengharapkan salju turun di Indonesia. Dengan kesal ia melirik
sinis ke arah Rafael yang sedang duduk di sampingnya. Siapa lagi yang akan
memaksanya berpenampilan seperti ini kecuali laki-laki arogan di sampingya ini.
Penampilan anehnya tidak kalah aneh dengan penampilan Ael.
Ael
dengan cuek menatapnya dari balik kacamata hitamnya, kepala dibungkus penutup
kepala berwarna hitam yang membuatnya terlihat seperti preman, kaos lengan
panjang berwarna merah dengan gambar aneh disana, serta celana panjang yang
robek di lututnya.
“Apaan?”
Tanya Ael sinis.
Vivian
hanya menggeleng sebagai jawabannya. “Ck. Apaan? Ngomong aja.” Ael mengulang
pertanyaannya.
Vivian
meringis. “Gue boleh pesen minum lagi nggak?” Tanyanya tidak enak.
“Bayar
sendiri!” Jawab Ael jutek.
“Yeeeeeeee……..
siapa juga yang minta lo bayarin?! Gue juga punya duit, kali.” Vivian segera
memanggil waitress yang ada untuk
memesan minuman. Gila! Ia haus sekali. Entah ini sudah gelas yang ke berapa.
Saat ini ia sedang menemani Ael mengawasi, ah tidak! Bukan mengawasi melainkan
menguntit mantan pacarnya di salah satu restoran Perancis. Gadis itu sedang
bersama Bara dan kliennya. Sepertinya mereka sedang ada meeting penting. Tapi anehnya, kenapa gadis itu bisa ada disini
juga? Ia kan bukan orang perusahaan. Memangnya sekertaris Bara kemana sampai ia
tidak bisa menemani atasannya meeting? Kenyataan
bahwa Nindy, gadis yang saat ini dikabarkan dekat dengan Bara adalah mantan
pacar Ael yang kini sedang mati-matian ia raih kembali membuat Vivian tak urung
merasa sedikit iri. Betapa beruntungnya gadis itu. Selain cantik, pintar, sexy, modis dan berkelas, ia memiliki
dua laki-laki hebat yang ada di sampingnya. Bara dan Ael. Dua laki-laki yang
pernah sama-sama ada di kehidupannya di masa lalu. Jujur ia masih sedikit
cemburu dengan Bara. Sedangkan Ael, ia sama sekali tidak cemburu tapi mengingat
Ael mau dijodohkan dengannya hanya agar ia bisa mendapatkan gadis itu kembali
membuatnya merasa tidak lebih segalanya dari gadis itu. Sounds pitiful, eh?
Pesanannya datang. Ia tersenyum
cerah sambil menyedot setengah isi dari gelas itu dengan brutal. Seperti tidak
pernah bertemu minuman selama satu tahun. Pemandangan yang sontak membuat Ael
bergidik ngeri dan menegur Vivian.
“Kembung
lo ntar!”
Vivian
hanya meleletkan lidahnya pada Ael. Senang karena Ael kesal dan setidaknya
sedikit mengalihkan perhatiannya dari tiga orang yang sedang terlibat
perbincangan serius tak berapa jauh dari mereka.
“Abis
itu nggak usah pesen lagi. Gue nggak mau tingkah aneh lo menarik perhatian
mereka dan bikin kita ketahuan.” Ujar Ael kemudian sambil kembali memfokuskan
pandangannya pada tujua kedatangan mereka kemari. Dalam hati ia membisikkan
kebanggaan mantan pacarnya itu. Ia benar-benar terlihat cerdas dan mempesona.
Mendengar
kalimat Ael, Vivian meringis dalam hati. Ternyata tidak ikhlas mengkhawatirkan
nasib lambungnya.
Eh
kok kesannya jadi penting gitu dia peduli sama gue ato nggak? Batin Vivian
bertanya. Bodo ah!
Tiba-tiba
Ael beranjak dari duduknya. Vivian yang sedang sibuk dengan pikirannya sendiri
pun kaget. “Lo mau kemana?” Tanyanya yang sayangnya tidak dijawab oleh
laki-laki itu. Ia hanya mengangkat tubuhnya dan berjalan menjauh. Vivian
mengikuti dengan pandangan dan tersadar bahwa target mereka sudah hampir
mencapai pintu keluar restoran. Dengan cepat disusulnya Ael dari belakang. Ia
tidak mau ditinggal sendirian. Ia sedang tidak membawa mobil karena tadi pagi
laki-laki itu sudah mendatangi apartemennya dengan kunci yang ternyata ia
dapatkan dari Bunda dan memaksanya untuk ikut kesini yang akhirnya membuat
dirinya terpaksa harus memohon-mohon pada Indra untuk memberinya libur.
Syukurnya Indra mengerti dengan catatan ia harus tetap mengontrol pekerjaannya
via e-mail. Menyebalkan memang. Ia jadi punya dua pekerjaan sekaligus dalam
sehari dan sialnya satunya tidak digaji!
“Ael
tungguin!” Teriaknya. Rafael yang mendengar teriakan Vivian yang memang tidak
pernah bernada pelan sontak menoleh dan menatap gadis itu dengan mata yang
hampir lompat keluar dari kelopaknya. Vivian hanya meringis sembari menunduk
meminta maaf kemudian berlari kecil menyusul Ael yang sudah kembali melangkah.
Untung Nindy dan Bara tidak memperhatikan teriakannya barusan. Kalau ketahuan
kan bisa gaswat seratus watt.
****
“HOEK!!!”
Vian masih terus meuntahkan isi perutnya di pinggir jalan. Ael masih tetap
setia mengusap-usap punggung gadis itu dengan sabar.
“Elo
sih. Minum mulu tadi. Kembung kan?” Gerutu Ael sambil terus mengusap-usap
punggung Vian. Tadi mereka sedang dalam acara membuntuti Nindy dan Bara akan
tetapi di tengah perjalanan Vivian malah mengelih ingin muntah yang dengan
sangat terpaksa membuat Ael menghentikan mobil dan menunda acara mereka hari
ini. Kasihan juga melihat dia seperti ini. Wajahnya juga kelihatan sedikit pucat.
Vivian
mengangkat tubuhnya dan hanya menatap Ael jutek. Tatapan yang sama sekali aneh
bagi Ael. Ia tidak tahu artinya apa dan kenapa gadis itu menatapnya seperti
itu.
“Kenapa
lo ngeliatin gue kayak gitu? Naksir?” Tanya Ael pede.
Vivian
hanya memalingkan wajahnya dan masuk ke mobil tanpa kata-kata. Ael hanya
menggaruk tengkuknya yang tidak datar dan menyusul Vian. Kayaknya gue salah
lagi nih? Aduh! Ni cewek aneh banget sih? Masa dia yang muntah gue yang
dimarahin?! Eh..tapi ngapain gue peduli?
Sepanjang
perjalanan Vivian hanya diam sambil terus menatap ke arah jendela. Ia juga
sengaja menurunkan kaca mobilnya supaya angin bisa masuk. Tindakan yang
sebenarnya membuat Rafael melancarkan protes karena ia tidak suka ada angin
yang masuk saat di dalam mobil seperti ini dan ia tidak mau gadis di sampingnya
ini muntah lagi. Sayangnya Vivian tidak peduli dan tetap menurunkan kaca dengan
cuek. Ael jadi tidak berani mengusiknya lagi. Bisa-bisa dia jerit-jerit. Ael
benar-benar sudah hafal kebiasaan Vivian kalau sedang kesal. Ia akan menjerit
tidak karuan seperti serigala kelaparan.
“Gue
laper!” Vivian tiba-tiba bicara.
“Apa?”
Tanya Ael. Saking konsentrasinya ia untuk tidak mengganggu Vian, ia sampai
tidak menangkap dengan jelas maksud perkataan Vian barusan. Vivian bergeming.
“Apaan
Ivy? Gue nggak denger.” Ulangnya lagi.
“Gue
mau makan!” Ulangnya lagi akhirnya.
“Tapi
nanti lo muntah lagi Vy. Muka lo aja udah pucet gitu.” Tolak Ael halus.
Sepertinya ia harus menghindari untuk berbicara keras untuk sementara waktu. Terlihat
sekali bahwa gadis ini sedang tidak dalam mood
yang baik.
“Gue
juga nggak bakal muntah kalo lo bawa mobilnya nggak ngebut gila-gilaan kayak
tadi.” Vivian malah menyalahkan Ael. Tapi Ael tidak memungkiri kalau ia ikut
andil dalam masalah muntahnya Vivian. Ia terllau fokus mengejar mobil Bara
sampai tidak sadar menginjak pedal gas terlalu kuat.
“Tapi
Vy…”
“Ya
udah. Pulang aja kalo gitu.” Yah dan Vivian merajuk pemirsahhhh…
“Oke.
Kita makan.” Putus Ael akhirnya.
Sial.
Gara-gara perjanjian itu, poin ke sepuluh, ia jadi tidak bisa menolak keinginan
gadis ini karena akan dianggap melakukan tindakan yang tidak menyenangkan.
Walaupun sebenarnya bukan seperti itu.
Kenapa
jadi kayak gini sih?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar