Catatan harian yang semakin renta dan tua

Minggu, 02 Maret 2014

Kontrak Cinta #5



Hari pertama!

Hari pertama misi Vivian-Rafael dilaksanakan. Vivian meringis melihat penampilannya di depan cermin yang ia pegang. Celana jeans, blus lengan panjang yang hampir mencapai lutut, juga selendang yang menutupi kepalanya serta kacamat hitam. Ia benar-benar tampak seperti cewek obsesif yang mengharapkan salju turun di Indonesia. Dengan kesal ia melirik sinis ke arah Rafael yang sedang duduk di sampingnya. Siapa lagi yang akan memaksanya berpenampilan seperti ini kecuali laki-laki arogan di sampingya ini. Penampilan anehnya tidak kalah aneh dengan penampilan Ael.

Ael dengan cuek menatapnya dari balik kacamata hitamnya, kepala dibungkus penutup kepala berwarna hitam yang membuatnya terlihat seperti preman, kaos lengan panjang berwarna merah dengan gambar aneh disana, serta celana panjang yang robek di lututnya.

“Apaan?” Tanya Ael sinis.

Vivian hanya menggeleng sebagai jawabannya. “Ck. Apaan? Ngomong aja.” Ael mengulang pertanyaannya.

Vivian meringis. “Gue boleh pesen minum lagi nggak?” Tanyanya tidak enak.

“Bayar sendiri!” Jawab Ael jutek.


“Yeeeeeeee…….. siapa juga yang minta lo bayarin?! Gue juga punya duit, kali.” Vivian segera memanggil waitress yang ada untuk memesan minuman. Gila! Ia haus sekali. Entah ini sudah gelas yang ke berapa. Saat ini ia sedang menemani Ael mengawasi, ah tidak! Bukan mengawasi melainkan menguntit mantan pacarnya di salah satu restoran Perancis. Gadis itu sedang bersama Bara dan kliennya. Sepertinya mereka sedang ada meeting penting. Tapi anehnya, kenapa gadis itu bisa ada disini juga? Ia kan bukan orang perusahaan. Memangnya sekertaris Bara kemana sampai ia tidak bisa menemani atasannya meeting? Kenyataan bahwa Nindy, gadis yang saat ini dikabarkan dekat dengan Bara adalah mantan pacar Ael yang kini sedang mati-matian ia raih kembali membuat Vivian tak urung merasa sedikit iri. Betapa beruntungnya gadis itu. Selain cantik, pintar, sexy, modis dan berkelas, ia memiliki dua laki-laki hebat yang ada di sampingnya. Bara dan Ael. Dua laki-laki yang pernah sama-sama ada di kehidupannya di masa lalu. Jujur ia masih sedikit cemburu dengan Bara. Sedangkan Ael, ia sama sekali tidak cemburu tapi mengingat Ael mau dijodohkan dengannya hanya agar ia bisa mendapatkan gadis itu kembali membuatnya merasa tidak lebih segalanya dari gadis itu. Sounds pitiful, eh?

            Pesanannya datang. Ia tersenyum cerah sambil menyedot setengah isi dari gelas itu dengan brutal. Seperti tidak pernah bertemu minuman selama satu tahun. Pemandangan yang sontak membuat Ael bergidik ngeri dan menegur Vivian.

“Kembung lo ntar!”

Vivian hanya meleletkan lidahnya pada Ael. Senang karena Ael kesal dan setidaknya sedikit mengalihkan perhatiannya dari tiga orang yang sedang terlibat perbincangan serius tak berapa jauh dari mereka.

“Abis itu nggak usah pesen lagi. Gue nggak mau tingkah aneh lo menarik perhatian mereka dan bikin kita ketahuan.” Ujar Ael kemudian sambil kembali memfokuskan pandangannya pada tujua kedatangan mereka kemari. Dalam hati ia membisikkan kebanggaan mantan pacarnya itu. Ia benar-benar terlihat cerdas dan mempesona. 

Mendengar kalimat Ael, Vivian meringis dalam hati. Ternyata tidak ikhlas mengkhawatirkan nasib lambungnya.
Eh kok kesannya jadi penting gitu dia peduli sama gue ato nggak? Batin Vivian bertanya. Bodo ah!

Tiba-tiba Ael beranjak dari duduknya. Vivian yang sedang sibuk dengan pikirannya sendiri pun kaget. “Lo mau kemana?” Tanyanya yang sayangnya tidak dijawab oleh laki-laki itu. Ia hanya mengangkat tubuhnya dan berjalan menjauh. Vivian mengikuti dengan pandangan dan tersadar bahwa target mereka sudah hampir mencapai pintu keluar restoran. Dengan cepat disusulnya Ael dari belakang. Ia tidak mau ditinggal sendirian. Ia sedang tidak membawa mobil karena tadi pagi laki-laki itu sudah mendatangi apartemennya dengan kunci yang ternyata ia dapatkan dari Bunda dan memaksanya untuk ikut kesini yang akhirnya membuat dirinya terpaksa harus memohon-mohon pada Indra untuk memberinya libur. Syukurnya Indra mengerti dengan catatan ia harus tetap mengontrol pekerjaannya via e-mail. Menyebalkan memang. Ia jadi punya dua pekerjaan sekaligus dalam sehari dan sialnya satunya tidak digaji!

“Ael tungguin!” Teriaknya. Rafael yang mendengar teriakan Vivian yang memang tidak pernah bernada pelan sontak menoleh dan menatap gadis itu dengan mata yang hampir lompat keluar dari kelopaknya. Vivian hanya meringis sembari menunduk meminta maaf kemudian berlari kecil menyusul Ael yang sudah kembali melangkah. Untung Nindy dan Bara tidak memperhatikan teriakannya barusan. Kalau ketahuan kan bisa gaswat seratus watt.

****
“HOEK!!!” Vian masih terus meuntahkan isi perutnya di pinggir jalan. Ael masih tetap setia mengusap-usap punggung gadis itu dengan sabar.

“Elo sih. Minum mulu tadi. Kembung kan?” Gerutu Ael sambil terus mengusap-usap punggung Vian. Tadi mereka sedang dalam acara membuntuti Nindy dan Bara akan tetapi di tengah perjalanan Vivian malah mengelih ingin muntah yang dengan sangat terpaksa membuat Ael menghentikan mobil dan menunda acara mereka hari ini. Kasihan juga melihat dia seperti ini. Wajahnya juga kelihatan sedikit pucat.

Vivian mengangkat tubuhnya dan hanya menatap Ael jutek. Tatapan yang sama sekali aneh bagi Ael. Ia tidak tahu artinya apa dan kenapa gadis itu menatapnya seperti itu.

“Kenapa lo ngeliatin gue kayak gitu? Naksir?” Tanya Ael pede.

Vivian hanya memalingkan wajahnya dan masuk ke mobil tanpa kata-kata. Ael hanya menggaruk tengkuknya yang tidak datar dan menyusul Vian. Kayaknya gue salah lagi nih? Aduh! Ni cewek aneh banget sih? Masa dia yang muntah gue yang dimarahin?! Eh..tapi ngapain gue peduli?

Sepanjang perjalanan Vivian hanya diam sambil terus menatap ke arah jendela. Ia juga sengaja menurunkan kaca mobilnya supaya angin bisa masuk. Tindakan yang sebenarnya membuat Rafael melancarkan protes karena ia tidak suka ada angin yang masuk saat di dalam mobil seperti ini dan ia tidak mau gadis di sampingnya ini muntah lagi. Sayangnya Vivian tidak peduli dan tetap menurunkan kaca dengan cuek. Ael jadi tidak berani mengusiknya lagi. Bisa-bisa dia jerit-jerit. Ael benar-benar sudah hafal kebiasaan Vivian kalau sedang kesal. Ia akan menjerit tidak karuan seperti serigala kelaparan.

“Gue laper!” Vivian tiba-tiba bicara.

“Apa?” Tanya Ael. Saking konsentrasinya ia untuk tidak mengganggu Vian, ia sampai tidak menangkap dengan jelas maksud perkataan Vian barusan. Vivian bergeming.

“Apaan Ivy? Gue nggak denger.” Ulangnya lagi.

“Gue mau makan!” Ulangnya lagi akhirnya.

“Tapi nanti lo muntah lagi Vy. Muka lo aja udah pucet gitu.” Tolak Ael halus. Sepertinya ia harus menghindari untuk berbicara keras untuk sementara waktu. Terlihat sekali bahwa gadis ini sedang tidak dalam mood yang baik.

“Gue juga nggak bakal muntah kalo lo bawa mobilnya nggak ngebut gila-gilaan kayak tadi.” Vivian malah menyalahkan Ael. Tapi Ael tidak memungkiri kalau ia ikut andil dalam masalah muntahnya Vivian. Ia terllau fokus mengejar mobil Bara sampai tidak sadar menginjak pedal gas terlalu kuat.

“Tapi Vy…”

“Ya udah. Pulang aja kalo gitu.” Yah dan Vivian merajuk pemirsahhhh…

“Oke. Kita makan.” Putus Ael akhirnya.

Sial. Gara-gara perjanjian itu, poin ke sepuluh, ia jadi tidak bisa menolak keinginan gadis ini karena akan dianggap melakukan tindakan yang tidak menyenangkan. Walaupun sebenarnya bukan seperti itu.

Kenapa jadi kayak gini sih?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar