I’ll
take her!!
_Fay
Bara Putra_
This
is War
_Fabian
Alfonso_
Part 12
“Oy Om!” Sapa Bara pada Bimo saat
laki-laki itu baru saja menyelesaikan urusannya di akademik, sambil merangkul
bahu sahabatnya itu. Bimo yang memang sudah tahu bahwa Bara akan ke kampus
tidak terkejut. “Gimana?” Tanyanya santai.
“Apanya?” Tanya Bara sambil
mengerutkan keningnya, seolah tak mengerti.
“Belagak pilon lagi.” Cerca Bimo.
Bara hanya tertawa mendengarnya. Ia
sama sekali tidak tersinggung karena ia memang pura-pura tak mengerti apa
maksud Bimo barusan. “Yah…gitu deh.” Jawabnya tidak jelas sambil melepaskan
rangkulan tangannya di bahu Bimo.
“Oh.” Komentar Bimo singkat. Tidak
berniat menanggapi dan memberi komentar. Hanya ada satu jawaban yang pasti jika
Bara sudah menjawab dengan tiga kata itu, rencana berhasil dengan baik.
“Apanya?” Kali ini Bimo yang tak
mengerti.
“Belagak pilon lagi.” Bara
mengembalikan cercaan Bimo padanya barusan sambil terkekeh. Bimo hanya mampu
menyumbangkan kerutan di keningnya karena ia memang tidak mengerti.
“Bianca.” Jawab Bara akhirnya. Mata
Bimo kontan melebar mendengar satu nama itu keluar dari mulut Bara. Dari mana
Bara tahu Bianca? Ah tidak tidak!! Sejak kapan Bara tahu Bianca?!
“Gila selera lo. Gue acungin jempol
tangan sama kaki dah. Mantep. Gue aja ampir naksir hahaha…”
“Lo tau dari mana?” Tanya Bimo
akhirnya. Pasrah tidak bisa menghindar apalagi mengelak.
“Ck ck ck… gue nggak nyangka lo bisa
mecahin rekor juga. Empat tahun man. Cinta
banget lo sama dia.” Cela Bara lagi sambil menaik-naikkan alisnya dan menatap
Bimo yang berdiri di samping kanannya.
“Anjrit lo!” Maki Bimo.
“Tenang aja. Lo pasti gue bantu.” Ucap
Bara akhirnya.
“Nggak usah. Gue bisa gerak sendiri.”
Tolak Bimo tanpa maksud menyinggung sama sekali.
“Yakin lo?” Selidik Bara.
“Seratus persen.” Jawab Bimo mantap.
“Oke.” Bara hanya mengangguk.
****
Bina baru saja sampai di parkiran
dekat gedung rektorat kampus ketika didapatinya Bian sudah duduk manis di atas
motornya.
“Hai.” Sapa gadis itu ragu-ragu ketika
sosok itu sudah berada satu meter di depannya.
“Hai.” Jawab Bian kaku. Dengan
hati-hati Bina melangkah lebih dekat ke arah Bian. “Kamu udah makan siang?”
Tanyanya perhatian. Bian hanya mengangguk sebagai jawaban.
“Kamu udah nggak ada kuliah, kan? Ikut
aku bentar bisa?” Tanya Bian yang sebenarnya lebih terdengar sebagai perintah
di telinga Bina. Gadis itu hanya mengangguk saat Bian menyodorkan helm dan
jaketnya, kemudian memakainya setelah kemudian naik ke boncengan.
Motor melaju dengan kecepatan sedang
melewati lalu lintas kota yang memang sering macet siang itu. Akan tetapi, Bina
bisa merasakan dengan jelas dan pasti, ketenangan kendaraan roda dua itu melaju
sangat berbanding terbalik dengan pengendara yang kini duduk di depannya, yang
sejak tadi hanya diam dan tidak mengeluarkan suara sama sekali itu. Tidak
seperti biasanya yang memang selalu mengajaknya mengobrolkan berbagai macam
hal.
Motor berhenti di salah satu taman
dekat komplek kost Bina. Dengan tenang Bian turun dari motor dan melangkah
mendahului Bina kemudian duduk di salah satu bangku yang memang tersedia di
taman itu. Bina mengikutinya dari belakang kemudian menjatuhkan diri di samping
laki-laki itu dengan perasaan was-was. Ia yakin Bian sudah tahu kejadian tadi
pagi di kampus jadi ia sudah siap jika Bian mengamuk.
Di luar dugaannya, Bian malah
menanyakan hal lain. “Kuliahnya gimana tadi?”
“Lancar.” Jawab Bina singkat. Tanpa
sadar ia bernapas lega tapi di dalam hati ia tetap ketar-ketir juga. Bian yang menyadari itu kontan tersenyum kecil.
Sepertinya gadisnya ini benar-benar ketakutan.
“Kamu kok kayaknya takut banget gitu
sama aku?” Tanya Bian geli sambil memutar tubuhnya agar dapat menatap Bina
lebih jelas.
“Eh?” Bina jadi tergeragap.
“Emang kamu abis bikin salah, ya?” Tebak
Bian sambil berusaha menahan tawanya. Ekpresi Bina benar-benar terlihat lucu,
membuatnya tidak jadi dan tidak bisa marah. Bina hanya mampu diam. Tidak tahu
harus menjawab apa.
“Kamu keliatan kayak lagi nahan kentut
tau nggak.” Ungkapnya kemudian. Bina yang menyadari bahwa dirinya dikerjai,
langsung refleks melayangkan cubitan mautnya ke lengan laki-laki itu.
“ADAWWWWW!!!!” Teriak Bian kesakitan.
“Iseng banget kamu yaa…!!” Teriak Bina kesal. Bian hanya tertawa terbahak-bahak
melihat Bina yang kini memasang tampang marahnya membuatnya semakin gencar
mencubit laki-laki itu sana sini.
“Oke oke oke… aku nggak ketawa lagi.
Tapi kamu mau cerita nggak? Kayaknya heboh banget yang tadi pagi itu. Kamu udah
jadi selebriti loh di Fatek.” Bian menyudahi tawanya kemudian mulai
mengonfirmasi kejadian yang sebenarnya. Bina jadi tersenyum dalam hati.
Ternyata Bian sangat percaya padanya. Ternyata Bian sangat sayang padanya
bahkan untuk menanyakan hal seperti ini, yang bisa dipastikan menjadi salah
satu penyebab keretakan sebuah hubungan, ia mencoba untuk melakukannya sehalus
mungkin. Ia benar-benar menjaga perasaan Bina.
Akhirnya Bina menceritakan kejadian
yang sebenarnya berikut pertemuan tidak sengajanya dengan Bara – minus cerita
saat ia hampir tertabrak mobil Bara sepulangnya dari rumah Bian. Ia tidak mau
Bian merasa bersalah dikarenakan sikap mamanya yang kelewatan dan cenderung
merendahkan Bina.
“Oh jadi gitu ceritanya. Kirain bener
si CEO muda itu nyamperin pacarnya ke Fekon, ternyata pacar orang hehehe…”
Komentar Bian ketika Bina menyelesaikan ceritanya. “Kayaknya dia naksir deh
sama kamu. Kamu mau nggak?” Tanyanya kemudian.
“Mau apa?” Tanya Bina bingung.
“Es krim.”
“Ha?”
“Cari es krim yuk.” Ajak Bian sambil
menggamit tangan Bina dan berjalan ke arah motor yang diarkir tidak jauh dari
mereka – yang saat itu masih tidak bisa menemukan maksud pertanyaannya barusan.
Tak diketahui Bina, Bian baru saja menjawab bendera perang yang dikibarkan Bara
secara tak kasat mata itu.
****
Gue bisa gerak sendiri. Itulah kalimat
yang tadi dilontarkan Bimo saat Bara menawarkan jasanya untuk menangani perihal
Bianca. Kalimat yang sebenarnya tidak pernah ia rencanakan akan ia lontarkan
pada sahabatnya itu. Karena sudah tidak mungkin menghindar, mengingat Bara juga
memiliki perangai buruknya sendiri dalam bertindak, akhirnya Bimo memutuskan
untuk melaksanakan kalimatnya itu. Bergerak sendiri untuk menddapatkan Bianca
meskipun ia sudah pernah diberi dan menerima penolakan dari gadis itu. Oleh
karena itu, disinilah ia. Membuntuti mobil yang dikendarai Bianca.
Kendaraan roda empat itu berhenti di
salah satu restoran di daerah Jakarta Selatan. Dengan wajah yang terbilang
ceria, ekpresi yang sangat jarang ditemui dari wajah gadis itu, Bianca
melangkah masuk ke dalam restoran tersebut yang langsung disambut oleh salah
satu waitress dengan sopan dan
hormat. Bimo mengikuti gerakan gadis itu dengan tatapan mata kemudian dengan
langkah ketika Bianca sudah positif sepenuhnya berada di dalam restoran. Dengan
cepat ia memilih bangku paling pojok dan sedikit tersembunyi agar tidak
ketahuan. Seorang waitress datang
kemudian menanyakan pesanannya yang langsung dijawabnya tanpa melihat buku menu
terlebih dahulu. Ia memang sudah pernah kesini beberapa waktu lalu dan ia ingat
apa yang ia pesan kemarin sehingga ia hanya perlu memesan itu kembali. Beberapa
menit kemudian, pesanannya datang dan tanpa lupa mengucapkan terima kasih, ia
tidak melepaskan pandangannya dari gadis yang tampak sangat bahagia itu yang
kini sedang berpelukan dengan seorang laki-laki dewasa yang bisa ditebaknya
sebagai Manajer. Pemandangan yang kontan menaikkan tensi Bimo sekaligus
mengundang rasa cemburu yang teramat sangat di dalam dadanya. Apalagi saat
melihat laki-laki itu melepaskan pelukannya kemudian gandi mencium kening
Bianca. Rasanya ia ingin memporak porandakan restoran ini saja atau minimal
membalik meja yang kini ia gunakan untuk menumpu kedua tangannya. Ia tidak
pernah secemburu ini sebelumnya. Bahkan saat mengetahu bahwa Bianca menaruh
hati pada Bian, pacar sahabat gadis itu sendiri ia tidak secemburu ini. Bian
tidak pernah berlaku manis apalagi sampai memeluk atau mencium Bianca seperti
itu. Tapi laki-laki itu….siapa dia sebenanrnya?
****
Bara melangkah dengan pasti di salah
satu lapangan futsal yang ada di Jakarta. Ia memang sudah membuat janji untuk
bertemu dengan seseorang. Seseorang yang memang sudah ditunggunya sejak
kemarin. Seperti yang ia duga, Bian akan langsung mengetahui perihal
kedatanagannya ke kampus tadi. Tidak salah ia menggunakan jasa popularitasnya
untuk menyebarkan cerita itu dengan cepat bahkan sampai ke Fakultas Teknik,
fakultas yang didominasi oleh para kaum gentleman
itu.
Dilihatnya Bian – laki-laki yang kini
akan dikukuhakan secara resmi sebagai rivalnya sedang berusaha mencetak goal yang sedang tidak dibentengi
penjaga gawang itu.
“Perlu gue yang jadi keeper?” Tawarnya ramah yang langsung
dijawab dengan tendangan keras Bian yang membawa bola bergerak cepat ke arah
sudut gawang dan menghantam jala dengan cantik.
“Nice
goal.” Puji Bara tulus.
“Apa maksud lo?” Tanya Bian to the point.
“It
should be my question, brotha.” Jawab Bara santai.
Bian menggeram pelan berusaha menahan
amarah yang sudah sejak tadi ia tahan. Anjrit banget nih orang. Makinya dalam
hati.
“Bina.” Ungkapnya kemudian sambil
menatap Bara tajam. Ada getar kemarahan yang ditangkan Bara dari nada suara
Bian.
“Oh itu…She’ll be mine, maybe someday.” Tantang Bara sambil balik menatap
lurus tatapan tajam Bara yang
ditujukan padanya.
“Dia cewek gue!” Tandas Bian tegas
seolah mendemonstrasikan bahwa Bina miliknya dan tidak bisa diambil seenaknya.
“Kalo orang lain pake prinsip ‘selama
janur kuning belum melengkung’, gue pegang prinsip ‘selama bendera kuning belum
berkibar’.” Jawab Bara santai sambil terkekeh pelan. Menertawakan prinsip yang
baru saja ia resmikan hari ini sebagai pegangan hidupnya yang baru dalam
mendapatkan pasangan.
“Coba aja kalo lo bisa!”
“I
will.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar