Catatan harian yang semakin renta dan tua

Selasa, 18 Maret 2014

Cinta Tak Sempurna #12


I’ll take her!!
_Fay Bara Putra_

This is War
_Fabian Alfonso_

Part 12

“Oy Om!” Sapa Bara pada Bimo saat laki-laki itu baru saja menyelesaikan urusannya di akademik, sambil merangkul bahu sahabatnya itu. Bimo yang memang sudah tahu bahwa Bara akan ke kampus tidak terkejut. “Gimana?” Tanyanya santai.

“Apanya?” Tanya Bara sambil mengerutkan keningnya, seolah tak mengerti.

“Belagak pilon lagi.” Cerca Bimo.

Bara hanya tertawa mendengarnya. Ia sama sekali tidak tersinggung karena ia memang pura-pura tak mengerti apa maksud Bimo barusan. “Yah…gitu deh.” Jawabnya tidak jelas sambil melepaskan rangkulan tangannya di bahu Bimo.

“Oh.” Komentar Bimo singkat. Tidak berniat menanggapi dan memberi komentar. Hanya ada satu jawaban yang pasti jika Bara sudah menjawab dengan tiga kata itu, rencana berhasil dengan baik.

“Trus lo gimana? Kapan geraknya?” Tanya Bara kemudian.

“Apanya?” Kali ini Bimo yang tak mengerti.

“Belagak pilon lagi.” Bara mengembalikan cercaan Bimo padanya barusan sambil terkekeh. Bimo hanya mampu menyumbangkan kerutan di keningnya karena ia memang tidak mengerti.

“Bianca.” Jawab Bara akhirnya. Mata Bimo kontan melebar mendengar satu nama itu keluar dari mulut Bara. Dari mana Bara tahu Bianca? Ah tidak tidak!! Sejak kapan Bara tahu Bianca?!

“Gila selera lo. Gue acungin jempol tangan sama kaki dah. Mantep. Gue aja ampir naksir hahaha…” 

“Lo tau dari mana?” Tanya Bimo akhirnya. Pasrah tidak bisa menghindar apalagi mengelak.
“Ck ck ck… gue nggak nyangka lo bisa mecahin rekor juga. Empat tahun man. Cinta banget lo sama dia.” Cela Bara lagi sambil menaik-naikkan alisnya dan menatap Bimo yang berdiri di samping kanannya.

“Anjrit lo!” Maki Bimo.

“Tenang aja. Lo pasti gue bantu.” Ucap Bara akhirnya.

“Nggak usah. Gue bisa gerak sendiri.” Tolak Bimo tanpa maksud menyinggung sama sekali.

“Yakin lo?” Selidik Bara.

“Seratus persen.” Jawab Bimo mantap.

“Oke.” Bara hanya mengangguk.

****
Bina baru saja sampai di parkiran dekat gedung rektorat kampus ketika didapatinya Bian sudah duduk manis di atas motornya.

“Hai.” Sapa gadis itu ragu-ragu ketika sosok itu sudah berada satu meter di depannya.

“Hai.” Jawab Bian kaku. Dengan hati-hati Bina melangkah lebih dekat ke arah Bian. “Kamu udah makan siang?” Tanyanya perhatian. Bian hanya mengangguk sebagai jawaban.

“Kamu udah nggak ada kuliah, kan? Ikut aku bentar bisa?” Tanya Bian yang sebenarnya lebih terdengar sebagai perintah di telinga Bina. Gadis itu hanya mengangguk saat Bian menyodorkan helm dan jaketnya, kemudian memakainya setelah kemudian naik ke boncengan.

Motor melaju dengan kecepatan sedang melewati lalu lintas kota yang memang sering macet siang itu. Akan tetapi, Bina bisa merasakan dengan jelas dan pasti, ketenangan kendaraan roda dua itu melaju sangat berbanding terbalik dengan pengendara yang kini duduk di depannya, yang sejak tadi hanya diam dan tidak mengeluarkan suara sama sekali itu. Tidak seperti biasanya yang memang selalu mengajaknya mengobrolkan berbagai macam hal.

Motor berhenti di salah satu taman dekat komplek kost Bina. Dengan tenang Bian turun dari motor dan melangkah mendahului Bina kemudian duduk di salah satu bangku yang memang tersedia di taman itu. Bina mengikutinya dari belakang kemudian menjatuhkan diri di samping laki-laki itu dengan perasaan was-was. Ia yakin Bian sudah tahu kejadian tadi pagi di kampus jadi ia sudah siap jika Bian mengamuk.

Di luar dugaannya, Bian malah menanyakan hal lain. “Kuliahnya gimana tadi?”

“Lancar.” Jawab Bina singkat. Tanpa sadar ia bernapas lega tapi di dalam hati ia tetap ketar-ketir juga. Bian yang menyadari itu kontan tersenyum kecil. Sepertinya gadisnya ini benar-benar ketakutan.

“Kamu kok kayaknya takut banget gitu sama aku?” Tanya Bian geli sambil memutar tubuhnya agar dapat menatap Bina lebih jelas.

“Eh?” Bina jadi tergeragap.

“Emang kamu abis bikin salah, ya?” Tebak Bian sambil berusaha menahan tawanya. Ekpresi Bina benar-benar terlihat lucu, membuatnya tidak jadi dan tidak bisa marah. Bina hanya mampu diam. Tidak tahu harus menjawab apa.

“Kamu keliatan kayak lagi nahan kentut tau nggak.” Ungkapnya kemudian. Bina yang menyadari bahwa dirinya dikerjai, langsung refleks melayangkan cubitan mautnya ke lengan laki-laki itu.

“ADAWWWWW!!!!” Teriak Bian kesakitan. “Iseng banget kamu yaa…!!” Teriak Bina kesal. Bian hanya tertawa terbahak-bahak melihat Bina yang kini memasang tampang marahnya membuatnya semakin gencar mencubit laki-laki itu sana sini.

“Oke oke oke… aku nggak ketawa lagi. Tapi kamu mau cerita nggak? Kayaknya heboh banget yang tadi pagi itu. Kamu udah jadi selebriti loh di Fatek.” Bian menyudahi tawanya kemudian mulai mengonfirmasi kejadian yang sebenarnya. Bina jadi tersenyum dalam hati. Ternyata Bian sangat percaya padanya. Ternyata Bian sangat sayang padanya bahkan untuk menanyakan hal seperti ini, yang bisa dipastikan menjadi salah satu penyebab keretakan sebuah hubungan, ia mencoba untuk melakukannya sehalus mungkin. Ia benar-benar menjaga perasaan Bina.

Akhirnya Bina menceritakan kejadian yang sebenarnya berikut pertemuan tidak sengajanya dengan Bara – minus cerita saat ia hampir tertabrak mobil Bara sepulangnya dari rumah Bian. Ia tidak mau Bian merasa bersalah dikarenakan sikap mamanya yang kelewatan dan cenderung merendahkan Bina.

“Oh jadi gitu ceritanya. Kirain bener si CEO muda itu nyamperin pacarnya ke Fekon, ternyata pacar orang hehehe…” Komentar Bian ketika Bina menyelesaikan ceritanya. “Kayaknya dia naksir deh sama kamu. Kamu mau nggak?” Tanyanya kemudian.

“Mau apa?” Tanya Bina bingung.

“Es krim.”

“Ha?”

“Cari es krim yuk.” Ajak Bian sambil menggamit tangan Bina dan berjalan ke arah motor yang diarkir tidak jauh dari mereka – yang saat itu masih tidak bisa menemukan maksud pertanyaannya barusan. Tak diketahui Bina, Bian baru saja menjawab bendera perang yang dikibarkan Bara secara tak kasat mata itu.

****

Gue bisa gerak sendiri. Itulah kalimat yang tadi dilontarkan Bimo saat Bara menawarkan jasanya untuk menangani perihal Bianca. Kalimat yang sebenarnya tidak pernah ia rencanakan akan ia lontarkan pada sahabatnya itu. Karena sudah tidak mungkin menghindar, mengingat Bara juga memiliki perangai buruknya sendiri dalam bertindak, akhirnya Bimo memutuskan untuk melaksanakan kalimatnya itu. Bergerak sendiri untuk menddapatkan Bianca meskipun ia sudah pernah diberi dan menerima penolakan dari gadis itu. Oleh karena itu, disinilah ia. Membuntuti mobil yang dikendarai Bianca.

Kendaraan roda empat itu berhenti di salah satu restoran di daerah Jakarta Selatan. Dengan wajah yang terbilang ceria, ekpresi yang sangat jarang ditemui dari wajah gadis itu, Bianca melangkah masuk ke dalam restoran tersebut yang langsung disambut oleh salah satu waitress dengan sopan dan hormat. Bimo mengikuti gerakan gadis itu dengan tatapan mata kemudian dengan langkah ketika Bianca sudah positif sepenuhnya berada di dalam restoran. Dengan cepat ia memilih bangku paling pojok dan sedikit tersembunyi agar tidak ketahuan. Seorang waitress datang kemudian menanyakan pesanannya yang langsung dijawabnya tanpa melihat buku menu terlebih dahulu. Ia memang sudah pernah kesini beberapa waktu lalu dan ia ingat apa yang ia pesan kemarin sehingga ia hanya perlu memesan itu kembali. Beberapa menit kemudian, pesanannya datang dan tanpa lupa mengucapkan terima kasih, ia tidak melepaskan pandangannya dari gadis yang tampak sangat bahagia itu yang kini sedang berpelukan dengan seorang laki-laki dewasa yang bisa ditebaknya sebagai Manajer. Pemandangan yang kontan menaikkan tensi Bimo sekaligus mengundang rasa cemburu yang teramat sangat di dalam dadanya. Apalagi saat melihat laki-laki itu melepaskan pelukannya kemudian gandi mencium kening Bianca. Rasanya ia ingin memporak porandakan restoran ini saja atau minimal membalik meja yang kini ia gunakan untuk menumpu kedua tangannya. Ia tidak pernah secemburu ini sebelumnya. Bahkan saat mengetahu bahwa Bianca menaruh hati pada Bian, pacar sahabat gadis itu sendiri ia tidak secemburu ini. Bian tidak pernah berlaku manis apalagi sampai memeluk atau mencium Bianca seperti itu. Tapi laki-laki itu….siapa dia sebenanrnya?

****
Bara melangkah dengan pasti di salah satu lapangan futsal yang ada di Jakarta. Ia memang sudah membuat janji untuk bertemu dengan seseorang. Seseorang yang memang sudah ditunggunya sejak kemarin. Seperti yang ia duga, Bian akan langsung mengetahui perihal kedatanagannya ke kampus tadi. Tidak salah ia menggunakan jasa popularitasnya untuk menyebarkan cerita itu dengan cepat bahkan sampai ke Fakultas Teknik, fakultas yang didominasi oleh para kaum gentleman itu.

Dilihatnya Bian – laki-laki yang kini akan dikukuhakan secara resmi sebagai rivalnya sedang berusaha mencetak goal yang sedang tidak dibentengi penjaga gawang itu.

“Perlu gue yang jadi keeper?” Tawarnya ramah yang langsung dijawab dengan tendangan keras Bian yang membawa bola bergerak cepat ke arah sudut gawang dan menghantam jala dengan cantik.

Nice goal.” Puji Bara tulus.

“Apa maksud lo?” Tanya Bian to the point.

It should be my question, brotha.” Jawab Bara santai.

Bian menggeram pelan berusaha menahan amarah yang sudah sejak tadi ia tahan. Anjrit banget nih orang. Makinya dalam hati.

“Bina.” Ungkapnya kemudian sambil menatap Bara tajam. Ada getar kemarahan yang ditangkan Bara dari nada suara Bian.

“Oh itu…She’ll be mine, maybe someday.” Tantang Bara sambil balik menatap lurus tatapan tajam Bara yang ditujukan padanya.

“Dia cewek gue!” Tandas Bian tegas seolah mendemonstrasikan bahwa Bina miliknya dan tidak bisa diambil seenaknya.

“Kalo orang lain pake prinsip ‘selama janur kuning belum melengkung’, gue pegang prinsip ‘selama bendera kuning belum berkibar’.” Jawab Bara santai sambil terkekeh pelan. Menertawakan prinsip yang baru saja ia resmikan hari ini sebagai pegangan hidupnya yang baru dalam mendapatkan pasangan.

“Coba aja kalo lo bisa!”

“I will.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar