Catatan harian yang semakin renta dan tua

Minggu, 18 Mei 2014

Kontrak Cinta #8



Sudah hampir seminggu berlalu sejak pertengkaran Vivian dan Rafael. Vivian sama sekali tidak berniat untuk menghubungi Rafael. Tepatnya tidak mau. Sedangkan Rafael, ia gengsi. Sama sekali tidak merasa bersalah. Ia hanya merasa bahwa Vivian-lah yang salah karena mengusirnya secara tidak terhormat dari apartemen gadis itu, jadi Vivian yang seharusnya meminta maaf, bukan dirinya. Egois memang.
Hari ini hari minggu. Vivian berniat untuk berbelanja bulan. Persediaan bahan makanan di dalam kulkasnya sudah menipis. Kebutuhan-kebutuhannya yang lain juga sudah mulai habis. Ia memutuskan untuk berbelanja di supermarket dekat apartemennya.
Ketika sedang memilih-milih jeruk, ia dikagetkan oleh colekan seseorang di bahu kirinya. Serentak ia menoleh.
“Hei.” Sapa si pencolek sambil tersenyum, memamerkan giginya yang putih dan rapi.
Vivian mengerutkan keningnya. Heran dengan kemunculan cowok berwajah oriental yang tiba-tiba saja mencoleknya bahkan meyapanya dengan akrab.
“Masih inget gue?” Tanya cowok itu.
Vivian mencoba mengingat-ingat, tapi ia tidak bisa. Mungkin ingatannya sudah tertutup gara-gara pertengkarannya dengan Rafael. “Sorry, but do I know you?” Tanyanya. Ia sama sekali tidak merasa kenal dengan laki-laki di depannya ini.
I think yes you do.” Jawab laki-laki itu. “Niel you know, Daniel.” Ujarnya kemudian.
Seketika wajah Vivian cerah. Ia ingat.
“Ah iya. Daniel temennya Ael kan?” Tanyanya memastikan.
Cowok itu yang ternyata adalah Daniel, teman Rafael yang pernah bertemu dengannya di restoran waktu itu mengangguk dan tersenyum. “Belanja?” Tanyanya retoris.

Vivian memutar bola matanya. “Basa-basi sekali.” Ujarnya.
Niel tertawa mendengarnya. “Sendirian aja?” Tanyanya.
“Iya. Lo?” Vivian balik bertanya.
“Sama. Gue juga sendiri.”
“Belanja juga?”
“Basa-basi sekali.”
Vivian tertawa. Niel membalikkan kat-katanya.
“Yah maklumlah. Tinggal sendiri jadi semuanya serba kerjain sendiri. Mandirilah istilahnya.” Ujar Daniel kemudian.
Vivian mencibir mendengarnya. Niel kembali tertawa. “Rafael mana?” Tanyanya kemudian.
Vivian mengedikkan bahunya tanda tak tahu.
****
Rafael sedang mempelajari bahan untuk keperluan meeting-nya bersama klien jam dua siang nanti saat sekertarisnya mengabarkan kedatangan Niel yang ingin menemuinya. Segera ia menyuruh sekertarisnya untuk memeprsilahkan Niel masuk.
“Hei bro.” Sapa Niel akrab sambil langsung menjatuhkan diri ke sofa yang terletak tak jauh dari meja Rafael. Rafael hanya menatap sekilas ke arahnya dan tersenyum tipis sambil kembali memusatkan perhatiannya pada bahan meeting-nya.
“Kemarin gue ketemu Vivian.” Niel membuka suara sambil membolak-balik majalah otomotif yang ada disana.
Rafael tidak menanggapi. Ia masih terus fokus pada pekerjaannya.
“Dia lagi belanja.”
Rafael masih tetap diam.
“Sendirian.”
Rafael bergeming.
“Jadi yah gue nawarin diri buat nemenin, dan dia mau.”
Rafael mengalihkan fokusnya dari pekerjaannya dan menatap Niel. Tapi hanya sebentar lalu kembali lagi pada pekerjaannya. Niel yang menyadarinya tersenyum tipis.
“Eh Raf.” Panggilnya.
“Hmmm.”
“Viv kalo dilihat-lihat cantik ya ternyata.”
Rafael kontan menutup berkas yang sedang dipelototinya sejak tadi itu dan menatap Niel. “Maksud lo?”
“Ya cantik. Masa lo nggak ngerti sih?”
“Nggak. Maksud gue, apa maksud lo bilang itu ke gue?”
Niel terdiam sejenak. Berpikir hendak menjawab apa. Lalu ia kembali bersuara.
“Lo nggak ada hati ya sama dia?” Tanyanya.
Kening Rafael berkerut mendengar pertanyaan Niel itu. “Maksud lo naksir?” Tanyanya memastikan bahwa ia tidak salah tanggap dengan maksud Niel sebenarnya.
“Yah semacam itulah.”
Rafael tertawa kecil. Terkesan tertawa mengejek. “Ya enggaklah. Lo tahu sendiri kan tujuan gue itu apa.” Jawabnya sambil menggelengkan kepalanya tidak habis pikir. Dilangkahkannya kakinya ke arah sofa dan menjatuhkan dirinya disana. Niel mengangguk mendengar jawaban Rafael itu.
“Berarti hubungan lo sama dia Cuma sebatas itu aja kan? Bantuan dan permintaan tolong?” Tanya Niel sambil menekankan kalimatnya pada kata pemrintaan tolong. Rafael mendengus mendengar istilah yang digunakan Niel itu tapi lalu ia mengangguk.
“Oke. Berarti gue bakal deketin dia.”
****
Rafael menatap fitur pesan di ponselnya sambil mengingat-ingat kembali percakapannya dengan Niel tadi siang di kantor. Secara tidak langsung Niel telah mengaku bahwa ia naksir Vivian. Pion yang sangat ia butuhkan untuk mendapatkan Nindy kembali. Tapi demi mengingat reputasi playboy yang sudah disandang Niel sejak laki-laki itu SMA, ia jadi tidak tega kalau Vivian harus didekati orang macam itu. kedengaran aneh memang karena selama ini ia sudah sering menyusahkan gadis itu, tapi ia kasihan juga kalau sampai Vivian dipermainkan nanti.
Ditatapnya kembali ponselnya. Lho? Ini kok?
****
Drrrrrttttttt………drrttttttt…….
Getar ponsel Vivian menginterupsi kegiatannya yang sedang membaca novel. Diraihnya ponselnya yang terletak di atas meja. Ada pesan. Dari…
Ale-ale
Ael? Untuk apa laki-laki itu menghubunginya. Minta maaf, heh? Vivian mencibir dan tidak berniat membuka pesan itu. Jari-jarinya sudah bergerak hendak menghapusnya, tapi diurungkannya. Ia penasaran juga sebenarnya apa yang dikatakan laki-laki itu lewat SMS. Dibukanya pesan dari Ael itu dan ternyata isinya adalah:
.
Titik? Titik doang? Nggak salah nih?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar