Catatan harian yang semakin renta dan tua

Jumat, 02 Mei 2014

Novel Tanpa Outline

Dalam menulis kita mengenal istilah outline. Buat yang udah kuliah trus lagi nyusun proposal atau skripsi pasti tahu. Di novel juga kayak gitu. Ada outline-nya. Outline adalah kerangka cerita. Acuan yang digunakan sama penulis agar ceritanya nanti nggak melantur kemana-mana. Outline juga memudahkan penulisnya apalagi yang daya ingatnya lumayan buruk atau nggak terlalu bagus.
Dalam kasus gue, gue adalah penulis abal-abal yang nggak pernah pake outline dalam setiap tulisan-tulisan gue. Entah itu cerbung atau novel. Saat ini gue lagi ikut lomba novel di www.bulan-narasi.com. Hadiahnya, tablet sama novel kita bakal diterbitin. Pesertanya banyak tujuh ratus lebih orang yang ikut. Peluang buat menangnya juga jadi sedikit. Dan kita disuruh buat nulis jurnal tentang perkembangan naskah kita. Ini juga bagian dari jurnalnya sih sebenernya hehe
Dan… hampir semua penulis yang ikut, adalah penulis yang menggunakan outline dalam novelnya. Bisa dibayangin. Mereka adalah penulis-penulis yang tahu dengan jelas dan pasti ceritanya mau dibawa ke mana. Sedangkan gue, gue adalah penulis yang ceritanya itu bergantung dari ketersediaan ide. Tiap kali puny aide baru, yang ada di kepala gue Cuma sinopsis sama ending-nya.
Sedangkan alur buat ngebawa cerita itu agar bisa sampai ke ending yang gue bayangin, gue nggak tahu sama sekali. Nggak ada idenya secara keseluruhan. Jadilah, tiap hari gue harus nguras otak buat nyari ide untuk ngelanjutin cerita itu. Untungnya dan Alhamdulillah banget, dalam kasus ini ide gue hampir selalu datang di manapun gue berada. Entah saat lagi kuliah, mau ke toilet, lagi di toilet pun, mau mandi, lagi masak, lagi makan, lagi baca, lagi tiduran, pokoknya macem-macem. Bahkan, saat otak gue lagi mumet dan gue putusin buat tidur sebentar, bangunnya gue buka laptop, mandangin word kosong, jari gue bakal bergerak dengan lancar di atas keyboard beserta rangkaian kata yang membentuk kalimat yang huruf-hurufnya seolah ada di dalam kepala gue. Bisa divisualisasiin. Bahkan saat gue mau ujianpun, gue mengandalkan visualisasi. Apa yang gue baca, seolah gue liat ulang. Tapi bukan dalam bentuk secara langsung, tapi secara pikiran. Mungkin suatu kelebihan, dan gue bersyukur untuk itu.
Selain itu, cerita yang udah gue tulis, gue hapal isinya. Gue tahu alurnya. Jadi, kalo tiba-tiba ada yang pengen gue edit, gue tinggal cari itu tepatnya di halaman berapa dan langsung gue ganti dengan yang gue pikir lebih bagus.
Gue sebenernya pengen nyoba pakai outline. Tapi gue pikir, kalau idenya aja datangnya nggak tentu begini, yang ada waktu gue terbuang percuma dan nantinya gue malah jadi kerja dua kali. Mungkin gue bisa kayak Eiichiro Oda. Penulis novel One Piece yang terkenal banget itu. Beliau menulis tanpa outline, dan buktinya beliau bisa terkenal. Komiknya bisa jadi ngetop. Baik di kalangan anak-anak, remaja maupun dewasa. Gue inget, kalo temen-temen cowok sekampus gue pada ‘gila-gilaan’ sukanya kalo udah sama komik yang satu ini. Apalagi animenya. Cewek-ceweknya juga banyak yang suka. Jadi, walaupun ada yang bilang lebih enak pake outline kalau nulis dan gue pikir emang iya, gue nggak akan paksain buat pake itu. Senyamannyalah :D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar