Catatan harian yang semakin renta dan tua

Jumat, 15 Agustus 2014

,
“Sssshh…pelan-pelan Nin” Ringis Bara saat Nindy menempelkan handuk basah ke sudut bibir pria itu. Wajahnya benar-benar hancur sekarang. Lebam di mana-mana bahkan sudut bibirnya sobek. Nindy juga jadi ikut-ikutan meringis sendiri demi mendengar ringisan Bara. Tak berapa lama kemudian, Nindy telah selesai mengobati jejak jejak kemarahan Bian dari wajah tampan Bara. Setelahnya, sekertaris Bara masuk dan membereskan mangkok berisi air es dan handuk yang digunakan Nindy tadi.

“Itu cowok siapa, sih?” Tanya Nindy sebal lebih kepada dirinya sendiri. Ia tak habis pikir akan menemukan Bara dalam keadaan dipukuli cowok dengan penampilan yang sama sekali tidak bisa dikatakan sebagai rapi.

Bara dan Bimo yang memang masih ada disana diam saja. Membiarkan Nindy bicara dengan dirinya sendiri. “Kamu nggak apa-apa, kan?” Tanya wanita itu kemudian sambil menghadapkan tubuhnya pada Bara yang saat itu duduk di sofa sambil bersandar. Bara tidak menjawab pertanyaan Nindy itu. Ia justru mengangguk pada Bimo yang baru saja memberi kode bahwa ia tidak bisa berlama-lama disini. Masih ada yang harus diurusnya. Bianca. Sejak tadi gadis itu tidak beranjak dari tempatnya sama sekali. Bukan karena takut, tapi lebih karena terkejut mendapati dirinya bisa terjebak pada keadaan seperti ini. Apalagi melihat Bian yang sampai lepas kendali seperti tadi. Seingatnya, selama ia mengenal Bian, tak pernah sekalipun ia melihat Bian semarah itu bahkan sampai tega menonjok orang hingga babak belur seperti sekarang.

“Pulang Bi.” Ajak Bimo sambil berjalan mendahului Bianca. Bianca yang baru saja tersadar cepat cepat menyusul langkah Bimo yang sudah keluar dari ruangan Bara.

“Tadi itu siapa sih, Bar? Kok dia bisa sampai mukulin kamu kayak gini?” Tanya Nindy perhatian.

“Temen.” Jawab Bara seadanya. Ia tidak mau Nindy sampai tahu masalah ini karena bisa dipastikan wanita itu akan ikut campur. Dan ia sangat tidak suka jika Nindy sudah mencampuri urusannya karena bisa dipastikan akan muncul masalah baru.

“Kalo temen kenapa dia mukulin kamu? Emang kamu salah apa?” Tanya Nindy lagi.

“Pengen banget tahu kayaknya lo.”

“Ya kan aku nanya Bar.”

“Sayangnya gue nggak mau jawab.”

Nindy hanya bisa manyun mendengar jawaban Bara. “Udah mending lo balik ke kantor lo aja. Gue yakin lo banyak kerjaan yang lebih penting dibanding duduk disini nanyain hal yang sama sekali nggak penting ke gue.” Usir Bara. Sambil menghentakan kakinya tanda sebal, meskipun tidak ikhlas akhirnya Nindy angkat kaki dari sana juga.

****
Bian melajukan motornya gila-gilaan. Tak dipedulikannya gadis yang saat ini meringkuk di boncengannya sambil memeluk pinggangnya kuat kuat karena ketakutan. Beberapa kali ia bahkan nekat menyalip kendaraan lain bahkan menyelipkan tubuh motornya di antara dua truk yang sedang melaju bersisian. Demi Tuhan mereka berdua benar-benar akan berubah menjadi bubur menjijikkan jika sampai terlindas ban besar kendaraan itu.

Leganya, keadaan itu tak berangsur lama karena beberapa saat kemudian motor Bian telah berhenti di depan kost Bina. Dengan tubuh gemetar Bina turun dari boncengannya. Ditundukannya kepalanya saat Bian menahan tangannya yang hendak akan masuk ke dalam. Ia pikir laki-laki itu akan marah, meneriakinya tukang selingkuh atau bahkan membentaknya secara kasar. Tapi ternyata tidak, Bian malah mendaratkan kecupan sayang di kening gadis itu lalu menyuruh Bina masuk. Dan yang sebenarnya kaget hanya bisa mengangguk patuh. Tidak berani membantah atau bahkan bertanya apakah Bian baik-baik saja atau tidak. Bukannya terlalu percaya diri bahwa rasa sayang Bian padanya sebesar itu tapi ia yakin bahwa saat ini Bian sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja. Hanya saja, laki-laki enggan menunjukannya. Cukup tadi di ruangan Bara saja ia seperti itu.

****

Bimo mengendarai mobilnya dalam diam. Begitu pula Bianca, sebenarnya ia ingin sekali bertanya tentang apa yang sebenarnya terjadi disini. Kenapa Bimo menjemputnya dan segalanya yang ia alami. Tapi ia tidak berani. Takutnya ia ikut-ikutan menjadi korban amuk seperti yang dilakukan Bian tadi. Beberapa saat hening masih tetap menyelimuti sampai akhirnya Bimo buka suara.

“Maaf ya Bi soal yang tadi. Maaf kalo kamu kaget.” Ujarnya sambil menatap Bianca sesaat lalu kembali memfokuskan pandangannya pada jalanan di depannya.

“Nggak apa-apa, Kak.” Jawab Bianca seadanya. Padahal pengen banget nanya.

“Mmm…ini..kamu mau diantar kemana?” Tanya Bimo.

“Eh?”

“Iya. Aku nggak tahu rumah kamu dimana jadi…hehe.” Bimo menggaruk kepalanya yang tidak gatal salah tingkah.

“O-oh… Bianca tersadar. Ke restoran kakak aku aja Kak.”

“Eh?”

“Iya di restoran kakak aku aja. Alamatnya di….” Selanjutnya Bianca menyebutkan alamat restoran Ryan, kakaknya. Informasi yang menghadirkan sejuta kelegaan pada Bimo. Jadi itu restoran kakaknya toh?

****

“Astaga Baraaaaaa….kenapa muka kamu jadi babak belur begini?” Tanya Mama begitu Bara sampai di rumah.

“Kok mama belum tidur?” Tanya Bara heran. Ini sudah jampir jam dua belas malam tapi mamanya belum tidur juga. Tidak mungkin kan mama menunggunya pulang? Karena biasanya Bara memang sering sekali pulang terlambat dan mama tidak pernah menunggunya.

“Mama mau nagih utang kamu. Eh jangan bahas itu dulu. Sekarang kasih tahu sama mama kenapa muka kamu bisa jadi kayak ulekan cabe belum dicuci kayak begini?” Interogasi mama.

Aduh mama istilahnya nggak ada yang elitan dikit, ya?

“Utang yang mana?” Tanya Bara heran. Kapan dia pinjam uang sama mama?

“Utang siapa sebenarnya calon mantu mama. Aduh kamu ini mengalihkan pembicaraan terus sih? Udah diobatin lukanya?”

“Oooh itu. Kirain apaan deh Ma. Udah mama tenang aja nanti kalo udah pasti bakal Bara kasih tahu.”

“Lho? Emang di antara keduanya nggak ada yang pasti? Kamu masih milih atau nunggu dipilih? Atau jangan-jangan itu lebam di muka ada hubungannya sama pilihan itu, ya?”

Eh?


Rabu, 13 Agustus 2014

,
Sumber Gambar
Pernyataan cinta. Sesuatu yang nggak asing di telinga. Sesuatu yang selalu diiringi dua kemungkinan: Perasaan kita diterima atau ditolak. Pernyataan cinta ini bisa datang dari siapa aja. Entah itu orang asing baru kenal yang ngaku jatuh cinta pada pandangan pertama, obrolan pertama maupun pertama pertama lainnya ataupun dari teman atau sahabat kita sendiri. Dan kadangkala saat yang menyatakan cintanya itu adalah sahabat atau teman kita yang begitu baik, sementara kita sama sekali nggak ada perasaan apa-apa sama dia selain perasaan sayang sebagai sahabat, kita bingung gimana cara nanggepinnya. Diterima, kita nggak cinta. Nggak diterima, kok nggak enak, ya? Apalagi dia selalu ada saat kita butuh. Nah disini gue bakal ngasih satu contoh nyata penolakan yang kreatif dan efektif yang pernah dilakukan oleh seseorang yang gue kenal.

*cekidot

Cowok: Aku sayang kamu. Mau nggak jadi pacar aku?

Cewek: Kita temenan, kan?

Cowok: Iya

Cewek: Kemana-mana sering bareng, kan?

Cowok: Iya

Cewek: Sering makan bareng, kan?

Cowok: Iya

Cewek: Kamu juga sering nganterin aku pulang, kan?

Cowok: Iya

Cewek: Saat kita pacaran nanti pasti gitu juga, kan? Jadi kita nggak usah pacaran. Kan sama aja


Cowok: .....


HAHAHAHAHAHAHAHA *ketawa setan*


Selasa, 12 Agustus 2014

,
“Aku ingin menanyakan sesuatu padamu.” Ucapmu tiba-tiba.

“Apa itu? Tanyakanlah sesukamu.” Jawabku.

“Menurutmu… apa yang mati namun tetap akan selalu hidup, dan yang hidup namun dia mati?”

“Pertanyaan macam apa itu? Aku sama sekali tidak mengerti maksudmu. Apa kau sedang mengujiku?”

“Tidak. Tidak sama sekali.” Jawabmu sambil tertawa kecil tanpa suara.

“Lalu, apa maksudmu dengan pertanyaan ‘aneh’ itu? Kau tidak sedang merencanakan sesuatu, kan? Lagipula apa maksud tawamu barusan? Kau mengejekku?” tanyaku dengan nada menuduh.

Tidak ada jawaban.

Aku menunggu beberapa saat. Namun kau diam. Bisu. Lidahmu seolah kelu untuk berucap. Aku masih menunggu. Kali ini sambil menatapmu.


Masih tidak ada jawaban.
Kau hanya menatap lurus tanpa fokus. Tatapanmu hampa. Tanpa arah. Saat itu, kau terasa asing bagiku. Sosok yang tak ku kenal, yang sama sekali belum pernah ku temui.

Ku alihkan pandanganku. Tiba-tiba jantungku berdegup cepat, lebih cepat, dan semakin cepat dari sebelumnya. Tubuhku gemetaran. Aku ketakutan. Ada apa ini? Ada apa denganku? Apa yang aku takutkan?

Namun sesaat kemudian kau tersenyum dan berkata tanpa menatapku “Boleh aku minta sesuatu darimu?”

Dalam hati aku jengkel. “Apa ini? Apa maksudmu sebenarnya? Kau sedang mempermainkanku?” tanyaku dengan nada kesal.

Kau menatapku tanpa suara. Matamu mengisyaratkan sesuatu. Sesuatu yang aku tahu pasti apa itu. Jawaban. Matamu meminta jawaban. Aku menyerah. “Baiklah. Mintalah.”

“Suatu saat nanti, bisakah aku menjadi ‘sesuatu’ seperti itu bagimu?” Kau menyebutkan permintaanmu yang semakin aneh dan terasa ganjil di telingaku.

“Apa maksudmu?” Tanyaku. “Kau jangan membuatku bingung.”

“Baiklah! Lupakan.” Jawabmu, sambil tersenyum.


,
Mendung di kamis sore. Ku langkahkan kakiku dengan riangnya menuju kampus. Ku masuki kelas dengan ringan – tanpa beban. Ku perhatikan setiap penjelasan yang ku akui sangat menarik hari itu. Tanpa sengaja aku menangkap sosokmu. Sosok asing yang ku yakin tak pernah ku lihat sebelumnya. Mengacungkan tangan kananmu untuk menanyakan sesuatu yang masih mengganjal di otakmu. Ku perhatikan setiap tingkahmu. Cara bicaramu, tatapanmu, kecerdasan yang kau miliki….

Bertubi-tubi pujian tercetak dalam hatiku, tertuju untuk dirimu. 

Oh Tuhan!! Betapa bodohnya aku… betapa menyedihkannya aku…Dengan entengnya ku biarkan kau merebut hatiku. Dengan bodohnya aku membiarkanmu membawanya pergi. Dengan bodohnya ku biarkan harapan-harapan palsu itu muncul, dan dengan bodohnya aku berharap atasnya. Dengan bodohnya aku setia menunggumu. Dengan bodohnya aku memupuk perasaaan itu. Perasaan yang tak salah namun tak seharusnya.