Sudah hampir seminggu berlalu sejak pertengkaran Vivian
dan Rafael. Vivian sama sekali tidak berniat untuk menghubungi Rafael. Tepatnya
tidak mau. Sedangkan Rafael, ia gengsi. Sama sekali tidak merasa bersalah. Ia hanya
merasa bahwa Vivian-lah yang salah karena mengusirnya secara tidak terhormat
dari apartemen gadis itu, jadi Vivian yang seharusnya meminta maaf, bukan
dirinya. Egois memang.
Hari ini hari minggu. Vivian berniat untuk berbelanja
bulan. Persediaan bahan makanan di dalam kulkasnya sudah menipis. Kebutuhan-kebutuhannya
yang lain juga sudah mulai habis. Ia memutuskan untuk berbelanja di supermarket
dekat apartemennya.
Ketika sedang memilih-milih jeruk, ia dikagetkan oleh
colekan seseorang di bahu kirinya. Serentak ia menoleh.
“Hei.” Sapa si pencolek sambil tersenyum, memamerkan
giginya yang putih dan rapi.
Vivian mengerutkan keningnya. Heran dengan kemunculan
cowok berwajah oriental yang tiba-tiba saja mencoleknya bahkan meyapanya dengan
akrab.
“Masih inget gue?” Tanya cowok itu.
Vivian mencoba mengingat-ingat, tapi ia tidak bisa. Mungkin
ingatannya sudah tertutup gara-gara pertengkarannya dengan Rafael. “Sorry, but do I know you?” Tanyanya. Ia sama
sekali tidak merasa kenal dengan laki-laki di depannya ini.
“I think yes you
do.” Jawab laki-laki itu. “Niel you
know, Daniel.” Ujarnya kemudian.
Seketika wajah Vivian cerah. Ia ingat.
“Ah iya. Daniel temennya Ael kan?” Tanyanya memastikan.
Cowok itu yang ternyata adalah Daniel, teman Rafael yang
pernah bertemu dengannya di restoran waktu itu mengangguk dan tersenyum. “Belanja?”
Tanyanya retoris.
Vivian memutar bola matanya. “Basa-basi sekali.” Ujarnya.
Niel tertawa mendengarnya. “Sendirian aja?” Tanyanya.
“Iya. Lo?” Vivian balik bertanya.
“Sama. Gue juga sendiri.”
“Belanja juga?”
“Basa-basi sekali.”
Vivian tertawa. Niel membalikkan kat-katanya.
“Yah maklumlah. Tinggal sendiri jadi semuanya serba
kerjain sendiri. Mandirilah istilahnya.” Ujar Daniel kemudian.
Vivian mencibir mendengarnya. Niel kembali tertawa. “Rafael
mana?” Tanyanya kemudian.
Vivian mengedikkan bahunya tanda tak tahu.
****
Rafael sedang mempelajari bahan untuk keperluan meeting-nya bersama klien jam dua siang
nanti saat sekertarisnya mengabarkan kedatangan Niel yang ingin menemuinya. Segera
ia menyuruh sekertarisnya untuk memeprsilahkan Niel masuk.
“Hei bro.” Sapa Niel akrab sambil langsung menjatuhkan
diri ke sofa yang terletak tak jauh dari meja Rafael. Rafael hanya menatap
sekilas ke arahnya dan tersenyum tipis sambil kembali memusatkan perhatiannya
pada bahan meeting-nya.
“Kemarin gue ketemu Vivian.” Niel membuka suara sambil
membolak-balik majalah otomotif yang ada disana.
Rafael tidak menanggapi. Ia masih terus fokus pada
pekerjaannya.
“Dia lagi belanja.”
Rafael masih tetap diam.
“Sendirian.”
Rafael bergeming.
“Jadi yah gue nawarin diri buat nemenin, dan dia mau.”
Rafael mengalihkan fokusnya dari pekerjaannya dan menatap
Niel. Tapi hanya sebentar lalu kembali lagi pada pekerjaannya. Niel yang menyadarinya
tersenyum tipis.
“Eh Raf.” Panggilnya.
“Hmmm.”
“Viv kalo dilihat-lihat cantik ya ternyata.”
Rafael kontan menutup berkas yang sedang dipelototinya
sejak tadi itu dan menatap Niel. “Maksud lo?”
“Ya cantik. Masa lo nggak ngerti sih?”
“Nggak. Maksud gue, apa maksud lo bilang itu ke gue?”
Niel terdiam sejenak. Berpikir hendak menjawab apa. Lalu
ia kembali bersuara.
“Lo nggak ada hati ya sama dia?” Tanyanya.
Kening Rafael berkerut mendengar pertanyaan Niel itu. “Maksud
lo naksir?” Tanyanya memastikan bahwa ia tidak salah tanggap dengan maksud Niel
sebenarnya.
“Yah semacam itulah.”
Rafael tertawa kecil. Terkesan tertawa mengejek. “Ya
enggaklah. Lo tahu sendiri kan tujuan gue itu apa.” Jawabnya sambil
menggelengkan kepalanya tidak habis pikir. Dilangkahkannya kakinya ke arah sofa
dan menjatuhkan dirinya disana. Niel mengangguk mendengar jawaban Rafael itu.
“Berarti hubungan lo sama dia Cuma sebatas itu aja kan? Bantuan
dan permintaan tolong?” Tanya Niel sambil menekankan kalimatnya pada kata
pemrintaan tolong. Rafael mendengus mendengar istilah yang digunakan Niel itu
tapi lalu ia mengangguk.
“Oke. Berarti gue bakal deketin dia.”
****
Rafael menatap fitur pesan di ponselnya sambil
mengingat-ingat kembali percakapannya dengan Niel tadi siang di kantor. Secara tidak
langsung Niel telah mengaku bahwa ia naksir Vivian. Pion yang sangat ia
butuhkan untuk mendapatkan Nindy kembali. Tapi demi mengingat reputasi playboy
yang sudah disandang Niel sejak laki-laki itu SMA, ia jadi tidak tega kalau
Vivian harus didekati orang macam itu. kedengaran aneh memang karena selama ini
ia sudah sering menyusahkan gadis itu, tapi ia kasihan juga kalau sampai Vivian
dipermainkan nanti.
Ditatapnya kembali ponselnya. Lho? Ini kok?
****
Drrrrrttttttt………drrttttttt…….
Getar ponsel Vivian menginterupsi kegiatannya yang sedang
membaca novel. Diraihnya ponselnya yang terletak di atas meja. Ada pesan. Dari…
Ale-ale
Ael? Untuk apa laki-laki itu menghubunginya. Minta maaf,
heh? Vivian mencibir dan tidak berniat membuka pesan itu. Jari-jarinya sudah
bergerak hendak menghapusnya, tapi diurungkannya. Ia penasaran juga sebenarnya
apa yang dikatakan laki-laki itu lewat SMS. Dibukanya pesan dari Ael itu dan
ternyata isinya adalah:
.
Titik? Titik doang? Nggak salah nih?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar